Oleh Akhmad Kusaeni
Jakarta, 21/12 (ANTARA) – Sebuah keputusan pada saat genting bisa membuat sejarah. Kalau saja Xanana Gusmao saat tertangkap tahun 1992 jadi dieksekusi, mungkin saja Timor Timur tidak pernah lepas dari Indonesia dan “gembong Gerakan Pengacau Keamanan Fretilin” itu tidak menjadi Presiden Timor Leste seperti sekarang ini.
Sebuah buku, yang saya tulis bersama rekan Benny S Butarbutar dan baru saja diluncurkan awal pekan ini, mengungkap apa yang selama ini terkubur dalam misteri penangkapan Xanana Gusmao pada pagi hari 20 November 1992 di sebuah lokasi di Dili. Ternyata, Panglima Komando Pelaksana Operasi (Pangkolakops) Timor Timur Brigjen Theo Syafei (kini pensiun) ketika itu pernah mengusulkan agar Xanana “dituntaskan” saja.
Tidak pernah terungkap sebelumnya bahwa saat Xanana baru tertangkap, Pangkolakops segera melapor kepada Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisnio sekaligus meminta petunjuk bagi tindak lanjutnya. Ketika itu, Pangkolakops sempat menanyakan kepada Try Sutrisno apakah sebaiknya Xanana Gusmao “diselesaikan” saja. Namun, Jenderal Try (kini juga pensiun) memberi petunjuk agar Xanana tidak dibunuh dan dibiarkan hidup untuk diadili.
“Fakta sejarah” itulah antara lain yang terungkap dalam buku berjudul “TIDAR: Bhakti Tiada Akhir” yang merupakan catatan refleksi 40 tahun pengabdian Angkatan 1965 Akademi Militer Nasional (AMN), yang pentolannya antara lain Theo Syafei yang sangat berperan dalam penangkapan Xanana Gusmao yang kini menjadi presiden di negeri jiran mantan jajahan Portugal itu.
Ketika masalah rencana eksekusi terhadap Xanana itu dikonfirmasikan kepada Theo Syafei oleh penulis buku itu pada bulan Juli 2005, tokoh PDIP itu membenarkannya.
“Mungkin kini sudah saatnya saya harus mengungkapkan kebenaran soal Xanana,” kata mantan Panglima Kodam Udayana itu.
Lalu Theo pun bercerita panjang-lebar tentang penangkapan Xanana yang kini menjadi Presiden Timor Leste itu. Kisahnya dimulai dengan runtuhnya Bank Summa pada 1992, termasuk Bank Summa Cabang Timor Timur. Ada kebijakan bahwa Bank Summa Timor Timur hanya bisa mengembalikan uang setiap nasabah maksimal Rp 10 juta.
Ada salah satu nasabah, seorang mahasiswa yang uang simpanannya Rp 11 juta lebih, meminta agar uangnya itu bisa dikembalikan sebanyak Rp 11 juta. Kepala Cabang Bank Summa mengatakan tidak bisa dan hanya bisa mencairkan paling banyak Rp 10 juta.
“Saya kan mahasiswa. Saya mau kembali ke Bali,” kata si mahasiswa.
Kebetulan saat itu Pangkolakops sedang mampir ke Bank Summa. Si mahasiswa meminta rekomendasi. Lalu Theo bertanya kepada mahasiswa itu, mengapa minta uang Rp 11 juta, dan dijawab mau ke Bali.
“Terus, saya punya naluri intelijen. Lalu saya tanya, ‘Kamu ini anak siapa, sih?’ Kalau bukan anak bupati atau anak pejabat, mestinya dia tidak punya uang sebanyak itu,” kenang Theo.
Ternyata mahasiswa itu anak petani di daerah yang paling miskin di Timor Timur. Ketika nama daerahnya disebut, Theo semakin curiga karena menurut pemahamannya seluruh uang petani di sana dikumpulkan pun tidak akan mencapai Rp 100 ribu. Akhirnya, rumah si mahasiswa digeledah. Di rumah itu ditemukan uang dolar Amerika, dolar Australia, dan yen Jepang. Ketika dia ditekan dan ditanyai darimana dia memiliki uang sebanyak itu, ketahuanlah bahwa dia adalah penghubung untuk Xanana.
Selasa, 18 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar