Senin, 17 Desember 2007

LEX KOLONIALIS DEROGAT LEX REFORMIS

Oleh Akhmad Kusaeni

Negeri ini negeri paradok. RUU KUHP baru membuktikan itu. Di Timor Leste, yang masih menggunakan hukum warisan kolonial Indonesia, ketentuan pidana pada pasal-pasal delik pers telah dicabut. Tapi di Indonesia, bukannya dicabut, KUHP peninggalan kolonial Belanda yang dinegerinya sendiri sudah menjadi sejarah, justeru diperluas sifat refresifnya.
Delik-delik pers yang mengancam kemerdekaan pers, ditambah dari 37 pasal pada KUHP sekarang menjadi 47 pasal pada KUHP baru.
“Rrrruar biasa….,” kata Andi Musmar Usman, Direktur Eksekutif The Fourth Estate, menirukan suara orang Jepang yang terkaget-kaget.
Andi yang juga anggota Dewan Kehormatan PWI Jaya itu kaget mendapati 10 tambahan pasal baru yang bertabrakan dengan kebebasan pers.
Begitu Timor Timur lepas dari Indonesia, pada 7 September 2000, pemerintahan sementara PBB di Timtim, UNTAET, mengeluarkan dekrit yang menyatakan pasal-pasal dalam Bab Penghinaan di KUHP Indonesia bukan lagi tindak pidana di Timor Leste. Dalam keadaan apapun pasal-pasal itu tidak dapat digunakan oleh jaksa untuk menuntut pidana.
Jika ada yang dirugikan dan nama baiknya dicemarkan, menurut UNTAET, hanya bisa mengajukan gugatan perdata dan hanya tuntutan ganti rugi yang dilakukan. Wartawan tidak bisa dijebloskan ke dalam penjara karena karya jurnalistiknya.
Di Indonesia, banyak wartawan harus meringkuk dalam penjara. Karim Paputungan dari Rakyat Merdeka, Bambang Harymurty dari Majalah Tempo, dan terakhir Pemred Mingguan Koridor di Lampung, dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan. Bahkan, upaya untuk merevisi KUHP, menurut kalangan media, justru semakin memperkuat sifat refresif produk hukum warisan pemerintah kolinial Belanda itu.
Tidak heran bila kalangan pers menjerit ketika Departemen Kehakiman dan HAM mengajukan RUU KUHP baru itu untuk dibahas di DPR. Ahli media dari Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Leo Batubara, yang kini mencitrakan dirinya sebagai garda depan pejuang kebebasan pers di Indonesia, berteriak lantang: “Hanya ada satu kata, lawan! Cara mana pula ini, bah!”
Abdullah Alamudi, dari Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MP2I) dalam peluncuran buku Rosihan Anwar di Jakarta pekan lalu mengatakan: “KUHP baru lebih fasis dari kolonial Belanda!”. Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Bambang Harymurti, yang menjadi korban undang-undang yang diciptakan Belanda untuk membungkam para pejuang kemerdekaan itu, menyatakan RUU KUHP adalah monster baru yang bakal memakan wartawan-wartawan yang kritis.
“Stop kriminalisasi pers!”, teriak Bambang yang tidak pernah letih untuk berkampanye anti pemenjaraan wartawan.
Wakil Ketua Dewan Pers RH Siregar, meski orang Batak, lebih santun sedikit. Ia hanya mengatakan “RUU KUHP mengancam kebebasan pers dan berekspresi”.

Musim semi
Dulu, ketika Suharto jatuh, semua gembira dengan disahkannya UU No.40/1999 tentang Pers. Orang bangga menyebut produk hukum di era reformasi itu sebagai musim semi kebebasan dan kemerdekaan pers. UU Pers itu menjamin sepenuhnya kemerdekaan pers. Tidak perlu SIUPP lagi. Tak ada censorship. Tak ada pembreidelan.
Namun, UU Pers itu seperti dikemukakan oleh Sekretaris Eksekutif Dewan Pers Lukas Luwarso dalam buku “Kebebasan Pers dan Ancaman Hukum”, belum sepenuhnya mampu menjadi benteng kebebasan pers, karena musuh yang dihadapi terlalu tangguh, yaitu KUHP yang terus bercokol di Indonesia, meskipun rejim pemerintahan telah berganti berkali-kali.
UU Pers, kata Lukas, tidak berfungsi karena diabaikan oleh aparat hukum.
“Asas hukum lex specialis derogat lex generalis tidak berlaku. Yang berlaku adalah lex kolonialis derogat lex reformis! Undang-undang penjajah mengalahkan undang-undang produk anak bangsa sendiri!,” katanya.
Yang lebih mengagetkan kalangan pers, ternyata pembuat RUU KUHP baru, yang naskah akademiknya disusun oleh Prof. Dr. Muladi, dianggap lebih Belanda daripada Belanda sendiri.
“KUHP baru bukan hanya melanggengkan pasal-pasal maut yang disebut “ranjau-ranjau pers” dan yang sudah banyak makan korban selama ini, melainkan juga dengan menambah pasal-pasal baru yang bisa “membunuh” wartawan,” kata RH Siregar.
Kata “membunuh” tersebut tidaklah berlebihan, karena RUU karya anak bangsa ini memuat Pidana tambahan, yaitu pencabutan atas hak menjalankan profesi tertentu seperti diatur dalam Pasal 88 ayat (1) RUU KUHP. Selain diancam pidana penjara dan pidana denda, hakim juga bisa menjatuhkan pidana tambahan dengan mencabut status kewartawanan seseorang.
“Kalau dicabut statusnya, berarti yang bersangkutan telah dibunuh. Hak perdatanya dimatikan. Ia tidak bisa lagi melakukan tugas-tugasnya sebagai wartawan,” katanya.
Belum lagi soal pasal-pasal karet yang selama ini menghantui pers, seperti haatzaai artikelen atau pasal-pasal penyebarluasan perasaan permusuhan dan kebencian dalam masyarakat terhadap pemerintah yang sah. Dalam pasal 154 dikatakan, barangsiapa di depan umum menyatakan perasaan bermusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah RI, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
“Pedang democles yang setiap saat bisa digunakan untuk membungkam pers dan menjebloskan wartawannya ke hotel prodeo itu dipertahankan di RUU KUHP baru. Padahal di Belanda sendiri pasal itu sudah dikubur lebih dari 100 tahun lalu!,” ujar RH Siregar yang juga kolumnis di harian Suara Pembaruan itu.

Perlu dikritisi
Seperti dikemukakan oleh Dewan Pers dalam memorandumnya, terlalu banyak yang perlu dikritisi dalam RUU KUHP nasional ini. Penyusun RUU terkesan terlalu berpihak kepada kepentingan penguasa. “Seolah-olah pemerintah, pejabat dan politisi, bebas dari kesalahan dan kekeliruan, sehingga tidak perlu dikontrol oleh publik,” keluh Siregar lagi.
Ada pantun yang popular di Malaysia sekarang ini. Pantun Melayu itu berbunyi “bong bong tri, yang bohong itu politisi”. Oleh karena itu, fungsi pers-lah untuk mengawasi para politisi, pejabat, penguasa, supaya tidak berbohong.
Jika Lord Acton bilang, kekuasan cenderung korup, makin gila kekuasaan itu, makin gila pula korupsinya. Maka tugas pers-lah untuk mencegah penumpukan kekuasaan dan kekayaan itu. Makanya pers dinamakan the fourth estate, pilar keempat dari demokrasi.
Sekarang pemerintah mengajukan RUU untuk membungkam pilar keempat sebagai institusi yang sebetulnya baik untuk kontrol sosial. Sebagaimana dikemukakan oleh Dewan Pers, paradigma menempatkan kepentingan pemerintah yang sangat kuat dianut oleh KUHP warisan penjajah dapat dimengerti demi melanggengkan kolonialisasi. Tapi, Indonesia bukan negeri yang menempatkan rakyatnya sebagai koloni. Indonesia adalah negara merdeka.
Oleh karena itu, kalau ada produk hukum yang mengarah kepada lex kolonialis derogat lex reformis; harus ditentang. Kalau memang RUU KUHP baru itu melanggengkan produk kolonial sehingga mengalahkan UU Pers produk refomasi, maka kalangan pers tidak boleh tinggal diam. Mereka harus bersatu untuk mengkritisi sebelum pasal-pasal pidana itu menjerat mereka.

Tidak ada komentar: