Kamis, 06 Desember 2007

Penantian Panjang Kata Maaf dari Jepang

Oleh : Akhmad Kusaeni

PERDANA Menteri Jepang Junichiro Koizumi akhirnya mengutarakan satu kata yang paling ingin didengar oleh rakyat Cina dan kebanyakan warga Asia, yaitu, "Maaf".
Berbicara di dalam satu pertemuan KTT Asia Afrika yang juga dihadiri Presiden Cina Hu Jintao di Jakarta, Koizumi melontarkan permintaan maaf yang mendalam atas cacatan kelam masa lalu bangsanya pada masa perang.
Koizumi menyatakan, Jepang secara "adil" mengakui kerusakan dan penderitaan yang ditimbulkan bangsanya dalam aksi agresi kolonialnya di seluruh Asia dengan pengertian perasaan sangat mendalam.
"Pada masa lalu, Jepang, melalui aksi agresi dan kekuasaan kolonialnya, menyebabkan kerusakan luar biasa dan penderitaan bagi rakyat di banyak negara, terutama negara-negara Asia," katanya.
Kata maaf tampaknya bukanlah sesuatu yang paling berat untuk diutarakan sebagimana satu judul lagu menyatakannya. Dan itulah kata "kunci", yaitu "maaf" yang akhirnya dapat mengurangi ketegangan dua raksasa ekonomi Asia itu.
Ekskalasi ketegangan hubungan di antara kedua negara tersebut membayangi KTT Asia-Afrika dan jubelium forum pada 1955 yang kemudian mendorong pembentukan Gerakan Non Blok.
Hubungan kedua negara, selama beberapa pekan terakhir mencapai titik terendahnya selama beberapa dasawarsa terakhir setelah tiga pekan ini terjadi kekerasan dalam aksi protes anti-Jepang di Cina.
Orang-orang melemparkan botol, telur busuk, dan batu-batu ke perwakilan negara itu serta tempat-tempat bisnis di Cina sambil meneriakkan boikot produk-produk Jepang. Mereka menolak keras penerbitan buku teks sejarah Jepang yang dianggap hanyalah tindakan cuci tangan terhadap masa pendudukan mereka di Cina pada 1931-1945.
Mengikuti aksi protes itu, Menteri Luar Negeri Jepang, Nobutaka Machimura, terbang ke ibu kota Cina pada Minggu (17/4). Tujuan utama kunjungan itu adalah untuk meminta pernyataan maaf dan kompensasi dari pemerintah Cina atas segala kerusakan yang terjadi karena kekerasan oleh para demonstran itu, baik di kedutaan besarnya atau pun aset-aset lain yang dimiliki Jepang di Cina.
Tuntutan permintaan maaf dan kompensasi itu dilontarkan setelah pemerintah Cina tampaknya membiarkan begitu saja aksi kekerasan itu terjadi. "Buktinya ada di televisi yang menunjukkan polisi hanya berdiri saat para demonstran menjadi semakin liar," demikian pernyataan yang disiarkan Pusat Media Kementerian Luar Negeri Jepang.
Sebaliknya, Menteri Luar Negeri Cina, Li Zhaoxing, menolak meminta maaf dan memberikan kompensasi, sambil menyatakan kepada Machimura bahwa Jepanglah yang harus dipersalahkan sejak awal atas semua hal yang terjadi, karena gagal menempatkan kenyataan sejarah yang terkait aksi-aksi Jepang di Cina sebelum dan selama Perang Dunia II.
Memprihatinkan
Ketegangan di antara dua raksasa di Asia itu, tentu saja menjadi penyebab bagi keprihatinan utama di antara negara-negara di regional itu. "Setiap peningkatan ketegangan di wilayah kami menjadi keprihatinan bersama, terutama saat Cina dan Jepang terlibat. Kedua negara merupakan mitra penting bagi banyak negara di Asia, " kata Menteri Luar Negeri Malaysia, Syed H Albar, yang juga hadir di tengah KTT AA itu.
Dia mengutarakan harapannya bahwa Cina dan Jepang akan mengurangi perbedaan sehingga tidak ada lagi ada persepsi instabilitas dan kekhawatiran di Asia.
Tiada seorang pun di Asia, bahkan di dunia, menginginkan konfrontasi di antara dua negara penting itu. Jika konfrontasi meruncing, kedua belah pihak akan kehilangan segalanya. Inilah sebabnya para pemimpin Asia dan Afrika berharap bahwa masalah kedua negara bisa emncair dan menjelma menjadi hal yang positif.
Koizumi agaknya mengerti dan waspada atas kekhawatiran ini. Dia mengetahui bahwa keuntungan yang bakal diraih karena bersikap kooperatif jauh lebih banyak ketimbang jika berkonfrontasi. Atas dasar itulah maka dia menyampaikan "pengertian paling mendalam" dan "permintaan maaf dari lubuk hati terdalam" di depan para pemimpin bangsa-bangsa Asia dan Afrika.
Pernyataan maaf atas masa lalu Jepang tentang catatan sejarahnya, merupakan peristiwa pertama yang terjadi dalam lebih dari satu dasa warsa terakhir ini. Seorang PM Jepang mengutarakan hal itu di dalam pertemuan internasional.
Koizumi, yang tengah mencari kesempatan bertemu dengan Hu di sela KTT AA itu, menambahkan, negaranya dipandu oleh prinsip menggunakan semua hal untuk tujuan damai, tanpa niat memakai kekuatan.
Marilah kita maknai pengertian "tujuan damai", karena negara-negara Asia (juga Afrika) tidak ingin investor utama dan mitra dagangnya saling berkelahi. Sebagaimana satu pepatah berbunyi, "Jika dua gajah berkelahi maka pelanduk akan mati di antara mereka."

Tidak ada komentar: