OBJEKTIVITAS PEMBERITAAN
Oleh Akhmad Kusaeni
Banyak tudingan buruk terhadap pers sekarang ini. Pers yang berfungsi menyampaikan informasi kebenaran sering dituduh menghasut, memfitnah dan menyampaikan kabar bohong. Pers yang seharusnya memberikan hiburan yang sehat justeru menyebarluaskan pornografi dan selera rendah. Lalu, pers yang mestinya berperan meningkatkan kecerdasan bangsa, justeru sebaliknya menganggap bodoh pembaca dengan melecehkan akal sehat dalam pemberitaannya.
Mengapa itu terjadi? Karena prinsip-prinsip dasar pers itu diingkari. Karena dasar-dasar dari jurnalistik, seperti cover both side, fairness, accuracy dan objectivity, tidak lagi dijadikan kitab suci yang harus diikuti tanpa kompromi.
Banyak media yang tidak lagi mempersoalkan yang mana fakta dan yang mana opini. Banyak wartawan yang menulis berita dengan emosional, dengan semangat menggebuk, menghantam, memojokkan. Banyak juga pers yang bersikap tidak jujur dan seimbang terhadap semua pihak. Dengan kata lain, banyak media yang menabrak rambu objektivitas pemberitaan.
Padahal, seperti dikemukakan oleh Everret E. Denis dalam "Basic Issues in Mass Communication" (1984), dalam prakteknya objektivitas pemberitaan hanya dapat dicapai dengan tiga cara:
1. pemisahan antara fakta dan opini
2. penyajian berita tanpa disertai dimensi emosional
3. bersikap jujur dan seimbang terhadap semua pihak
JANGAN CAMPURADUKKAN FAKTA DAN OPINI
Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak wartawan yang suka berasyik masyuk dengan opininya sendiri. Mereka berlindung dibalik kata-kata "konon" atau "sumber terpercaya".
”Konon Osama bin Laden ada di Indonesia…"
"Konon pembunuhan hakim agung itu dilakukan oleh kaki tangan Tommy Soeharto…"
"Menurut sumber yang tak mau disebut namanya, cek perjalanan yang tercecer di Gedung DPR itu milik Aberson Marle Sihalolo".
"Wakil Jaksa Agung Fahri Nasution perlu dicopot dari jabatannya karena terlibat dalam penyusunan dekrit Gus Dur, kata sumber yang mengetahui kasus tersebut di Kejaksaan Agung".
Kata "konon" sangat tidak layak untuk sebuah berita. Jika suatu paragraf diawali dengan kata "konon", lalu siapa sumber berita yang dikutip? Selain itu, sangat tidak masuk akal jika kata "konon" digunakan untuk menggambarkan fakta. Kata konon digunakan sebagai opini penulis berita yang tidak bertanggungjawab terhadap kebenaran suatu fakta.
Yang lebih berbahaya adalah penggunaan kata "sumber". Pembaca berhak mengetahui siapa sumber berita tersebut. Yang lebih penting lagi, dengan menggunakan kata "sumber", orang yang identitasnya disembunyikan tersebut, diizinkan untuk menggunakan pers demi kepentingan dirinya atau tujuan politiknya.
Si sumber yang tak disebutkan namanya itu punya kesempatan untuk menyerang lawan politik atau bisnisnya serta menyesatkan publik. Lebih gila lagi, dengan anonimity, dia tak perlu bertanggungjawab atas apa yang disampaikannya.
Dalam kasus skandal Clinton dengan Lewinsky misalnya, baru disadari kemudian bahwa penggunaan sumber berita tak bernama merupakan virus yang sangat berbahaya dalam tubuh politik negara atau tubuh pers itu sendiri.
Dalam setiap angle baru pemberitaan mengenai skandal Clinton-Lewinsky ternyata semuanya didasarkan pada sumber berita tak bernama. Misalnya saja soal pengungkapan soal sperma Clinton di baju Lewinsky sampai kesaksian para jury diberitakan bersumber dari "orang-orang dekat Clinton", "sahabat Lewinsky", "pembantu presiden" atau "agen Secret Services".
Kebanyakan dari omongan mereka tidak benar atau paling tidak tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Anehnya, penggunaan sumber tak bernama ini juga dilakukan oleh koran-koran terkemuka seperti The New York Times dan Washington Post.
Penggunaan secara berlebihan sumber tak bernama ini merupakan keluhan terbesar rakyat Amerika terhadap media massa setempat, melebihi keluhan mengenai bias, sensasional dan ketidakakuratan suatu berita. Ada memang sumber berita yang minta off the record, tapi yang lebih celaka adalah penulis berita yang mengutip sumber tanpa nama untuk membungkus opininya sendiri.
Untuk menghindari keluhan ini dan untuk memenuhi hak pembaca untuk mengetahui sumber berita, maka penggunaan "sumber tak bernama" haram dilakukan. Sumber yang tak mau disebutkan namanya adalah orang yang melempar batu sembunyi tangan. Ia adalah pengecut yang menghindari tanggungjawab.
JANGAN EMOSIONAL DALAM MEMBUAT BERITA
Ada kisah menarik yang harus jadi pelajaran mengenai bagaimana wartawan seharusnya tidak boleh berprasangka dan menulis berita dengan emosional.
Fergal Keane, wartawan BBC London yang bertugas di Afrika Selatan dibangunkan oleh dering telpon informannya jam enam pagi buta.
"Kamu pasti tidak akan percaya," kata si informan tampak bersemangat.
"Ini betul-betul berita besar. Buthelezi mundur sebagai Menteri Utama. Tampaknya ia juga akan menarik diri dari panggung politik," katanya lagi merujuk pada Mangosuthu Buthelezi, pimpinan Partai Inkhata, lawan politik utama Nelson Mandela dari Partai Kongres Nasional Afrika (ANC). Pengikut kedua partai itu selama bertahun-tahun bertikai dalam perang saudara.
Keane langsung melaporkan berita besar itu ke kantor pusatnya di London.
Beberapa saat setelah pengiriman "breaking news" tersebut, telpon berdering lagi. Dari seberang sana, si informan tertawa terbahak-bahak.
"Apanya yang lucu?" tanya Keane tidak mengerti mengapa si informan ngakak di pagi buta.
"April Fool, April Fool!" ujar si informan.
Ternyata lengsernya Buthelezi hanya merupakan gurauan bulan April. Bukan fakta yang sebenarnya.
Dari kasus itu, Keane mendapat pelajaran berharga bahwa ia telah melanggar prinsif utama dari jurnalistik: Selalu mengecek fakta informasi dengan mata kepala sendiri! Sebesar apapun percayanya terhadap informan, wartawan harus mengecek kebenaran beritanya dengan mata kepala sendiri.
Pelajaran kedua bagi Keane adalah "Saya tidak boleh menulis suatu berita hanya karena saya ingin hal itu jadi kenyataan". Pendeknya, jangan menulis secara emosional.
Keane mengakui bahwa berita mundurnya Buthelezi adalah yang sangat ia tunggu-tunggu. Secara emosional ia menginginkan Buthelezi turun. Sebab, kalau tokoh itu lengser, Keane beranggapan situasi Afrika Selatan bakal tenang. Tidak ada lagi pembantaian, tidak ada lagi kuburan massal, dan tidak ada lagi perang saudara.
Kisah April Fool dan lengsernya Buthelezi merubah pandangan hidup Keane sebagai wartawan. Kasus itu memberinya pelajaran besar bahwa "jika berurusan dengan tokoh atau lembaga dimana saya punya kesan negatif terhadapnya, maka saya harus ekstra hati-hati".
Dalam dunia pers yang dipenuhi oleh tokoh-tokoh hitam seperti Milosevic dari Serbia, Saddam Hussein dari Irak, Osama bin Laden dari Afghanistan, atau keluarga Soeharto dan Golkar di Tanah Air, adalah sangat penting untuk mempertanyakan keobjektifan pemberitaan kita.
Tentu saja wartawan sah memiliki perasaan dan penilaian tersendiri terhadap satu tokoh atau satu lembaga. Tetapi perasaan dan emosi pribadi itu tidak boleh menghilangkan objektivitas dari pemberitaan.
Dalam kasus kerusuhan di Maluku misalnya, wartawan cenderung hanyut dalam emosi saat memberitakannya. Akibatnya, bertaburan kata-kata yang terkesan hiperbol dan bombastis. Wartawan yang emosional terkesan mendramatisir dan melebih-lebihkan apa yang terjadi di Maluku. Mereka menggunakan bahasa yang berkonotasi ketimbang yang bermakna harfiah.
Bisa jadi kondisi yang berkembang di Maluku sudah sangat parah, tetapi wartawan tidak boleh mendramatisasinya. Apakah tepat misalnya menggambarkan Maluku sebagai "killing field", sebuah ladang pembantaian macam di Kamboja yang korbannya mencapai dua juta orang? Cukup sepadankah jika Maluku disamakan dengan Bosnia kedua, sehingga memerlukan campur tangan pasukan asing? Apakah benar penggunaan istilah perang salib atau perang suci untuk kerusuhan Maluku?
Apa yang dilakukan kelompok Kristen terhadap kelompok Islam di Maluku sering disetarakan dengan genocide, pemusnahan dan pembersihan etnis. Kelompok Kristen dijuluki sebagai Kristen radikal, anasir separatis, dan label-label yang penuh prasangka lainnya. Sebaliknya, kelompok Islam digambarkan sebagai mujahid Islam dan pasukan jihad, seakan-akan yang terjadi di Maluku sungguh-sungguh perang agama.
JUJUR DAN FAIR TERHADAP SEMUA ORANG
Seorang wartawan Amerika menulis feature tentang keberhasilan seorang wanita miskin membesarkan lima anaknya di kawasan kumuh Bronx, New York. Setelah dimuat di korannya, wartawan itu menelpon wanita kulit hitam itu.
Setelah diangkat, si wartawan langsung menanyakan, "Apakah Ibu menyukai tulisan itu?". Ternyata tidak.
"Keterlaluan…kamu keterlaluan…" kata si Ibu menangis.
"Mengapa menyakitiku? Apa salahku padamu…," kata si Ibu lagi.
Si wartawan bingung tidak mengerti. "Apa salah saya?" tanyanya.
"Kamu menceritakan kepada semua orang bahwa saya ibu lima anak yang tak pernah menikah. Unmarried! Mengapa kamu menulis saya perempuan yang tidak menikah. Mengapa itu menjadi urusan orang," kata si Ibu sambil menutup telepon.
Kisah itu membuat Walter Anderson, si wartawan tersebut, lebih menghargai konsep "fairness" atau kejujuran dalam membuat berita atau tulisan. Fairness adalah menganggap setiap orang sama, tak peduli apapun perasaan dan kepentingan si wartawan.
Dalam kasus tersebut, si wartawan adalah akurat (wanita itu punya lima anak), namun ia merasa tidak fair (menuliskan bahwa ia adalah wanita yang tidak menikah).
Lalu, apakah fair jika misalnya wartawan Indonesia yang memberitakan kehamilan isteri Tommy Soeharto saat suaminya buron? Lalu dibumbui dengan kemungkinan dihamili pengacaranya?
Wartawan mungkin punya perasan anti Soeharto atau greget dengan Tommy Soeharto, tapi kebencian dan ketidaksenangan itu janganlah membuat wartawan bersikap tidak jujur dan fair terhadap semua pihak.***
---------------------
Penulis adalah Wakil Pemimpin Pelaksana ANTARA
Senin, 17 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar