Senin, 17 Desember 2007

BAHASA INDONESIA JURNALISTIK DI ERA REFORMASI

Oleh Akhmad Kusaeni

Kerancuan penggunaan bahasa Indonesia makin marak di era reformasi. Tokoh pers Djafar Assegaf menuding sekarang ini kita tengah mengalami “krisis penggunaan bahasa Indonesia” yang amat serius. Media massa sudah terjerumus kepada situasi “tiada tanggungjawab” terhadap pembinaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Reformasi dan globalisasi seolah menjadi dalih pembenaran untuk kembalinya bahasa gado-gado dalam masyarakat kita. Puritanisme dalam bahasa sudah ditinggalkan. Bahasa asing sudah menyelinap masuk merusak bahasa Indonesia. Ia masih bisa dimaafkan jika ucapan benar, sering ucapannya pun salah.
Kalau kerancuan bahasa ini tidak dihentikan, maka akan mengurangi harkat dan martabat kita sebagai bangsa. Bahkan bisa menjerumuskan kita pada situasi bangsa yang kehilangan kepercayaan diri. Seolah-olah kalau tidak dicampur dengan bahasa asing, kita minder sebagai penutur bahasa Ibu kita. Padahal, pepatah mengatakan bahasa menunjukkan bangsa.
Pers banyak andilnya di dalam merusak bahasa Indonesia. Tuduhan itu memang ada benarnya. Itulah memang kenyataan faktanya. Namun, kiranya perlu dipahami bahwa persoalan teknis dan keterbatasan wartawan terkadang memaksa wartawan untuk tidak mengindahkan kaedah bahasa, karena tujuan menyajikan berita kepada publik dengan cepat. Ada yang bilang berita adalah karya yang tergesa-gesa.
Tapi sebetulnya, ada faktor lain yang membuat pers tertentu justeru dengan kesadaran dan kesengajaan tidak memperdulikan kaidah bahasa yang santun, baik dan benar. Atas nama pasar digunakan bahasa-bahasa yang bombastis, sensasional, erotis, vulgar. Ada juga pers yang senang menggunakan bahasa orang marah. Judul-judulnya dibuat sedemikian rupa dan mengesankan orang yang sedang “ngelabrak” atau paling tidak “ngedumel”, seperti “Megawati Budeg” atau “Anggota DPR seperti ikan lele berebut kotoran”. Jika bahasa menunjukan bangsa, maka dengan membaca koran tersebut maka orang akan menganggap kita sebagai bangsa yang marah, yang mencaci maki dengan bahasa-bahasa kotor apa saja yang terjadi di sekeliling kita.
Disamping pers mempunyai andil dalam merusak bahasa, pers juga besar jasanya di dalam menyebarluaskan penggunaan kata-kata baru, istilah baru dan ungkapan-ungkapan baru. Jadi, dosa merusak bahasa dan pahala menyebarkan penggunaan istilah dan kata-kata baru oleh pers boleh dikatakan berimbang.
Kata-kata dari bahasa asing yang muncul di zaman reformasi dan diperkenalkan oleh pers antara lain KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), kroni, konspirasi, proaktif, arogan, sofistikasi, rekonsiliasi, klarifikasi, provokator, madani, hujat, makar dan macam-macam lagi.
Istilah-istilah itu sudah ada dalam kamus. Tetapi selama ini tidak terpakai secara umum, atau hanya terbatas di kalangan tertentu saja. Tiba-tiba kini, utamanya setelah reformasi, tinggi sekali frekuensi pemakaiannya karena pers gencar memakai dan memperkenalkan istilah-istilah itu dalam pemberitaannya.
Misalnya kata madani. Meski sudah ada di kamus, baru pada era reformasi istilah ini dikenal secara luas. Apa madani itu? Padanannya dalam bahasa Inggris adalah civil society, yang arti sebenarnya masyarakat beradab, masyarakat sejahtera, berbudaya dan masyarakat yang aman.
Jadi baik sekali artinya, sehingga pers tergerak mempromosikan penggunaannya. Memang masyarakat madani-lah yang kita dambakan. Madinah (kota suci di Saudi Arabia) adalah salah satu bentuk dari kata madani. Kata tamaddun (peradaban) juga berakar pada kata madani.
Pers jugalah yang memperkenalkan istilah panas hujat atau hujah. Semula artinya adalah fitnah. Menghujat artinya memfitnah. Soeharto sering dihujat oleh masyarakat atas tindakan-tindakannya menumpuk kekayaan yang berasal dari harta rakyat. Dalam kalimat itu dihujat telah diberi arti yang lebih kuat yaitu dituntut atau bahkan dikutuk.
Sekarang orang-orang atau golongan yang bertentangan sering hujat menghujat, tuntut menuntut. Jika satu kelompok ingin cepat mendapat kekuasaan dalam suatu negara dengan menggunakan segala cara, mereka mengadakan makar. Artinya, perbuatan yang menuju pada perebutan kekuasaan. Pers-lah yang mempopulerkan istilah ini seiring dengan banyaknya kelompok atau orang yang dituduh melakukan makar.
Dahulu mana pernah kita dengar kata makar itu. Sekarang istilah itu telah memasyarakat seperti juga kata madani. Istilah kroni juga demikian. Kroni adalah konco-konco atau sahabat-sahabat sang penguasa. Nepotisme yang kita temukan dalam buku-buku sejarah, sekarang telah menjadi pengetahuan umum yang meluas pula.
Yang salah kaprah adalah ketika pers mempromosikan penggunaan kata provokator.
Peristiwa-peristiwa kerusuhan dan pemboman yang banyak terjadi di Indonesia membuat istilah ini makin popular saja. Padahal istilah itu kurang tepat, karena dalam bahasa Indonesia semestinya ditulis provokatur, seperti juga inspektur, direktur, kondektur yang berasal dari bahasa Belanda – inspecteur, directeur, condecteur. Dalam bahasa Inggris juga provocateur. Jadi, tentunya diindonesiakan menjadi provokatur, bukan provokator.
Pedoman Umum Pembentukan Istilah yang dikeluarkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1975 diatur penggunaan akhiran ir, ur dan or. Akhiran eur (Belanda) menjadi ir dan ur. Misalnya, amateur menjadi amatir atau formateur menjadi formatur. Sedangkan yang berakhiran or (Inggris) tetap or. Misalnya actor menjadi aktor, dictator menjadi dictator, corruptor menjadi koruptor.

Gaya tersendiri
Penulisan berita mempunyai gaya tersendiri, yaitu langsung menjamah materi dan tidak berbunga-bunga. Menulis berita harus langsung ke masalahnya dan jangan bertele-tele, karena menjemukan adalah musuh utama dalam penulisan berita.
Tegasnya, gaya bahasa berita adalah gaya bahasa yang sederhana, kalimat yang pendek-pendek dengan kata-kata yang jelas dan mudah dimengerti serta langsung mengenai pokok persoalannya. Dalam gaya penulisan berita kata-kata mubazir harus dihindarkan.
Gaya bahasa yang unik itu disebabkan pembaca berita berbeda dengan pembaca novel atau kesustraan. Seorang pembaca koran adalah orang yang hidup dalam alam bergegas di tengah hiruk pikuknya perkotaan. Di kota-kota besar malahan pembaca koran sering dianggap sebagai headline readers atau pembaca kepala berita.
Ia tidak sempat membaca secara mendalam atau memiliki waktu yang cukup untuk membaca. Yang diingini pembaca semacam itu adalah segera mengetahui isi informasi dan keterangan yang disampaikan dalam sebuah berita.
Ada sejumlah kecenderungan dalam pers belakangan ini yang menimbulkan kekhawatiran akan perkembangan bahasa Indonesia.
1. Bertambahnya jumlah kata-kata singkatan atau akronim.
2. Banyaknya penggunaan istilah-istilah asing atau bahasa asing dalam suratkabar.
Jika kedua kecenderungan itu tidak dijaga secara ketat, pasti akan menghancurkan perkembangan bahasa Indonesia. Sebagai contoh, mengenai akronim yang bersimaharajalela. Banyak akronim yang dibuat oleh militer atau pihak lain untuk kepentingan dinas intern masuk ke dalam surat kabar, misalnya Jakarta Utara disingkat Jakut atau Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi jadi Jabotabek.
Ada kata yang sebetulnya berasal dari akronim tetapi sudah diterima bagaikan sebuah kata yang mempunyai sebuah pengertian tertentu. Misanya tilang yang asalnya akronim dari “terbukti melanggar” atau rudal dari “peluru kendali”.
Orang tidak lagi mengatakan “Saya kena denda akibat terbukti melanggar aturan lalulintas”, tetapi dengan mudah “Saya kena tilang di jalan anu…”. Begitu juga orang tidak mengatakan “Irak dihujani peluru kendali AS”, melainkan lebih suka mengatakan “Irak dirudal AS”.
Seiring dengan munculnya istilah reformasi, bahasa Indonesia dilanda singkatan dan akronim baru yang bertubi-tubi seperti Krismon, Sembako dan KKN. Penggunaan kata-kata itu cepat sekali meluas, karena maknanya berhubungan langsung dengan situasi krisis ekonomi yang berkepanjangan dan membuat rakyat terjepit.
Dari situasi krisis itu timbul kejengkelan terhadap makna kata-kata tersebut, yang tidak cocok dengan makna semula. Kepanjangan dari singkatan dan akronim itu diganti dengan kepanjangan baru yang berbentuk ejekan. Sembako yang sebelumnya singkatan dari sembilan bahan pokok diplesetkan menjadi semua bahan kosong atau yang lebih galak menjadi semakin bertambah korupsinya. Tentu ejekan itu merupakan sentilan kepada pemerintah yang telah gagal melaksanakan kebijakannya.
RCTI, yang singkatan sebetulnya Rajawali Citra Televisi Indonesia, diubah menjadi Ratu Cendana Turunan Iblis. Toshiba, merek alat-alat elektronika buatan Jepang itu diplesetkan menjadi Tommy, Sigit, Bambang. Timor diplesetkan menjadi Tommy ini memang orang rakus. Timor adalah mobil Korea yang monopolinya dipegang Tommy Soeharto.

Snobisme berbahasa
Penggunaan istilah-istilah asing juga tidak sedikit. Ini karena banyak istilah-istilah asing yang memang sukar dicari padanannya dalam bahasa Indonesia. Tapi ada juga kata-kata yang sebetulnya sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia, demi gagah-gagahan dan sok tetap dipergunakan bahasa asing. Penggunaan bahasa asing dianggap sebagai simbol kedudukan dan intelektualitas dalam masyarakat Indonesia.
Banyak orang dihinggapi snobisme dalam berbahasa. Agar terkesan pinter dan gagah, orang itu senang menggunakan istilah-istilah teknis dan asing yang berat-berat. Padahal, penggunaan istilah berat itu membuat kening pembaca berkerut dan bertanya-tanya apa gerangan yang dimaksud. Berikut ini contohnya:
“Asumsinya kemungkinan besar teks Julius Caesar memberi sedikit makna assosiatif kolektif terhadap penguasaan yang bangkrut dan problem suksesi politik secara paksa (dikarenakan jaringan elite politik mengalami korosi mental dan korosi moral kuasa…” (Republika, 20 Juli 1997).
Itulah contoh snobisme berbahasa yang memperlihatkan kecenderungan seolah menghina dan meremehkan pembaca yang dianggap lebih rendah dan lebih bodoh. Padahal, snobisme bertentangan dengan sikap ilmiah itu sendiri. Tugas ilmuwan dan wartawan adalah mempermudah yang sulit-sulit, bukan sebaliknya mempersulit yang mudah-mudah. Jangan sampai pembaca menggeleng-gelengkan kepala karena tak mengerti apa maksud sang penulis.
(Akhmad Kusaeni adalah Kepala Redaksi Umum LKBN ANTARA, bahan tulisan ini berasal dari berbagai sumber)
[1] Makalah pada Diskusi Penggunaan Bahasa Indonesia pada Media Massa Cetak dan Elektronik, Bulan Bahasa dan Sastra Tahun 2002, Kerjasama antara Pusat Bahasa dan LKBN ANTARA di Jakarta 9 Oktober 2002.

Tidak ada komentar: