Kamis, 22 Juli 2010

Ledakan Tabung Tak Boleh Hentikan Konversi Gas

Oleh : Akhmad Kusaeni

Jakarta (ANTARA News) - Ledakan tabung gas telah memakan banyak korban. Itu musibah yang sangat tragis dan memilukan. Ibu-ibu rumah tangga ketakutan. Mereka membuang tabung gas yang dulu diberikan pemerintah secara gratis dalam program konversi minyak tanah ke gas.

Secara demonstratif, di depan kamera televisi, sejumlah ibu menggelindingkan puluhan tabung gas 3 kg di tengah jalan dalam sebuah unjuk rasa di Jakarta. Tabung gas mirip buah melon warna hijau itu ditempeli tulisan yang menyeramkan: BOM!

Pesan yang ingin disampaikan adalah ledakan tabung gas itu sama dengan teror. Kehancuran yang ditimbulkannya sangat tragis dan memilukan.

Seorang anak bernama Ridho, korban ledakan gas, dengan muka dan sekujur tubuh penuh luka bakar, dibawa ibunya ke Istana Presiden. Ibu dan anak yang datang dari Jawa Timur itu, dengan berurai air mata, meminta bantuan Presiden SBY. Petugas Istana mengantar Ridho ke Pertamina.

Televisi melihat sebuah drama. Ridho dibawa ke RSCM dan ditayangkan di televisi. Pemirsa menangis. Sumbangan berdatangan. Pejabat dan tokoh ramai besuk ke rumah sakit. Dengan bantuan masyarakat dan pemerintah, Ridho akhirnya bisa dirawat untuk diatasi luka bakarnya.

Selain mengangkat kasus Ridho, stasiun televisi juga menayangkan korban-korban lain yang tidak kalah memilukannya. TVOne, misalnya, mendatangkan ke studio seorang bayi berumur sekitar satu bulan. Si bayi di operasi caesar dari ibunya yang sekarat akibat ledakan tabung gas 12 kg yang menghancurleburkan rumahnya di Tangerang. Bayi wanita itu begitu lahir sudah sebatang kara. Ayah, ibu dan kakaknya, tewas akibat ledakan tabung gas.

Ini betul-betul fakta. Bukan infotainment yang dinilai sensasional dan berlebihan. Sejak Juni 2010 terjadi setidaknya 33 ledakan tabung gas ukuran 3 kg. Saking maraknya, seorang profesor menulis artikel opini di suratkabar dengan judul bombastis: "Tabung Gas: Teroris Baru Indonesia".

Tabung gas telah menjelma menjadi momok yang menakutkan. Trauma itu telah membuat masyarakat ingin kembali ke minyak tanah.

Salah kaprah
Kecenderungan ini salah kaprah. Bolehlah menganggap tabung gas sebagai teroris. Itu diakui sangat mencekam dan menakutkan. Sebab, kalau tidak dicegah dan dilakukan berbagai antisipasi, ledakan tabung gas akan memakan korban jauh lebih banyak lagi.

Tapi bukan berarti dengan maraknya ledakan, lalu program konversi gas dianggap gagal dan perlu dihentikan.

Konversi gas adalah jalan keniscayaan. Hampir semua negara di dunia, kecuali sebuah negara di Afrika yang masih mempertahankan penggunaan minyak tanah, telah beralih ke gas.

Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan program konversi minyak tanah ke gas sejak tiga tahun lalu sepenuhnya menjadi tanggungjawab pemerintah yang ingin mengurangi subsidi BBM. Pemerintah waktu itu sangat yakin gas lebih murah dan aman dibanding minyak tanah.

Keamanan penggunaan gas itu bisa dibuktikan dengan statistik bahwa dalam tiga tahun hanya terjadi 36 kali ledakan gas dari 70 juta tabung gas. Ini berarti, dari setiap dua juta tabung, hanya satu yang meledak.

Angka ini kalah dramatis dari kecelakaan akibat listrik. Di Jakarta saja, dalam setahun ada 600 hingga 800 kali kebakaran akibat korsleting listrik. Dahulu, waktu minyak tanah menjadi primadona, jumlah kasus kebakaran akibat kompor mleduk lebih banyak lagi.

Jadi, keinginan kembali ke minyak tanah, adalah langkah sangat mundur. Beban pemerintah sangat berat karena harus mengeluarkan subsidi yang mencapai nilai Rp50 triliun. Kini, penggunaan gas sudah meringankan beban subsidi itu.

Kalau pun ada masalah, cara penanganannya yang harus diperbaiki. Tidak ada energi yang bebas dari resiko. Jadi, bukan konversinya yang dipersoalkan, tapi adalah cara pemakaian dan pengamanannya yang harus dicarikan solusinya. Ledakan tabung gas, tidak boleh menghentikan program konversi gas.

Harus dievaluasi
Program konversi gas ke depan harus dievaluasi dengan matang. Faktor keamanan dan keselamatan harus benar-benar diperhatikan. Jangan sampai ada kesan, konversi gas hanya untuk solusi pragmatis, yaitu mengurangi subsidi BBM.

Pemerintah, aparat, dan semua pihak harus berusaha agar ledakan tabung gas tidak boleh terjadi lagi. Jangan lagi ada nyawa melayang akibat tabung melon yang meledak.

Untuk itu, pengawasan harus diperketat. Mulai dari pengadaan tabung gas, pengisian maupun agen. Operasi-operasi yang dilakukan oleh pihak kepolisian membuktikan banyak tabung gas yang tidak sesuai standar. Aparat juga menemukan kecurangan dalam pengisian yang tidak sesuai dengan berat yang tertera dalam tabung.

Satu hal penting lagi adalah jangan pernah menyepelekan masalah sosialisasi. Seolah-olah jika sudah mengumumkan ke media massa unsur masyarakat akan mengerti dan selanjutnya mendukung program konversi tersebut. Masyarakat jadi lalai jika pada saat tertentu selang harus diganti.

Ini karena sosialisasi tidak terlaksana dengan baik. Akibatnya harus dibayar dengan mahal. Kelalaian mengganti selang tersebut membuat tabung menjadi bocor sehingga terjadi ledakan yang membahayakan.

Jadi, ledakan tabung gas itu sebetulnya resiko yang bisa diatasi dan dicegah seminimal mungkin. Jika pengamanan, pengawasan, dan sosialisasi dilakukan dengan sebaik-baiknya, tentu tabung gas bukan teroris baru di Indonesia.

Tabung gas bukan sebuah astagfirullah, tetapi sebuah berkah yang harus disambut dengan alhamdullilah.

Sampai saat ini konversi minyak tanah ke gas sudah menyelamatkan subsidi sebesar Rp50 triliun. Jelas manfaat konversi gas lebih besar dari mudharatnya.

Oleh karena itu, ledakan tabung melon tidak boleh menghentikan program konversi minyak tanah ke gas.

Ledakan itu harus dicegah. Pengamanan diperkuat. Pengawasan diperketat. Sosialisasi ditingkatkan. Bukan konversi gasnya yang dihentikan. (*)

Kamis, 08 Juli 2010

Apa Maumu Malaysia?

Oleh : Akhmad Kusaeni


Negeri jiran Malaysia selalu membuat greget sebagian pihak di Indonesia. Derita Manohara, soal TKI, klaim atas reog Ponorogo, sampai konflik Ambalat, membuat banyak orang Indonesia geram terhadap Malaysia.

”Maumu apa, Malaysia?” begitu judul buku yang ditulis oleh Genuk Ch. Lazuardi, seorang WNI yang tinggal di Kuala Lumpur, menjelaskan kemarahan warga atas jirannya yang sok main comot atas budaya dan main caplok atas wilayah Indonesia di perbatasan.

Buku yang diterbitkan oleh Gramedia itu diluncurkan di Jakarta, 7 Juli 2010. Dibahas oleh Dr. Alfitra Salam dari LIPI dan Asro Kamal Rokan dari Jurnal Nasional serta Ketua Ikatan Kesetiakawanan Wartawan Indonesia-Malaysia Saiful Hadi, Pemimpin Redaksi Kantor Berita ANTARA.

Mereka membahas apa yang menjadi dasar biang kerok dari panas dinginnya hubungan dua negara serumpun. Salah satunya adalah Malaysia yang sebelumnya saudara muda Indonesia, kini mau menjadi saudara tua sehingga terkesan pongah dan meminjam istilah Betawi: ngelunjak.

Dibanding kebesaran dan kekayaan Indonesia, Malaysia tentu tidak seberapa. Para pemimpin Malaysia dulu sangat mengagumi dan menghormati pemimpin Indonesia. Mantan Perdana Menteri Mahathir Muhammad sangat memuja Soekarno.

”Awak ini apalah dibanding Soekarno. I am just a little Soekarno,” kata Mahathir yang doyan bener makan nasi Padang di kedai Natrabu, Jl. Sabang, Jakarta.

Mahathir hanyalah Soekarno kecil seperti diakuinya sendiri. Ia juga sangat menghormati Presiden Soeharto. Mahathir sangat terkesan dengan cara Soeharto mengelola negeri dengan banyak puak, namun bisa dipersatukan dalam satu negara kesatuan Republik Indonesia. Sedang di Malaysia, yang hanya tiga puak –Melayu, China dan India- sulit sekali dipersatukan. Konflik etnis sangat laten di Malaysia.

Situasi berubah
Namun situasi menjadi lain ketika Soeharto lengser pada Mei 1998 dan Indonesia dihajar krisis ekonomi yang membuat negeri ini terpuruk. Krisis ekonomi yang berujung pada krisis politik, membuat pemerintahan di Indonesia silih berganti dengan cepat.

Gonjang ganjing politik membuat Indonesia tak sempat memulihkan ekonominya dengan cepat seperti negeri-negeri jirannya. Sementara Indonesia terpuruk, Malaysia bangkit. Ekonominya melesat. Proyek mobil nasionalnya dikembangkan. Menara kembar Petronas didirikan. Ibukota dipindahkan dari Kuala Lumpur ke Putera Jaya. Bandara internasionalnya juga direlokasi dari Subang ke Sepang yang lebih modern.

Perusahaan-perusahaan Malaysia merambah ke luar negeri. Perkebunan sawit di Sumatra dan Kalimantan banyak yang dimiliki perusahaan berlabel Berhad. Bank Niaga diakuisi sahamnya menjadi CIMB-Niaga. Maskapai AirAsia menguasai pasar angkutan udara murah meriah. Di bidang budaya dan pariwisata, Malaysia memantapkan diri sebagai sejatinya Asia (Truly Asia).

Masalah sengketa perbatasan yang sebelumnya dipetieskan atas nama ”ASEAN way” dan penghormatan terhadap Soeharto sebagai pemimpin senior bangsa-bangsa Asia Tenggara, tiba-tiba saja dibuka dan diangkat ke Mahkamah Internasional. Sipadan dan Ligitan akhirnya beralih ke pangkuan Malaysia. Produk budaya Indonesia dipatenkan sebagai produk Melayu Malaysia.

Ini yang membuat pusing saudara tua, Indonesia. Sedikit saja terjadi gesekan, misalnya ada TKI yang dipukuli majikan atau pergerakan Angkatan Laut Malaysia di Ambalat, sudah cukup membuat massa turun ke jalan. Atau bahkan, pernah terjadi, melakukan sweeping atas warga Malaysia di Indonesia.

”Ganyang Malaysia, kecuali Siti Nurhaliza,” adalah ungkapan yang sering muncul ketika situasi hubungan Indonesia-Malaysia memanas. Konfrontasi dengan Malaysia pada masa lalu selalu menjadi trauma yang sulit dihapus di benak warga dua negara.

Itulah yang membuat gemerutuk gigi pengunjuk rasa yang geram: ”Maumu apa sih, Malaysia?”.

Tak mau apa-apa
Ternyata, menurut Genuk Ch. Lazuardi, Malaysia itu tidak mau apa-apa. Ia sebagai bangsa merdeka yang berdaulat, tentu saja ingin hidup sejajar dan berdampingan dengan saling menguntungkan. Semua negara punya tanggung jawab untuk mengupayakan kepentingan nasionalnya. Itu tentu sah-sah saja.

”Janganlah terlalu romantis dan emosional dalam berhubungan dengan Malaysia. Jangan terlalu menganggap kita sebagai bangsa serumpun, lalu kita merasa berhak menjewer dan memarahi saudara muda kita yang kini tegak lebih baik,” kata Asro Kamal Rokan.

Persoalannya, menurut Asro, bukanlah ”Apa Maumu, Malaysia?”. Akan tetapi sebenarnya adalah ”Apa Maumu, Indonesia?”. Titik tolaknya adalah internal Indonesia yang harus membenahi diri supaya tidak merasa tersalib oleh Malaysia yang melesat maju.

Kejelitaan Malaysia adalah dia melaksanakan konsep-konsep yang sebetulnya tidak orisinil Malaysia, tetapi sebetulnya bisa saja ide datangnya dari Indonesia. Para pemimpin Indonesia pernah sibuk mau memindahkan Ibukota Jakarta yang sudah sumpek ke Jonggol. Tapi ribut terus sehingga tidak pernah terjadi. Malaysia diam-diam membangun kota baru Putra Jaya dan memindahkan ibukotanya tanpa banyak wacana.

Proyek mobil nasional juga Indonesia yang punya gagasan jitu. Tapi, lagi-lagi ribut dan ribet terus. Akhirnya Malaysia yang kembangkan mobil nasional sehingga sekarang sudah bisa diekspor termasuk ke Indonesia. Indonesia gembar-gembor tentang perlunya hak milik intelektual dilindungi, tapi lupa mempatenkan produk budayanya sendiri. Jangan salahkan kalau Malaysia mempatenkan reog atau rendang Indonesia.

Jadi, kesimpulannya, yang sebetulnya membuat hubungan Indonesia-Malaysia sering kisruh adalah pepatah Inggris: ”Neighbor grass is always greener”. Rumput tetangga itu selalu membuat iri karena senantiasa kelihatan lebih hijau.

Oleh karena Malaysia adalah tetangga dekat, maka wajar kalau ada gesekan dan benturan. Dengan Ghana atau Senegal, Indonesia tidak pernah ada konflik atau persoalan, karena negeri di Afrika yang jauh itu bukan tetangga.

Rumput Ghana atau Senegal tidak pernah kelihatan oleh masyarakat Indonesia. Tapi rumput Malaysia ada di depan mata. Itu yang membuat iri. Apalagi kalau jiran itu sepertinya mau mengambil milik kita. Geram rasanya. Itu yang membuat gigi gemerutuk. Maumu apa sih Malaysia? (***)

COPYRIGHT © 2010

Dimuat di :
http://antaranews.com/kolom/?i=1278567507

Masyarakat Ceritakan Semua

Oleh : Akhmad Kusaeni

Jakarta (ANTARA News) - Kebebasan pers di Indonesia sangat mengherankan kalangan media dan pejabat negeri jiran, Malaysia. Itu terungkap dalam pertemuan Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia-Indonesia (Iswami) di Jakarta, Selasa (29/6).

Hadir ketika itu Wakil Perdana Menteri Malaysia Tan Sri Dato Muhyiddin bin Haji Mohd Yassin dan tokoh-tokoh pers negeri jiran. Dari Indonesia hadir para pemimpin redaksi dan tokoh pers seperti Asro Kamal Rokan dari Jurnal Nasional, August Parengkuan dari Kompas, Ikhwanul Kiram dari Republika, dan Don Bosco Salamun dari SCTV.

Dari pertemuan resmi sampai ke meja makan, wartawan-wartawan Malaysia banyak bertanya dan geleng-geleng kepala atas pemberitaan kasus media mesum Ariel-Luna Maya- Cut Tari dan diborongnya majalah Tempo karena mengungkap korupsi di tubuh sejumlah oknum jenderal Polri.

"Mereka heran, pers di Indonesia sangat berani. Di Malaysia tidak seperti di Indonesia," kata Ketua Iswami Saiful Hadi, yang juga Pemimpin Redaksi LKBN Antara.

Wakil PM Malaysia Tan Sri Dato Muhyiddin membenarkan bahwa pers di Malaysia tidak sebebas di Indonesia, karena ada aturan hukum dan aturan main yang berbeda.

"Media di Malaysia dibatasi oleh tanggung jawab sosialnya," kata Muhyiddin.

Berbeda dengan Indonesia, karena pers di negeri ini memiliki kebebasan yang hampir absolut.

"Apa saja bisa diungkap dan diberitakan. Tidak ada lagi yang bisa disembunyikan," kata Ilham Bintang, pengurus PWI Pusat.

Pemilik tabloid dan acara infotainment di televisi, Cek&Ricek, itu memberi perumpamaan yang membuat wartawan dan pejabat Malaysia terbengong-bengong. Ilham mengatakan pers di Indonesia bisa menyiarkan dan menayangkan apa saja sekehendak hatinya, kecuali dua hal.

"Pertama, merokok di pompa bensin. Kedua, memakai sepatu ke dalam mesjid," kata Ilham.

"Maksudnya apa?, tanya Wakil PM Malaysia.

"Ya, kalau wartawan melakukan dua hal itu, bunuh diri namanya," Ilham menjelaskan.



Tembok bisa bicara

Indonesia telah memasuki apa yang disebut sosiolog sebagai

"The Tell-All Society", yaitu masyarakat-ceritakan-semua. Atau menurut istilah Ilham, di Indonesia tembok dan dinding pun bisa bicara.

Apa yang terjadi di tempat tidur, yang seharusnya tertutup dan rahasia, bisa terbuka jadi konsumsi publik seperti video syur Ariel cs.

Rekening-rekening oknum jenderal polisi yang selama ini tidak pernah bisa disentuh, apalagi dijangkau publik, maka isa dengan bebas didapat wartawan dan dipublikasikan. Dokumen-dokumen rahasia seperti berita acara pemeriksaan dan laporan keuangan bisa mudah diberitakan. Skandal demi skandal dibongkar dan tersiar di media.

Oleh karena masyarakatnya sudah jadi "The tell-all society", sehingga tidak heran bila praktik sejumlah medianya juga "Print it and be damned"?, siarkan dan peduli setan! Banyak media yang tidak memperhatikan dampak dari apa yang diberitakannya.

Joseph Kirschke dari Pacific Media Watch mengatakan pers Indonesia di era reformasi seperti kuda liar yang lepas dari kandang.

"Media di Indonesia berputar bebas sebebas-bebasnya," katanya membandingkan dengan apa yang terjadi di negara tetangga, khususnya Malaysia dan Singapura yang belum "free-wheeling" seperti Indonesia.

Sejumlah media merasa punya kebebasan penuh untuk menulis dan melaporkan apa saja yang dianggap "fit to print". Mereka menyiarkan fitnah, laporan palsu, fakta menyesatkan dan opini-opini yang menjurus kepada pembunuhan karakter.


Terancam dibunuh

Ini berbeda sekali dengan zaman Orde Baru yang semua pemberitaan persnya aman dan terkendali. Dari segi kebebasan pers tentu ini sangat buruk. Sejumlah media yang berani melaporkan hal-hal yang tabu atau menyerang rezim dan pejabatnya dibreidel. Ingat nasib Tempo, Detik dan Editor yang diberangus bulan Juni 1994.

Bahkan wartawan yang berani melaporkan korupsi, bisa terbunuh semacam kasus Udin di Yogyakarta. Orde baru berusaha membungkam pers karena kebebasan dianggap akan berujung pada anarki, konflik dan ketidakstabilan.

Pers di zaman Soeharto sulit sekali melaksanakan fungsinya sebagai "agenda setter" dalam arti mengangkat atau memburu satu isu yang menjadi perhatian publik seperti korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Pers cenderung melulu jadi alat informasi bagi kegiatan pejabat pemerintah.

Sebelum 1998, berita utama di koran penuh dengan berita pernyataan pejabat dan kegiatan pemerintahan. Setelah Soeharto lengser, maka berita utama koran beralih mengkritik pejabat dan pemerintah. Narasumber berita juga beralih dari dominasi pejabat ke dominasi publik, khususnya yang disebut pengamat dan pegiat LSM.

Hanya koran Indonesia yang bisa menulis berita yang mengolok-olok presiden, misalnya Megawati Soekarnoputri. Rakyat Merdeka misalnya menulis berita berjudul "Mulut Mega Bau Solar" atau "Mega Hanya Sekelas Bupati".

Hanya di televisi Indonesia, pimpinan negeri bisa diparodikan dan jadi bahan lawakan seperti di acara "Republik Mimpi" atau "Demozracy"

Kalau presiden saja bisa jadi bulan-bulan, maka semua pejabat di negeri ini bisa dijadikan sorotan dan kritikan. Apalagi cuma sekedar jenderal polisi yang punya rekening" gendut" dan mencurigakan.

Intinya adalah tidak ada lagi yang ditakuti oleh pers Indonesia yang bebas. Intinya tidak ada lagi yang tidak bisa dibongkar oleh masyarakat-ceritakan-semua. Hanya ada dua larangan yang masih dipatuhi karena kalau itu dilanggar berarti bunuh diri:

1. Merokok di pompa bensin.

2. Memakai sepatu ke dalam mesjid.(*)

Dimuat di :
http://www.antaranews.com/berita/1277896144/masyarakat-ceritakan-semua