Senin, 14 Februari 2011

KOMUNIKASI ISTANA PERLU DIREVITALISASI

Oleh Akhmad Kusaeni

Presiden dan pemerintah belakangan ini terus jadi sorotan media. Apa saja sepertinya ditanggapi negatif. Dari mulai kebohongan publik, gaji presiden, peredaran buku keluarga Istana, sampai kasus Cikeusik dan Temanggung yang disimpulkan sebagai negara gagal dalam melindungi warganya.
Untuk mengatasi kekisruhan dan simpang siurnya pemberitaan mengenai pelaksanaan pemerintahan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono perlu lebih efektif
dalam pengelolaan berita (news management). Istana Negara perlu melakukan revitalisasi sistim komunikasi dan public relationsnya.
Mengapa harus direvitalisasi? Sebab arus berita yang tak terkendali dari Istana dan pemberitaan yang penuh kejutan karena tak dikelola dengan baik, justeru membuat suasana gonjang-ganjing dan panas dingin. Selain tidak menguntungkan, pada akhirnya itu menggerogoti kredibilitas SBY dan pemerintahannya sendiri.
Selama ini, pemerintah terkesan reaktif dan responsif terhadap agenda setting pemberitaan di media massa. Pemerintah cenderung menari di atas gendang yang ditabuh pihak lain, katakanlah isu kebohongan publik yang dilontarkan tokoh lintas agama. Padahal, pemerintah sebetulnya punya kemampuan yang jauh lebih besar dari pihak manapun untuk melakukan agenda setting pemberitaan.
Kemampuan pemerintah untuk menabuh gendang sangat luar biasa. Pemerintah punya informasi dan data yang tak terhingga. Pemerintah punya pejabat-pejabat yang menarik untuk diberitakan, seperti Presiden, Wapres, para Menteri Kabinet, Gubernur, dan lain-lain, karena pers bekerja pada hukum besi ”name makes news”: nama membuat berita.

Punya kemampuan pengaruhi pers
Menurut Michael Parenti dalam buku Inventing Reality: The Politics of the Mass Media, pemerintah punya kemampuan luar biasa untuk mempengaruhi media massa dengan memberikan informasi (atau disinformasi) yang dibuat secara sadar untuk menghadirkan suatu cara pandang atau kesan tertentu.
Gedung Putih, misalnya, mengontrol secara ketat pemberitaan media massa bukan dengan cara breidel atau mengerahkan massa untuk unjuk rasa atau menyerang kantor koran dan majalah yang bersuara miring terhadap pemerintah.
Tim komunikasi Gedung Putih (sering disebut sebagai spin doctors) mengontrol media dengan menutup pilihan bagi wartawan untuk mengakses informasi dari Gedung Putih dan pejabatnya. Wartawan hanya punya akses informasi dari Gedung Putih melalui pertemuan terjadwal, briefing harian juru bicara presiden, pidato resmi, pidato radio akhir pekan, dan konperensi pers. Lain dari itu, saluran informasi dibuat seret.
Bahkan, menurut Parenti, Gedung Putih mempunyai kapasitas tersendiri untuk menghentikan liputan mengenai masalah kontroversial dengan cara menolak wawancara, menahan informasi, atau memberikan informasi yang menyesatkan bilamana perlu. Metoda seperti itu digunakan secara efektif oleh pemerintah AS untuk mengelola arus informasi dari Gedung Putih kepada media massa.
Tidak ada salahnya, metoda yang baik di Gedung Putih juga digunakan di Istana Merdeka. Sementara praktik-praktik buruk komunikasi di Gedung Putih, seperti memelintir dan menyesatkan informasi, tidak perlu ditiru oleh Istana Negara.
Presiden, para menteri dan pejabat tinggi lainnya di Amerika Serikat, mempengaruhi agenda pemberitaan media massa dengan memberikan informasi mengenai kebijakan pemerintah dan kegiatan resmi melalui keterangan pers, wawancara, pidato, siaran pers, dan pertemuan umum lainnya.
Presiden AS sendiri memiliki kemampuan luar biasa untuk memproduksi berita sesuai dengan yang diinginkannya demi menjaga citra dan dukungan terhadap pemerintahannya. Hal ini karena seorang presiden tahu betul bahwa media akan meliput apa saja yang dilakukan dan diomongkannya.

Membuat agenda pemberitaan
D.L. Paletz dalam Media, Power and Politics lebih jauh mengatakan "Seorang presiden sangat berperan dalam menjaga kredibilitas pemerintahannya, termasuk dalam peran dan kemampuannya membuat agenda pemberitaan pers".
M.B. Grossman dalam The Media and the Presidency mengatakan "Kemampuan
presiden untuk menentukan berita apa yang akan disampaikan kepada masyarakat umum adalah sangat tidak terbatas".
Bahkan J.B. Reston dalam "The Press, the President, and Foreign Policy" menyatakan "media bisa saja melaporkan suatu berita, tapi presidenlah yang membuatnya".
Apa yang dikemukakan oleh Paletz, Grosman dan Reston, perlu dicamkan betul oleh SBY dan para pembantunya, terutama para oleh staf khusus yang bergerak dalam bidang komunikasi dan oleh jurubicara presiden, penulis pidato, atau pembisik presiden lainnya.
Tim komunikasi Istana Negara perlu lebih aktif memberikan masukan kepada presiden mengenai informasi atau kegiatan apa saja yang dipublikasikan kepada masyarakat sehingga dapat mendongkrak citra dan kredibilitas pemerintahan. Hal ini mengingat apa saja yang dikatakan dan dilakukan presiden pasti menjadi berita utama di media massa.
Orang-orang dalam lingkar inti Istana Merdeka, Sekretaris Kabinet Dipo Alam, Staf Khusus bidang komunikasi media Heru Lelono, jurubicara presiden Julian Pasha dan
kawan-kawan, perlu mempelajari bagaimana presiden-presiden AS memanfaatkan media dan bagaimana tim komunikasinya bekerja.

Contoh Reagan
Salah satu presiden AS yang paling hebat dalam mempengaruhi media massa adalah Ronald Reagan. Presiden Reagan yang mantan aktor Hollywood itu punya berbagai cara dalam berhubungan dengan media massa sehingga menguntungkan posisinya. Reagan adalah presiden paling populer di Amerika Serikat yang terpilih kembali untuk masa jabatan kedua kalinya akibat kepiawaiannya menggunakan media.
Contoh kepiawaian Reagan adalah bagaimana mengkomunikasikan kebijakannya soal Perang Bintang (Star Wars). Frances FitzGerald dalam buku "Ronald Reagan, Star Wars, and the End of the Cold War" menyimpulkan bahwa warisan Reagan terpenting adalah kemampuannya menguasai media, terutama televisi, untuk kepentingan citra dirinya sebagai pemimpin yang hebat. Reagan dibantu dengan komunikasinya menentukan agenda pemberitaan media bukan hanya di Amerika tetapi di seluruh dunia.
Tim komunikasi Reagan terdiri atas ahli komunikasi, praktisi Public Relations dan sejumlah mantan wartawan. Ini contoh yang baik yang bisa ditiru oleh kalangan Istana Merdeka.
Yakinlah, jika tim komunikasi Istana direvitalisasi mengacu kepada praktik yang berlaku di Gedung Putih, maka tidak akan ada lagi pernyataan-pernyataan dan tindakan SBY dan pejabatnya yang kontraproduktif bagi posisi dan pemerintahannya sendiri.
Selama ini blunder-blunder yang merugikan posisi presiden sering dibuat oleh pejabat pemerintah sendiri seperti dalam kasus pertanyaan mengenai lagu ciptaan SBY dalam tes penerimaan CPNS di Departemen Perdagangan. Hal yang sama juga terjadi pada peredaran buku-buku keluarga Istana di sekolah-sekolah yang dituding sebagai upaya kampanye politik dan pencitraan. Mungkin saja SBY tidak tahu menahu soal ini, tapi faktanya dijadikan isu yang merugikan presiden.
Contoh lain, apabila tim komunikasi Istana (termasuk penulis pidato presiden) berjalan baik, tentu akan mengingatkan SBY untuk tidak bicara soal gajinya yang tidak naik selama 7 tahun pada pidato sepenting di Rapim TNI dan Polri. Para pembantu presiden belakangan bisa saja membela bahwa itu disampaikan bukan karena presiden ingin naik gaji, tapi untuk menyemangati prajurit TNI. Tapi mereka tidak bisa menyalahkan pers kenapa mengangkat isu naik gaji ketimbang isu perkembangan alutsista TNI misalnya.
Tim komunikasi presiden perlu menguasai "seni mengontrol akses informasi" (art of controlled access) karena apa saja yang dilakukan dan dikatakan presiden akan menjadi berita di media massa. Mereka harus mampu mengendalikan tipe-tipe informasi yang bagaimana yang bisa keluar dan disampaikan kepada umum serta informasi mana yang harus ditahan dan dipendam karena dikhawatirkan bakal mendapat serangan publik.***
(Penulis adalah Wakil Pemimpin Redaksi Perum LKBN Antara dan mantan Kepala Biro Antara di Amerika Serikat. Tulisan ini mewakili pandangan pribadI)

Dimuat di Koran Jurnal Nasional 14 Februari 2011

PRESIDEN DAN MEDIA

Oleh Akhmad Kusaeni

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi bulan-bulanan media. Setelah dituding “pemerintah berbohong” oleh tokoh lintas agama, berkembang isu seolah presiden minta naik gaji. Belum reda, SBY sudah diserang lagi soal buku-buku keluarga Istana yang disebar di sekolah-sekolah dan dianggap bermuatan politis dan pencitraan.
Mengapa media menjadikan presiden sebagai bulan-bulanan? Ini pertanyaan penting yang harus dijawab saat media memperingati Hari Pers Nasional dan kalangan dalam Presiden mengeluhkan pemberitaan media yang cenderung memojokan pemerintah.
Menurut saya, hubungan Presiden dengan media itu ibarat sebuah kisah cinta. Sebagai ”love story”, tentu saja diwarnai oleh perasaan rindu dan benci. Pada saat bulan madu, hubungan keduanya sangat mesra. Namun, setelah masa bulan madu lewat, hubunganpun menjadi tegang dan saling menyalahkan.
Presiden Amerika Serikat Thomas Jefferson pada masa awal kekuasannya sangat memuja dan mendewakan pers. Ia pernah mengatakan pada tahun 1787 bahwa ”Andaikata disuruh memilih antara pemerintah tanpa suratkabar, atau surat kabar tanpa pemerintah, maka saya akan memilih yang terakhir (suratkabar tanpa pemerintah)”.
Namun, sejarah juga mencatat bahwa presiden-presiden Amerika Serikat membenci dan memusuhi pers. Bahkan Jefferson sendiri pernah menuntut wartawan ke pengadilan karena dianggap telah mencemarkan nama baiknya. Clinton saat dilanda skandal dengan Monica Lewinsky, menuding media telah bersekongkol dengan kelompok sayap kanan untuk memakzulkannya dari Gedung Putih.
James Reston dalam buku ”The Artilery of the Press” mengungkapkan hampir semua Presiden Amerika Serikat sampai ke puncak kekuasaan dengan memuji-muji pers dan meninggalkan kepresidenannya dengan mengutuk banyak praktik-praktik pers.
”Sebelum berkuasa, hampir semua Presiden memuji pers, namun tatkala berkuasa merasa terganggu oleh pers,” tulis Reston.


Di Indonesia
Presiden SBY pada tahun 2004 sangat didukung oleh pers. Media menaruh simpati terhadap SBY yang dizalimi sebagai menteri yang disingkirkan dan jenderal yang dituding cengeng seperti anak-anak. Makanya ketika SBY mencalonkan diri sebagai presiden, ia mendapat tempat khusus di hati media. Seperti angin, pemberitaan media berhembus kencang kepadanya sampai SBY memenangi Pilpres tahun 2004.
Sampai akhir masa jabatan kepresidenan yang pertama, hubungan SBY dengan pers boleh dibilang rukun tidak ada percekcokan yang berarti. Presiden tidak merasa terganggu oleh pers sehingga tidak ada keluhan berarti mengenai praktik-praktik pers. Satu-satunya keluhan datang dari Menteri Komunikasi dan Informasi Sofyan Djalil terhadap tayangan Republik Mimpi yang menilai tidak pantas televisi mengolok-olok presiden dan pejabat negara lainnya. Tapi toh pemerintah tidak bisa menyetop tayangan tersebut.
Pada Pilpres 2009, SBY masih memenangi hati dan jiwa pers. Meski Jusuf Kalla lebih menarik bagi pers karena ucapan dan tindakannya yang berani, spontan dan blak-blakan, masyarakat Indonesia masih memberikan kesempatan kepada SBY untuk masa kepresidenannya yang kedua. Rakyat dan media sepakat untuk tidak mengganti kuda pada saat menyeberangi separuh arus sungai.
Lalu, dengan menjadikan presiden sebagai bulan-bulanan kritikan seperti sekarang ini, apakah bulan madu hubungan pers Indonesia dengan SBY sudah berakhir? Apakah dengan demikian pers sudah membenci presiden dan mengisyaratkan pisah ranjang?
Rasanya tidak. Pers nasional tetap mencintai presiden meskipun belakangan mereka sering “menggebuki” orang nomor satu di pemerintahan itu. Buktinya, insan pers tetap mengundang SBY hadir pada Hari Pers Nasional dan SBY dengan senang hati memenuhinya. Bahkan Presiden memutuskan untuk berkantor tiga hari di Kupang, tempat Hari Pers Nasional diadakan. Ini sebuah penghormatan presiden kepada kalangan pers.
Selama pemerintahan SBY, tidak ada kecaman dan kutukan dialamatkan kepada pers, apalagi pembreidelan atau ancaman mengajukan ke pengadilan seperti kerap dilakukan oleh rezim Soeharto. Bahkan saat bertemu dengan pimpinan media dan tokoh pers di Istana bulan lalu, SBY menilai pers nasional masih berada pada jalur yang benar (on the right track). Artinya, berbeda dengan sejumlah pihak yang sering menuding pers Indonesia sudah kebablasan, SBY yang belakangan ini sering jadi bulan-bulanan media malah menilai pers nasional tidak ada masalah.

Pers benci SBY?
Bagaimana dengan media yang kritikannya makin tajam ke Istana? Apakah itu berarti pers sudah membenci SBY? Tidak juga. Saya menilai hal ini karena tim komunikasi presiden pada masa jabatannya yang kedua tidak sebaik tim komunikasi presiden pada masa jabatan yang pertama. Dulu SBY dibantu dua jurubicara yang handal: Dino Patti Jalal untuk urusan luar negeri dan Andi Mallarangeng untuk urusan dalam negeri. Ditambah Wapres Jusuf Kalla yang menjadi magnet bagi media.
Sekarang ini, seperti diungkapkan oleh Sekretaris Kabinet Dipo Alam, apa-apa ke SBY, sedikit-sedikit ke staf khusus presiden. Di tengah serangan kepada presiden, menteri-menteri dari partai politik tak berusaha membela SBY. SBY dibiarkan sendirian. Sepertinya tidak ada yang mengingatkan SBY untuk bicara ini atau tidak bicara itu.
Padahal, pengalaman saya sebagai wartawan yang pernah terakreditasi di Gedung Putih, tidak boleh ada pesan dari presiden Amerika Serikat kepada media yang tidak dikendalikan untuk kepentingan “selling president and the presidency”.
Karena menyadari betapa pentingnya publikasi untuk membangun opini publik, Gedung Putih mempunyai staf komunikasi dan kehumasan yang besar. Lebih 75 % staf Gedung Putih (jumlahnya antara 350-600 orang) terkait dengan tugas komunikasi dan kehumasan. Mereka bertugas membuat agenda setting pemberitaan.
Saya yakin, jika SBY mempunyai tim komunikasi seperti Gedung Putih, maka Istana tidak responsif dan reaktif cara komunikasinya. Jurubicara Gedung Putih betul-betul Jubir, bukan Jurban (juru bantah). Istana tidak akan menari-nari di atas tabuhan gendang pihak lain. Sebaliknya, Istana yang jadi penabuh gendang dan pers akan menari di agenda setting pemerintah.
Michael Parenti dalam buku “Inventing Reality: The Politics of the Mass Media” mengatakan seorang presiden punya kemampuan luar biasa untuk mempengaruhi media massa dengan memberikan informasi yang dibuat secara sadar untuk menghadirkan suatu cara pandang atau kesan tertentu.
Parenti juga mengatakan kemampuan presiden untuk menentukan berita apa yang akan disampaikan kepada masyarakat umum adalah sangat tidak terbatas. Sesinis-sinisnya wartawan terhadap presiden, dia akan sangat tergantung kepada berita apa yang akan disampaikan Kepala Negara.
Tidak mengherankan bila berita yang “positif” terhadap Presiden akan selalu lebih banyak daripada yang ”negatif”. Sebagai contoh, berita kategori “good news” mengenai Presiden di koran New York Times dan televisi CBS mengalahkan berita “bad news” dengan margin 34:1 dan 6:1.
Dengan demikian, sebetulnya tidak ada alasan bagi presiden untuk mengeluhkan laporan media dan perilaku wartawan. Karena pers sudah jadi kodratnya melaporkan kabar baik dan kabar buruk secara kritis. Konstitusi memberikan hak istimewa kepada pers untuk melakukan kritik dan kontrol sosial.
Oleh karena itu, jika ada politisi yang mengeluh tentang media, sama saja dengan pelaut yang mengeluhkan samudra.
(Akhmad Kusaeni adalah Wakil Pemimpin Redaksi Perum LKBN Antara dan mantan Kepala Biro Antara di Amerika Serikat. Tulisan ini mewakli pribadi)

Dimuat di Koran Suara Pembaruan 9 Februari 2011.