Senin, 14 Februari 2011

PRESIDEN DAN MEDIA

Oleh Akhmad Kusaeni

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi bulan-bulanan media. Setelah dituding “pemerintah berbohong” oleh tokoh lintas agama, berkembang isu seolah presiden minta naik gaji. Belum reda, SBY sudah diserang lagi soal buku-buku keluarga Istana yang disebar di sekolah-sekolah dan dianggap bermuatan politis dan pencitraan.
Mengapa media menjadikan presiden sebagai bulan-bulanan? Ini pertanyaan penting yang harus dijawab saat media memperingati Hari Pers Nasional dan kalangan dalam Presiden mengeluhkan pemberitaan media yang cenderung memojokan pemerintah.
Menurut saya, hubungan Presiden dengan media itu ibarat sebuah kisah cinta. Sebagai ”love story”, tentu saja diwarnai oleh perasaan rindu dan benci. Pada saat bulan madu, hubungan keduanya sangat mesra. Namun, setelah masa bulan madu lewat, hubunganpun menjadi tegang dan saling menyalahkan.
Presiden Amerika Serikat Thomas Jefferson pada masa awal kekuasannya sangat memuja dan mendewakan pers. Ia pernah mengatakan pada tahun 1787 bahwa ”Andaikata disuruh memilih antara pemerintah tanpa suratkabar, atau surat kabar tanpa pemerintah, maka saya akan memilih yang terakhir (suratkabar tanpa pemerintah)”.
Namun, sejarah juga mencatat bahwa presiden-presiden Amerika Serikat membenci dan memusuhi pers. Bahkan Jefferson sendiri pernah menuntut wartawan ke pengadilan karena dianggap telah mencemarkan nama baiknya. Clinton saat dilanda skandal dengan Monica Lewinsky, menuding media telah bersekongkol dengan kelompok sayap kanan untuk memakzulkannya dari Gedung Putih.
James Reston dalam buku ”The Artilery of the Press” mengungkapkan hampir semua Presiden Amerika Serikat sampai ke puncak kekuasaan dengan memuji-muji pers dan meninggalkan kepresidenannya dengan mengutuk banyak praktik-praktik pers.
”Sebelum berkuasa, hampir semua Presiden memuji pers, namun tatkala berkuasa merasa terganggu oleh pers,” tulis Reston.


Di Indonesia
Presiden SBY pada tahun 2004 sangat didukung oleh pers. Media menaruh simpati terhadap SBY yang dizalimi sebagai menteri yang disingkirkan dan jenderal yang dituding cengeng seperti anak-anak. Makanya ketika SBY mencalonkan diri sebagai presiden, ia mendapat tempat khusus di hati media. Seperti angin, pemberitaan media berhembus kencang kepadanya sampai SBY memenangi Pilpres tahun 2004.
Sampai akhir masa jabatan kepresidenan yang pertama, hubungan SBY dengan pers boleh dibilang rukun tidak ada percekcokan yang berarti. Presiden tidak merasa terganggu oleh pers sehingga tidak ada keluhan berarti mengenai praktik-praktik pers. Satu-satunya keluhan datang dari Menteri Komunikasi dan Informasi Sofyan Djalil terhadap tayangan Republik Mimpi yang menilai tidak pantas televisi mengolok-olok presiden dan pejabat negara lainnya. Tapi toh pemerintah tidak bisa menyetop tayangan tersebut.
Pada Pilpres 2009, SBY masih memenangi hati dan jiwa pers. Meski Jusuf Kalla lebih menarik bagi pers karena ucapan dan tindakannya yang berani, spontan dan blak-blakan, masyarakat Indonesia masih memberikan kesempatan kepada SBY untuk masa kepresidenannya yang kedua. Rakyat dan media sepakat untuk tidak mengganti kuda pada saat menyeberangi separuh arus sungai.
Lalu, dengan menjadikan presiden sebagai bulan-bulanan kritikan seperti sekarang ini, apakah bulan madu hubungan pers Indonesia dengan SBY sudah berakhir? Apakah dengan demikian pers sudah membenci presiden dan mengisyaratkan pisah ranjang?
Rasanya tidak. Pers nasional tetap mencintai presiden meskipun belakangan mereka sering “menggebuki” orang nomor satu di pemerintahan itu. Buktinya, insan pers tetap mengundang SBY hadir pada Hari Pers Nasional dan SBY dengan senang hati memenuhinya. Bahkan Presiden memutuskan untuk berkantor tiga hari di Kupang, tempat Hari Pers Nasional diadakan. Ini sebuah penghormatan presiden kepada kalangan pers.
Selama pemerintahan SBY, tidak ada kecaman dan kutukan dialamatkan kepada pers, apalagi pembreidelan atau ancaman mengajukan ke pengadilan seperti kerap dilakukan oleh rezim Soeharto. Bahkan saat bertemu dengan pimpinan media dan tokoh pers di Istana bulan lalu, SBY menilai pers nasional masih berada pada jalur yang benar (on the right track). Artinya, berbeda dengan sejumlah pihak yang sering menuding pers Indonesia sudah kebablasan, SBY yang belakangan ini sering jadi bulan-bulanan media malah menilai pers nasional tidak ada masalah.

Pers benci SBY?
Bagaimana dengan media yang kritikannya makin tajam ke Istana? Apakah itu berarti pers sudah membenci SBY? Tidak juga. Saya menilai hal ini karena tim komunikasi presiden pada masa jabatannya yang kedua tidak sebaik tim komunikasi presiden pada masa jabatan yang pertama. Dulu SBY dibantu dua jurubicara yang handal: Dino Patti Jalal untuk urusan luar negeri dan Andi Mallarangeng untuk urusan dalam negeri. Ditambah Wapres Jusuf Kalla yang menjadi magnet bagi media.
Sekarang ini, seperti diungkapkan oleh Sekretaris Kabinet Dipo Alam, apa-apa ke SBY, sedikit-sedikit ke staf khusus presiden. Di tengah serangan kepada presiden, menteri-menteri dari partai politik tak berusaha membela SBY. SBY dibiarkan sendirian. Sepertinya tidak ada yang mengingatkan SBY untuk bicara ini atau tidak bicara itu.
Padahal, pengalaman saya sebagai wartawan yang pernah terakreditasi di Gedung Putih, tidak boleh ada pesan dari presiden Amerika Serikat kepada media yang tidak dikendalikan untuk kepentingan “selling president and the presidency”.
Karena menyadari betapa pentingnya publikasi untuk membangun opini publik, Gedung Putih mempunyai staf komunikasi dan kehumasan yang besar. Lebih 75 % staf Gedung Putih (jumlahnya antara 350-600 orang) terkait dengan tugas komunikasi dan kehumasan. Mereka bertugas membuat agenda setting pemberitaan.
Saya yakin, jika SBY mempunyai tim komunikasi seperti Gedung Putih, maka Istana tidak responsif dan reaktif cara komunikasinya. Jurubicara Gedung Putih betul-betul Jubir, bukan Jurban (juru bantah). Istana tidak akan menari-nari di atas tabuhan gendang pihak lain. Sebaliknya, Istana yang jadi penabuh gendang dan pers akan menari di agenda setting pemerintah.
Michael Parenti dalam buku “Inventing Reality: The Politics of the Mass Media” mengatakan seorang presiden punya kemampuan luar biasa untuk mempengaruhi media massa dengan memberikan informasi yang dibuat secara sadar untuk menghadirkan suatu cara pandang atau kesan tertentu.
Parenti juga mengatakan kemampuan presiden untuk menentukan berita apa yang akan disampaikan kepada masyarakat umum adalah sangat tidak terbatas. Sesinis-sinisnya wartawan terhadap presiden, dia akan sangat tergantung kepada berita apa yang akan disampaikan Kepala Negara.
Tidak mengherankan bila berita yang “positif” terhadap Presiden akan selalu lebih banyak daripada yang ”negatif”. Sebagai contoh, berita kategori “good news” mengenai Presiden di koran New York Times dan televisi CBS mengalahkan berita “bad news” dengan margin 34:1 dan 6:1.
Dengan demikian, sebetulnya tidak ada alasan bagi presiden untuk mengeluhkan laporan media dan perilaku wartawan. Karena pers sudah jadi kodratnya melaporkan kabar baik dan kabar buruk secara kritis. Konstitusi memberikan hak istimewa kepada pers untuk melakukan kritik dan kontrol sosial.
Oleh karena itu, jika ada politisi yang mengeluh tentang media, sama saja dengan pelaut yang mengeluhkan samudra.
(Akhmad Kusaeni adalah Wakil Pemimpin Redaksi Perum LKBN Antara dan mantan Kepala Biro Antara di Amerika Serikat. Tulisan ini mewakli pribadi)

Dimuat di Koran Suara Pembaruan 9 Februari 2011.

Tidak ada komentar: