Kamis, 22 Juli 2010

Ledakan Tabung Tak Boleh Hentikan Konversi Gas

Oleh : Akhmad Kusaeni

Jakarta (ANTARA News) - Ledakan tabung gas telah memakan banyak korban. Itu musibah yang sangat tragis dan memilukan. Ibu-ibu rumah tangga ketakutan. Mereka membuang tabung gas yang dulu diberikan pemerintah secara gratis dalam program konversi minyak tanah ke gas.

Secara demonstratif, di depan kamera televisi, sejumlah ibu menggelindingkan puluhan tabung gas 3 kg di tengah jalan dalam sebuah unjuk rasa di Jakarta. Tabung gas mirip buah melon warna hijau itu ditempeli tulisan yang menyeramkan: BOM!

Pesan yang ingin disampaikan adalah ledakan tabung gas itu sama dengan teror. Kehancuran yang ditimbulkannya sangat tragis dan memilukan.

Seorang anak bernama Ridho, korban ledakan gas, dengan muka dan sekujur tubuh penuh luka bakar, dibawa ibunya ke Istana Presiden. Ibu dan anak yang datang dari Jawa Timur itu, dengan berurai air mata, meminta bantuan Presiden SBY. Petugas Istana mengantar Ridho ke Pertamina.

Televisi melihat sebuah drama. Ridho dibawa ke RSCM dan ditayangkan di televisi. Pemirsa menangis. Sumbangan berdatangan. Pejabat dan tokoh ramai besuk ke rumah sakit. Dengan bantuan masyarakat dan pemerintah, Ridho akhirnya bisa dirawat untuk diatasi luka bakarnya.

Selain mengangkat kasus Ridho, stasiun televisi juga menayangkan korban-korban lain yang tidak kalah memilukannya. TVOne, misalnya, mendatangkan ke studio seorang bayi berumur sekitar satu bulan. Si bayi di operasi caesar dari ibunya yang sekarat akibat ledakan tabung gas 12 kg yang menghancurleburkan rumahnya di Tangerang. Bayi wanita itu begitu lahir sudah sebatang kara. Ayah, ibu dan kakaknya, tewas akibat ledakan tabung gas.

Ini betul-betul fakta. Bukan infotainment yang dinilai sensasional dan berlebihan. Sejak Juni 2010 terjadi setidaknya 33 ledakan tabung gas ukuran 3 kg. Saking maraknya, seorang profesor menulis artikel opini di suratkabar dengan judul bombastis: "Tabung Gas: Teroris Baru Indonesia".

Tabung gas telah menjelma menjadi momok yang menakutkan. Trauma itu telah membuat masyarakat ingin kembali ke minyak tanah.

Salah kaprah
Kecenderungan ini salah kaprah. Bolehlah menganggap tabung gas sebagai teroris. Itu diakui sangat mencekam dan menakutkan. Sebab, kalau tidak dicegah dan dilakukan berbagai antisipasi, ledakan tabung gas akan memakan korban jauh lebih banyak lagi.

Tapi bukan berarti dengan maraknya ledakan, lalu program konversi gas dianggap gagal dan perlu dihentikan.

Konversi gas adalah jalan keniscayaan. Hampir semua negara di dunia, kecuali sebuah negara di Afrika yang masih mempertahankan penggunaan minyak tanah, telah beralih ke gas.

Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan program konversi minyak tanah ke gas sejak tiga tahun lalu sepenuhnya menjadi tanggungjawab pemerintah yang ingin mengurangi subsidi BBM. Pemerintah waktu itu sangat yakin gas lebih murah dan aman dibanding minyak tanah.

Keamanan penggunaan gas itu bisa dibuktikan dengan statistik bahwa dalam tiga tahun hanya terjadi 36 kali ledakan gas dari 70 juta tabung gas. Ini berarti, dari setiap dua juta tabung, hanya satu yang meledak.

Angka ini kalah dramatis dari kecelakaan akibat listrik. Di Jakarta saja, dalam setahun ada 600 hingga 800 kali kebakaran akibat korsleting listrik. Dahulu, waktu minyak tanah menjadi primadona, jumlah kasus kebakaran akibat kompor mleduk lebih banyak lagi.

Jadi, keinginan kembali ke minyak tanah, adalah langkah sangat mundur. Beban pemerintah sangat berat karena harus mengeluarkan subsidi yang mencapai nilai Rp50 triliun. Kini, penggunaan gas sudah meringankan beban subsidi itu.

Kalau pun ada masalah, cara penanganannya yang harus diperbaiki. Tidak ada energi yang bebas dari resiko. Jadi, bukan konversinya yang dipersoalkan, tapi adalah cara pemakaian dan pengamanannya yang harus dicarikan solusinya. Ledakan tabung gas, tidak boleh menghentikan program konversi gas.

Harus dievaluasi
Program konversi gas ke depan harus dievaluasi dengan matang. Faktor keamanan dan keselamatan harus benar-benar diperhatikan. Jangan sampai ada kesan, konversi gas hanya untuk solusi pragmatis, yaitu mengurangi subsidi BBM.

Pemerintah, aparat, dan semua pihak harus berusaha agar ledakan tabung gas tidak boleh terjadi lagi. Jangan lagi ada nyawa melayang akibat tabung melon yang meledak.

Untuk itu, pengawasan harus diperketat. Mulai dari pengadaan tabung gas, pengisian maupun agen. Operasi-operasi yang dilakukan oleh pihak kepolisian membuktikan banyak tabung gas yang tidak sesuai standar. Aparat juga menemukan kecurangan dalam pengisian yang tidak sesuai dengan berat yang tertera dalam tabung.

Satu hal penting lagi adalah jangan pernah menyepelekan masalah sosialisasi. Seolah-olah jika sudah mengumumkan ke media massa unsur masyarakat akan mengerti dan selanjutnya mendukung program konversi tersebut. Masyarakat jadi lalai jika pada saat tertentu selang harus diganti.

Ini karena sosialisasi tidak terlaksana dengan baik. Akibatnya harus dibayar dengan mahal. Kelalaian mengganti selang tersebut membuat tabung menjadi bocor sehingga terjadi ledakan yang membahayakan.

Jadi, ledakan tabung gas itu sebetulnya resiko yang bisa diatasi dan dicegah seminimal mungkin. Jika pengamanan, pengawasan, dan sosialisasi dilakukan dengan sebaik-baiknya, tentu tabung gas bukan teroris baru di Indonesia.

Tabung gas bukan sebuah astagfirullah, tetapi sebuah berkah yang harus disambut dengan alhamdullilah.

Sampai saat ini konversi minyak tanah ke gas sudah menyelamatkan subsidi sebesar Rp50 triliun. Jelas manfaat konversi gas lebih besar dari mudharatnya.

Oleh karena itu, ledakan tabung melon tidak boleh menghentikan program konversi minyak tanah ke gas.

Ledakan itu harus dicegah. Pengamanan diperkuat. Pengawasan diperketat. Sosialisasi ditingkatkan. Bukan konversi gasnya yang dihentikan. (*)

Kamis, 08 Juli 2010

Apa Maumu Malaysia?

Oleh : Akhmad Kusaeni


Negeri jiran Malaysia selalu membuat greget sebagian pihak di Indonesia. Derita Manohara, soal TKI, klaim atas reog Ponorogo, sampai konflik Ambalat, membuat banyak orang Indonesia geram terhadap Malaysia.

”Maumu apa, Malaysia?” begitu judul buku yang ditulis oleh Genuk Ch. Lazuardi, seorang WNI yang tinggal di Kuala Lumpur, menjelaskan kemarahan warga atas jirannya yang sok main comot atas budaya dan main caplok atas wilayah Indonesia di perbatasan.

Buku yang diterbitkan oleh Gramedia itu diluncurkan di Jakarta, 7 Juli 2010. Dibahas oleh Dr. Alfitra Salam dari LIPI dan Asro Kamal Rokan dari Jurnal Nasional serta Ketua Ikatan Kesetiakawanan Wartawan Indonesia-Malaysia Saiful Hadi, Pemimpin Redaksi Kantor Berita ANTARA.

Mereka membahas apa yang menjadi dasar biang kerok dari panas dinginnya hubungan dua negara serumpun. Salah satunya adalah Malaysia yang sebelumnya saudara muda Indonesia, kini mau menjadi saudara tua sehingga terkesan pongah dan meminjam istilah Betawi: ngelunjak.

Dibanding kebesaran dan kekayaan Indonesia, Malaysia tentu tidak seberapa. Para pemimpin Malaysia dulu sangat mengagumi dan menghormati pemimpin Indonesia. Mantan Perdana Menteri Mahathir Muhammad sangat memuja Soekarno.

”Awak ini apalah dibanding Soekarno. I am just a little Soekarno,” kata Mahathir yang doyan bener makan nasi Padang di kedai Natrabu, Jl. Sabang, Jakarta.

Mahathir hanyalah Soekarno kecil seperti diakuinya sendiri. Ia juga sangat menghormati Presiden Soeharto. Mahathir sangat terkesan dengan cara Soeharto mengelola negeri dengan banyak puak, namun bisa dipersatukan dalam satu negara kesatuan Republik Indonesia. Sedang di Malaysia, yang hanya tiga puak –Melayu, China dan India- sulit sekali dipersatukan. Konflik etnis sangat laten di Malaysia.

Situasi berubah
Namun situasi menjadi lain ketika Soeharto lengser pada Mei 1998 dan Indonesia dihajar krisis ekonomi yang membuat negeri ini terpuruk. Krisis ekonomi yang berujung pada krisis politik, membuat pemerintahan di Indonesia silih berganti dengan cepat.

Gonjang ganjing politik membuat Indonesia tak sempat memulihkan ekonominya dengan cepat seperti negeri-negeri jirannya. Sementara Indonesia terpuruk, Malaysia bangkit. Ekonominya melesat. Proyek mobil nasionalnya dikembangkan. Menara kembar Petronas didirikan. Ibukota dipindahkan dari Kuala Lumpur ke Putera Jaya. Bandara internasionalnya juga direlokasi dari Subang ke Sepang yang lebih modern.

Perusahaan-perusahaan Malaysia merambah ke luar negeri. Perkebunan sawit di Sumatra dan Kalimantan banyak yang dimiliki perusahaan berlabel Berhad. Bank Niaga diakuisi sahamnya menjadi CIMB-Niaga. Maskapai AirAsia menguasai pasar angkutan udara murah meriah. Di bidang budaya dan pariwisata, Malaysia memantapkan diri sebagai sejatinya Asia (Truly Asia).

Masalah sengketa perbatasan yang sebelumnya dipetieskan atas nama ”ASEAN way” dan penghormatan terhadap Soeharto sebagai pemimpin senior bangsa-bangsa Asia Tenggara, tiba-tiba saja dibuka dan diangkat ke Mahkamah Internasional. Sipadan dan Ligitan akhirnya beralih ke pangkuan Malaysia. Produk budaya Indonesia dipatenkan sebagai produk Melayu Malaysia.

Ini yang membuat pusing saudara tua, Indonesia. Sedikit saja terjadi gesekan, misalnya ada TKI yang dipukuli majikan atau pergerakan Angkatan Laut Malaysia di Ambalat, sudah cukup membuat massa turun ke jalan. Atau bahkan, pernah terjadi, melakukan sweeping atas warga Malaysia di Indonesia.

”Ganyang Malaysia, kecuali Siti Nurhaliza,” adalah ungkapan yang sering muncul ketika situasi hubungan Indonesia-Malaysia memanas. Konfrontasi dengan Malaysia pada masa lalu selalu menjadi trauma yang sulit dihapus di benak warga dua negara.

Itulah yang membuat gemerutuk gigi pengunjuk rasa yang geram: ”Maumu apa sih, Malaysia?”.

Tak mau apa-apa
Ternyata, menurut Genuk Ch. Lazuardi, Malaysia itu tidak mau apa-apa. Ia sebagai bangsa merdeka yang berdaulat, tentu saja ingin hidup sejajar dan berdampingan dengan saling menguntungkan. Semua negara punya tanggung jawab untuk mengupayakan kepentingan nasionalnya. Itu tentu sah-sah saja.

”Janganlah terlalu romantis dan emosional dalam berhubungan dengan Malaysia. Jangan terlalu menganggap kita sebagai bangsa serumpun, lalu kita merasa berhak menjewer dan memarahi saudara muda kita yang kini tegak lebih baik,” kata Asro Kamal Rokan.

Persoalannya, menurut Asro, bukanlah ”Apa Maumu, Malaysia?”. Akan tetapi sebenarnya adalah ”Apa Maumu, Indonesia?”. Titik tolaknya adalah internal Indonesia yang harus membenahi diri supaya tidak merasa tersalib oleh Malaysia yang melesat maju.

Kejelitaan Malaysia adalah dia melaksanakan konsep-konsep yang sebetulnya tidak orisinil Malaysia, tetapi sebetulnya bisa saja ide datangnya dari Indonesia. Para pemimpin Indonesia pernah sibuk mau memindahkan Ibukota Jakarta yang sudah sumpek ke Jonggol. Tapi ribut terus sehingga tidak pernah terjadi. Malaysia diam-diam membangun kota baru Putra Jaya dan memindahkan ibukotanya tanpa banyak wacana.

Proyek mobil nasional juga Indonesia yang punya gagasan jitu. Tapi, lagi-lagi ribut dan ribet terus. Akhirnya Malaysia yang kembangkan mobil nasional sehingga sekarang sudah bisa diekspor termasuk ke Indonesia. Indonesia gembar-gembor tentang perlunya hak milik intelektual dilindungi, tapi lupa mempatenkan produk budayanya sendiri. Jangan salahkan kalau Malaysia mempatenkan reog atau rendang Indonesia.

Jadi, kesimpulannya, yang sebetulnya membuat hubungan Indonesia-Malaysia sering kisruh adalah pepatah Inggris: ”Neighbor grass is always greener”. Rumput tetangga itu selalu membuat iri karena senantiasa kelihatan lebih hijau.

Oleh karena Malaysia adalah tetangga dekat, maka wajar kalau ada gesekan dan benturan. Dengan Ghana atau Senegal, Indonesia tidak pernah ada konflik atau persoalan, karena negeri di Afrika yang jauh itu bukan tetangga.

Rumput Ghana atau Senegal tidak pernah kelihatan oleh masyarakat Indonesia. Tapi rumput Malaysia ada di depan mata. Itu yang membuat iri. Apalagi kalau jiran itu sepertinya mau mengambil milik kita. Geram rasanya. Itu yang membuat gigi gemerutuk. Maumu apa sih Malaysia? (***)

COPYRIGHT © 2010

Dimuat di :
http://antaranews.com/kolom/?i=1278567507

Masyarakat Ceritakan Semua

Oleh : Akhmad Kusaeni

Jakarta (ANTARA News) - Kebebasan pers di Indonesia sangat mengherankan kalangan media dan pejabat negeri jiran, Malaysia. Itu terungkap dalam pertemuan Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia-Indonesia (Iswami) di Jakarta, Selasa (29/6).

Hadir ketika itu Wakil Perdana Menteri Malaysia Tan Sri Dato Muhyiddin bin Haji Mohd Yassin dan tokoh-tokoh pers negeri jiran. Dari Indonesia hadir para pemimpin redaksi dan tokoh pers seperti Asro Kamal Rokan dari Jurnal Nasional, August Parengkuan dari Kompas, Ikhwanul Kiram dari Republika, dan Don Bosco Salamun dari SCTV.

Dari pertemuan resmi sampai ke meja makan, wartawan-wartawan Malaysia banyak bertanya dan geleng-geleng kepala atas pemberitaan kasus media mesum Ariel-Luna Maya- Cut Tari dan diborongnya majalah Tempo karena mengungkap korupsi di tubuh sejumlah oknum jenderal Polri.

"Mereka heran, pers di Indonesia sangat berani. Di Malaysia tidak seperti di Indonesia," kata Ketua Iswami Saiful Hadi, yang juga Pemimpin Redaksi LKBN Antara.

Wakil PM Malaysia Tan Sri Dato Muhyiddin membenarkan bahwa pers di Malaysia tidak sebebas di Indonesia, karena ada aturan hukum dan aturan main yang berbeda.

"Media di Malaysia dibatasi oleh tanggung jawab sosialnya," kata Muhyiddin.

Berbeda dengan Indonesia, karena pers di negeri ini memiliki kebebasan yang hampir absolut.

"Apa saja bisa diungkap dan diberitakan. Tidak ada lagi yang bisa disembunyikan," kata Ilham Bintang, pengurus PWI Pusat.

Pemilik tabloid dan acara infotainment di televisi, Cek&Ricek, itu memberi perumpamaan yang membuat wartawan dan pejabat Malaysia terbengong-bengong. Ilham mengatakan pers di Indonesia bisa menyiarkan dan menayangkan apa saja sekehendak hatinya, kecuali dua hal.

"Pertama, merokok di pompa bensin. Kedua, memakai sepatu ke dalam mesjid," kata Ilham.

"Maksudnya apa?, tanya Wakil PM Malaysia.

"Ya, kalau wartawan melakukan dua hal itu, bunuh diri namanya," Ilham menjelaskan.



Tembok bisa bicara

Indonesia telah memasuki apa yang disebut sosiolog sebagai

"The Tell-All Society", yaitu masyarakat-ceritakan-semua. Atau menurut istilah Ilham, di Indonesia tembok dan dinding pun bisa bicara.

Apa yang terjadi di tempat tidur, yang seharusnya tertutup dan rahasia, bisa terbuka jadi konsumsi publik seperti video syur Ariel cs.

Rekening-rekening oknum jenderal polisi yang selama ini tidak pernah bisa disentuh, apalagi dijangkau publik, maka isa dengan bebas didapat wartawan dan dipublikasikan. Dokumen-dokumen rahasia seperti berita acara pemeriksaan dan laporan keuangan bisa mudah diberitakan. Skandal demi skandal dibongkar dan tersiar di media.

Oleh karena masyarakatnya sudah jadi "The tell-all society", sehingga tidak heran bila praktik sejumlah medianya juga "Print it and be damned"?, siarkan dan peduli setan! Banyak media yang tidak memperhatikan dampak dari apa yang diberitakannya.

Joseph Kirschke dari Pacific Media Watch mengatakan pers Indonesia di era reformasi seperti kuda liar yang lepas dari kandang.

"Media di Indonesia berputar bebas sebebas-bebasnya," katanya membandingkan dengan apa yang terjadi di negara tetangga, khususnya Malaysia dan Singapura yang belum "free-wheeling" seperti Indonesia.

Sejumlah media merasa punya kebebasan penuh untuk menulis dan melaporkan apa saja yang dianggap "fit to print". Mereka menyiarkan fitnah, laporan palsu, fakta menyesatkan dan opini-opini yang menjurus kepada pembunuhan karakter.


Terancam dibunuh

Ini berbeda sekali dengan zaman Orde Baru yang semua pemberitaan persnya aman dan terkendali. Dari segi kebebasan pers tentu ini sangat buruk. Sejumlah media yang berani melaporkan hal-hal yang tabu atau menyerang rezim dan pejabatnya dibreidel. Ingat nasib Tempo, Detik dan Editor yang diberangus bulan Juni 1994.

Bahkan wartawan yang berani melaporkan korupsi, bisa terbunuh semacam kasus Udin di Yogyakarta. Orde baru berusaha membungkam pers karena kebebasan dianggap akan berujung pada anarki, konflik dan ketidakstabilan.

Pers di zaman Soeharto sulit sekali melaksanakan fungsinya sebagai "agenda setter" dalam arti mengangkat atau memburu satu isu yang menjadi perhatian publik seperti korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Pers cenderung melulu jadi alat informasi bagi kegiatan pejabat pemerintah.

Sebelum 1998, berita utama di koran penuh dengan berita pernyataan pejabat dan kegiatan pemerintahan. Setelah Soeharto lengser, maka berita utama koran beralih mengkritik pejabat dan pemerintah. Narasumber berita juga beralih dari dominasi pejabat ke dominasi publik, khususnya yang disebut pengamat dan pegiat LSM.

Hanya koran Indonesia yang bisa menulis berita yang mengolok-olok presiden, misalnya Megawati Soekarnoputri. Rakyat Merdeka misalnya menulis berita berjudul "Mulut Mega Bau Solar" atau "Mega Hanya Sekelas Bupati".

Hanya di televisi Indonesia, pimpinan negeri bisa diparodikan dan jadi bahan lawakan seperti di acara "Republik Mimpi" atau "Demozracy"

Kalau presiden saja bisa jadi bulan-bulan, maka semua pejabat di negeri ini bisa dijadikan sorotan dan kritikan. Apalagi cuma sekedar jenderal polisi yang punya rekening" gendut" dan mencurigakan.

Intinya adalah tidak ada lagi yang ditakuti oleh pers Indonesia yang bebas. Intinya tidak ada lagi yang tidak bisa dibongkar oleh masyarakat-ceritakan-semua. Hanya ada dua larangan yang masih dipatuhi karena kalau itu dilanggar berarti bunuh diri:

1. Merokok di pompa bensin.

2. Memakai sepatu ke dalam mesjid.(*)

Dimuat di :
http://www.antaranews.com/berita/1277896144/masyarakat-ceritakan-semua

Kamis, 10 Juni 2010

Reformasi Intelijen Negara

Oleh : Akhmad Kusaeni

Dewan Perwakilan Rakyat kini sedang menggodok RUU Intelijen. Setelah terkatung-katung sejak 2008, RUU Intelijen saat ini masuk dalam prioritas pembahasan legislasi 2010. Lewat UU ini, maka saatnya intelijen negara direformasi.

Negara yang kuat biasanya memiliki lembaga intelijen yang kuat. Lihat saja Amerika Serikat dengan CIA yang nyaris terlibat di setiap peristiwa penting dunia, Inggris dengan M16 yang mengilhami serial film-film James Bond atau Israel dengan badan intelijen Mossad yang ditakuti.

Negara yang intelijennya kuat namun tetap bisa menjaga kebebasan warga sipilnya adalah yang mempunyai aturan main dan undang-undang intelijennya yang jelas. Amerika Serikat memiliki UU Reformasi Intelijen dan Pencegahan Terorisme tahun 2004 yang mengatur tugas pokok dan fungsi 17 dinas intelijen agar bekerja sinergi dan saling mengisi.
Australia memiliki Intelligence Service Act of 2001 yang mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh enam dinas intelijennya. Inggris memiliki Intelligence Service Act sejak 1994 yang mengatur sinergi tiga dinas intelijennya. Kanada malah sudah memiliki undang-undang yang mengatur sepak terjang lembaga intelijen sejak 1985.

Namun, kegiatan dan sepak terjang intelijen Indonesia sama sekali belum ada pengaturan undang-undangnya. Adalah sangat aneh jika kedudukan Badan Intelijen Negara (BIN) yang dalam hirarki ketatanegaraan cukup tinggi, yaitu berada langsung di bawah presiden, namun hanya diatur oleh regulasi setingkat keputusan presiden.

Tidak adanya mekanisme pertanggungjawaban serta pengawasan baik dari presiden maupun DPR menjadikan BIN secara institusional lebih leluasa menafsirkan aktivitasnya sendiri. Akibatnya, BIN terkesan masih menjadi lembaga yang tidak terkontrol dan bisa menyusup kemana saja tanpa fungsi dan kewenangan yang jelas dan terukur.

Dalam kasus pembunuhan Munir, misalnya, kesaksian di pengadilan mengungkapkan lembaga negara seperti BUMN kerap dimasuki oleh operasi-operasi intelijen.
Ini tidak boleh terjadi. Meskipun badan intelijen bekerja dalam situasi tertutup dan rahasia, bukan berarti peran, fungsi dan tugasnya tidak boleh diatur dan tanpa pengawasan. Tanpa ada UU yang jelas, yaitu UU Intelijen yang merupakan hasil kesepakatan antara pemerintah dan DPR, maka BIN bisa dicurigai sebagai alat untuk memata-matai masyarakatnya sendiri atau mengintimidasi lawan-lawan politik penguasa.
Indonesia sudah berubah. Reformasi politik berjalan dengan arah yang baik.

Demokratisasi, keterbukaan dan tata kelola pemerintahan yang bersih, menjadi agenda nasional. Namun, reformasi terhadap lembaga intelijen luput dari perhatian. Padahal, ancaman terorisme makin nyata dan konflik komunal masih kerap terjadi, seperti kasus pembakaran di Mojokerto dan kerusuhan berlatarbelakang etnis di Batam.

Pada dasarnya, kegiatan intelijen adalah mengumpulkan informasi dengan berbagai cara mulai dari penggunaan agen rahasia, pemanfaatan sarana internet, menyadap saluran komunikasi, sampai penggunaan satelit pengintai. Semuanya dilakukan untuk memperoleh data intelijen yang akurat guna kepentingan pengambilan keputusan.
Organisasi intelijen semacam BIN, sangat diperlukan karena merupakan mata dan telinga untuk mendeteksi, mengantisipasi dan melakukan cegah dini terhadap hal-hal yang berpotensi menimbulkan gangguan dan ancaman.

Direktur Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat Dennis Blair mengatakan, “Tak ada yang lebih penting bagi keamanan nasional selain pembuatan dan pelaksanaan kebijakan keamanan yang baik dan dipasok data intelijen yang cepat, akurat dan objektif”.
Untuk itu, dalam reformasi intelijen nasional, perlu kiranya dipelajari bagaimana Amerika Serikat melakukan reformasi intelijen, dan bagaimana negeri itu membuat undang-undang intelijen yang lebih bisa membuat aman negeri itu dari ancaman terorisme dengan seminimal mungkin berdampak gangguan terhadap kebebasan sipil warganya.

Momentum Reformasi
Komunitas intelijen AS boleh kecolongan dengan terjadinya serangan teroris 11 September 2001. Tapi, peristiwa serangan terhadap gedung menara kembar World Trade Center New York —-yang sering disetarakan dengan serangan tentara Jepang atas Pearl Harbor tahun 1941—- dijadikan tonggak momentum untuk mereformasi intelijennya.
Komisi 9/11 yang dibentuk untuk menyelidiki serangan tersebut dan mengevaluasi di mana kekhilafan intelijen mengumumkan laporannya pada bulan Juli 2004. Rekomendasi utama Komisi 9/11 adalah perlunya dilakukan reformasi besar-besaran komunitas intelijen AS, termasuk membentuk badan baru intelijen yang dinamakan Direktorat Intelijen Nasional (Director of National Intelligence, DNI).

Segera setelah diterbitkan laporan tersebut, pemerintah AS mereformasi total kelembagaan intelijen. Presiden George Walker Bush menandatangani empat Keputusan Presiden bulan Agustus 2004 yang memperkuat komunitas intelijen sekuat-kuatnya tanpa harus mendapat persetujuan parlemen. Baru kemudian Kongres dan Senat AS mensahkan inisiatif Bush yang mengamendemen National Security Act yang berlaku sejak 1947.
Undang-undang baru itu dinamakan UU Reformasi Intelijen dan Pencegahan Terorisme 2004 (Intelligence Reform and Terrorism Prevention Act of 2004). Undang-undang ini ditandatangani Presiden Bush dan mulai berlaku pada 17 Desember 2004. Direktur Intelijen Nasional yang pertama adalah John D Negroponte, mantan Duta Besar AS untuk Irak, dengan wakil Letjen Michael V Hayden

Direktur Intelijen Nasional ditunjuk oleh Presiden dengan persetujuan Senat. Direktur Intelijen Nasional AS sekarang dijabat oleh Dennis C Blair. DNI bertindak selaku kepala dari komunitas intelijen, mengawasi dan mengarahkan pelaksanaan dari program intelijen nasional termasuk pengelolaan anggarannya. DNI juga menjadi penasehat presiden, Dewan Keamanan Nasional, dan Departemen Keamanan Dalam Negeri mengenai masalah-masalah intelijen yang terkait dengan keamanan nasional.

Kongres AS memberikan DNI sejumlah kewenangan dan tugas khusus. Seperti yang dinyatakan dalam UU Reformasi Intelijen dan Pencegahan Terorisme, DNI bertugas “memberikan informasi intelijen yang akurat dan objektif kepada presiden, kepala dari badan intelijen departemen, dan Kongres”.

Saat menandatangani UU Reformasi Intelijen ini tahun 2004, Presiden Bush mengatakan, “Dengan Undang-Undang baru ini, komunitas intelijen AS akan lebih menyatu, terkoordinasi dan efektif. Undang-undang ini akan membuat kita lebih baik melaksanakan tugas intelijen untuk melindungi rakyat Amerika”.

Reformasi intelijen itu ujung-ujungnya pada satu misi, yaitu melindungi rakyat dan kepentingan AS dari musuh di dalam dan di luar negeri. Apakah reformasi intelijen AS betul-betul membuat negeri itu lebih aman.

Sebuah panel diskusi yang dilakukan pada 6 April 2010 mengevaluasi apakah reformasi intelijen yang dilakukan sejak 2004 itu membuat rakyat sekarang lebih aman atau tidak. Ternyata panelis dari kalangan intelijen, Kongres AS, LSM dan media itu mengonfirmasi bahwa rakyat merasa lebih aman.

Artinya, reformasi intelijen itu berhasil. Rencana serangan bom di malam natal 2009 bisa digagalkan. Relatif tidak ada ancaman teroris yang berarti setelah tahun 2004.
Jika reformasi intelijen di AS berhasil menyatukan 17 badan intelijen yang sebelumnya tercerai-berai, menyinergikannya dalam menghadapi gangguan keamanan dan terorisme, serta membuat masyarakat lebih aman dan tenteram, maka reformasi intelijen di Indonesia mutlak harus dila-kukan.

Penulis adalah Wakil Pemimpin Redaksi Perum LKBN Antara.
Tulisan ini mewakili pendapat pribadi

Dimuat di Harian Suara Pembaruan 10 Juni 2010
http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=19135

MUSUH BARU KEBEBASAN PERS

Oleh Akhmad Kusaeni

Pada masa Orde Baru, ancaman terbesar bagi pers di Indonesia datang dari rejim Soeharto. Kini, musuh baru kebebasan pers itu datang dari publik seperti dari pengusaha, politisi atau bahkan bandar judi.
Raymond Teddy, seseorang yang pernah diperiksa polisi dengan tuduhan mengorganisir perjudian, menggugat ke pengadilan tujuh media yang menyiarkan siaran pers polisi. Ketujuh media itu adalah Suara Pembaruan, Kompas, Seputar Indonesia, Warta Kota, Republika, RCTI dan Detik.com.
Raymond yang merasa dirugikan dan dicemarkan nama baiknya karena diberitakan sebagai “bos judi” menggugat tujuh media itu masing-masing antara Rp5 miliar hingga Rp10 miliar. Kasus ini menarik perhatian, termasuk dari Istana Kepresidenan dan MPR, karena dianggap mengancam kebebasan pers.
Apa yang bisa ditarik pelajaran dari kasus gugatan terhadap media ini?
Intinya adalah siapapun yang merasa dirugikan oleh pers, bisa menggugat ke pengadilan. Sistim hukum pidana dan perdata yang berlaku di Indonesia masih memungkinkan wartawan bisa dibangkrutkan atau dipenjarakan.
Memang, sejak berlakunya Undang-undang Pers No.40 Tahun 1999, kemerdekaan pers telah menuju jalur yang benar. Pembreidelan oleh penguasa praktis tidak ada lagi. Amuk massa dan main hakim sendiri terhadap pers mulai berkurang. Banyak kasus bisa diselesaikan melalui mediasi Dewan Pers atau organisasi wartawan.
Namun, jalan ke pengadilan masih tetap terbuka lebar. Laporan ke polisi atau menggugat perdata adalah hak dari orang yang dirugikan dan merupakan hak asasi mereka. Pers di Indonesia sampai saat ini masih sering dimajukan ke pengadilan perdata atau dilaporkan ke polisi tanpa menunggu hak jawab.
Pasal 5 ayat (2) UU Pers No.40/1999 menyatakan bahwa pers wajib melayani hak jawab. Ayat (3) menyatakan pers juga wajib melayani hak koreksi. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan tersebut diancam pidana denda paling banyak Rp500 juta.
Yang jadi masalah adalah jika media telah melayani hak jawab, ternyata itu tidak menutup hak dari pihak yang menderita kerugian untuk mengajukan gugatan atau melapor ke polisi. Akibatnya, sejumlah media termasuk media arus utama digugat ke pengadilan oleh pengusaha, politisi atau pejabat militer.
Itu sebabnya sejumlah kalangan, terutama media, menginginkan UU Pers itu direvisi. Di UU Pers yang baru sebaiknya dinyatakan secara tegas bahwa jika media sudah melakukan koreksi dan melayani hak jawab, maka tertutup sudah pintu untuk mengadili secara pidana dan mengkriminalisasi pers. Yang boleh terbuka adalah gugatan ganti rugi yang jumlahnya dibatasi agar tidak membangkrutkan pers.
Upaya penyelesaian kasus pers melalui mediasi di luar pengadilan, seperti yang dilakukan melalui mekanisme UU Pers, sangat diidealkan. Jika wartawan melakukan pencurian atau pembunuhan, bolehlah dia dipenjarakan. Tapi wartawan tidak boleh dikriminalisasi karena karya dan tulisannya.

Maksud-maksud jahat
Dalam ilmu hukum pers dikenal istilah without malice atau absence of malice. Kamus bahasa Inggris karya Hassan Shadily memberi arti malice sebagai “maksud-maksud jahat yang dipikirkan sebelumnya”. Ada tidaknya malice inilah yang harus dibuktikan di pengadilan yang tengah memeriksa gugatan terhadap pers.
Pers memang bukan malaikat dan wartawan bisa berbuat salah. Oleh karena itu boleh-boleh saja pers digugat ke pengadilan.Namun, bila terbukti bahwa kesalahannya itu tidak disengaja (misalnya wartawan sama sekali tidak tahu bahwa informasi, data atau fakta yang diperolehnya itu keliru), maka pers bisa dibebaskan meskipun laporannya jelas salah. Itu karena hakim tidak menemukan adanya malice, atau niat jahat yang direncanakan sebelumnya untuk merugikan atau mencemarkan pihak korban.
Malice itu bisa terbukti kalau wartawan tahu bahwa apa yang hendak ditulisnya itu tidak benar atau meragukan, bahwa narasumbernya tidak kredibel, tapi dia dengan sengaja terus memberitakannya. Biasanya hal ini dilakukan bila wartawan atau media telah memiliki agenda setting dan memiliki bingkai tertentu. Berbagai fakta dicari agar sesuai dengan bingkai yang telah disediakan.
Dalam kasus gugatan terhadap tujuh media yang tengah disidangkan sekarang ini, sangat sulit untuk membuktikan adanya malice tersebut. Gugatan tersebut tidak beralasan karena berita itu didasarkan pada sumber yang jelas dan kredibel, yaitu siaran pers resmi Mabes Polri.
Sulit juga membayangkan bahwa ketujuh media tersebut bersekongkol membuat agenda setting bersama untuk membingkai saudara Raymond Teddy sebagai bandar judi. Pemberitaan yang dilakukan oleh ketujuh media itu bisa dipastikan without malice.
Yang mungkin terjadi adalah pemberitaan itu hanya keteledoran wartawan yang tidak melakukan cover bothsides atau tidak melakukan verifikasi tuduhan polisi kepada korban.

Tak membuat bahagia
Pelajaran lain dari kasus gugatan kepada tujuh media itu adalah proses pengadilan atas kasus pers biasanya tidak membuat bahagia penggugat dan media yang digugat. Si penggugat, jika tidak punya stamina dan modal logistik yang cukup, bisa frustasi dan putus asa.
Biaya untuk pengacara sangat mahal. Rata-rata biaya lawyers di Amerika Serikat bisa mencapai 50 persen dari nilai gugatan yang dimenangkan. Prosesnya paling cepat empat tahun sampai keluarnya keputusan hakim yang final (inkrach).
Pers juga tidak gembira. Selain biaya membela perkara yang tinggi, para wartawan terganggu pekerjaannya untuk waktu yang lama. Proses pemeriksaan dan pembuatan BAP di polisi dan sidang di pengadilan yang bertele-tele sangat melelahkan dan menyita waktu serta perhatian. Publikasi mengenai proses hukum tersebut juga bisa mengganggu reputasi dan kredibilitas media.
Jadi, cara terbaik untuk menghindari kemungkinan gugatan hukum adalah hak jawab dilaksanakan dan media secara sukarela mengoreksi kesalahan yang dibuatnya. Jika perlu, meminta maaf.
Mantan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto mencbut gugatannya atas The Washington Post karena koran Amerika Serikat itu melayani hak jawab dan meminta maaf atas kesalahannya. Pengusaha Shinivasan berdamai dengan Kompas setelah harian ini memberikan hak jawab dan meminta maaf secara terbuka.
Kebanyakan penggugat tidak akan pergi ke pengadilan jika media pada kesempatan pertama melakukan koreksi, memberikan hak jawab dan meminta maaf secara terbuka.
Mantan CEO Mobil Oil William Tavoulareas saat menggugat The Washington Post mengatakan kalimat berikut ini:
“Saya tidak ingin menghancurkan pers. Saya tahu betapa pentingnya pers yang bebas bagi negeri ini. Gugatan ini tidak akan pernah terjadi jika mereka mengakui kesalahannya dan meminta maaf”.
Masalahnya banyak wartawan yang tidak mau melakukan apa yang diinginkan oleh korban dari pemberitaan pers semacam Tavoulareas tersebut. Seperti lagu klasik Elton John, maaf adalah kata yang paling berat diucapkan wartawan.
”Sorry seems to be the hardest word” ***

(Penulis adalah Wakil Pemimpin Redaksi Perum LKBN Antara. Tulisan ini mewakili pandangan pribadi)

Dimuat di Harian Suara Pembaruan 12 Mei 2010
http://epaper.suarapembaruan.com/?iid=36199

Senin, 03 Mei 2010

Orang Indonesia yang Jadi Pahlawan di Korea

Oleh : Akhmad Kusaeni

Jakarta (ANTARA News) - Di tengah duka bangsa Korea yang masih sangat dalam terasa akibat tenggelamnya kapal perang Cheonan yang menewaskan 46 prajurit angkatan laut, nama Indonesia harum dipuji di negeri ginseng itu.

Ada orang Indonesia yang dipandang sebagai pahlawan dan pemberi inspirasi dalam musibah yang menggetarkan hati dan meningkatkan ketegangan di semenanjung Korea tersebut. Penghargaan terhadap orang Indonesia itu disampaikan pejabat dan media setempat.

Pada 26 Maret 2010 sebuah Korvet Angkatan Laut dengan 104 awak kapal sedang patroli rutin di perairan dekat perbatasan Korea Selatan dan Korea Utara. Tiba-tiba saja terjadi ledakan dahsyat di buritan. Mesin perang itu nyaris terbelah dua dan tenggelam.

Saat itu pukul 21:00 waktu setempat. Tempat di Laut Kuning, dekat Kepulauan Baengyeong. Malam mulai gelap ketika operasi penyelamatan dilakukan oleh penjaga pantai dibantu oleh nelayan pencari ikan yang kebetulan berada di sekitar lokasi. Mereka berhasil menyelamatkan 58 orang. Yang lainnya tewas dan menghilang.

Salah satu kapal nelayan yang ikut dalam operasi pencarian dan penyelamatan adalah kapal ikan Geumyang No.98. Di kapal ikan itu ada Lambang Nurcahyo (36) dan Yusuf Harefa (35), dua pelaut Indonesia. Bersama lima pelaut Korea Selatan, awak Geumyang terlibat dalam aksi heroik penyelamatan di laut bebas, gelap dan berbahaya.

Malang tak bisa diraih, untung tak bisa ditolak. Kapal ikan Geumyang di tengah aksi penyelamatan bertabrakan dengan kapal kargo Kamboja. Seluruh awaknya ikut tenggelam.

Jenazah Lambang Nurcahyo, bapak dua anak, ditemukan beberapa hari kemudian. Namun si lajang Yusuf Harefa hingga kini masih hilang. Upaya kemanusiaan pelaut Indonesia itu diakui dan dihormati bangsa Korea yang tengah berkabung. Mereka wafat dalam upaya mulia.

Surat kabar Korea Times hari Kamis (22/4) memuji Nurcahyo dan Harefa. Dalam tajuk rencana berjudul "Indonesian heroes", Korea Times menulis bahwa "Seperti para pelaut AL yang gugur itu, para nelayan Geumyang itu juga merupakan pahlawan-pahlawan yang telah mengambil risiko nyawa mereka untuk menyelamatkan korban-korban Cheonan?.

Pemerintah Korea Selatan berjanji memberikan santunan baik kepada awak kapal Korsel maupun Indonesia. Menteri Luar Negeri Yu Mung-hwan menyampaikan simpati dan telah menulis surat sehubungan dengan tragedi tersebut kepada keluarga Nurcahyo dan Harefa.

"Kami menghargai jasa-jasa kedua pelaut Indonesia yang tewas dalam insiden tersebut. Kami sungguh menyesalkan telah terjadinya peristiwa ini," kata Yu Mung-hwan.

Jadi pusat perhatian

Orang Indonesia lain yang mendapat penghormatan di Seoul adalah Dirut Perum LKBN ANTARA Dr. Ahmad Mukhlis Yusuf. Ia menjadi pusat perhatian di Seoul karena selaku Presiden Organisasi Kantor Berita Asia Pasifik (OANA) ia meminta pimpinan media dunia yang berkumpul di negeri itu untuk berdiri dan mengheningkan cipta atas musibah yang meningkatkan ketegangan di semenanjung Korea.

"Semoga arwah mereka beristirahat dengan damai dan yang hilang bisa segera ditemukan," katanya dalam hening cipta yang diikuti 68 pimpinan kantor berita dari Asia Pasifik, Arab, Mediterania, Eropa dan Balkan serta Perdana Menteri Korea Selatan Chung Un-Chan.

Mukhlis Yusuf sudah tiga tahun terakhir ini memimpin OANA, organisasi kantor berita dari 33 negara di kawasan Asia Pasifik.

Bekerja sama dengan kantor berita Yonhap, OANA mengumpulkan para tokoh media di Seoul untuk membahas tantangan dan peluang yang dihadapi kantor berita pada era konvergensi multimedia. Namun, OANA Summit Congress dibayangi kasus tenggelamnya Cheonan.

Meski belum bisa dibuktikan keterlibatan Korea Utara dalam insiden itu, laporan media setempat menyebut kemungkinan kapal tersebut ditorpedo atau terkena ranjau laut yang disebar Pyongyang.

Ketika membawa para tokoh media dari seluruh dunia itu bertemu dengan Presiden Lee Myung-bak di Istana Biru, Mukhlis menyampaikan belasungkawa dan doa kepada para korban. Presiden Lee tampak tergugah dengan pidato pengantar Mukhlis yang tidak diduga menyinggung insiden Cheonan dan doa agar bangsa Korea bisa mengatasi musibah itu dengan penuh kesabaran dan perdamaian.

Pidato Mukhlis itulah yang mendorong Presiden Lee menyatakan sikapnya atas musibah Cheonan. Sikap itulah yang kemudian menjadi berita utama di seluruh dunia. Di koran-koran setempat, seperti The Korean Times dan Korean Herald, berita pertemuan Mukhlis Yusuf dan Presiden Lee menjadi berita utama di halaman depan. Foto Mukhlis pun menghiasi halaman media Seoul.

"Saya mulai mengagumi anda," kata Park Jung-Chan, Presiden kantor berita Korea Selatan Yonhap kepada Mukhlis Yusuf pada pidato jamuan makan malam selepas pertemuan di Istana Biru.

"Anda berhasil membuat Presiden Lee angkat bicara soal Cheonan," katanya.

Presiden Lee dan seluruh bangsa Korea memang sangat terguncang dengan musibah itu. Lee langsung meninjau operasi pencarian dan bertemu marinir yang ditempatkan di barat Pulau Baengnyeong.

Dengan helikopter, Lee menuju pulau dekat perbatasan Korsel-Korut itu. Kunjungan Lee dimaksudkan untuk menghibur keluarga korban yang menunggu dengan cemas pencarian jasad anggota keluarga mereka. Lee juga memerintah militer agar lebih waspada pasca tenggelamnya Cheonan. Sejak tenggelamnya kapal Cheonan militer diminta benar-benar mempersiapkan diri untuk setiap aktivitas yang dilakukan Korea Utara.

Ketegangan memuncak di semenanjung Korea menyusul insiden itu. Kemungkinan pecah perang baru antar Korea kembali menjadi kekhawatiran dunia. Padahal, Korea Utara memiliki senjata nuklir sebagai pemusnah massal dan rejim di Pyongyang bisa melakukan tindakan tidak terduga.

Namun, kekhawatiran dunia itu bisa diredakan. Menjawab pertanyaan dan pernyataan Mukhlis, Presiden Lee menyatakan tidak akan membalas dendam sekalipun Pyongyang terbukti paling bertanggungjawab atas insiden Cheonan. Perang, menurut Lee, bukan pilihan. Pihaknya membawa kasus ini kepada Dewan Keamanan PBB.

Oleh karena itulah, pemimpin media dari seluruh dunia yang bertemu Presiden Lee, memuji Mukhlis Yusuf. Presiden OANA yang juga Dirut Perum ANTARA itu berhasil menggugah Presiden Lee untuk menyatakan sikapnya yang jelas: tak boleh ada perang lagi di semenanjung Korea.
(A017/B010)

COPYRIGHT © 2010

MUSLIHAT JURNALISTIK

Oleh : Akhmad Kusaeni

Mabes Polri dan TVOne bermediasi di Dewan Pers, Senin (12/4), soal kasus markus gadungan. Bila terbukti narasumber TVOne palsu, berarti tayangan 18 Maret 2010 adalah berita bohong.

Etika media menyatakan, merekayasa narasumber masuk kategori ”muslihat jurnalistik” (deception in journalism).

Memang masih perlu dibuktikan apakah TVOne melakukan muslihat jurnalistik. Namun, Mabes Polri punya bukti bahwa tayangan itu sebuah rekayasa.

Polisi sudah menangkap seorang makelar kasus (markus) palsu bernama Andreas Ronaldi alias Andis (37) yang mengisi acara bincang-bincang TVOne. Dalam pemeriksaan, Andis mengaku diminta berbicara soal markus sesuai skenario dengan pertanyaan dan jawaban yang disiapkan. Tentu saja TVOne membantah.

Berdasarkan bukti polisi dan bantahan redaksi TVOne, Dewan Pers harus membuktikan apakah benar ada rekayasa dan menjelaskan kepada publik apakah benar stasiun televisi itu telah melakukan muslihat jurnalistik.

Rekayasa dan muslihat jurnalistik adalah pelanggaran berat etika media karena mengkhianati kebenaran. Pencarian kebenaran adalah hakikat pekerjaan jurnalistik. Menurut Bill Kovach dan Tom Rosenthiel, kewajiban utama wartawan adalah kepada kebenaran (the first obligation of journalism is to the truth).

Bob Steele dari Poynter Institute for Media Studies mengatakan, muslihat jurnalistik ada berbagai bentuk: dari menyiarkan berita bohong (outright lying) sampai merekayasa pengakuan tidak benar (misrepresenting) dan menyampaikan informasi menyesatkan (misleading).

Berbagai kasus

Muslihat jurnalistik pernah dilakukan wartawan media-media terkemuka. Koran New York Times pernah mengalaminya pada April 2003 ketika wartawan Jason Blair membuat berita palsu.

Wartawan itu menulis berita- berita bohong dengan narasumber palsu dan mencontek laporan koran-koran lokal.

Janet Cooke, wartawan The Washington Post, melakukan muslihat jurnalistik dalam laporan tentang anak kecil pencandu obat bius yang ternyata palsu.

Dalam artikel yang terbit 29 September 1980, Cooke menulis kisah bocah bernama ”Jimmy” di kawasan kumuh Washington DC. Jimmy menjadi pencandu heroin setelah diajari pacar ibunya.

”Jimmy, 8 tahun, adalah generasi ketiga pencandu heroin. Rambut hitam, mata coklat, dengan bekas-bekas tusukan jarum di tangannya,” begitu Janet Cooke menggambarkan Jimmy yang bercita-cita jadi bandar heroin.

Gara-gara artikel itu banyak pihak mendesak Cooke mengungkap identitas Jimmy agar bisa disembuhkan. Namun, Cooke menolak dengan alasan melindungi narasumber.

Laporan itu mendapat penghargaan Pulitzer 1982. Belakangan, baru ketahuan bahwa berita tentang bocah pencandu heroin itu bohong dan sosok Jimmy hanyalah rekaan si wartawan.

”Hacker” palsu

Muslihat jurnalistik yang mirip kasus markus palsu di Indonesia juga terjadi di majalah The New Republic, AS. Stephen Glass dalam laporan berjudul Hack Heaven (18/5/1998) menulis cerita hacker berumur 15 tahun yang mengacak komputer perusahaan Juct Micronics.

Laporan Glass merupakan wawancara eksklusif dengan Ian Restil, hacker yang disebutnya mirip Bill Gates muda. Bahkan, Glass mengaku hadir dalam pertemuan Restil dengan pimpinan Juct Micronics yang membujuk Restil jadi konsultan keamanan sistem informasi perusahaan.

”Saya mau ke Disney World, komik X-Men, langganan majalah Playboy dan Penthouse. Perlihatkan uangnya,” kata Restil seperti dikutip Glass.

”Uang sudah disiapkan,” jawab pimpinan Juct Micronics..

Belakangan terbukti, pertemuan di Hotel Hyatt, Maryland, yang dilaporkan Glass tidak ada. Ceritanya fiksi belaka. Ian Restil hanya rekaan Glass. Seperti dalam film Shattered Glass, Stephen Glass pun dipecat.

Organisasi dan perusahaan media menghukum sangat keras wartawan yang melakukan muslihat jurnalistik. Blair, Cooke, dan Glass telah dipecat. Bahkan, demi tanggung jawab moral, atasan para wartawan tersebut juga melepaskan jabatannya.

Muslihat jurnalistik bukan saja membahayakan kredibilitas dan reputasi media, tetapi lebih jauh lagi bisa mengancam kepercayaan publik terhadap media dan profesi jurnalistik.

Jika media merekayasa kebenaran dan wartawan menyampaikan kepalsuan, dari mana lagi masyarakat mendapat informasi yang akurat dan kredibel?

Jika media tak bisa lagi diandalkan menyampaikan kebenaran, siapa yang bisa memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui (people right to know)?

Menyadari pentingnya kebenaran dalam masyarakat, apalagi oleh pers yang bisnisnya menyampaikan kebenaran, muslihat jurnalistik adalah pelanggaran berat dan pelakunya wajib mendapat sanksi setimpal.

Akhmad Kusaeni Wakil Pemimpin Redaksi Perum LKBN Antara, Tulisan Mewakili Pendapat Pribadi

Tulisan ini dimuat di :
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/14/05015211/muslihat.jurnalistik

Senin, 12 April 2010

Kongres PDIP: Kemenangan Kubu Ideologis Atas Pragmatisme

Oleh : Akhmad Kusaeni


Sanur, Bali (ANTARA News) - Terpilihnya kembali Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDIP periode 2010-2015 dan pilihan tetap di jalur oposisi di tengah godaan untuk berkoalisi, membuktikan kemenangan kubu ideologis atas kubu pragmatis di elite partai banteng moncong putih itu.

Jauh-jauh hari sebelum Kongres, sudah tampak adanya pertarungan antara kubu ideologis yang diwakili oleh Megawati yang didukung akar rumput partai dengan kubu pragmatis yang melekat pada sosok Taufiq Kiemas yang didukung sejumlah elite partai.

Wacana koalisi atau oposisi menjelang kongres mencerminkan kencangnya pertarungan internal tersebut.

Namun, pidato politik Megawati pada pembukaan kongres mengakhiri pertarungan wacana itu. Puteri Proklamator RI Bung Karno itu menegaskan sikapnya pada jalan ideologi kerakyatan, bukan jalan pragmatisme pada kekuasaan.

Beberapa pengamat yang hadir di Bali seperti Effendi Gazali, Yudi Latif dan Ikrar Nusa Bhakti, memuji pidato Megawati itu sebagai sebuah proklamasi tentang ideologi kerakyatan.

Pidato itu ditindaklanjuti dengan pembentukan Majelis Ideologi PDIP yang beranggotakan tujuh orang yang berasal dari unsur dewan pimpinan pusat dan tokoh partai.

PDIP telah menempatkan diri sebagai partai ideologis. Untuk itu diperlukan lembaga yang mewadahi arah gerak dan orientasi serta dinamika PDIP sebagai partai ideologis agar sesuai dengan Pancasila 1 Juni 1945.

Majelis ideologi antara lain bertugas untuk menerjemahkan ideologi menjadi program konkret partai.


Disambut baik

Penegasan PDIP sebagai partai ideologis dan janji elite partai untuk menuangkannya dalam kerja nyata tentu harus disambut baik.

Pembentukan Majelis Ideologi dalam struktur baru kepengurusan PDIP juga perlu diapresiasi karena majelis inilah yang bertugas mengejawantahkan prinsip-prinsip partai ideologis itu untuk kesejahteraan rakyat yang dikenal sebagai "wong cilik".

Ada sejumlah alasan untuk memberi penghargaan atas keputusan PDIP yang mengukuhkan diri menjadi partai ideologis. Yang utama adalah fakta bahwa hampir tidak ada lagi yang peduli terhadap Pancasila, padahal konstitusi masih menyebut Pancasila sebagai ideologi dan falsafah bangsa Indonesia.

Meminjam istilah Prof Azyumardi Azra, "Pancasila nyaris absen dalam wacana dan diskusi" di tengah hingar bingarnya pragmatisme yang melanda bangsa Indonesia, para elite politik seakan enggan membicarakan Pancasila, apalagi masyarakatnya. Pancasila sebagai dasar dan fondasi bangsa seolah disimpan dalam kotak besi sejarah.

Tidak sedikit elite nasional dan calon pemimpin kehilangan jati diri sebagai anak bangsa. Berpikir pragmatis demi kepentingan sesaat, tetapi kehilangan masa depan karena tidak punya idealisme. Mereka silau terhadap budaya materi dari luar dan melupakan keluhuran budaya spiritual bangsa sendiri.

Akibatnya, bangsa ini menjadi bangsa yang gaduh. Korupsi terus merajalela meski sudah sedemikian banyak pejabat, anggota DPR, dan tokoh yang ditangkap dan masuk bui.

Gebrakan KPK dan Satgas Mafia Hukum bukannya menambah efek jera dan menghasilkan penghargaan atas prestasi memerangi korupsi, tapi justru Indonesia naik menjadi peringkat nomor satu sebagai negara terkorup di Asia.


Orang mencibir

Sekarang ini berbicara tentang Pancasila bisa membuat sementara orang mencibir. Hal ini karena adanya disparitas dan kesenjangan antara kelima sila Pancasila dan realitas dalam kehidupan sehari-hari.

KH Mustofa Bisri pernah melontarkan pernyataan bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara semakin menjauh dari Pancasila.

Menurut tokoh Nahdlatul Ulama tersebut, kondisi di negeri berketuhanan ini sudah seperti tanpa Tuhan.

Negeri yang berkemanusiaan yang adil dan beradab ini, katanya, sudah seperti tidak kenal lagi dengan perikemanusiaan. Persatuan Indonesia sudah seperti dilecehkan. Rakyat seperti tidak terwakili meski selalu diatasnamakan. Keadilan sosial hanya bagi segelintir orang.

KH Mustofa Bisri pun bertanya, "Masihkah Pancasila menafasi bangsa ini?".

Pertanyaan Mustofa Bisri itu adalah pertanyaan semua anak bangsa ini dan Megawati menjawabnya dengan tegas di Kongres III PDIP di Bali. Megawati menyerukan agar rakyat, setidaknya keluarga besar PDIP, untuk kembali ke ideologi Pancasila.

Pada titik inilah Megawati dan PDIP mendapat apresiasi. Tapi, seperti diakui Megawati sendiri, tantangan bagi PDIP untuk kembali ke jalan ideologis juga tidak ringan.

PDIP harus bekerja dalam situasi psikopolitik "antipartai" dan "antiideologi". Partai nasionalis ini harus bekerja dalam masyarakat yang semakin pragmatis, transaksional, dan berfikir instan untuk kepentingan individual berjangka pendek.

Megawati yang terus memimpin PDIP untuk lima tahun ke depan harus bekerja dalam situasi dimana sebagian pihak menganggap bahwa menduduki jabatan publik melalui partai adalah jalan baru bagi keamanan ekonomi. Partai bukan lagi alat ideologi, tapi alat akumulasi ekonomi.

"Partai menjadi alat sarana transportasi cepat untuk keuntungan ekonomi individual, bukan lagi sarana untuk kepentingan rakyat. Kita juga harus bekerja di dalam situasi dimana citra menjadi daya tarik baru yang jauh lebih kuat ketimbang ideologi,? kata Megawati.

Memang tidak mudah. Akan tetapi, Kongres III PDIP di Bali sudah meletakkan landasan untuk melangkah.

Kongres bukan saja telah menegaskan kembali Pancasila 1 Juni 1945 sebagai ideologi partai yang bersifat final, tetapi juga harus mengembangkan instrumen agar Pancasila dapat bekerja dalam partai, dapat menjiwai keseluruhan program dan sikap partai, serta dapat menjadi karakter politisi partai.

PDIP "Ogah" Jadi Moncong Biru

Oleh : Akhmad Kusaeni

Sanur (ANTARA News) - Jika ingin tahu demokrasi terpimpin itu bekerja, simaklah Kongres III PDIP di Sanur, Bali. Semua persoalan, debat, atau wacana, bisa diakhiri bila pimpinan partai sudah memutuskan.

Apa yang dikemukakan oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sepertinya menjadi kebenaran mutlak yang harus diikuti dan dilaksanakan oleh setiap kader partai.

Adanya pemimpin yang kharismatik merupakan kekuatan (sebagian pengamat mengatakan justru kelemahan) dari partai berlambang banteng moncong putih itu.

Megawati, yang sudah memimpin partai itu selama belasan tahun, tetap menjadi sumbu tunggal di PDIP yang menentukan kebijakan partai.

Pengamat politik Tjipta Lesmana menilai kepemimpinan Megawati sangat sentralistik. Oleh para pengikut dan kadernya, Megawati dikultuskan.

Pejah gesang, nderek Megawati. Benar atau salah, apa yang sudah diputuskan Megawati sebagai pemimpin tertinggi partai, harus diikuti dan dilaksanakan.

Jika Megawati sudah menegaskan PDIP tetap oposisi, misalnya, maka menjadi partai oposisi menjadi harga mati.

Itu sudah menjadi garis api yang tidak bisa dilewati oleh siapa pun, termasuk Taufik Kiemas, suaminya sendiri, yang pernah mewacanakan koalisi dengan Partai Demokrat dan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

"PDIP tetap moncong putih, tolak jadi moncong biru!" begitu teriak aktivis Bendera yang berunjuk rasa di depan Hotel Inna Bali Beach saat Megawati menyampaikan pidato politik emosional yang diwarnai dua kali tangisan.

Moncong putih artinya oposisi. Moncong biru bermakna koalisi karena biru adalah warna Partai Demokrat.

Maka kontroversi Moncong Putih versus Moncong Biru punah sudah ketika Megawati pada pidato pembukaan Kongres memutuskan partai itu tetap berada di jalur oposisi dan menjadi penyeimbang pemerintah.

Partai nasionalis ini enggan menjadi Moncong Biru dan menolak iming-iming koalisi yang digagas Taufik Kiemas, Ketua Dewan Pertimbangan PDIP.

PDIP, menurut Megawati, akan tetap mengikuti takdir sejarah bahwa kekuasaan yang diberikan oleh rakyatlah yang akan diterima partainya, bukan kekuasaan yang diberikan oleh pihak lain.

Jika sampai banting haluan dari opisisi ke koalisi, ideologi PDIP bakal luntur dan hancur.

"Kita diajarkan dan ditakdirkan oleh sejarah untuk mengangkat harga diri. Itu lebih utama dari urusan bagi-bagi kekuasaan. Kita tidak akan menjadi bagian dari kekuasaan yang tidak berpihak pada rakyat," kata Megawati dalam pidato politik 45 menit yang berapi-api.

Pupus sudah

Begitulah. Mega sudah memutuskan oposisi, maka impian sejumlah kalangan dalam PDIP untuk koalisi pupus sudah. Impian untuk menjadi menteri di kabinet SBY bila ada pergantian pasca Pansus Bank Century, terpaksa harus dibuang jauh-jauh. Para penggagas Moncong Biru gigit jari.

Suasana pasca pidato politik di arena dan di luar Kongres berubah. Poster-poster dan spanduk yang ada tinggal yang mendukung oposisi. Yang pro koalisi sudah terpental.

Di pintu masuk Bali Inna Beach Hotel berjejer spanduk yang dipasang sejumlah DPD PDIP yang mendukung pilihan oposisi dan menolak koalisi. Orang-orang yang mengenakan kaos putih "Oposisi Harga Mati" makin banyak berlalu lalang dan bergerombol.

Di Jakarta, pekan lalu ada spanduk hitam yang dipampang dekat gerbang masuk Gedung DPR Senayan. Spanduk itu bicara soal pilihan menjadi oposisi atau koalisi.

Lambang PDIP tampak di tengah spanduk. Di sebelah kiri gambar banteng itu ada tulisan "Koalisi" berwarna putih dengan tanda panah di bawahnya menunjuk dua nama, yaitu Taufik Kiemas dan Puan Maharani.

Sedangkan tulisan "Oposisi" disisi lainnya juga disertai anak panah yang menunjuk Megawati dan Prananda (putera Megawati). Di atas lambang partai tertera pertanyaan: "Anda pilih yang mana?".

Spanduk itu kini telah hilang. Barangkali karena pilihan sudah jelas dan lugas. Megawati pilih oposisi. Itu garis partai yang sudah tidak bisa diganggu-gugat lagi. Layar sudah dikembangkan. Itu berarti surut untuk mundur dan kembali lagi.

Sesaat setelah menegaskan keputusannya beroposisi, Megawati mengutip ucapan bijak ayahnya, Bung Karno, pendiri Republik ini.

"Kerjakanlah kewajibanmu dengan tidak menghitung-hitung akibatnya. Majulah terus, jangan mundur. Mundur hancur, mandeg ambleg, bongkar, maju terus", katanya.

Kini tinggal para pengamat dan analis politik yang ramai mengomentari keputusan itu. Ada yang bilang bahwa bagi PDIP menjadi oposisi atau koalisi tidak banyak dampaknya bagi perolehan suara partai tersebut.

Pada Pemilu 2009 dengan posisi oposisi, PDIP hanya memperoleh 95 kursi (14 persen suara) dan menempati posisi ketiga setelah Partai Demokrat dan Golkar. Pada saat berkuasa pada Pemilu 2004, PDIP tidak bisa mempertahankan kemenangannya.

Artinya, PDIP kurang bisa memainkan perannya baik ketika berkuasa maupun ketika menjadi oposisi.

Saat berkuasa, tidak bisa menghasilkan kebijakan yang menarik publik. Saat beroposisi juga tidak bisa menggoreng isu yang menarik publik.

Itulah tantangan bagi pengurus baru PDIP periode 2010-2015.

Kongres PDIP: Baru Dibuka "Sudah Selesai"

Oleh : Akhmad Kusaeni

Kongres PDIP: Baru Dibuka Sudah Selesai

Sanur, Bali (ANTARA News) - Keajaiban ini hanya terjadi di Partai Banteng Moncong Putih. Baru saja dibuka pada Selasa, Kongres III Partai Demokrasi Perjuangan di Sanur, Bali, dianggap "sudah selesai". Padahal, Kongres dijadwalkan baru berakhir hari Jumat, atau tiga hari kemudian.

Agenda utama pemilihan ketua umum partai periode 2010-2015 sudah tuntas justeru sebelum kongres digelar. Megawati Soekarnoputri terpilih kembali menjadi ketua umum untuk lima tahun mendatang. Kongres tinggal ketuk palu mengesahkannya.

Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDIP Taufiq Kiemas jauh-jauh hari sudah mengatakan kongres partai telah berakhir.

"Saya rasa semua anak cabang itu sudah memilih satu nama. Satu nama untuk Ketua Umum, satu nama untuk ketua DPC, dan satu nama untuk ketua DPD," kata tokoh yang biasa dipanggil TK itu.

Memang, hanya foto Megawati yang ada di baliho, spanduk, atau bendera, yang dipasang di hampir sepanjang jalan di Bali. Makin mendekati kawasan Sanur, tempat berlangsungnya Kongres III PDIP, baliho, spanduk dan bendera warna merah makin ramai dan meriah. Kalaupun ada gambar tokoh lain, sang tokoh memberi selamat atau dukungan kepada Megawati.

Tak ada foto calon ketua umum lain yang terlihat. Guruh Soekarnoputra, adik Megawati yang mencoba" menantang "kakaknya, sama sekali tak kelihatan jejak kehadirannya di arena Kongres.

Sejumlah pendukung Guruh pernah mencoba memasang spanduk dan poster Guruh di sekitar hotel lokasi Kongres, tapi dicopot oleh pendukung Megawati. Poster itu kini lenyap tak berbekas.

"Habis dicabuti orang-orang Puan (Maharani)," kata Tricahya Budi, dari tim sukses Guruh Soekarnoputra.

Alasan pencopotan poster Guruh, kata Budi, karena pihak lawan menganggap adanya calon ketua umum lain atau tandingan sebagai provokasi. Jadi hanya gambar Megawati yang boleh dipasang. Gambar calon lain dianggap sebagai provokator.

"Itulah sebabnya Mas Guruh gak datang ke Bali. Kami menolak Kongres yang tidak fair dan tidak mendengarkan suara ranting-ranting," katanya lagi.

Praktis Kongres III PDIP milik Megawati. Ini juga dibuktikan dengan ramainya kader-kader PDIP yang mengenakan kaos putih atau merah bertulisankan "Oposisi Harga Mati" di sekitar arena Kongres. Menjadi oposisi sejati jelas suara Megawati. Suara Taufiq Kiemas yang membuka peluang untuk koalisi dengan Partai Demokrat dan pemerintahan SBY nyaris tidak terdengar.

"Jempol darah untuk tetap oposisi. Hidup Megawati," teriak pemuda berkaos "Oposisi Harga Mati".

Dari Bawah

PDIP yang mengusung kembali Megawati meski perolehan suara partai terus merosot dan Megawati dua kali pecundang dalam pemilihan presiden diyakini sudah berproses dari bawah.

Mengapa Kongres Bali dianggap milik Megawati? Ini karena Guruh Soekarnoputra dan kandidat lain tidak bergerak cepat jauh-jauh hari. Mekanisme yang berlaku di partai mengatur bahwa siapa pun yang mencalonkan diri menjadi ketua umum PDIP, harus bergerak enam bulan lalu dengan mendekati PAC se-Indonesia yang berjumlah 7.000 se-Indonesia, 512 DPC, dan 33 PDD.

"Kalau sanggup mengumpulkan 3,600 PAC maka harapan untuk terpilih besar, " kata Taufiq Kiemas yang juga Ketua MPR itu.

Kesalahan Guruh adalah tidak mendekati PAC se-Indonesia, melainkan dia mendekati media massa.

"Kalau kampanye di koran, itu bukan gaya PDIP. Kita selalu memberi kesempatan semua orang boleh, tapi kampanye di desa-desa, bukan di media," sindir TK seperti dikutip sejumlah media.

Siapa Sekjen

Walhasil, yang ramai dibicarakan di Kongres III PDIP adalah siapa sekretaris jenderal yang bakal mendampingi Megawati lima tahun ke depan. Apakah tetap Pramono Anung, Sekjen sekarang, atau Tjahyo Kumolo yang kini menjabat Ketua Fraksi PDIP di DPR? Atau ada calon lain yang bisa saja pada menit-menit terakhir muncul?

Yang juga jadi wacana adalah dibuatnya struktur baru posisi wakil ketua umum. Sejumlah orang menilai struktur baru itu dibuat untuk menyiapkan dan mematangkan Puan Maharani. Jika Puan berhasil menduduki kursi wakil ketua umum, peluangnya untuk menjadi orang nomor satu PDIP pada 2015 akan terbuka lebar.

Naga-naga kearah mendorong Puan ke puncak pimpinan partai banteng moncong putih itu sudah kasat mata. Poster-poster Megawati lebih banyak didampingi oleh Puan ketimbang katakanlah Muhamad Prananda, putera kedua Megawati dari pernikahan dengan almarhum Letnan Satu Penerbang Surindro Suprijarso.

Dalam setiap konferensi pers penting, Puan selalu mendampingi Megawati. Dimana ada Megawati disitu ada Puan Maharani. Para pendukung Puan untuk menjadi wakil ketua umum PDIP juga sudah

"bergerilya di "arena Kongres. Pengurus PDIP Jawa Tengah dan Sumatera Selatan adalah para penyokong Puan.

Sekretaris PDIP Sumatera Selatan Gantada Aliandra terang-terangan mendukung Puan Maharani menjadi wakil ketua umum atau pelaksana harian.

Bagaimana dengan Puan sendiri?

"Saya siap," katanya dengan suara lantang dan tegas mirip Megawati.

Rabu, 03 Februari 2010

Politisasi Olahraga, Mengapa Tidak?

Oleh : Akhmad Kusaeni

Jakarta (ANTARA News) - Dalam acara bedah buku "99 Tokoh Olahraga Indonesia (Catatan Satu Abad 1908-2008)" terbitan ANTARA Pustaka Utama, Selasa (2/2), muncul pertanyaan, dalam hingar bingar demokrasi yang ribut dan gaduh, apakah mungkin sebuah peristiwa olahraga bebas dari politisasi?

Mungkin ada yang menjawab tidak mungkin dipolitisasi. Tetapi, dalam dosis tertentu, olahraga agaknya memang harus dipolitisasi, apalagi sejarah membuktikan banyak peristiwa olahraga atau sepak terjang tokohnya menjadi gerakan politik atau berpengaruh secara politik.

Sebut saja apa yang dilakukan oleh petinju legendaris Mohammad Ali. Penentangannya untuk masuk wajib militer dan penolakannya dikirim ke Vietnam telah mendorong gerakan antiperang mencapai momentumnya.

Keterlibatan tentara Amerika Serikat dalam Perang Vietnam dipersoalkan, terutama yang dikirimkan ke garis depan dan mati dalam kantong-kantong mayat umumnya adalah prajurit berkulit hitam.

Akhirnya, dengan sangat memalukan, Presiden AS Lyndon B Johnson menarik pasukan AS dari Vietnam setelah sekitar 58.000 tentara AS mati di rawa-rawa atau lubang-lubang tikus jebakan tentara Vietcong.

Akibat desakan gerakan antiperang yang antara lain dari tokoh seperti Mohammad Ali dan John Lennon dengan slogannya yang terkenal "Make Love, Not War", Menteri Pertahanan Robert S McNamara akhirnya mengakui apa yang dilakukan tentara AS di Vietnam adalah "It is wrong, terribly wrong".

Mohamad Ali pun kemudian dikenal bukan saja sebagai petinju tersohor, tetapi juga tokoh anti perang dan kampiun gerakan antidiskriminasi warna kulit.

Tan Joe Hok

Di Indonesia, tokoh olahraga nasional yang gerakannya berdampak politik signifikan adalah pebulutangkis tangguh Tan Joe Hok.

Ia bisa disamakan dengan Mohammad Ali dalam upayanya memperjuangkan persamaan hak warga negara tanpa memperhitungkan asal-usul dan warna kulitnya.

Dalam buku "99 Tokoh Olahraga Indonesia" yang diterbitkan Perum LKBN Antara bekerjasama dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga itu bisa dibaca cerita prestasi, perjuangan, harapan dan cita-cita Tan Joe Hok.

Lelaki yang ditakdirkan sebagai keturunan Cina itu lahir di Bandung, 11 Agustus 1937, jauh sebelum Republik Indonesia lahir. Ia telah mengharumkan nama Indonesia lewat prestasi tingginya dalam bulutangkis.

Pada 1958, Joe Hok memperkuat tim Piala Thomas yang berhasil membawa pulang trofi kejuaraan dunia beregu putra.

Setahun berikutnya, ia mencetak sejarah dengan menjadi pebulutangkis Indonesia pertama yang menjuarai All England. Tidak cukup dengan itu, ia menyusul gelar itu dengan menjadi juara di Kanada dan Amerika Serikat yang membuat namanya menghiasi majalah olahraga terkenal "Sport Illustrated" edisi 13 April 1959.

Orang-orang di generasinya selalu memuja-muji Tan Joe Hok dan mengakuinya sebagai pemersatu bangsa Indonesia yang membuat etnis Cina dan pribumi menyatu.

Jika Anda hidup di masa atau generasinya, Anda akan menyaksikan masyarakat amat antusias menyaksikannya bertanding.

Nyaris semua orang berkumpul di rumah-rumah yang memiliki pesawat televisi. Mereka berdoa, harap-harap cemas, menonton pertandingan All England atau Piala Thomas, dan sesekali tepuk tangan berteriak mengelu-elukan jagoannya.

"Hidup Tan Joe Hok! Hidup Indonesia!" begitu masyarakat mendukung dan berada di belakang Tan Joe Hok.

Tan Joe Hok membuat hubungan antaretnis Tionghoa dan pribumi di banyak tempat di Indonesia berjalan harmonis, sehingga dia dianggap pahlawan oleh banyak kalangan.

Tak butuh gelar pahlawan

Tapi Joe Hok ternyata tidak membutuhkan gelar pahlawan. Ia hanya menginginkan persamaan status haknya yang waktu itu masih berbeda, antara dia yang keturunan Tionghoa dengan warga pribumi.

"Bukan gelar pahlawan atau penghargaan sejenisnya yang saya minta. Tetapi, kalau boleh saya berharap, saya hanya ingin diakui sebagai putera Indonesia, dan tidak lagi dimintai SBKRI, karena itu menyakitkan," katanya seperti tertulis di buku jenis coffee table setebal 278 halaman berharga jual Rp300.000.

Joe Hok mengaku selalu terganggu ketika diminta Surat Tanda Bukti Kewarganegaraan RI (SBKRI) dalam berbagai urusan dengan negara. Bahkan sekalipun undang-undang sudah menghapuskannya, pada praktiknya surat itu tetap diminta saat dia mengurus paspor pada awal 2009.

Meski tidak pernah mengungkapkannya, Joe Hok yang pernah merasakan pahit manisnya pemerintahan Presisden pertama RI Soekarno hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu, mengaku tidak mengerti mengapa masih ada orang yang meragukan kewarganegaraannya.

Menurut wartawan senior A.R. Loebis, salah satu penulis buku, Joe Hok telah berjuang bukan hanya untuk mengharumkan nama bangsa dan Republik Indonesia, tapi dengan caranya sendiri telah memperjuangkan persamaan hak bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa.

Apa yang diperjuangkan oleh Joe Hok, menurut Loebis, sebagian sudah bisa dinikmati oleh warga Tionghoa Indonesia. Meriahnya suasana menjelang Imlek sekarang ini tidak lepas dari jerih payahnya.

Orang-orang Tionghoa sudah bisa mendirikan sekolah sendiri, bebas menggunakan bahasa Mandarin, menerbitkan Koran berbahasa Cina, bahkan bisa menikmati berita Xin Wen di televisi.

Jika datang ke mal dan pusat-pusat perbelanjaan, suasana Gong Xie Fa Cai sangat meriah. Atraksi barongsai, lampu dan hiasan warna merah sangat mendominasi.

"Itu sedikit banyak ada sumbangsih dari Tan Joe Hok," kata Loebis usai bedah buku bersama grandsmaster catur Utut Adianto, Deputy V Menko Kesra Sugihartatmo, dan pejabat Kementerian Pemuda dan Olahraga Yuni Poerwanti.

Cerita tentang kiprah, prestasi dan perjuangan Tan Joe Hok di Indonesia dan Mohammad Ali di Amerika Serikat membuktikan bahwa olahraga bisa berdampak politis dan bisa dipolitisasi untuk tujuan-tujuan yang baik dan mulia.

Sportivitas dunia politik

Satu hal lain yang harus didorong dari dunia olah raga ke dunia lain, terutama dunia politik adalah aspek sportivitas.

Setiap atlet telah ditempa bahwa kalah menang dalam pertandingan adalah hal biasa. Yang penting adalah persiapan, latihan, dan memberikan yang terbaik.

Dalam dunia olahraga berlaku siapa cepat, siapa kuat, dia yang menang, yang juga merupakan motto Olimpiade, citius (lebih cepat), altius (lebih tinggi), fortius (lebih kuat). Siapa yang menang, dia yang terbaik.

Dalam dunia politik, kalah-menang menjadi tidak biasa. Politikus siap menang, tetapi belum tentu siap kalah. Itulah yang menyebabkan bangsa Indonesia, seperti disebut beberapa kalangan, sebagai bangsa yang ribut dan gaduh.

Oleh karena itu, sportivitas dalam dunia olahraga itu patut diadopsi pula oleh dunia politik, termasuk di Pansus DPR soal Bank Century. Itulah yang dimaksud politisasi olahraga. (*)
COPYRIGHT © 2010

Selasa, 05 Januari 2010

Yang Tak Diketahui Aditjondro dari "PSO" ANTARA

Oleh : Akhmad Kusaeni

"Don't judge a book by its cover". Sampul buku George Junus Aditjondro "Membongkar Gurita Cikeas di Balik Skandal Bank Century" tidak sesuai dengan isinya, khususnya mengenai yang terkait dengan persoalan tudingan dana PSO LKBN Antara dialihkan ke tim sukses SBY-Boediono.

Sebagai "orang dalam" Perum LKBN Antara, kami semua terkaget-kaget di buku kontroversial itu terselip bab khusus "Pemanfaatan PSO LKBN Antara untuk Bravo Media Center" sepanjang tiga halaman. Yang membuat Keluarga besar Antara tidak terima adalah tuduhan George bahwa "separuh dari dana PSO LKBN Antara yang berjumlah Rp40,6 miliar mengalir ke Bravo Media Center".

Tentu saja kami "orang dalam Antara" termasuk Dirut Ahmad Mukhlis Yusuf meradang. Pada kesempatan pertama, kami segera menyatakan melalui media bahwa tuduhan itu sama sekali tidak benar. Mekanisme, proses dan prosedurnya, tidak mungkin dana PSO itu dialihkan.

LKBN Antara segera menuntut agar George Aditjondro merevisi bukunya. Selain memberikan somasi, Direksi juga memutuskan untuk kampanye media dengan menjelaskan duduk perkaranya. Dirut Antara Ahmad Mukhlis tampil di sejumlah stasiun televisi dan di Metro TV berhadapan langsung dengan George Aditjondro.

"Tatap mata saya George, apakah ada kebohongan di sini?" kata Mukhlis sebelum diskusi dimulai.

George tidak berani menatap mata Mukhlis.

Sebaliknya, ketika Mukhlis hendak menatap mata George untuk memastikan tidak ada kebohongan dibalik matanya, penulis buku Gurita Cikeas itu memilih untuk menatap tembok atau langit-langit. Dari peristiwa itu, Mukhlis merasakan bahwa George tidak memiliki dasar kuat dalam tuduhannya.

"Maka ketika dialog ditayangkan langsung, saya pegang tangan George. Saya katakan jika tuduhan pengalihan dana PSO Antara itu tidak benar, tolong Pak George direvisi. Akhirnya dia mengakui keliru dan akan merevisi bukunya," kata Mukhlis.

Meskipun mengaku data dan informasi diperoleh dari "orang dalam Antara", sepertinya George tidak tahu apa dan bagaimana PSO Perum LKBN Antara. Akibatnya, kesimpulan dia soal pemanfaatan dana PSO itu ke Bravo Media Center menjadi blunder yang sangat keliru.

Berikut adalah penjelasan mengenai PSO LKBN Antara, siapa tahu berguna bagi George sebagai bahan revisi bukunya.


Pengertian dan landasan hukum

Landasan konstitusional pemerintah untuk memberikan subsidi dalam bentuk kewajiban pelayanan publik (PSO) antara lain pada pasal 34 UUD 1945, yang berbunyi: "Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak". Pasal tersebut dijabarkan dalam berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah di bawahnya, yang memberikan petunjuk teknis dan khusus mengenai peranan pemerintah dalam penyediaan pelayanan umum tersebut.

Pasal 66 UU tentang BUMN menyatakan bahwa dengan persetujuan para pemegang saham/Menteri Negara BUMN, pemerintah dapat mewajibkan sebuah BUMN untuk melaksanakan tugas khusus bagi kepentingan masyarakat. Penjelasan dari UU itu menyebutkan bahwa pemerintah berkewajiban menyediakan kompensasi bagi semua biaya yang ditimbulkan ditambah dengan margin jika penugasan itu tidak layak secara finansial.

Di sektor transportasi, misalnya, PSO diberikan kepada PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni), PT Kereta Api (KA), dan PT Perum Damri. Dana PSO dialokasikan untuk menjaga agar tarif angkutan terjangkau masyarakat.

Sekretaris Perusahaan Pelni Abubakar Goyim menjelaskan, Pelni menggunakan dana PSO untuk mengoperasikan kapal pada trayek-trayek pelayaran yang ditugaskan pemerintah. Misalnya, untuk membuka rute pelayaran ke Miangas atau Papua, yang sulit ditembus oleh pesawat udara sekalipun. Dana PSO itu untuk membayar selisih tarif yang dikenakan kepada penumpang.

Dari tahun ke tahun, besaran dana PSO Pelni disesuaikan dengan laju inflasi dan harga BBM. Tahun 2009, Pelni mendapat alokasi dana PSO Rp 635 miliar atau turun dari 2008 sebesar Rp 850 miliar karena penurunan harga BBM. "Dana sebesar itu digunakan untuk mengoperasikan 23 kapal yang harus melayani trayek yang ditugaskan pemerintah," jelas Abubakar dalam sebuah wawancara dengan media.

Dia mengakui, besaran PSO seringkali tidak sesuai dengan kebutuhaan riil di lapangan. Kondisi itu seringkali membuat Pelni merugi. "Namun kami harus tetap menjalankannya dan tidak boleh bilang bahwa PSO itu membebani perusahaan," tegas Abubakar.

Hal senada diungkapkan Kepala Komunikasi Publik PTKA Adi Suryatmini. PTKA menerima dana PSO agar tarif KA kelas ekonomi terjangkau sesuai daya beli masyarakat. "Dengan PSO, kami tidak merugi sedikitpun karena memang sudah menjadi tugas perseroan sebagai perusahaan negara," ungkap dia.

Dia mengakui, realisasi dana PSO seringkali tidak sesuai harapan. Untuk tahun ini misalnya, KA hanya mendapatkan alokasi dana PSO Rp 535 miliar, padahal perseroan mengusulkan dana PSO untuk operasional KA kelas ekonomi, termasuk memperbarui KA kelas tersebut, sebesar Rp 650 miliar.


Untuk menyebarluaskan informasi

Nah, ketika Antara menjadi Perusahaan Umum (Perum) pada tahun 2007, maka pemerintah melalui PP No.40 Tahun 2007 memberikan penugasan khusus melalui PSO untuk "peliputan dan/atau penyebarluasan informasi kegiatan kenegaraan dan kemasyarakatan baik di tingkat nasional, daerah, maupun internasional". Perum LKBN Antara juga ditugaskan untuk "menyediakan jasa berita, foto jurnalistik, grafik, data seketika, audio visual, teknologi informasi, dan multimedia lainnya yang berkaitan dengan kegiatan kenegaraan dan kemasyarakatan".

Sesuai Keputusan Menteri BUMN No. 101/MBU/2002 Pasal 12, maka "Seluruh biaya yang harus dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan penugasan oleh pemerintah, sepenuhnya menjadi beban pemerintah sebagai pemberi penugasan". Dibanding PT Pelni atau PT KA, dana PSO untuk Perum Antara tidak seberapa, yaitu Rp40,6 miliar (2008) dan Rp50 miliar (2009).

Penggunaan dana PSO itu dilakukan dengan aturan teknis yang ketat. Tidak semua berita yang diproduksi LKBN Antara bisa dibayarkan PSO-nya. Hanya yang memenuhi syarat dan kriteria yang ditugaskan saja yang bisa diklaim pembayarannya. Setiap bulan tim antar departemen, seperti Depkominfo, Depkeu dan Kementerian Negara BUMN, melakukan verifikasi atas berita tersebut. Berita/foto/gambar yang tidak lolos verifikasi digugurkan dan tidak bisa dibayar.

Untuk tahun 2009 misalnya, syarat berita yang bisa dibayarkan PSO-nya harus menyangkut lima tema, yaitu (1) Demokratisasi dan Pemilu; (2) Perkembangan dan Kebijakan ekonomi Indonedia di tengah krisis ekonomi global; (3) Millenium Development Goals (MDGs); (4) Karakter bangsa dan (5) Citra bangsa.

Intinya, Perum LKBN Antara ditugaskan untuk meliput dan menyiarkan berita-berita yang terkait dengan kepentingan public sesuai tema-tema tersebut. Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No.40 Tahun 2007 tentang Perusahaan Umum (Perum) LKBN Antara disebutkan tugas pokok dan fungsi Antara. Salah satunya adalah untuk memberikan dukungan dan memperlancar tugas Negara/pemerintah dalam penyebaran informasi publik dan informasi kebijakan pemerintah, kenegaraan dan kemasyarakatan, baik nasional maupun internasional, melalui bidang jurnalistik (pasal 7).

Terciptanya masyarakat yang melek informasi (informed society) adalah cita-cita ideal bangsa Indonesia. Adalah menjadi tugas semua stakeholder negara untuk membebaskan rakyat Indonesia dari kesengsaraan, lewat peningkatan kesejahteraan dan demokratisasi yang dicapai berkat pemanfaatan teknologi dan akses informasi.

Pada era reformasi dan industri sekarang ini, arus informasi seperti air bah yang menggulung siapa saja. Semua orang seperti tertabrak informasi baik melalui media cetak, radio atau televisi. Sayangnya, limpahan informasi tak kunjung mencerdaskan khalayak.

Reformasi telah membuka pasar industri media yang ramai dan hingar bingar. Namun, maraknya media massa tidak dibarengi dengan isi yang mendidik. Publik banyak disuguhi informasi yang sensasional, cenderung vulgar, provokatif, yang bersumber dari jurnalisme negatif ala "bad news is good news". Akibatnya, publik yang terseret banjir informasi mengalami titik kejenuhan informasi (information saturated).

Publik, dalam situasi seperti ini, hanya diposisikan sebagai khalayak pasif. Publik tak lebih dari konsumen yang habis-habisan dieksploitasi oleh pasar media maupun bisnis informasi. Hak masyarakat untuk mengetahui (people right to know) tidak terlayani dengan sebaik-baiknya oleh pelaksanaan industri pers komersial yang didikte oleh rating dan mekanisme pasar.


Disayangkan banyak pihak

Kondisi ini disayangkan banyak pihak. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada Hari Pers Nasional 9 Februari 2008 di Semarang mengajak pers untuk mengembangkan jurnalisme positif. Media diimbau untuk lebih obyektif untuk memberitakan persoalan kemasyarakatan dan kenegaraan sehingga bisa menumbuhkan harapan dan optimisme di kalangan rakyat.

Sedangkan pada Rapat Kabinet Terbatas yang membahas permasalahan Perum Antara di Istana Negara 28 Februari 2008, Kepala Negara juga secara khusus meminta Perum Antara betul-betul memberikan kontribusi optimal kepada bangsa dan negara dengan memberitakan suatu berita-berita yang sportif dan menarik dengan sudut pandangan kepentingan nasional.

Untuk itu, Perum LKBN Antara sebagai kantor berita nasional harus memiliki visi dan misi yang berbeda dengan pers komersial. Visi Antara adalah menjadi kantor berita berkelas dunia, terdepan di Asia Pasifik, dalam mewujudkan masyarakat berbasis pengetahuan. Sedang misinya adalah menyebarluaskan informasi tentang Indonesia ke dalam dan ke luar negeri dengan menyediakan informasi secara cepat, akurat dan penting.

Perum Antara juga mendapat penugasan khusus dari pemerintah melalui PSO untuk menyediakan jasa berita teks, foto, dan TV (audio visual) yang berkaitan dengan kegiatan kenegaraan dan kemasyarakatan yang bertitik tolak pada tema-tema yang menyangkut kepentingan publik.

Sebagai sebuah kantor berita yang didirikan oleh pendiri bangsa dan menjunjung tinggi etika jurnalistik, Perum Antara menyadari sepenuhnya bahwa tugas utama media adalah mengabdi kepada kebenaran dan loyalitasnya adalah kepada kepentingan publik, bukan kepada politisi atau siapapun. Dengan demikian, jika ada yang menuding bahwa Antara bekerja untuk kepentingan politisi tertentu atau mengalihkan dana PSO kepada tim sukses calon presiden tertentu, itu berarti sangat naif dan tidak masuk akal.

Jika George Aditjondro tidak mau dibilang naif dan seorang "non-sense", seharusnya pada kesempatan pertama dia meminta maaf dan merevisi kembali bukunya.(*)
COPYRIGHT © 2010

http://www.antaranews.com/berita/1262500770/yang-tak-diketahui-aditjondro-dari-pso-antara

Ahmadinejad Kecam Media Barat

Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad mengecam media Barat yang dianggap tidak sehat dan sering memberitakan miring terhadap dirinya dan negara-negara berkembang seperti Iran dan Indonesia.

"Mereka mengklaim independen, tetapi sesungguhnya punya angle dan agenda pemberitaan sendiri. Media seperti itu tidak sehat dan negatif," katanya menjawab pertanyaan wartawan Antara Akhmad Kusaeni di Teheran, Selasa.

Kepada Ahmadinejad ditanyakan apakah dirinya merasa tidak senang dengan pemberitaan media Barat yang selalu memojokan dirinya dan Iran.

Presiden yang dikenal vokal dan bersuara keras terhadap Amerika Serikat itu mengatakan dirinya tidak terganggu dengan media Barat yang suka menjadikannya bulan-bulanan.

"Saya tidak bersedih kalau orang jahat memberitakan negatif terhadap Iran, karena sudah pasti itu kebohongan. Tapi saya sangat sedih kalau orang baik seperti anda memberitakan hal miring terhadap Iran," katanya.

Media Barat dan media di Asia Pasifik, katanya, punya cita rasa yang berbeda dalam memilih angle pemberitaan dan agenda liputannya. Media di Asia Pasifik cenderung mengarah kepada pemberitaan yang sejuk, damai dan menyebarkan persahabatan ke seluruh penjuru dunia.

"Laporannya yang akurat membuat hati dan gagasan bersatu untuk kehidupan yang lebih baik. Saling menghargai antara negara adalah karakter dari media di negara berkembang," katanya.

Sedangkan media Barat yang dipengaruhi Yahudi, menurut Ahmadinejad, penuh prasangka dan siasat. Media Barat selalu membesar-besarkan hal-hal kecil di negara berkembang seperti Iran dan Indonesia, sementara mereka mengabaikan persoalan dan isu besar seperti yang terjadi di Palestina dan di Amerika Serikat sendiri.

Sebagai contoh, masalah kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Israel di jalur Gaza oleh media Barat diputarbalikan mengenai siapa si jahat dan siapa si baik. Media Barat membalikan fakta dengan menggambarkan warga Gaza sebagai teroris, sementara Israel disebutkan sebagai pembela dunia bebas.

Contoh yang lain, Ahmadinejad mengatakan, jika terjadi keributan kecil di penjara Indonesia atau unjuk rasa di Iran, media Barat dengan gegap gempita memberitakannya. Peristiwa yang biasa dan wajar terjadi di mana saja itu menjadi fokus pemberitaannya.

"Mereka memberitakan peristiwa di Indonesia atau di Iran itu dengan bersemangat. Diberikan analisa, diambil kesimpulan, seolah-olah hal besar dan buruk terjadi di negeri kita," katanya.

Tidak Adil

Sudut pandang pemberitaan seperti itu menurut Ahmadinejad, merupakan sudut pandang yang sangat tidak adil.

Ia mengatakan, keributan di penjara Amerika Serikat dan penanganan refresif terhadap pengunjuk rasa di negara Barat tidak diliput dan dianalisa sebagaimana mereka melakukannya terhadap peristiwa yang terjadi di Indonesia atau Iran.

"Berapa banyak kerusuhan besar di penjara Amerika dan kebrutalan aparat keamanan di sana yang terjadi. Tapi kita tidak melihatnya ada dan dibesar-besarkan di media," lanjutnya.

Presiden Iran itu menceritakan pengalamannya ketika berkunjung ke New York saat Sidang Majelis Umum PBB beberapa bulan lalu. Hampir semua media utama di negeri itu seperti Washington Post, New York Times, Newsweek, dan jaringan televisi AS, mewawancarainya.

Yang mengherankan Ahmadinejad adalah hampir semua pertanyaan, arah pemberitaannya, dan hasil liputannya sama.

"Ini mengherankan. Bagaimana mungkin terjadi? Mereka mengklaim diri independen, tapi ternyata sama semua. Barangkali pemilik media-media yang sepertinya banyak itu hanya satu, yaitu kaum Yahudi," tegasnya sambil mengusap janggutnya yang lebat.

Untuk mengakhiri dominasi pemberitaan media Barat yang seperti itu, Ahmadinejad menyerukan agar anggota Organisasi Kantor Berita Asia Pasifik (OANA) yang beranggotakan 40 kantor berita dari 33 negara itu bersatu dan bersinergi dalam menyuarakan kebenaran dan perdamaian.

"Hanya dengan cara itu, dominasi media Barat yang dipengaruhi Yahudi, bisa diimbangi dan diakhiri di masa depan," demikian Presiden Ahmadinejad. (*)
COPYRIGHT © 2009

http://www.antaranews.com/berita/1258444942/ahmadinejad-kecam-media-barat

Loyalitas Menteri

Oleh : Akhmad Kusaeni

Politik adalah seni meraih kekuasaan. Satu-satunya cara memiliki kekuasaan itu adalah dengan mengendalikan pemerintahan atau paling tidak, berada di pemerintahan.

Loyalitas, di sisi lain, adalah sebuah bentuk kesetiaan kepada partai. Loyalitas memerlukan kesetiaan, pengabdian dan kejujuran. Seorang loyalis siap mengorbankan apa saja untuk partainya. Loyalis adalah serdadu partai dalam arti kata yang sebenarnya. Ia akan mempersembahkan hati, jiwa dan raganya untuk kemaslahatan partai.

Ketika sejumlah politisi dan pimpinan partai berada di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, apakah loyalitas masih relevan dalam politik Indonesia sekarang ini? Tentu saja.

Kata ”loyalitas” tidak akan pernah bisa terhapus dari kamus perbendaharaan politik di negeri ini, atau di negeri mana saja. Setiap ada pemerintahan baru atau terbentuknya kabinet baru, kata ”loyalitas” selalu muncul dalam dua bentuk yang berseberangan 180 derajat.

Di satu sisi ada pihak yang mempertanyakan loyalitas para menteri baru dalam kabinet, khususnya yang berasal dari partai-partai koalisi. Di pihak lain, Presiden atau Perdana Menteri yang membentuk kabinet, meminta para menterinya menanggalkan loyalitas kepada partainya dan diganti menjadi loyalitas kepada bangsa dan negara.

Loyalitas ke partai berhenti

Pada tahun 1941, Presiden Persemakmuran Filipina yang pertama, Manuel L.Quezon, mengemukakan kalimat yang paling banyak dikutip ketika orang membicarakan masalah loyalitas politik atau loyalitas kabinet.

”My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins", begitu kata Ketua Senat yang terpilih menjadi Presiden Filipina.

Banyak orang salah sangka mengira kutipan itu berasal dari Presiden Amerika Serikat John F Kennedy. Nyatanya, literatur sejarah merujuknya ke Quezon. Dalam bahasa Tagalok, kutipan Quezon itu berbunyi “Ang katapatan ko sa aking partido ay magwawakas sa pagsibol ng katapatan ko sa aking bansa."

Itu tahun 1941. Pada 22 Oktober 2009 di Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika melantik 34 menteri kabinetnya, mengatakan hal yang hampir sama dengan yang dikemukakan Quezon.

SBY meminta para menteri, anggota Kabinet Indonesia Bersatu II, untuk menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan partai politik, kelompok, atau golongan.

SBY perlu wanti-wanti dari awal soal loyalitas ini karena sebanyak 19 dari 34 menteri berasal dari partai politik. Di antara mereka bahkan ada ketua umum parpol, yaitu Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suryadharma Ali yang menjadi Menteri Agama.

”Dari mana pun Saudara berasal, termasuk dari partai politik mana pun, saya berharap letakkanlah kepentingan pemerintah, bangsa, dan negara di atas kepentingan partai politik, kelompok, atau pun golongan. Jangan di balik,” kata SBY.

Jelas, SBY yang pemerintahannya merupakan hasil koalisi multipartai, menekankan pentingnya loyalitas.

Monoloyalitas

Jika diamati sejarah kabinet masa Orde Baru, dari Kabinet Pembangunan I (1968-1973) sampai Kabinet Pembangunan V (1988-1993), Presiden Soeharto bukan hanya menekankan pentingnya loyalitas, bahkan ia menuntut monoloyalitas dari para menteri-menterinya. Sebaliknya, Soeharto juga sangat loyal terhadap para menteri-menterinya.

Dalam buku ”Anatomi Indonesia Inc.”, Christianto Wibisono menulis bahwa Soeharto memberikan kepercayaan bulat dan tuntas kepada pembantu mandataris yaitu para menteri. Jarang dan tidak pernah ada menteri yang diberhentikan dalam masa jabatan, semuanya selamat melewati masa bakti mereka.

Soeharto sebagai atasan, kata Christianto, berani memilih, berani mempertanggungjawabkan pilihan, dan membela bawahan sebagai pembantu, mengambil alih tanggung jawab politis dari menteri yang bersangkutan apa pun kesalahannya.

Menurut Christianto, loyalitas tipe demikian ini dapat menumbuhkan esprit de corps yang tinggi dan juga loyalitas balik dari para menteri, sehingga mereka diharapkan akan memberikan ”imbalan” berupa kerja keras, prestasi tinggi atas ”kemurahan hati loyalitas” atasan yang telah mempercayakan sebagian hidup jutaan rakyat pada sektor tentu ke pundak menteri yang bersangkutan.

Jika loyalitas pimpinan yang demikian tinggi sampai disalahgunakan oleh para bawahan, maka menteri yang tidak melaksanakan tugas dengan baik sehingga merugikan kepentingan nasional yang mencolok, tentu menteri itu ”dosanya dobel”, karena sudah dibackingi dan diproteksi oleh wibawa Mandataris yang demikian loyal toh masih tega menyalahgunakan atau tidak melaksanakan tugas dengan baik.

Riwayat lima kali kabinet Orde Baru yang hampir tidak ada menteri pun yang diganti di tengah masa jabatan, masih menurut analisis Christianto Wibisono, membuktikan prinsip manajemen para menteri oleh presiden Soeharto itu berdasarkan pada monoloyalitas.

Presiden Soeharto berasumsi bahwa seorang menteri akan melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab karena telah dipercaya oleh mandataris.

Suka atau tidak suka, itulah sejarah kabinet Indonesia pada masa Orde Baru yang tidak bisa diabaikan. Manajemen para menteri oleh presiden Soeharto itu bisa dijadikan pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia. Apa yang baik diambil. Apa yang buruk ditinggalkan.

Presiden adalah nakhoda

Kembali ke Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, menteri-menteri yang terpilih dari mana pun asalnya, harus loyal kepada Presiden sebagai Kepala Negara dan Mandataris MPR. Bukan hanya karena pepatah bijak ”loyalitas kepada partai harus berhenti kepada loyalitas kepada negara dimulai”, tetapi justru yang lebih utama karena sistim pemerintahan Indonesia menganut sistem kabinet presidensial.

Dengan sistem presidensial, maka dalam hubungan kerja pemerintahan, loyalitas dan pertanggungjawaban anggota kabinet harus diberikan kepada Presiden.

”Presiden adalah nakhoda. Loyalitas dan garis pertanggungjawaban Saudara adalah kepada Presiden, bukan kepada pemimpin partai politik,” kata SBY mengingatkan kabinetnya.

Apa yang disampaikan Presiden itu sebetulnya bukan hanya berlaku kepada para menteri, tapi juga berlaku kepada seluruh bangsa dan rakyat Indonesia. Mayoritas rakyat Indonesia dalam Pemilu 2009 telah memilih SBY-Boediono sebagai nakhoda. Sang nakhoda telah memilih para pembantunya dengan seksama dan tidak gegabah, lewat proses fit and proper test yang terbuka dan bisa dipertanggungjawabkan.

Para pembantu presiden itu telah menandatangani kontrak sosial dan pakta integrita. Sudah diingatkan mengenai loyalitasnya. Sudah diwanti-wanti harus langsung kerja dan tidak ada masa bulan madu.

Oleh karena itu yang terbaik bagi bangsa ini adalah membiarkan nakhoda bersama para pembantunya membawa kita semua berlayar ke tujuan Indonesia lebih makmur, lebih stabil, aman sejahtera. Beri mereka waktu untuk berlayar dan berlabuh.

Jangan terlalu digrecoki. Hentikan sedu sedan itu.
(***)

http://www.antaranews.com/kolom/?i=1256365576

Menonton Murdoch Menasehati China

Oleh : Akhmad Kusaeni

China memang kolosal. Negeri ini negeri besar yang suka mengadakan hal besar-besar untuk menunjukkan kebesarannya. Setelah sukses menyelenggarakan Olimpiade tahun lalu, kali ini China kembali menggelar pertemuan tingkat dunia bagi para pemilik, penerbit, dan CEO media yang dinamakan World Media Summit atau WMS pada 9-11 Oktober 2009.

Maka tumplek blek para tokoh pers di Beijing. Ada raja media Rupert Murdoch yang juga bos News Corporation. Ada David Schlesinger, Pemimpin Redaksi Thomson-Reuters dan Richard Sambrook, Direktur kantor berita BBC London. Ada juga Steve Marcopoto dari Turner Media Corporation dan Presiden Organisasi Kantor Berita Asia Pasifik Ahmad Mukhlis Yusuf yang juga Dirut Perum LKBN ANTARA.

Pokoknya ramai deh. Ada sekitar 170 CEO media yang diundang. Dari Indonesia saja, selain Ahmad Mukhlis Yusuf tampak berbatik ria pada jamuan makan malam adalah Dahlan Iskan dari Jawa Pos Group dan Budiman Tanuredjo dari Kelompok Kompas Gramedia.

Saya beruntung juga bisa hadir di hingar bingarnya WMS dan menikmati Peking Duck di negeri asalnya sendiri.

Kumpul-kumpulnya para bos industri media itu mirip North Sea Jazz Festival. Satu persatu mereka tampil di panggung. Mereka menyampaikan pandangan mengenai berbagai hal yang dihadapi media, dari mulai dampak krisis ekonomi, pengaruh revolusi teknologi informasi, sampai masa depan media di tengah gandrungnya masyarakat akan internet, blog, facebook, twitter, mySpace, Youtube, dan jaringan sosial online lainnya.

Tepuk tangan riuh rendah terdengar begitu para selebriti media itu selesai pidato. Yang paling banyak menarik perhatian tentu saja Rupert Murdoch. Boleh jadi dia adalah bintang WMS.

Itu bukan saja karena Murdoch memiliki jaringan media yang bisa diakses di lima benua, menerbitkan 175 koran di seluruh dunia termasuk New York Post dan Times of London, dan menguasai 35 stasiun televisi termasuk industri film Twentieth Century Fox dan Fox Network.

Membuat panas kuping

Murdoch menjadi perhatian karena apa yang dikatakannya cukup membuat panas kuping pemimpin China. Di tengah merebaknya isu Internet diawasi dan dibatasi, serta Facebook dan YouTube ditutup aksesnya di negeri Tirai Bambu, Murdoch justeru meminta agar China lebih terbuka PADA era digital dan globalisasi sekarang ini.

”Dunia ingin China maju. Kami memahami bahwa tak ada tantangan besar global yang kita hadapi --seperti perubahan iklim, proliferasi nuklir, terorisme dan kemiskinan-- tidak akan bisa diatasi tanpa keterlibatan aktif dari China yang makmur dan berhasil. Untuk itu membuka diri PADA era digital sangat penting bagi China,” katanya.

Murdoch memberi sejumlah saran pribadi. China, katanya, akan banyak mendapat kritikan karena posisinya di panggung dunia sebagai superpower. Tapi, sebaiknya Beijing tidak terlalu reaktif berlebihan terhadap kritikan tersebut.

”Saya punya pengalaman pribadi mengenai masalah ini,” katanya.
”Di mesin pencari Internet anda bisa lihat sendiri bagaimana kritikan dan hujatan terhadap orang yang namanya Rupert Murdoch. Tapi itu hanya mitos dan akhirnya tidak terbukti,” katanya.

Jika diketik nama Rupert Murdoch di Google, misalnya, maka akan banyak ditemukan tulisan dan artikel negatif seperti pencinta perang, pendukung pemerintahan diktator, imperialist minyak, dan pengemplang pajak.

Murdoch merasa banyak dikritik karena dia punya pengaruh besar. Hanya orang-orang yang punya posisi dan pengaruh besar yang menjadi sorotan. Bukankan pepatah mengatakan bahwa makin besar dan makin tinggi pohon, makin keras pula mendapat terjangan angin. Kalau tidak mau diterpa angin kencang, cukup lah jadi rumput yang biasa terinjak dan diinjak.

Kritikan dan hujatan

Begitu juga dengan China yang sedang naik daun. Saat China naik sebagai pemain utama di panggung ekonomi dan politik dunia, menurut Murdoch, konsekuensinya adalah kritikan dan hujatan.

”Orang-orang media yang ada di ruangan ini pasti akan mengkritik China. Nasihat pribadi saya, jangan panas kuping dan menganggap itu terlalu pribadi,” katanya.

Entah karena nasihat Murdoch atau inisiatif sendiri, Presiden China Hu Jintao bersumpah untuk lebih membuka diri kepada media di dalam dan luar negeri.

”Pemerintah akan mengawal hak-hak dan kepentingan media asing dan terus memberikan fasilitas bagi wartawan internasional yang beroperasi di negeri ini,” katanya.

Hu menjanjikan semua kegiatan dan kebijakan pemerintah akan disampaikan secara terbuka kepada publik. Ia juga mengizinkan media asing untuk meliput ke pelosok negeri itu.

”Itu kami lakukan karena media asing bisa membuat dunia memahami China dan membantu persahabatan rakyat negeri ini dengan masyarakat di luar China,” kata Hu yang dikenal sebagai arsitek China modern dan kebijakan pintu terbuka China.

Pada Januari 2007, China mengeluarkan aturan bagi peliputan Olimpiade yang memberikan kebebasan yang belum pernah terjadi sebelumnya kepada media asing. Wartawan-wartawan asing boleh melakukan wawancara dan meliput secara bebas seperti pada gempa bumi di Sichuan bulan Mei 2008 dan keributan etnis di Urumqi.

Saat kerusuhan meledak pada 5 Juli 2009, sebanyak 200 wartawan asing melaporkannya secara langsung dari tempat kejadian. Itulah China yang berusaha makin terbuka dan ingin dimengerti oleh dunia. (*)
COPYRIGHT © 2009