Kamis, 16 Oktober 2008

Politik Rasis di Pemilu Amerika Serikat

Oleh Akhmad Kusaeni

Jakarta (ANTARA News) - Terlalu berlebihan bila menuding Amerika Serikat sebagai bangsa yang rasis. Tapi, politik rasisme sedang jadi guncingan panas di negeri Paman Sam pada hari-hari terakhir menjelang pemilihan presiden bulan Nopember mendatang.

Para analis dan komentator sibuk memperdebatkan, apakah memilih Barack Obama sebagai Presiden merupakan sebuah upaya melawan rasisme yang selama ratusan tahun berjalan di Amerika Serikat?.

Apakah seorang kulit hitam di Gedung Putih (garis bawahi kata Putih) akan mengakhiri secara simbolik kredo politik AS bahwa hanya kulit putih yang berhak memimpin negara pembela kapitalis itu?.

Selama ini dalam sejarah politik AS diyakini bahwa hanya M-W-P-A yang bisa menjadi pemimpin politik tertinggi di negeri itu. MWPA adalah singkatan dari Male (laki-laki), White (Kulit Putih), Protestant (Beragama Protestan) dan Anglo-Saxon (berasal dari nenek moyang dari Eropa, khususnya Inggris).

Kredo MWPA ini tidak terlepas dari sejarah panjang asal usul bangsa AS yang oleh para pendiri bangsanya didirikan atas fondasi yang sebetulnya berbau rasisme dan bias gender.

Itulah sebabnya, dari 42 Presiden AS sampai sekarang tidak pernah ada yang kulit hitam atau kuning. Belum ada wanita yang jadi presiden atau wakil presiden. Belum ada orang Amerika keturunan Afrika atau Asia yang duduk di Gedung Putih. Memang pernah ada John F Kennedy yang beragama Katholik jadi Presiden, tapi kemudian dia ditembak di Dallas.

Munculnya Obama sebagai kandidat presiden yang populer menjungkirbalikan fondasi dasar sistem politik AS. Obama memang laki-laki, tapi dia kulit hitam, berasal dari Afro-Amerika. Meskipun dia sudah mengumumkan beragama Protestan, tetapi tetap saja dihubungkan dengan latar belakang masa kecilnya yang pernah bersekolah di Indonesia, negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.

Jadi, seperti dikemukakan komentator politik Ron Jacobs, Pemilu di AS akan menjadi tonggak sejarah baru sistim politik di negeri itu. Pilihannya bukan lagi pada Partai Republik atau Partai Demokrat. Pilihannya bukan lagi pada John McCain atau Barack Obama. Tapi pilihannya adalah apakah bangsa AS akan mengakhiri kredo MWPA atau tidak?

Sudah relakah bangsa AS dipimpin oleh "orang yang bukan satu di antara kita" (meminjam istilah kandidat wakil presiden Sarah Palin).

Sebagian warga AS dengan tegas menyatakan tidak. Dalam alam bawah sadar bangsa AS, rasisme berurat berakar sepanjang sejarah berdirinya bangsa itu. Sampai saat ini di dalam alam pikiran jutaan rakyat AS, mereka belum bisa menerima dengan ikhlas seorang lelaki kulit hitam, bersama isteri dan anak-anaknya, bisa tinggal di sebuah gedung yang namanya saja jelas-jelas "White House" atau Gedung Putih.

"Orang kulit hitam di Gedung Putih? It is not American dream, but American nightmare," komentar seorang warga di kampanye Palin.

Bukan Amerika

Kelompok sayap kanan mengumbar tudingan yang mengasosiasikan Obama dengan Osama bin Laden dan orang yang membenci Amerika. Mereka mengkampanyekan bahwa latarbelakang multikultural Obama yang lahir dari ayah yang berasal dari Kenya dan masa kecil di Indonesia- sebagai bukan Amerika (Unamerican).

Fakta itu sebagai ancaman atas keamanan nasional AS.

Tidak heran jika dalam kampanye Partai Republik, terutama kampanye Sarah Palin, muncul sentimen rasis terhadap Obama. Teriakan-teriakan "kill him" dan "terrorist" kerap terdengar dan mengumandang. Banyak yang khawatir Obama akan ditembak seperti halnya JFK, sehingga pengamanannya belakangan ini diperketat dan diperkuat.

Jika Obama memenangi Pemilu, maka bangsa AS memasuki babak baru. Obama akan mengakhiri dominasi politik kulit putih di Gedung Putih. Masuknya Obama di lingkaran utama arus besar kekuatan politik AS menjadi sesuatu yang bersejarah.

Jika benar nanti Obama disumpah menjadi orang nomor satu di AS, maka nilai kesejarahan Obama bisa disandingkan dengan Abraham Lincoln yang mengakhiri perang saudara yang sangat berdarah dan sekaligus mengakhiri perbudakan di AS.

Obama di Gedung Putih membuktikan bahwa impian Amerika seperti dikemukakan tokoh kulit hitam Martin Luther King terwujud dan menjadi kenyataan.

Marthin Luther King terkenal dengan pidato "I have a dream" yang membara pada 28 Agustus 1963. Pidato di depan makam Abraham Lincoln yang dihadiri 250.000 demontran kulit hitam itu menjadi salah satu pidato yang penuh inspirasi dan mengubah dunia, setidaknya AS.

Dengan suara menggelegar, King di podium memegang mikrofon berujar, "Saya punya mimpi bahwa suatu hari bangsa ini akan bangkit dan hidup sesuai dengan kredonya bahwa setiap orang memiliki hak yang sama.

"Saya punya mimpi bahwa empat anak saya suatu saat akan hidup dalam sebuah negara di mana dia tidak lagi dilihat dari warna kulitnya, tapi dari sikap tindak perbuatannya.

"Saya punya mimpi bahwa suatu saat di bukit Georgia ini anak-anak para budak dan anak-anak pemilik budak akan bisa duduk bersama di meja persaudaraan.

"Inilah harapan kita. Saatnya kita mengakhiri ketidakadilan rasial dan menuju kepada persaudaraan yang kokoh.

"Kita harus mempercepat terwujudnya impian itu di mana seluruh anak-anak Tuhan: kulit hitam dan kulit putih, Yahudi dan Muslim, Protestan dan Khatolik, bisa bergandeng tangan dan bernyanyi seperti hymne spritual Negro: Bebas! Akhirnya Bebas!"

Pidato itu dikumandangkan lebih dari 40 tahun lalu. Jika Obama menang bulan depan dan masuk Gedung Putih, berarti diperlukan waktu empat dekade untuk mewujudkan impian itu.

Sebaliknya, jika McCain yang berjaya, pejuang-pejuang persamaan hak dan anti-rasisme masih memerlukan waktu untuk mewujudkan impian Marthin Luther King tersebut. Tapi, paling tidak, AS akan punya wanita pertama, Sarah Palin, yang menjadi wakil presiden. Tidak terlalu buruk.
(*)

Jumat, 10 Oktober 2008

Neoliberalisme Telah Mati

Oleh Akhmad Kusaeni

Jakarta (ANTARA News) - Krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat menjadi bukti sakaratul maut sistim pasar bebas. Neoliberalisme telah mati!

Neoliberalisme yang selama ini diagung-agungkan telah runtuh. Salah satu pilar penyangga liberalisme ekonomi adalah pasar bebas. Biarkan si "invicible hand" mengatur segalanya berdasar hukum "supply and demand".

Berikan kebebasan total arus kapital, barang dan jasa. Kredo pasar bebas adalah pasar yang tidak diatur dan diintervensi adalah cara terbaik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Hanya melalui pasar bebas pertumbuhan ekonomi bisa dicapai.

Ekonom-ekonom pembela pasar bebas sangat percaya bahwa "The best government is the least government". Ekonom tersebut, yang Indonesia dikenal sebagai Mafia Berkeley, sering berguyon bahwa pertumbuhan ekonomi paling cepat di malam hari, ketika pemerintah sedang tidur.

Ternyata pasar bebas itu kini tidak berlaku lagi di negeri yang menjadi pusaran dinamonya. Justeru pertumbuhan ekonomi jadi anjlog dengan pasar yang kelewat bebas. Justeru pemerintahan George W Bush yang tidak bisa tidur, sibuk melakukan intervensi dan berusaha membelenggu si "invisible hand".

Bush menghadapi dilema gawat menghadapi krisis keuangan terberat setelah depresi tahun 1930-an. Pemerintahannya memutuskan untuk melakukan campur tangan. Atas persetujuan Kongres AS, Bush menggelontorkan dana talangan lebih dari satu triliun dolar guna menyelamatkan Lehman Brothers dan perusahaan-perusahaan raksasa Wall Street lain yang diambang kebangkrutan.

"Kita harus bertindak," kata Bush di depan Kongres.

Ia tidak percaya lagi bahwa tangan-tangan ajaib bisa mengoreksi sendiri krisis keuangan yang melanda AS dan berimbas pada seluruh tata ekonomi internasional.


Sudah Dikumandangkan

Ketidakpercayaan atas liberalisasi ekonomi sebetulnya sudah dikumandangkan para ahli dan politisi di Amerika sendiri. Majalah Newsweek edisi 7 Januari 2008 memuat tulisan kolumnis Robert J Samuelson yang berjudul "Selamat Tinggal pada Perdagangan Bebas".

Samuelson menjelaskan bahwa munculnya liberalisasi bersamaan dengan krisis tahun 1929. Waktu itu ada kepercayaan bahwa proteksionisme memperparah depresi AS. Faktor munculnya liberasisasi juga didorong oleh situasi Perang Dingin.

Ada keyakinan bahwa komunisme dapat dilawan dengan saling mensejahterakan negara-negara Barat melalui perdagangan bebas. Pada titik tertentu memang benar adanya. Ketika komunisme runtuh dan sosialisme ambruk dengan bubarnya Uni Soviet, Barat merayakan kemenangan dan "kebenaran" sistim liberalisme atas komunisme/sosialisme.

Francis Fukuyama bahkan berani mengatakan dengan tumbangnya komunisme waktu itu, maka sejarah telah mati. Fukuyama menulis buku "The End of History" untuk menamai era baru pasca Perang Dingin. Sebuah era dunia baru dimana demokrasi dan liberalisasi ekonomi yang akan menjadi nilai dasarnya. Sebuah era baru yang akan membuat dunia lebih damai dan lebih sejahtera di bawah naungan kapitalisme.

Sejak saat dimana Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara adidaya, baik di bidang politik dan ekonomi, maka tidak ada halangan lagi untuk menyebarluaskan demokrasi dan liberalisasi. AS terobsesi untuk untuk menjadikan seluruh negara di dunia menjadi negara demokrasi, karena "sesama negara demokrasi tidak saling memerangi".

Negara yang dikatakan masih belum demokratis seperti Irak, Iran dan Korea Utara, perlu dibebaskan. Bilamana perlu, demokrasi ditegakkan di bawah todongan senjata. Diktatur seperti Saddam Hussein mesti digulingkan. Tentara AS harus dikerahkan. Invasi kemudian dilakukan.


Dikucilkan

Negara-negara yang belum menerapkan perdagangan bebas harus ditekan dan didikucilkan. Hambatan-hambatan terhadap tarif harus dihilangkan. Ruang bebas terhadap perdagangan internasional dan investasi seperti AFTA, NAFTA, atau kawasan free trade area harus dibuka selebar-lebarnya.

Lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan IMF dijadikan alat untuk meliberalisasi ekonomi negara-negara yang membutuhkan bantuan keuangan. Negara-negara yang menolak bergabung dengan WTO atau enggan dipulihkan ekonominya oleh IMF, diberikan sanksi. Bilamana perlu diembargo.

Garisnya sangat jelas. Ikut demokrasi dan liberalisasi atau rasakan akibatnya. Diplomasi "wortel dan pentungan" sudah biasa dilakukan AS.

Itulah dunia yang didambakan dalam konsep "American Dream" yang ternyata hanya utopia. Demokrasi dan liberalisasi ekonomi ternyata tidak seindah yang dimimpikan. Ketika Great Depression (1929) dan Perang Dingin tidak relevan lagi, maka liberalisasi kehilangan mesin pendorongnya. Itu sudah diramalkan sendiri oleh para ahli ekonomi AS, macam Samuelson atau Joseph Stiglitz.

Ekonomi dunia yang "booming" ternyata juga membuat paham liberalisme melemah. China yang dianggap sebagai negara yang proteksionis dan tidak liberal, ternyata bisa tumbuh ekonominya secara mencengangkan. Prof. Kishore Mahbubani dari Singapura meramalkan ekonomi China akan melewati AS dalam tempo kurang dari sepuluh tahun lagi.

"Kita menyaksikan perekonomian Amerika Serikat yang menurun dan Asia yang menanjak, terutama China dan India," katanya.


Mengkhianati

Selain ekonom, politisi AS juga mulai mengkhianati liberalisasi. Hillary Clinton dalam setiap kampanye menyatakan teori-teori yang melandasi perdagangan bebas tidak berlaku lagi dalam era globalisasi.

Jika terpilih sebagai presiden, seperti dikutip Financial Times edisi 3 Desember 2007, Hillary menyatakan akan meninjau kembali perjanjian perdagangan NAFTA, walaupun yang menandatanganinya tahun 1993 adalah suaminya sendiri.

Pengkhianatan terbesar terhadap liberalisasi ekonomi dilakukan oleh pemerintah Bush. Alih-alih membiarkan mekanisme pasar di Wall Street mengoreksi diri sendiri, Bush memberi dana talangan tanpa banyak persyaratan semacam ketika Bank Indonesia menggelontorkan BLBI. Tak ada batas waktu kapan dikembalikan dan batas maksimum dana yang dikucurkan. Tak ada pula keharusan perusahaan merestrukturisasi diri.

Amerika Serikat telah menyimpang dari pakemnya sendiri. Jika AS saja sudah tidak percaya terhadap kredonya sendiri, apalagi yang lain. Mungkin sudah saatnya dunia, seperti dikumandangkan oleh Samuelson, untuk mengucapkan "Selamat Tinggal Perdagangan Bebas".

Telah mati: Liberalisasi ekonomi.(*)

Jumat, 19 September 2008

BUKIT PARA SYUHADA

Oleh Akhmad Kusaeni

Jakarta, 15/9 (ANTARA) - Salah satu tempat yang dikunjungi masyarakat kota Baku, Azerbaijan, pada masa ramadhan dan menjelang lebaran adalah Bukit Para Syuhada.

Di bukit itu dimakamkan ratusan korban pembantaian tentara Uni Soviet menjelang keruntuhannya.

20 Januari 1990 adalah hari yang akan melekat dalam sejarah rakyat Azerbaijan, negeri kaya minyak bekas bagian Uni Soviet di tepi Laut Kaspia.

Pada hari itu terjadi "pembantaian" yang dilakukan oleh mesin militer Uni Soviet terhadap rakyat Azerbaijan.

"Itu lembaran hitam yang tak pernah bisa dilupakan sebagai kejahatan kemanusiaan yang paling biadab," kata Direktur Jenderal Kantor Berita Azertac Aslan Aslanov ketika membawa rombongan wartawan dari kawasan Asia Pasifik ke bukit itu awal ramadhan.

Di bukit dengan bangunan mesjid di halaman depannya itu ratusan orang yang terbunuh atau terluka akibat pembantaian dikenang. Para korban adalah rakyat Azerbaijan yang berusaha menyampaikan aspirasi untuk menjadi negara yang bebas merdeka.

"Ini kejahatan kemanusiaan dari rejim Uni Soviet yang terancam bubar dan pecah," kata Aslan.

Pasukan tentara Soviet dengan mesin perang mereka masuk ke Baku, ibukota Azerbaijan, tanpa diduga. Mereka, jumlahnya sekitar 60.000 orang, mendapatkan latihan militer, termasuk latihan kejiwaan, sebelum operasi "pemberangusan".

Dalam laporan resmi kelompok pejuang hak asasi manusia disebutkan bahwa komandan tentara memberi perintah kepada pasukan yang akan berangkat untuk melakukan pembantaian.

"Kalian dikirim ke Baku untuk melindungi orang-orang Rusia, karena rakyat setempat dengan brutal membasmi orang Rusia," katanya.

Si komandan menjelaskan bahwa para ekstrimis telah menempatkan penembak jitu di setiap atap gedung. Apartemen dan setiap bangunan dipenuhi pemberontak dari Popular Front of Azerbaijan.

Mereka siap menanti kedatangan kalian dengan senjata mesin mereka, demikian doktrin yang ditanamkan kepada para tentara Soviet ketika itu.

Kartu Rusia
Kepemimpinan Uni Soviet di bawah Mikhail Gorbachev mengambil keuntungan dengan memanfaatkan kartu "Rusia dan Armenia" dengan jitu.

Tentara dikirim ke Baku dengan alasan untuk melindungi orang-orang Rusia dan Armenia, yang punya sejarah panjang permusuhan dengan bangsa Azerbaijan.

Tentara juga diminta untuk melindungi para pegawai negeri yang loyal kepada Uni Soviet dan menumpas pemberontak nasionalis yang didituding bakal melakukan kudeta.

"Dalam kenyataannya, itu hanya alasan dan kebohongan yang telanjang," kata Mammadov, warga Baku.

Katakanlah apa yang ditudingkan Kremlin itu benar, kata Mammadov, itu pun tidak memerlukan pengerahan pasukan Uni Soviet sebanyak itu.

Ketika itu di Baku hanya terdapat 11.500 tentara lokal dan mereka hanya mempunyai persenjataan yang terbatas.

Gorbachev menandatangani maklumat bahwa pada 20 Januari 1990 dinyatakan sebagai situasi darurat di Baku.

Namun, Komando Alfa KGB sudah sehari sebelumnya menghancurkan generator listrik TV Azerbaijan untuk menghentikan siaran televisi lokal itu, yakni pada pukul 19.27.

Dalam keadaan gelap gulita dan tanpa siaran televisi, pasukan Uni Soviet menginvasi kota Baku. Rakyat sama sekali tidak tahu adanya rencana pengumuman situasi darurat, sehingga mereka tidak menyangka bakal diserbu dan ditembaki.

Sembilan warga terbunuh bahkan sebelum maklumat Gorbachev berlaku pada jam 00.00 pada 20 Januari 1990.

Pengumuman situasi darurat militer di Baku baru disiarkan oleh radio lokal pada 07.00 pagi pada 20 Januri 1990. "Saat itu, sudah lebih dari 100 warga terbunuh," kata Mammadov.

"Saya heran mengapa Gorbachev (yang memerintahkan penyerangan terhadap Baku) kemudian mendapat penghargaan Nobel Perdamaian. Tangannya berlumuran darah rakyat yang tak berdosa," katanya.

Hancurkan apa saja
Tank dan mesin perang Uni Soviet menghancurkan apa saja yang ditemukan di jalan menuju Baku.

Tentara menembak secara membabi buta tanpa diskriminatif. Peluru tajam bukan hanya menerjang warga yang ada di jalan raya, tapi juga yang ada di dalam bus dan mobil mereka.

Bahkan, warga yang berada di dalam apartemen juga ditembaki. Termasuk ambulan yang membawa korban juga dihajar. Begitu juga dokter dan perawat.

Hasilnya, 137 warga terbunuh, 700 luka-luka dan 800 orang ditahan tanpa dosa.
"Mereka adalah syuhada," begitu tertulis di pintu gerbang pemakaman itu.
Tapi, kebiadaban pembantaian 20 Januari 1990 gagal menghapus hasrat rakyat Azerbaijan untuk mencapai kemerdekaan.

Anak-anak bangsa yang terbunuh hari itu telah menulis sejarah gemilang dalam sejarah Azerbaijan. Mereka melapangkan jalan bagi gerakan pembebasan nasional mencapai kemerdekaan.
Mereka dimakamkan di tempat paling tinggi di Baku, di sebuah bukit tempat para peziarah bisa memandangi seluruh kota Baku dengan jelas.

Kini lembah itu dinamakan Bukit Syuhada.
Foto-foto para syuhada di pahat di batu nisan dengan catatan kecil tentang bagaimana mereka terbunuh:
Meyerovich, mati tertembak oleh 21 peluru;
Rustamov, tewas dihajar 23 peluru;
Yefimtsev, syahid ditusuk pisau bayonet.

Di pusara para syuhada itu sanak keluarga, warga biasa, dan rakyat Azarbaijan membungkuk meletakan bunga.

Kamis, 11 September 2008

TURKI: BUKA PUASA DI KIRI, MINUM BIR DI KANAN

Oleh Akhmad Kusaeni

Jakarta, 10/9 (ANTARA) – Inilah cerita tentang kota Istanbul, Turki, di bulan Ramadhan. Di sepanjang jalan kawasan Kodikoy Carsi banyak sekali restoran dan cafe bernuansa perpaduan Eropa dan Asia.

Orang berlalu lalang dengan macam ragam penampilan. Ada wanita cantik berpakaian seronok berjalan glendotan dengan lelaki berkaos oblong dan bercelana jeans belel. Ada yang anggun berjilbab beriringan dengan pria berjanggut berbaju gamis. Turis-turis asing juga hilir mudik disana.

Menjelang adzan maghrib, inilah yang hanya terjadi di Turki: Muslim yang berbuka puasa harus berbaur dengan kelompok sekuler di restoran kawasan Kodikoy.

Restoran yang menyediakan iftar (hidangan buka puasa) juga menyajikan bir, anggur dan minuman keras lainnya. Yang buka puasa di meja kiri, yang minum bir di meja kanan.
”Inilah keunikan negeri kami,” kata Erhan Takepe, warga Turki yang menjadi staf lokal KBRI Ankara.

Ini menarik karena di Turki, seperti dikemukakan wartawan Turkish Daily News Mustafa Akyol, iftar and minuman keras mewakili dua hal yang berbeda 180 derajat, bahkan mendorong terjadinya konflik budaya.

Muslim Turki yang taat menganggap alkohol haram, bukan hanya meminumnya, tapi sekedar menggunakan minyak wangi beralkohol juga dijauhi. Tapi, warga Turki lain yang sekuler, menganggap minum minuman keras, termasuk di bulan Ramadhan, adalah hal yang lumrah saja. Hanya sedikit yang berhenti minum-minum untuk menghormati warga yang puasa.
Dari 70 juta penduduk Turki, mayoritas beragama Islam, meskipun sebagian hanya ”Islam KTP”.

Menurut Mustafa Akyol, sebanyak 60 persen dari total populasi Muslim Turki menjalankan puasa. Artinya, 40 persen lainnya bebas makan minum di bulan Ramadhan.
Yang berpuasa dan tidak berpuasa bisa jalan beriringan. Inilah hebatnya atau anehnya Turki. Kalau di Indonesia, orang makan minum di jalan waktu ramadhan pasti sudah ditonjok, paling tidak ditegur.

”Di Turki, yang berpuasa dan yang tidak puasa, saling tidak peduli,” kata Erhan yang sudah hampir 15 tahun bekerja di KBRI.

Tak ada pembatas
Necmi Oscan, pelayan restoran Kofte & Balikevi, mengatakan pihaknya selain menyajikan iftar bagi yang puasa, juga menjual minuman keras dari mulai bir, wine, sampai vodka. Pengunjung restoran bisa duduk dimana saja mereka suka. Tidak ada pembatasan ruangan untuk yang Muslim dan yang sekuler.

”Di Turki tidak ada masalah. Yang puasa silahkan berbuka, sementara temannya menenggak bir. Mereka duduk di meja yang sama. Tidak peduli, semua senang. Ini Turki kawan, bukan Indonesia,” kata Oscan.

Turki sampai saat ini masih sangat kuat memegang sekularisme. Terhitung, sejak ambruknya Khilafah Islamiyah Turki tahun 1924, negeri itu menjadi simbol sekulerisme dipelopori pendiri Turki sekuler, Mushtafa Kamal Ataturk.

Di negeri itu, masalah agama dipisahkan dari masalah kenegaraan dan kemasyarakatan. Agama menjadi wilayah pribadi sehingga tidak penting bagi negara dan pemerintah mengurusi pelaksanaan ibadah puasa atau haji.

Oleh karena itu di Istanbul, misalnya, tidak pernah ada aturan dari kantor walikota untuk menutup tempat-tempat hiburan atau melarang penjualan minuman keras selama ramadhan. Tidak pula ada kelompok massa yang merusak bar, pub, karaoke, panti pijat, atau diskotik.
Tapi tidak ada pula yang meramaikan bulan suci secara berlebihan dengan spanduk-spanduk ”marhaban ya ramadhan”, televisi-televisi yang hingar bingar dengan acara bernuansa ramadhan atau orang-orang di kampung yang membangunkan sahur dengan menabuh beduk, kentongan atau tiang listrik.

Itulah suasana bulan ramadhan di Istanbul, Turki. Apa yang terjadi di kawasan Kadikoy Carsi mungkin bisa menunjukkan prototipe Turki sekarang ini. Seperti dikemukakan Adnan Oktar, cendikiawan Muslim yang di dunia lebih dikenal dengan nama pena Harun Yahya, Turki kini berada di persimpangan jalan.

Apakah negeri itu akan kembali meraih kejayaan Ottoman Empire di masa lalu atau melesat menjadi bangsa Barat yang bebas di masa depan. ”Islam kembali bangkit di Turki, dan negeri ini siap mendorong renaissance Muslim di Eropa,” katanya.

Sangat khawatir
Bagi kaum sekularis, mereka makin banyak melihat wanita-wanita berjilbab di tempat umum dan sangat khawatir Turki akan menjadi Iran atau Arab Saudi. Sebaliknya, kaum Muslim konservatif, terus menerus mengeluh adanya erosi moral dan nilai-nilai keluarga serta berkembangnya budaya hedonisme di masyarakat Turki.

Mustafa Akyol melihat Turki sekarang berada di tengah-tengah. Negeri itu belum seperti Teheran, bukan pula seperti Amsterdam. Turki kini menjadi, meminjam istilah kolumnis Haluk Sahim, sebuah ”strangeland”. Negeri yang unik dan aneh, negeri yang bukan ini dan bukan itu.
Yang jelas, Turki masa kini adalah sebuah negeri yang memiliki masyarakat heterogen dan penuh warna, yang mengalami kehidupan bersama (Islam, Nasrani, Yahudi) secara damai selama 500 tahun.

Kodikoy Carsi adalah miniatur Turki yang memanifestasikan kehidupan damai antar warga yang berbeda serta berlainan agama. Hanya di Kodikoy Carsi santri dan abangan bisa berdampingan. Hanya di Kodikoy Carsi yang beriman dan pendosa, fundamentalis dan sekularis, bisa bersendagurau.

Karena hanya di Kodikoy Carsi di masa ramadhan ini, orang bisa buka puasa dengan hidmat tanpa terganggu dengan pendosa yang menenggak minuman keras. Iftar di kiri, bir di kanan, tidaklah menjadi masalah. Ini Turki, bung!

Senin, 04 Agustus 2008

MAHBUBANI DAN KEBANGKITAN ASIA

Oleh : Akhmad Kusaeni

Jakarta, 4/8 (ANTARA) – Tak ada cendikiawan yang paling vokal menyuarakan Asia kecuali Prof. Kishore Mahbubani. Ia adalah diplomat Singapura keturunan India yang sudah menulis sekian banyak buku tentang bangsa-bangsa di Timur, termasuk yang provokatif seperti “Dapatkah Bangsa Asia Berfikir?”.

Namanya sangat dikenal di berbagai lembaga dunia sebagai penyuara Asia disamping Dr. Mahathir Muhammad dari Malaysia. Mahbubani juga pernah jadi Wakil Tetap Singapura di PBB yang sangat dihormati karena pandangan-pandangannya yang kritis dan jenius.

Hari-hari ini Mahbubani sedang road show ke Asia, termasuk ke Indonesia, mengkampanyekan bukunya yang terbaru “The New Asian Hemisphere”. Ia menjadi pembicara utama dalam Presidential Lecture di Istana Negara bersama-sama dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hari Jumat (1/8), Dekan Lee Kuan Yew School of Public Policy, Universitas Nasional Singapura itu, berdiskusi di Universitas Paramadina.

“Tolong jangan panggil saya lagi Tuan Duta Besar. Saya sudah lama pensiun dari diplomat dan tidak bekerja di pemerintahan lagi. Saya lebih senang dipanggil professor, karena kemerdekaan akademik saya lebih terjamin dengan atribut itu,” katanya kepada Rektor Universitas Paramadina Anis Baswedan yang terus saja memanggilnya ”Mr. Ambassador”.

Bersama civitas akademika Universitas Paramadina, Mahbubani berdiskusi membahas topik ”Mengapa Asia Bangkit?”. Berkemeja batik, Mahbubani dengan sangat meyakinkan menjelaskan thesisnya mengenai kebangkitan Asia dan perlunya Barat mulai menyesuaikan diri dengan pudarnya dominasi mereka di dunia.

”Kita memasuki era baru dalam sejarah dunia, yaitu berakhirnya dominasi Barat dan datangnya abad Asia,” katanya dengan mantap dan tegas.

Abad Asia
Abad 21 adalah abad Asia. Inilah inti kampanye dan keyakinan Mahbubani yang dituangkan dalam berbagai diskusi dan artikel di media massa internasional, termasuk ”The Making of Modern Asia” di majalah Time, edisi 7 Agustus 2005.

Sebagai anak dari imigran miskin India yang tumbuh tahun 1950-an di koloni Inggris, Singapura, Mahbubani bersama-sama teman sekelasnya tidak pernah menyangka bahwa Abad Asia akan datang pada sisa hidupnya.

”Kami dulu percaya bahwa Inggris adalah pusat dunia, bahkan seorang teman sering mengatakan jalan-jalan dan taman di London dipagari bersepuh emas. Sedangkan Cina dan India waktu itu dibelenggu kemiskinan yang sepertinya akan abadi,” kenangnya.

Kini, katanya bersemangat, bangsa-bangsa Asia telah bangkit. Abad Asia sudah dimulai. Yang membuat Asia bangkit tak bisa dibendung adalah keberhasilan Cina dan India. Cina sukses sebagai dinamo ekonomi dan India berhasil sebagai kampium demokrasi. Negara-negara Asia lain seperti Jepang, Korea Selatan, mengadopsi demokrasi dan pasar bebas yang digelindingkan Barat. Mereka mengimitasi Barat.

Prinsip-prinsip ekonomi yang mendorong kebangkitan Asia berasal dari Adam Smith. Ideologi politik Asia yang berkembang berasal dari pemikir Barat dari John Locke sampai Karl Marx. Lembaga-lembaga multilateral internasional yang membentuk ekonomi politik Asia, seperti PBB, Bank Dunia, IMF dan WTO, adalah hasil kreasi Barat. Pendek kata, bangsa Asia telah mendapat manfaat besar dari posisinya sebagai ”penumpang” dalam bus globalisasi yang dijalankan Barat.
”Saatnya mereka harus jadi sopir. Bangsa Asia tidak bisa selamanya menjadi penumpang. Asia harus mengendalikan arah perkembangan ekonomi politik dunia sebagaimana Barat telah melakukannya selama ini,” katanya lagi.

Di Asia, ungkap Kishore, terdapat separuh jumlah penduduk dunia. Asia menghasilkan lebih dari sepertiga hasil ekonomi global. Asia menggerakkan sejumlah besar simpanan dunia. Tengok saja halaman terakhir setiap terbitan The Economist. Di situ terdapat daftar negara-negara dengan cadangan devisa tertinggi. Sebagian di antaranya negara-negara Asia.

Wake up call
Dunia tampaknya harus belajar terhadap tanggungjawab baru yang harus diemban bangsa-bangsa Asia. Pertanyaannya adalah apakah negara-negara Barat, terutama yang berkuasa di Washington, akan terbangun dengan ”wake up call” dari realitas baru ini. Realitas yang menunjukan tanda-tanda kebangkitan Asia dan pudarnya dominasi Barat di dunia.

Ketika Presiden baru Amerika Serikat dilantik bulan Januari tahun depan, menurut Mahbubani, akankah dia berkata,”Hentikan kunjungan ke Eropa. Kirimkan saya ke Pasifik, bukan ke Atlantik. Negara-negara maju G-8 diambang terbenam. Biarkan saya fokus ke fajar baru yang siap menyingsing di Asia”.

Barat sudah mendominasi sejarah dunia selama 200 tahun terakhir. Tetapi janganlah lupa bahwa dari tahun 1 sampai tahun 1820, sebagaimana dikemukakan oleh sejarawan Inggris Angus Maddison, yang menjadi raksasa ekonomi dunia adalah Cina dan India. ”Jarum jam sejarah akan berputar kembali di abad 21,” ujar Mahbubani.

Sebuah kajian yang dilakukan oleh Goldman Sachs tahun 2003 secara meyakinkan telah memprediksi bahwa pada 2050, empat negara raksasa ekonomi di dunia secara berurutan kebesarannya adalah Cina, Amerika Serikat, India dan Jepang. Kajian terbaru Goldman Sachs menunjukan bahwa prediksi itu bisa terjadi lebih cepat lagi dan ekonomi India akan melampaui AS pada tahun 2043.

”Perubahan akan sangat dramatis dan terjadi begitu cepat,” katanya.
Lawrence Summers, ekonom yang mantan Menteri Keuangan AS, mengatakan pada masa Revolusi Industri peningkatan standar hidup melonjak 50 persen sepanjang usia hidup manusia. Pertumbuhan Asia sekarang menunjukan lonjakan luar biasa yang tidak pernah terjadi sepanjang sejarah kemanusiaan, yaitu standar hidup naik 100 kali lipat atau 10.000 persen sepanjang usia hidup seseorang.

Namun, tidak semua pakar di Barat seperti Lawrence Summer. Alfred Balitzer dari Pascasarjana Universitas Claremont, AS, meragukan thesis Mahbubani. Dulu pada awal 1980-an, kata Balitzer, Mahbubani mengacu pada ”Asian Values” yang menjadi pendorong kuat keajaiban ekonomi Asia. Nilai-nilai Asia dianggap lebih tinggi ketimbang ”Western Values”, wabilkhusus ”American Values”.

”Argumentasi itu mati diam-diam dengan datangnya krisis ekonomi Asia tahun 1997-1998,” kata Balitzer yang meresensi buku Mahbubani di koran Straits Times beberapa waktu lalu.
Prof. Mahbubani berhak untuk bangga dengan kemajuan ekonomi Cina, India dan ASEAN. Ia juga benar bahwa Asia harus mendapat perhatian lebih besar dari AS dan bangsa-bangsa Asia harus memainkan peranan yang besar di lembaga-lembaga internasional.

”Tapi, ia salah, bahkan salah besar, dalam prediksinya tentang siapa yang bangkit dan siapa yang pudar. Asia memang bangkit, tapi bukan berarti Barat runtuh,” katanya.
Balitzer menyindir bahwa mungkin saja Abad 21 itu jadi Abad Asia, tapi sejarah tentang itu belum ditulis. Hanya dengan perjuangan dan kerja keras, bangsa-bangsa Asia bisa menentukan nasibnya dan menulis sejarahnya.

Waktu jua yang akan membuktikan bahwa kebangkitan Asia hanya wacana atau sesuatu yang nyata. Sejarah sudah mencatat Pax Romawi, Pax Britanica, dan kini Pax Americana. Mungkinkah Pax Asia berikutnya?

Kamis, 10 Juli 2008

INDONESIA : NEGERI TANPA MERK

Oleh Akhmad Kusaeni


Jakarta, 9/7 (ANTARA) – Indonesia adalah negeri tanpa merk. Padahal, merk atau brand sangat menentukan citra negeri ini.

Di era persaingan global sekarang ini, merk sangat penting dalam strategi pencitraan dan pemasaran supaya orang bisa tahu keunikan negeri ini: apakah sebagai tujuan wisata, pusat produksi barang tertentu, atau tempat yang menguntungkan untuk investasi.

Ahli branding Randal Frost mengatakan, ”Bayangkan Prancis tanpa mode, Jerman tanpa produk mobil mewah, dan Jepang tanpa produk elektronik yang menjadi keunggulannya dari bangsa lain”.

Prancis, Jerman dan Jepang adalah contoh negeri yang bisa mencitrakan dirinya berbeda dengan bangsa lain. Prancis identik dengan dunia fashion. Jerman dengan Mercedes Bentz. Jepang dengan Sony, Toshiba, atau LG.

Negara-negara tetangga juga sudah lebih baik mencitrakan dirinya. Malaysia dan Singapura telah berhasil membangun identitas nasionalnya dan menjualnya dengan gegap gempita. Dengan slogan ”Malaysia is truly Asia”, negeri jiran itu sukses mencitrakan diri sebagai negara yang memiliki resort yang indah dan negara dengan multikultural yang rukun.

Hampir tiap bulan wartawan-wartawan Indonesia diundang ke Kuala Lumpur, Johor atau Genting oleh Badan Pelancongan Malaysia. Merekapun menuliskan laporannya di media masing-masing bagaimana indahnya Kuala Lumpur dilihat dari puncak Menara Petronas, enaknya ”mie rebus Haji Wahid di Johor” atau bagaimana maraknya suasana Genting, pusat perjudian di negara berpenduduk mayoritas Muslim itu. Semuanya diagendakan untuk menarik perhatian turis agar berkunjung ke Malaysia.

Sementara Singapura dengan slogan ”Uniquely Singapore” juga berhasil membangun merk-nya sebagai surga untuk belanja di Asia. Orang-orang Indonesia, apalagi pada saat liburan sekolah sekarang ini, tumplek blek ke Negeri Singa itu karena terpincut iklan ”Singapore’s Great Sale”. Tiket pesawat dibuat murah, dengan harapan sesampainya di negara kota itu, para turis bisa menghabiskan uang mereka untuk belanja dan membayar biaya akomodasi yang mahal.

”Ini ironi yang merisaukan. Saat kita mengkampanyekan ’Visit Indonesia year 2008”, pers nasional mengajak liburan ke negeri tetangga,” kata Sekjen PR Society of Indonesia, Ahmed Kurnia Suriawidjaja.

Cukup bagus
Ahmed Kurnia menyebut kegagalan bangsa ini dalam pencitraan dirinya. Padahal, dulunya, merk Indonesia cukup bagus sebagai ”Keajaiban Asia” (Asia Miracle) yang dipuja-puji lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia atau Badan Pangan PBB. Akibat krisis ekonomi tahun 1998, semuanya terpuruk. Citra dan merk Indonesia hancur.

Jadilah, Indonesia negeri tanpa merk. Tidak ada satu pihakpun yang memikirkan branding, karena semua energi bangsa terkuras menghadapi krisis. Keperluan untuk pencitraan terkalahkan oleh tekanan untuk segera keluar dari krisis dan memulihkan perekonomian nasional.

Oleh karena Indonesia tidak sempat memikirkan citra, maka pihak lainlah yang memberikan merk kepada negeri ini. Ketika dunia sedang memerangi terorisme, maka Indonesia dicap sebagai negara pelindung teroris (harboring terrorism). Transparancy International memberi label Indonesia sebagai salah satu negara terkorup.

Travel warning yang dikeluarkan Amerika Serikat dan Australia memberi stigma Indonesia sebagai negara tidak aman dan berbahaya. Sementara pegiat HAM internasional “menggoreng” kasus terbunuhnya Munir dengan menuding Indonesia sebagai negara pelanggar hak asasi manusia dan membiarkan terjadinya pembunuhan politik.

Memang, belakangan ada upaya untuk kembali memikirkan perbaikan citra.
”Indonesia pernah membuat pencitraan, namun selalu berubah-ubah,” kata Ketua Indonesia Brand Entourage Handito Hadi Joewono.

Handito menyebut slogan-slogan yang pernah ada dikembangkan pasca lengsernya Soeharto, seperti "Indonesia, just a smile away", "Indonesia, The color of life", "Indonesia endless beauty of diversity" dan "Celebrating 100 Years of National Awakening".

“Tapi upaya itu sepertinya “gak nendang”,” katanya.
”Gak nendang” adalah istilah gaul untuk menyebut sesuatu yang tidak mengena sasaran atau sesuatu yang tak membuahkan hasil seperti yang diharapkan.

Citra baru
Handito menekankan pentingnya dikembangkan citra baru atau "re-branding of Indonesia". Citra negeri yang merosot merupakan pendorong paksa perbubahan merk Indonesia.

Ia mengatakan saat ini terjadi krisis pencitraan atau "brand crisis". Untuk itu diperlukan sebuah "re-branding" untuk menciptakan citra Indonesia baru.

Dalam istilah hukum dikenal adanya "rehabilitasi nama baik" berupa dipulihkannya nama baik seseorang yang terbukti tidak bersalah atas kasus hukum terntentu.

"Rehabilitasi nama baik merupakan contoh kongkrit dari re-branding," katanya.
Masalahnya, mau diberi merk apa Indonesia ke depan?

Apapun merknya, yang penting brand Indonesia itu merupakan keunggulan bangsa Indonesia yang unik dan tidak dimiliki bangsa lain. Begitu juga apakah Indonesia itu akan dicitrakan sebagai tujuan wisata, penghasil produk unggul tertentu, atau tempat investasi yang baik, adalah subyek untuk diputuskan oleh semua stakeholders bangsa ini.

Intinya Indonesia perlu re-branding. Sampai kapan negeri ini tanpa merk?

Kamis, 05 Juni 2008

ABG GENERASI "CLICK FIVE"

Oleh Akhmad Kusaeni

Jakarta, 5/6 (ANTARA) – Generasi apakah gerangan para remaja belasan tahun yang berjingkrak histeris menonton konser ”The Click Five” di Istora Senayan, Jakarta, Rabu malam, 4 Juni 2008?
Mereka adalah anak-anak baru gede yang biasa disebut ABG. Mungkin duduk di bangku SMP, atau SMA. Nonton pun masih harus didampingi orang tua. Tapi mereka, kebanyakan cewek, punya hasrat dan energi yang luar biasa.
Mereka menyanyi, mereka berjingkrak, mereka berteriak, mengelu-elukan grup band asal Boston, Amerika Serikat, yang lima personil nya muda usia. Kece-kece pula. Sahutan “Kyle, I love you!” untuk si vokalis imut-imut (juga “I love you, Joey” untuk si drumer keren) seakan tak pernah berhenti berkumandang selama dua jam pertunjukan.
Siapakah gerangan para ABG yang malam itu, sambil bernyanyi dan berjingkrak, masih sempat memotret, menelepon di tengah kebisingan musik pop-rock, dan ber-SMS ria dalam kerumunan penonton?
Mereka adalah anak-anak kelas menengah kota yang membeli tiket seharga Rp250.000 sampai Rp350.000 lewat Internet atau online banking. Lalu datang ke tempat konser, umumnya dengan sejumlah kawan, dengan membawa sendiri mobil macam Honda Jazz, Suzuki Swift, atau sejenis city car lainnya. Yang lain diantar orang tua, atau sopir, dengan mobil yang lebih mewah lagi.
Mereka adalah generasi post-modern yang sekolah di International School yang berpengantar Bahasa Inggris dan tumbuh menjamur di seantero Ibukota. Paling tidak, mereka belajar di sekolah favorite mahal, mengambil kursus bahasa asing, atau pernah tinggal di luar negeri, sehingga gaya mereka bicara persis Cinta Laura. Artis remaja blasteran Indo-Jerman itu dikenal suka bicara ”campur sari” Indonesia-Inggris. Kalimat Cinta Laura yang terkenal adalah “Mana hujan, becek, gak ada ojek... So, I call my parent untuk menjemput”.

Anak-anak global
Mereka, meminjam istilah Thomas L.Friedman dalam buku “The Lexus and the Olive Tree”, adalah anak-anak masa depan yang dibentuk oleh budaya global yang didominasi oleh tiga M, yaitu Mc Donald, MTV, dan Macintosh.
Anak-anak global diwarnai gaya hidup dan budaya massa global. Mereka menggemari rantai makanan fast food waralaba internasional, memiliki perilaku dan gaya hidup yang dipengaruhi idolanya di MTV, serta terbiasa menggunakan teknologi komunikasi canggih seperti Internet, blogs, dan friendster.
Oleh Steven D.Zink dari Universitas Nevada, Amerika Serikat, anak-anak global tersebut disebut “Net Generation”. Mereka lahir dan besar pada saat meruaknya teknologi Internet dengan world wide web (WWW)-nya. Net Generation hanya memerlukan satu alat, sebut saja hand phone, untuk melakukan apa saja yang diinginkannya: menelepon, menonton, chatting, browsing, downloading, main game, memotret, memesan dan membeli barang.
Dira, siswi kelas 2 SMP Labschool, Rawamangun, Jakarta Timur, termasuk ”Net Generation”. Setiap hari merasa harus ”nginternet” satu atau dua jam. Di depan komputer, ia melakukan berbagai aktivitas sekaligus. Mendengarkan musik, mengirim dan membalas email, chatting, searching, downloading lagu, posting foto, dan updating blogs miliknya: dirasblogandlyrics.multiply.com.
Ia memiliki 500-an teman di friendster dari berbagai negara, menjadi anggota fans The Click Five bersama jutaan remaja di seluruh dunia lainnya, membeli ticket konser di Detik.Com atau memesan buku lewat Amazon.com. Ia juga mencari data untuk karya tulis dan PR sekolah di Google dan menganggap Wikipedia sebagai guru yang bisa menjawab apapun yang ingin diketahuinya.

Dunia yang berbeda
Anak-anak global atau Net Generation jelas sangat berbeda dengan generasi orang tuanya. Menurut Thomas Friedman, kebanyakan orang tua sekarang hidup dalam era Perang Dingin, sedangkan Net Generation lahir dan besar dalam era pasca Perang Dingin atau era globalisasi.
Pola pikir orang tua adalah pola pikir Perang Dingin. Yang kuat adalah yang memiliki senjata dan bom lebih banyak. Dunia terbelah menjadi Barat dan Timur, komunis dan kapitalis, kawan dan musuh. Presiden pertama Indonesia Soekarno pernah melarang musik ”ngak-ngik-ngok” dimainkan di Tanah Air, hanya karena musik itu berasal dari Barat. Soekarno pulalah yang pernah menyatakan ”Inggris kita linggis, Amerika kita setrika”.
Sedangkan pola pikir Net Generation adalah pola pikir globalisasi. Kalau masa Perang Dingin pertanyaannya adalah seberapa banyak rudal anda, maka pada era globalisasi pertanyaannya adalah seberapa banyak bandwith anda? Seberapa kuat sinyal ponsel anda?
Kalau pada Perang Dingin dunia ditandai keterpisahan (NATO versus Pakta Warsawa), maka era globalisasi ditandai ketersatuan dan integrasi (WTO, Organisasi Perdagangan Dunia). Tidak ada lagi Barat-Timur, Komunis-Kapitalis, tapi satu dunia.
Dalam kampung dunia (global village) semua memiliki peluang dan hak yang sama. Anak-anak di Indonesia, asal memiliki akses ke tiga M (McDonald, MTV dan Macintosh), akan tumbuh sama dan sebangun dengan anak-anak di belahan dunia lain, di benua Amerika, Eropa atau Afrika.
Anak-anak global bisa menyukai jenis makanan yang sama, memiliki idola yang sama, dan gaya hidup yang sama. Fenomena inilah yang tampak pada konser The Click Five di mana saja: di Amerika, Jepang, Cina, Malaysia, atau Indonesia. Anak-anak kulit putih, kuning, hitam, dan sawo matang bisa bernyanyi bersama, jingkrak-jingkrak bersama, dan memuja idola yang sama.
Mereka adalah generasi ”Click Five” (Click atau klik adalah bunyi tombol komputer ketika ditekan). Mereka adalah Net Generation yang hidup dalam ”alam pikiran modern dan masa-masa menyenangkan”, sebagaimana bunyi tajuk tur The Click Five 2008: "Modern Minds and Great Times”.

Jumat, 23 Mei 2008

SIMALAKAMA BBM

Oleh Akhmad Kusaeni


Tidak ada yang senang dengan naiknya harga BBM. Orang kaya akan berkurang kenikmatannya, orang miskin akan makin sengsara.
Bagi orang miskin, kehidupan mereka akan makin sulit sudah sangat jelas. Kenaikan harga BBM memicu kenaikan harga kebutuhan pokok. Belum diumumkan saja, harga beras, gula, minyak, sudah melambung. Daya beli kaum dhuafa makin jeblok.
Jika sekarang kehidupan kaum miskin diibaratkan Senin-Kamis, maka dengan kenaikan harga BBM yang diikuti meroketnya harga kebutuhan pokok, maka kehidupan mereka menjadi Senin-Rabu. Malah mungkin ada yang Senin-Selasa. Media memberitakan adanya sejumlah kasus bunuh diri akibat krisis ekonomi.
Intinya, kenaikan harga BBM membuat orang miskin menjadi lebih sulit. Fakta ini disadari penuh oleh pemerintah. Itu sebabnya pemerintah memberikan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada 19,1 juta Rumah Tangga Sasaran (RTS). Dana yang dianggarkan untuk BLT 2008 sebesar Rp14 tiliun. Itu akan dibayarkan mulai Jumat, 23 mei 2008. Masing-masing RTS mendapat Rp100.000 setiap bulan.
”BLT bukan untuk mengangkat mereka dari kemiskinan. Ini ibarat obat sakit kepala. Supaya orang miskin yang sakit kepala akibat kenaikan BBM bisa sembuh sakit kepalanya, lalu bisa kembali bekerja dan berusaha,” kata Menteri Komunikasi dan Informatika, M. Nuh, pada sosialisasi kebijakan penyesuaian harga BBM dan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada para humas dan PR di Jakarta, 21 Mei 2008.
Menurut Nuh, BLT diberikan agar orang miskin bisa survive daya belinya saat menghadapi dampak kenaikan harga BBM.
”BLT memang memberi ikan. Tapi pemerintah juga punya program penaggulangan kemiskinan lain dimana mereka diajari mancing. Bahkan nantinya dibantu punya pancing dan perahu sendiri,” katanya.
Yang dimaksud dengan ”mengajari mancing” atau ”pemberian kail” adalah Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) berupa dana Rp3 miliar per tahun yang diberikan ke 3.999 kecamatan. Total dana yang dikucurkan Rp13,8 triliun.
Sedangkan yang dimaksud dengan ”bantuan untuk punya pancing dan perahu sendiri” adalah penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp5 juta ke bawah kepada pelaku usaha mikro dan kecil seperti pedagang asongan atau pengrajin rumah tangga.

Tak ada subsidi
Pertanyaan berikutnya, mengapa orang kaya menentang kenaikan harga BBM? Itu karena subsidi BBM yang selama ini dinikmati, tidak ada lagi. Sehingga anggaran untuk gaya hidup dan belanja terpaksa harus dipangkas. Kebiasaan ngopi-ngopi di cafe, nonton bioskop, atau pelesiran menjadi terbatas.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, selama ini 70 persen subsidi BBM dari pemerintah dinikmati oleh 40 persen masyarakat kelas atas, terutama para pemilik kendaraan bermotor.
Setiap satu liter bensin premium yang dijual seharga Rp4500, pemerintah sesungguhnya mensubsidi sebesar Rp4500, karena harga pasar bensin Rp9000/liter.
”Jika satu mobil menghabiskan bensin 10 liter per hari, maka setiap pemilik kendaraan bermotor mendapat subsidi Rp45.000 per hari,” kata Freddy Tulung, pejabat dari Kementerian Komunikasi dan Informasi.
Itu berarti, setiap pemilik mobil yang mengkonsumsi 300 liter bensin per bulan, maka dia mendapat subsidi dari pemerintah sebesar Rp1,2 juta per bulan.
Freddy mempertanyakan pihak-pihak yang menentang pemberian BLT.
”Memberi Rp100 ribu saja ke orang miskin, koq ribut. Padahal, kita terima Rp1,2 juta diam-diam saja,” katanya mempertanyakan.
Menko Kesra Aburizal Bakrie juga menanggapi penolakan penyaluran BLT oleh sejumlah Kepala Daerah. Aburizal heran mengapa ada gubernur, bupati, dan walikota yang menolak bantuan untuk orang-orang miskin di daerahnya.
”Harusnya kepala daerah berterimakasih kepada presiden,” katanya.

Penolakan terus berlangsung
Tapi aksi penolakan kenaikan harga BBM dan penyaluran BLT terus berlangsung. Unjuk rasa terjadi di Ibukota dan sejumlah daerah. Badan Intelijen Negara (BIN) menengarai akhi-aksi unjuk rasa sudah tidak murni, melainkan ada yang menunggangi.
Kegaduhan yang terjadi di jalanan dan ramainya polemik di media massa tentu terkait dengan situasi tahun 2008 sebagai tahun politik dan tahun 2009 sebagai tahun Pemilu. Ini terbukti dari fakta adanya saling tuding antar elite politik di tengah kesulitan yang semakin nyata dihadapi rakyat.
Pejabat pemerintah berusaha meyakinkan bahwa kenaikan harga BBM terpaksa dilakukan untuk menyelamatkan ekonomi nasional. Kepentingan lebih besar dijadikan pijakan ketimbang popularitas dan karier politik.
”Keputusan yang populis belum tentu benar, sedangkan keputusan yang benar belum tentu populis,” kata seorang pejabat.
Ia sedang berargumentasi bahwa keputusan menaikan harga BBM adalah keputusan yang benar dan oleh karena itu pemerintah siap menerima resiko tidak populer. Artinya, kalkukasi resiko politik sudah dihitung betul.
Menteri Kominfo M. Nuh mengatakan pemimpin negara ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, mempertaruhkan karir politiknya demi memikirkan masyarakat dengan menaikkan harga BBM.
"Kalau pemimpin kita memperhatikan karir politiknya, pasti dia tidak akan memilih menaikkan BBM, karena keputusan ini tidak disukai oleh semua orang,” katanya.
Memang, keputusan menaikan harga BBM tidak disukai oleh semua orang. Yang kaya akan berkurang kenikmatannya karena subsidi bensin dicabut. Yang miskin akan lebih sengsara (badly hurt, meminjam istilah Menkeu Sri Mulyani) karena harga-harga kebutuhan pokok ikut melambung.
Meskipun seperti buah simalakama, keputusan harus diambil.

Jumat, 16 Mei 2008

IMF dibalik kejatuhan Soeharto?

Oleh Akhmad Kusaeni



Jakarta (ANTARA News) - Saat pergolakan terjadi pada Mei, sepuluh tahun lalu, seorang aktivis berkeliling Jakarta dibonceng oleh motor besar sang mertua. Keduanya kemudian bergabung dengan mahasiswa yang berunjuk rasa dan menguasai gedung parlemen. Mereka meminta Presiden Soeharto mundur.

Ketika orang kuat yang sudah berkuasa selama 32 tahun itu betul-betul mundur pada 21 Mei 1998 seperti disiarkan langsung oleh televisi, sang aktivis mencium bumi. Setelah bersujud syukur, ia menggunting sprei tempat tidur untuk dijadikan spanduk. Dengan spidol besar, ia menoreh tulisan "Bye-bye Soeharto".

Ia bawa spanduk itu ke gedung DPR/MPR Senayan. Keruan saja menjadi pusat perhatian media, terutama juru kamera dan juru foto asing. Sejumlah wartawan TV asing seperti NHK dan BBC mewawancarai si aktivis. Ia ditanya perasaannya mendengar berita Soeharto lengser.

"I am happy, my father happy, my mother happy, everybody happy..." katanya.

Itulah cerita di balik sampul buku terbitan Crawford House Publisihing, Australia yang berjudul: THE FALL OF SOEHARTO (diterbitkan hanya beberapa bulan setelah Soeharto mundur). Buku setebal 261 halaman itu merupakan kumpulan artikel yang penulisnya sebagian besar adalah pengamat Indonesia dari Australia seperti Hall Hill, Jamie Mackie, Richard Robinson, Harold Crouch, dan Geoff Forrester.



Buku ini mencoba menganalisis faktor-faktor yang mendorong mundurnya Soeharto dari jabatannya. Faktor utama yang disebutkan di buku itu adalah semakin memburuknya situasi ekonomi saat itu. Hall Hill menilai krisis ekonomi sejak Juli 1997 menyebabkan jatuhnya Soeharto.



Krisis ekonomi yang disusul krisis politik mengakibatkan pelarian modal ke luar Indonesia secara masif, hingga menyebabkan anjloknya nilai rupiah sampai mencapai Rp17.000,- per dolar. Rupiah yang lemah membuat pebisnis "collaps" karena tidak dapat lagi mengelola utang luar negerinya. Situasi diperburuk dengan besarnya utang luar negeri dan buruknya sistem manajemen keuangan dalam negeri. Harga barang kebutuhan pokok melonjak, sehingga menimbulkan keresahan sosial yang luar biasa.



Pemahaman baru



Begitulah. Yang dipahami orang waktu itu adalah Soeharto jatuh karena krisis ekonomi. Tapi belakangan, pemahaman itu berubah seiring dengan berjalannya waktu dan bersuaranya para tokoh yang terlibat memberikan analisa dan kesaksian.Analisa di balik jatuhnya Soeharto pun memiliki nuansa pemahaman baru.



Ada pihak yang berpendapat lebih spesifik dari sekedar "Soeharto jatuh karena krisis ekonomi". Mereka berpendapat "Soeharto jatuh karena IMF?" Pendapat ini antara lain dikemukakan Prof. Steve Hanke, penasehat ekonomi Soeharto dan ahli masalah Dewan Mata Uang atau Currency Board System (CBS) dari Amerika Serikat.



Menurut ahli ekonomi dari John Hopkins University itu, Amerika Serikat dan IMF-lah yang menciptakan krisis untuk mendorong kejatuhan Soeharto. Ini dibuktikan dari pengakuan Direktur Pelaksana IMF Michael Camdessus sendiri.



Dalam wawancara "perpisahan" sebelum pensiun dengan The New York Times, Camdessus yang bekas tentara Prancis ini mengakui IMF berada di balik krisis ekonomi yang melanda Indonesia.



"Kami menciptakan kondisi krisis yang memaksa Presiden Soeharto turun," ujarnya. Pengakuan ini tentu saja menyambar kesadaran banyak orang. Tak dinyana, krisis di Indonesia ternyata bukan semata kegagalan kebijakan ekonomi Soeharto, tapi juga berkat "bantuan" IMF.

Jatuhnya Soeharto, ternyata bukan hanya karena sikut-sikutan di kalangan militer atau tekanan politik dalam negeri dan gerakan mahasiswa, melainkan lebih karena tekanan pasar keuangan internasional dan IMF.

Lihatlah fakta penggalan sejarah berikut ini. Soeharto terpaksa menandatangani "letter of intent" dengan IMF di kediaman Cendana, pada 15 Januari 1998. Camdessus menyaksikan momen penandatanganan itu sambil menyilangkan kedua lengan di dada.Bos IMF itu terlihat pongah seperti tampak pada foto yang dimuat di media nasional dan internasional keesokan harinya.

Sejarah mencatat peristiwa itu sebagai "Soeharto tunduk pada IMF, salah satu pilar kapitalisme global". Hanya beberapa pekan kemudian, tanda tangan itu terbukti membelenggu Soeharto sendiri.

Mencoba lepas dari tekanan IMF, Presiden mencari "jalan lain" yang tidak disukai lembaga donor internasional itu. Pada akhir Januari 1998, Presiden menerima Steve Hanke yang menawarkan proposal CBS. D

engan CBS, rupiah akan dipatok pada 5.500 per dolar.Soeharto tertarik dan hampir memberlakukan CBS. Ia sudah menyiapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang CBS.

Dalam risalah rapat Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan yang dipimpin Soeharto tanggal 10 Februari 1998, salah satu butir keputusan rapat adalah instruksi Presiden kepada Menkeu Mar`ie Muhammad, Gubernur BI Soedradjad Djiwandono, untuk "menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk pemberlakuan "currency board."

IMF mengancam
Namun, seperti diberitakan media, IMF menganggap rencana itu merupakan gangguan terhadap konsistensi reformasi. Apalagi koran The Washington Post mengabarkan bocornya surat pribadi Michel Camdessus kepada Soeharto tertanggal 11 Februari 1998.

Surat itu berisikan ancaman bahwa IMF akan menangguhkan pinjaman sebesar 43 miliar dolar AS jika tidak ada kejelasan mengenai masa depan reformasi sesuai LoI yang telah diteken 15 Januari. Ancaman tersebut manjur. CBS akhirnya dibatalkan menyusul tekanan Barat yang makin keras.

Menurut Steve Hanke, serangan keji terhadap gagasan CBS dan dirinya sebagai penasehat ekonomi presiden dilancarkan begitu keji. Pelaksanaan CBS Indonesia ditentang habis-habisan. Akan tetapi Argentina, yang juga pasien IMF, dibolehkan.

Begitu pula kontrol devisa, yang digelar begitu mulus di Chili, ternyata diharamkan di Indonesia. Padahal, kata Steve Hanke, kalau saja Indonesia kala itu diizinkan memakai CBS atau bahkan kontrol devisa, "Perekonomian Indonesia mungkin bisa selamat."

Berkali-kali Hanke mengingatkan Soeharto agar tak mempercayai IMF, karena IMF sangat khawatir CBS bakal sukses diterapkan di Indonesia. "Washington punya kepentingan agar krisis berlangsung terus sehingga Anda jatuh" kata Hanke kepada Soeharto.

Seiring dengan berjalannya waktu, Hanke kemudian mendapat jawaban lebih jelas mengapa idenya tentang CBS dibantai habis-habisan, padahal di negara lain bisa jalan dengan baik. Merton Miller, seorang penerima Hadiah Nobel untuk Ilmu Ekonomi, mengatakan bahwa penolakan pemerintah Clinton dan IMF terhadap CBS "Bukan karena itu tidak akan jalan tapi justru kalau itu jalan maka Soeharto akan terus berkuasa".

Pendapat sama, lanjut Hanke, juga dikemukakan oleh mantan PM Australia Paul Keating. Keating mengatakan "AS tampak dengan sengaja menggunakan ambruknya ekonomi sebagai alat untuk menggusur Soeharto". Memang sampai saat ini masih menjadi tanda tanya besar, mengapa IMF ingin menjatuhkan Soeharto. Tapi, yang jelas, menurut para ekonom, masuknya IMF ke Indonesia seperti membawa kunci pembuka bagi gudang harta terpendam, yakni pasar Indonesia yang luar biasa dahsyat.

Ini terbukti, setelah IMF menjadi "dokter" perekonomian Indonesia, perusahaan asing begitu leluasa berbisnis di negeri ini. Di setiap pojok kota, kini begitu banyak kantor cabang bank asing, restoran asing, perusahaan multinasional dan barang produk luar negeri.Jika para aktivis sepuluh tahun lalu mengusung spanduk "Bye-bye Soeharto", setelah sadar apa yang sebenarnya terjadi, mereka jugalah yang kemudian meneriakan dengan keras di jalan-jalan yang panas dan berdebu: "Sayonara IMF". (*)

Jumat, 09 Mei 2008

PRESIDEN DAN MEDIA : A LOVE STORY

Oleh Akhmad Kusaeni

Hubungan Presiden dengan media ibarat sebuah kisah cinta.
Sebagai ”love story”, tentu saja diwarnai oleh perasaan benci dan rindu. Satu hal yang pasti, keduanya saling membutuhkan dan merasa hidup tak sempurna tanpa keberadaan yang lain.
Presiden Amerika Serikat Thomas Jefferson sangat memuja dan mendewakan pers. Ia pernah mengatakan pada tahun 1787 bahwa ”Andaikata disuruh memilih antara pemerintah tanpa suratkabar, atau surat kabar tanpa pemerintah, maka saya akan memilih yang terakhir (suratkabar tanpa pemerintah)”.
Namun, sejarah juga mencatat bahwa presiden-presiden Amerika Serikat membenci dan memusuhi pers. Bahkan Jefferson sendiri pernah menuntut wartawan ke pengadilan karena dianggap telah mencemarkan nama baiknya. Clinton saat dilanda skandal dengan Monica Lewinsky, menuding media telah bersekongkol dengan kelompok sayap kanan untuk memakjulkannya dari Gedung Putih.
James Reston dalam buku ”The Artilery of the Press” mengungkapkan hampir semua Presiden Amerika Serikat sampai ke puncak kekuasaan dengan memuji-muji pers dan meninggalkan kepresidenannya dengan mengutuk banyak praktik-praktik pers.
”Sebelum berkuasa, hampir semua Presiden memuji pers, namun tatkala berkuasa merasa terganggu oleh pers,” tulis Reston.

Di titik nadir
Tidak hanya di Amerika Serikat, Presiden di negeri jiran Filipina juga begitu. Pada masa kampanye, Gloria Macapagal Arroyo sangat bersahabat dengan wartawan, namun kini hubungan Presiden Filipina dengan media tengah berada pada titik nadir.
Menurut Mia Gonzales, wartawan Istana Malacanang yang bekerja untuk harian Bussines Mirror, memburuknya hubungan Arroyo dengan wartawan dipengaruhi krisis politik terburuk yang dialami Presiden, terkait dengan dugaan rekayasa hasil suara Pemilu dan skandal korupsi.
Setiap hari koran dan televisi memberi tempat yang luas kepada pihak oposisi yang ramai-ramai mendesak Presiden mundur secara konstitusional atau melalui gerakan people power.
Hal serupa juga terjadi pada pendahulu Arroyo. Pada bulan-bulan pertama Joseph Estrada menjadi presiden pada Juni 1998 menggantikan Fidel Ramos, hubungannya dengan wartawan Istana juga begitu mesra. Jika ada kebaikan Estrada yang diingat wartawan, itu adalah perhatiannya terhadap perut orang-orang di sekeliling presiden.
Lilia Tolentino dari harian Pilipino Star Ngayon mengungkapkan Presiden Estrada punya hobby mentraktir makan dan minum para wartawan Istana. Estrada tak segan-segan makan dengan tangan dan membagi potongan daging dari piringnya kepada wartawan. Estrada juga suka mengupaskan kulit udang untuk wartawan perempuan yang makan bersamanya.
Begitu baiknya Estrada pada wartawan Istana. Tapi wartawan adalah wartawan. Seperti yang dikemukakan pakar jurnalistik Bill Kovach, “journalist makes no friend or enemy”. Wartawan tidak pernah mencari kawan atau musuh. Ia adalah anjing penjaga yang loyalitas utamanya kepada publik. Kemesraan hubungan dengan Presiden menjadi putus ketika Estrada mulai diketahui belangnya.
Presiden dituding menerima uang dari bandar judi dan suka foya-foya dengan perempuan. Adalah hasil liputan investigasi wartawan yang mengungkap Istana-Istana dan para selir Estrada yang membuat presiden pilihan rakyat itu akhirnya dimakjulkan alias dikenakan impeachment.

Mengapa presiden benci media?
Michael Nelson, pakar media dari Amerika Serikat, pernah menulis panjang lebar mengenai ”Why the Media Love Presidents and Presidents Hate the Media”.
Mengapa Presiden membenci media? Menurut Nelson, sudah jelas jawabannya, yaitu presiden membenci apa yang tidak bisa dikontrolnya. Setiap presiden, siapapun orangnya, tidak akan bisa mengendalikan sikap kritis dan sinis dari kalangan media. Itu memang sudah menjadi sikap mental dan jatidiri pers.
Presiden Arroyo membenci media karena pers sering menjadi biang kerok dan bahkan bagian dari kekuatan destabilisasi. Presiden Arroyo meminta media untuk tidak memanas-manasi situasi dan menjadi bagian dari pemecahan masalah, serta bukan sebaliknya menjadi masalah.
Arroyo meminta wartawan untuk melaksanakan jurnalisme patriotik dengan memberitakan kabar baik dan bukan melulu kabar buruk. Tapi, media di Filipina adalah yang terbebas di Asia dan tak ada urusan dengan imbauan Presiden.
Seperti dikemukakan Mia Gonzales, sebuah pers yang kehilangan kredibilitasnya sebagai anjing penggonggong pemerintah dan masyarakat, maka ia menjadi penghambat demokrasi. Oleh karena itu, media di Filipina akan terus mengkritisi presidennya, meskipun, misalnya berlaku pepatah “anjing menggonggong kafilah berlalu”.
Pertanyaan berikutnya, mengapa media (tetap) mencintai presiden padahal media sering “menggebuki” orang nomor satu di pemerintahan itu?
Jawabannya, presiden adalah sumber berita penting. Ia adalah pembuat berita. Seorang newsmaker.
“You may report, but I make the news,” kata Presiden Theodore Roosevelt kepada wartawan kepresidenan.
Benar! Wartawan bisa melaporkan suatu berita, tapi presidenlah yang sebetulnya membuat berita. Wartawan sangat haus akan berita-berita dari Istana Kepresidenan. Wartawan Gedung Putih, misalnya, tiap hari harus kirim minimal satu atau dua berita setiap hari. Oleh karena adanya pembatasan bagi wartawan untuk melakukan liputan secara independen di Kantor Presiden, pihak Istana berada pada posisi yang menentukan apa agenda pemberitaan hari itu.
Michael Parenti dalam buku “Inventing Reality: The Politics of the Mass Media” mengatakan seorang presiden punya kemampuan luar biasa untuk mempengaruhi media massa dengan memberikan informasi yang dibuat secara sadar untuk menghadirkan suatu cara pandang atau kesan tertentu.
Alhasil, kemampuan presiden untuk menentukan berita apa yang akan disampaikan kepada masyarakat umum adalah sangat tidak terbatas. Sesinis-sinisnya wartawan terhadap presiden, dia akan sangat tergantung kepada berita apa yang akan disampaikan Kepala Negara.
Tidak mengherankan bila berita yang “positif” terhadap Presiden akan selalu lebih banyak daripada yang ”negatif”. Sebagai contoh, berita kategori “good news” mengenai Presiden di koran New York Times dan televisi CBS mengalahkan berita “bad news” dengan margin 34:1 dan 6:1.
Dengan demikian, sebetulnya tidak ada alasan bagi presiden untuk mengeluhkan laporan media dan perilaku wartawan. Karena pers sudah jadi kodratnya melaporkan kabar baik dan kabar buruk secara kritis. Konstitusi memberikan hak istimewa kepada pers untuk melakukan kritik dan kontrol sosial.
Oleh karena itu, jika ada politisi yang mengeluh tentang media, sama saja dengan pelaut yang mengeluhkan samudra.

Selasa, 06 Mei 2008

East-West Center Announces Journalism Travel-Study Fellowships on U.S.Election,Beijing Olympics Aftermath

Contacts:
Jefferson Fellowships:
Ann Hartman, Jefferson Fellowships Coordinator
East-West Center
Tel: (808) 944-7600
Email: http://us.mc563.mail.yahoo.com/mc/compose?to=jefferson@eastwestcenter.org

Hong Kong Fellowships:
Marilyn Li, Seminars Specialist
East-West Center
Tel: (808) 944-7258
Email: http://us.mc563.mail.yahoo.com/mc/compose?to=seminars@eastwestcenter.org




East-West Center Announces Journalism Travel-Study Fellowships
on U.S. Election, Beijing Olympics Aftermath


HONOLULU (May 5) – The East-West Center is now accepting applications for two journalism travel-study fellowships—the Fall 2008 Jefferson Fellowships for Journalists and the 2008 Hong Kong Journalism Fellowships.

The Jefferson Fellowships are open to journalists in the United States , Asia and the Pacific Islands , with an application deadline of June 4. The Hong Kong Journalism Fellowships are open to U.S. journalists only, with an application deadline of May 23.

Jefferson Fellowships on “The 2008 U.S. Presidential Election”:
The Fall 2008 Jefferson Fellowships program will take place Oct. 18-Nov. 9, 2008, and is open to working print, broadcast, and on-line journalists in the United States , Asia and the Pacific Islands . Five years of experience is preferred. All program and travel costs are funded by a grant from the Freeman Foundation.

The theme for this program is “The 2008 U.S. Presidential Election.” Fellows will travel to Honolulu , Hawaii ; Phoenix , Arizona ; Erie , Pennsylvania ; Cleveland , Ohio ; and Washington , D.C. to explore the important issues in the Nov. 4 election, learn about the U.S. political process, observe this historic election and discuss the outcome with U.S. analysts and one another.

After a week of discussion sessions at the East-West Center in Honolulu , participants will travel to various areas of the United States to discuss election issues and attitudes with policymakers, business leaders, community activists and voters from a range of important constituencies. In Phoenix , Arizona , John McCain’s home state, Fellows will explore the complexities of health care and immigration. In Erie , Pennsylvania and Cleveland , Ohio , cities in America ’s “rust-belt,” the program will focus on attitudes toward the economy, trade, social values and America ’s future. Fellows will observe the election in Ohio , the state that determined the 2004 contest in favor of George Bush and which is predicted to serve as a bellwether state again this year. They will then travel to Washington , D.C. for discussions with analysts, policymakers, journalists and others on what the results mean for the United States and its relations with Asia , the Pacific and the rest of the world.

The application deadline for the Jefferson Fellowships is June 4. See program details at www.eastwestcenter.org/jefferson. Send applications and questions by email to http://us.mc563.mail.yahoo.com/mc/compose?to=jefferson@eastwestcenter.org or fax to (808) 944-7600. For phone inquiries, please contact Ann Hartman, Jefferson Fellowships Coordinator, at (808) 944-7619.

Hong Kong Journalism Fellowships on “The Aftermath of the Beijing Olympics”:
The 2008 Hong Kong Journalism Fellowships program will take place Sept. 11-27 and is open to U.S. journalists with at least five years of professional working experience in print, broadcast or online media. The program covers air transportation, lodging, and program-related ground transportation and meals for participating journalists. Participants are responsible for their own visa fees.

The program will begin with a two-day seminar at the East-West Center in Honolulu, followed by a study tour to Hong Kong and Beijing, Kunming, Shangri-La and Lijiang in mainland China, where fellows will meet with business executives, scholars, journalists, political leaders and government officials.

The Hong Kong Journalism Fellowships, established in 1996, are co-sponsored by the Better Hong Kong Foundation and the East-West Center to deepen better public understanding in the United States of the diversity and complexity of political, economic, social and cultural issues in Hong Kong and mainland China .

The application deadline for the Hong Kong Journalism Fellowships is May 23. For application information, please visit www.eastwestcenter.org/journalismfellowships and click on “ Hong Kong .” Send applications and questions by email to http://us.mc563.mail.yahoo.com/mc/compose?to=seminars@eastwestcenter.org, fax to (808) 944-7600), or by post to:
East-West Seminars
ATTN: Hong Kong Journalism Fellowships
East-West Center
1601 East West Road
Honolulu , HI 96848

For phone inquiries, please contact Marilyn Li, Seminars Specialist, at (808) 944-7258.

For a list of all EWC media programs, see www.eastwestcenter.org/journalismfellowships


###

The East-West Center is an education and research organization established by the U.S. Congress in 1960 to strengthen relations and understanding among the peoples and nations of Asia, the Pacific, and the United States . The Center contributes to a peaceful, prosperous and just Asia Pacific community by serving as a vigorous hub for cooperative research, education and dialogue on critical issues of common concern to the Asia Pacific region and the United States . Funding for the Center comes from the U.S. government, with additional support provided by private agencies, individuals, foundations, corporations, and the governments of the region.

Rabu, 30 April 2008

HAZAIRIN POHAN : SOSOK WARTAWAN DIPLOMAT

Oleh : Akhmad Kusaeni

Jakarta, 30/4 (ANTARA) - Jagat wartawan Indonesia patut berbangga. Satu insannya ditunjuk Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menjadi Duta Bangsa. Itulah Hazairin Pohan, SH. MA. Mantan wartawan harian Waspada Medan yang menjadi Duta Besar Indonesia Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Republik Polandia.

Dubes Pohan pekan-pekan ini punya hajat besar. Dia menjadi ’sahibul bait’ pameran dagang, investasi, dan pariwisata Indonesia pertama dan terbesar untuk wilayah Eropa Tengah dan Timur. Perhelatan besar itu bertajuk "1st Indonesia Expo in Central and East Europe" (1st IE-CEE) dan berlangsung 5-10 Mei 2008.

Perhelatan akbar Indonesia itu digelar di gedung pameran termegah di Polandia Expo-XXI seluas 10.000 meter persegi. Lebih dari 150 pengusaha nasional ikut serta. Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) M Lutfi, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, Menteri Perdagangan Marie Pangestu dan Menteri Perindustrian Fahmi Idris akan hadir. Selain itu, tentu saja Dubes Pohan mengundang “teman-teman wartawan”, termasuk saya.

Saat berpamitan untuk berangkat ke posnya di Warsawa tahun 2006, Dubes Pohan berjanji akan “tetap menulis dan bikin berita” untuk Antara dan Jurnal Nasional, harian dimana adiknya, Ramadhan Pohan, menjadi Pemimpin Redaksi.

Saking seringnya mengirim berita dan siaran pers, Dubes Pohan dijuluki sebagai “Koresponden Luar Biasa dan Berkuasa Penuh”. Sebuah istilah pelesetan dari jabatan terhormatnya sebagai “Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh” untuk Polandia.
“Jiwa kewartawan saya tak pernah mati,” katanya ketika pamitan.
“Kawan-kawan media sering menyebut saya wartawan diplomat, sebaliknya teman-teman Deplu menyebut saya diplomat wartawan,” lanjutnya.

Darah daging wartawan
Memang benar, darah daging diplomat kelahiran 12 Nopember 1953 itu adalah wartawan. Ia adalah anak ke-7 dari 13 anak H. Abdul Muthalib Pohan, seorang wartawan dan guru bahasa Inggris dari Pematang Siantar, Sumatera Utara. Adiknya, Ramadhan Pohan, juga wartawan di kelompok Jawa Pos sebelum menjadi Pemred di Jurnal Nasional.

Saat menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, Pohan menerbitkan suratkabar kampus ”Panta Rhei”. Ia juga pernah menjadi wartawan harian Waspada (1975-1976). Bekal dan pengalamannya sebagai wartawan itu menjadi modal utama Pohan dalam kariernya sebagai diplomat. Bersama-sama diplomat muda lain, ia mendirikan Jurnal Caraka, majalah ilmiah Departemen Luar Negeri.

Ia juga menjadi penyumbang tulisan mengenai politik luar negeri dan masalah-masalah internasional dalam berbagai publikasi. Di tengah kesibukannya berdiplomasi, ia terus menulis, menulis, dan menulis.

”Saya ini wartawan dan sebagai wartawan “they are never die, they only lose their notebook!”,” katanya berseloroh mengenai profesi jurnalis yang tidak tepat lagi disebut “kuli tinta” melainkan “kuli laptop”.

Dubes Pohan menceritakan bagaimana ia mengagumi sosok Adam Malik, pendahulunya sebagai diplomat wartawan, yang juga sama-sama berasal dari Pematang Siantar. Adam Malik mendirikan Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara pada 13 Desember 1937 sebelum menjadi Menteri Luar Negeri dan kemudian Wakil Presiden RI.

Ada kesamaan penting antara Adam Malik dan Dubes Pohan. Yakni, sama-sama merantau keluar dari Pematang Siantar untuk cita-cita hidup lebih baik dan berbakti bagi bangsa ini. Dalam memoarnya ”Mengabdi Republik”, Adam Malik semasa anak-anak adalah penjaga warung di Pematang Siantar.

Sebagai penjaga warung di pasar yang becek, Adam Malik yang berusia 12 tahun menyaksikan bagaimana penderitaan ribuan kuli di tempat kelahirannya.
”Saya sangat berhutang kepada kuli-kuli itu. Andaikata saya tidak memahami amanat penderitaan mereka, satu kenyataan yang telah mendorong saya keluar dari Pematang Siantar, maka barangkali saya akan tetap tinggal sebagai seorang penunggu warung di Pematang Siantar,” kenang Adam Malik

Melihat dunia
Bagi Adam Malik dan Dubes Pohan, menjadi wartawan berarti peluang melihat dunia. Menjadi diplomat, berarti keliling dunia. Sejak bergabung menjadi pegawai negeri di Deplu tahun 1980, praktis Dubes Pohan hatam lima benua. Ia pernah menjadi diplomat di KBRI Moskow (1986-1989) yang memungkinkannya fasih berbahasa Rusia.

”Saya mewarisi ketertarikan saya akan bahasa-bahasa asing dari ayah saya,” kata wartawan diplomat yang fasih berbagai bahasa asing itu.
Pernah juga menjadi Sekretaris I KBRI Sofia di Bulgaria (1992-1996), Minister Counsellor di Perwakilan Tetap RI di PBB New York (1998-2002), Direktur Eropa Tengah dan Timur, Ditjen Amerika dan Eropa, Deplu (2002-2006), sebelum akhirnya menjadi Dubes RI di Polandia sejak 2006.

Dubes Pohan terkenal sebagai orang kreatif yang tidak bisa diam. Sebagai wartawan diplomat, ia rajin turun ke lapangan dan ke tempat kejadian perkara. Dalam ilmu jurnalistik, katanya, setiap ada peristiwa besar terjadi, wartawan harus segera datang ke lokasi pada kesempatan pertama. Itu supaya dia bisa melaporkan peristiwa dengan cepat dan akurat.

Salah satu ilmu wartawan yang berguna bagi diplomat adalah selalu konfirmasi dan verifikasi di lapangan. Pekerjaan diplomat tidak bisa melulu diurus di belakang meja perundingan. Lobi-lobi di luar perundingan perlu di lakukan. Selalu cek dan recek.

Oleh karena itu, ia sering "road show" ke berbagai negara lainnya seperti ke Lithunia, Balairus, Rusia dan Spanyol untuk ”telling Indonesia to the world” dan ”menjual potensi Indonesia ke dunia”. Ia bertekad bisa mendatangkan lima ribu pembeli ke Indonesian Expo di Warsaw yang digagasnya bersama 26 Dubes RI di Eropa lainnya.

Itulah Hazarin Pohan. Ia mengikuti jejak wartawan diplomat lainnya yang menjadi Duta Besar seperti Sabam Siagian dari The Jakarta Post (Australia), Djafar Assegaf dari LKBN Antara/Media Indonesia (Vietnam), dan Susanto Pudjomartono dari Jakarta Post (Rusia).
”Jurnalisme telah memberi saya berbagai kebajikan, seperti bertemu Raja dan Presiden, aktor dan aktris terkenal, sopir taksi dan pedagang asongan,” kata Hazairin Pohan.

Ia mengatakan setiap orang bisa menjadi wartawan. Setiap orang bisa juga menjadi diplomat. Tapi tidak setiap orang bisa menjadi wartawan sekaligus diplomat. Dubes Pohan bersyukur, ia menggenggam dua profesi terhormat itu, wartawan sekaligus diplomat.

”Terserah anda mau panggil saya: wartawan diplomat atau diplomat wartawan,” kata Dubes Pohan sambil tertawa lebar.

Rabu, 23 April 2008

BENARKAH DESI ANWAR BANTU PENEMBAK RAMOS HORTA?

Oleh Akhmad Kusaeni

Jakarta, 23/4(ANTARA) – Presiden Timor Leste Ramos Horta menuding wartawati Metro TV Desi Anwar membantu tokoh pemberontak Alfredo Reinaldo yang tewas dalam insiden serangan terhadap Horta di Dili, 11 Februari 2008.
Dalam keterangan pers dengan media internasional pekan lalu, Horta yang baru sembuh dari perawatan luka tembak di sebuah rumah sakit di Australia, paling tidak menyebut tiga kali nama Desi Anwar untuk memperkuat tuduhannya.
Dengarlah apa yang dikatakan Horta ketika itu.
”Tuan Alfredo Reinaldo memiliki banyak kontak di Indonesia. Ia pergi ke negeri itu dengan dokumen palsu. Siapa yang memberikan dokumen palsu itu kepadanya di Atambua? Kami tahu siapa yang melakukannya”.
Wartawan yang hadir menunggu dengan antusias kalimat berikutnya ke luar dari mulut Horta. Mereka ingin tahu apakah Presiden Timor Leste itu akan menyebut nama pihak yang membantu pemimpin kelompok tentara pembelot yang tewas dalam insiden serangan itu. Ini tentu bisa menjadi berita utama di media. Bisa jadi breaking news.
Horta lalu “feeding the beast” (istilah bagi media yang lapar terhadap berita besar) dengan menyebut siapa di belakang Alfredo .
“Pihak berwenang di Atambua memberikan dokumen palsu dengan bantuan wartawati Metro TV Desi Anwar,” ujar Horta.
Semua yang hadir di konferensi pers itu tentu kaget. Tidak menduga sama sekali. Biasanya wartawan hanya melaporkan berita. Kali ini wartawan menjadi berita. Dituding bersekongkol membantu kelompok pembunuh seorang presiden lagi!
Horta berjanji akan melakukan ”complain” ke lembaga wartawan internasional yang bermarkas di Brussel karena ”tindakan mereka nyaris membuat saya, seorang presiden yang terpilih secara demokratis, terbunuh”.
Oleh karena itu, Horta tidak akan bisa diam sampai ”kebenaran” terbuka.
”Bilamana perlu saya akan angkat masalah ini ke Dewan Keamanan PBB sebagai mana kasus pembunuhan terhadap Perdana Menteri Lebanon,” ujar Horta.
Berita tuduhan Horta bahwa wartawan Indonesia Desi Anwar terlibat dalam membantu serangan terhadap Presiden Timor Leste pun tersebar ke seluruh penjuru dunia.
Saya menelpon Desi Anwar untuk mengecek kebenaran tuduhan itu. Wartawati itu mengatakan sambil terkekeh bahwa saya bukan orang pertama yang mempertanyakan kebenaran berita tersebut. Bahwa dia sudah ditelpon banyak orang, dari dalam dan luar negeri, sebagian besar wartawan, yang ingin melakukan konfirmasi.
Desi membantah keras tuduhan Horta yang mengatakan dirinya membantu Alfredo Reinado berkunjung ke Indonesia untuk wawancara pada 23 Mei 2007.
"Ini sangat lucu dan tidak masuk akal. Sama sekali tidak benar," katanya.
Sebelumnya, Horta diberitakan menuduh wartawati Indonesia Desi Anwar, membantu pemimpin kelompok tentara pembelot yang tewas dalam insiden serangan di Dili 11 Februari lalu, Alfredo Reinado, berkunjung ke Indonesia untuk wawancara pada 23 Mei 2007.
Terhadap tudingan itu, Desi Anwar mengaku hanya bisa tertawa.
"Mudah-mudahan berita ini bukan bagian dari April Mop," katanya terkekeh.
Ia menyayangkan seorang Presiden bisa menyampaikan tudingan yang tidak didasari bukti-bukti dan data yang akurat. Ia mendoakan Horta betul-betul sehat kembali.
"Saya berdoa untuk kesembuhan Horta. Saya juga berdoa untuk masa depan negerinya," kata wartawati senior yang telah mewawancarai sejumlah tokoh seperti mantan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher, Jenderal Pervez Musharraf, dan mantan Presiden Cina Jiang Zhemin.

Bukan yang pertama
Kasus Desi Anwar bukan yang pertama. Rekan saya dari Filipina, Dana Batnag, yang menjaji koresponden kantor berita Jiji Press dari Jepang, juga mengalami nasib yang sama.
Dana, teman satu angkatan sewaktu kuliah di Ateneo de Manila University, menjadi berita pada 24 Januari 2008. Kawan-kawan di mailing list ramai saling kirim pesan.
“Kawan kita Dana Batnag kini jadi berita. Ia dituduh oleh Kepolisian Nasional Filipina (PNP) sebagai telah membantu pemimpin kudeta, sehingga dia bisa keluar dari Hotel Peninsula, Manila, yang dijadikan markas tentara pemberontak,” begitu email yang saya terima.
Dana dituding telah memberikan kartu pers kepada Kapten Nicanor Faeldon sehingga pemimpin pemberontak itu bisa meninggalkan hotel bersama-sama dengan para wartawan dan lolos dari pandangan 1.500 polisi yang menyerbu hotel tersebut.
Tentu saja Dana membantah. Ia hadir di Hotel Peninsula untuk meliput, bukan untuk membantu membebaskan pemberontak. Kamera CCTV memang merekam Dana sedang berbicara dengan Faeldon. Tapi itu sebuah wawancara. Itupun dilakukan bersama-sama tiga lusin wartawan lain.
Gambar CCTV, yang belakangan diputar oleh sejumlah stasiun televisi, tidak memperlihatkan Dana memberi Kapten Faeldon sebuah kartu pers sehingga dia bisa lolos dari pemeriksaan polisi.
“Sangat tidak masuk akal kalau saya dituduh ikut membantu pelarian Kapten Faeldon,” tegasnya.
“Saya merasa tersanjung menjadi korban fitnah pemerintah terhadap pekerja media, tapi sejatinya saya tidak melakukan semua yang dituduhkan itu,” katanya lagi.

Respon organisasi pers
Sangat menarik membandingkan kasus Dana Batnag di Filipina dengan Desi Anwar di Indonesia, terutama dalam kaitan bagaimana respon masyarakat dan tokoh media terhadap kedua kasus serupa tapi tak sama itu.
Asosiasi Koresponden Asing di Filipina (FOCAP), dimana Dana menjabat sebagai Wakil Ketua, mengeluarkan pernyataan yang mendukung wartawati tersebut.
“Kami mendesak agar aparat menghentikan fitnah terhadap media,” tulis FOCAP.
Persatuan Wartawan Nasional Filipina (NJUP), semacam PWI di Indonesia, malah dengan gamblang menyatakan “laporan yang mengkaitkan wartawan dalam pelarian Kapten Faeldon dikeluarkan oleh penyebar rumor yang pengecut”.
“Kami menantang polisi untuk membuktikan tuduhan itu. Jika tidak, hentikan fitnah terhadap media,” tulis NJUP.
Organisasi wartawan itu yakin Dana hanya dijadikan kambing hitam dari kegagalan polisi menangkap pemimpin pemberontak.
Itu di Filipina. Lain dengan di Indonesia. Hampir tidak satu tokoh media ataupun organisasi wartawan di Tanah Air yang memberikan perhatian kepada Desi Anwar. Seperti Dana Batnag, Desi dituduh membantu pemberontak. Tapi nyaris tidak ada yang membela. Desi dibiarkan sendirian membela diri. Kasihan.

Rabu, 16 April 2008

SELEBRITI POLITIK

Oleh Akhmad Kusaeni

Jakarta, 15/4 (ANTARA) - Kemenangan pasangan Ahmad Heryawan dan aktor Dede Yusuf dalam Pilkada Jawa Barat mengukuhkan telah datangnya suatu era baru dalam demokrasi di Indonesia; Selebriti Politik! "Celebrity Politics" mulai dikenal dalam terminologi Ilmu Politik setelah para bintang film, pemain sinetron, komedian, dan penyanyi terjun ke dunia politik, bukan sebagai penghibur panggung kampanye atau pengumpul suara. Tapi, mereka, serius mengejar kursi jabatan publik seperti anggota DPR, bupati, walikota, gubernur atau bahkan presiden.
Pengalaman di Amerika Serikat dan Filipina membuktikan bahwa film dan televisi telah menjadi pembuat raja ("kingmaker") yang memungkinkan Arnold Swarchzenegger menjadi Gubernur California dan Joseph Estrada menjadi Presiden Filipina.
Di Indonesia, selebriti politik bukan saja telah membuat lakon "Petruk Jadi Raja", tapi juga "Artis Jadi Penguasa". Sinetron Si Doel Anak Betawi telah membuat Rano Karno menjadi Wakil Bupati Tangerang.
Sementara iklan obat sakit kepala yang gencar tayang di TV telah mendorong aktor Dede Yusuf duduk di kursi Wakil Gubernur Jawa Barat.
Selamat Datang Selebriti Politik! Mengapa selebriti masuk panggung politik? Darrell West, penulis buku "Celebrity Politics", berpendapat bahwa artis dan pelawak tergiur terjun ke jabatan publik akibat perkembangan media, khususnya televisi, dan demokrasi.
Televisi menjadi medium sempurna bagi selebiriti untuk mendulang kemasyhuran dan citra diri. Sementara sistim pemilihan langsung, telah membuat selebriti yang sudah populer dan dikenal publik menjadi pilihan rakyat.
"Saat budaya berubah menuju pemujaan selebriti dan batas antara 'Hollywood' dan 'Washington' (kota dimana Gedung Putih berada) menjadi kabur, para artis menerima perhatian media yang ingar-bingar saat terjun ke dunia politik," kata West.
Mampu kumpulkan sumbangan Selebriti, setidaknya di negara maju, juga cocok untuk era politik kontemporer karena kekayaan yang mereka miliki dan kapasitas untuk mengumpulkan sumbangan politik yang tinggi.
Ongkos kampanye yang luar biasa mahal dan biaya iklan politik yang tinggi, kemampuan mengumpulkan dana politik sangat vital untuk memenangi pemilihan.
Selebriti juga diuntungkan oleh lemahnya partai politik dan citra buruk politisi konvensional. Biasanya untuk menduduki jabatan publik, orang harus berjuang dari bawah sebelum mereka dapat mengikuti pemilihan kursi jabatan publik, entah itu anggota parlemen, gubernur atau presiden.
Kini, kandidat yang berasal dari luar politisi, asal mereka tenar, bisa mengumpulkan duit sumbangan kampanye, serta mampu menarik perhatian media, dapat lompat melibat politisi dan maju jadi calon bupati atau gubernur.
Mereka tidak perlu menunggu bertahun-tahun dan merangkak di kepemimpinan partai. Bisa langsung tancap gas menuju puncak.
Dalam sistim pemilihan langsung, seperti dikemukakan oleh sutradara Garin Nugroho, popularitas calon menjadi sangat penting. Pilpres atau Pilkada ditamsilkan oleh Garin sebagai sebuah Opera Sabun. Siapa yang paling ganteng dan cantik, apalagi pandai menyanyi, akan menjadi idola yang dipuja.
Dalam pemilihan langsung, masyarakat memilih kandidat presiden, gubernur, bupati seperti ketika memilih "Indonesian Idol". Tidak heran jika peran partai menjadi lemah dan tidak berdaya. Media dan televisi telah membajak peran partai untuk mengumpul suara dan menangguk dukungan.
"Dalam situasi televisi menjadi sumber utama informasi, maka kandidat dipasarkan seperti iklan pasta gigi dan sabun. Intinya, produk yang paling sering tampil di televisi, itulah yang akan dibeli masyarakat," kata John Orman, pengamat politik di Amerika Serikat.
Satria Putih Selebriti juga diuntungkan oleh fenomena "Satria Putih" (White Knight), yaitu tokoh superhero yang gigih membasmi kejahatan dan menegakan kebenaran.
Masyarakat cenderung untuk tidak mempercayai politisi konvensional karena citra buruk mereka. Meski banyak juga yang bersih dan baik, masyarakat dibombardir kabar miring tentang ulah politisi.
Ada yang diduga menerima aliran dana Bank Indonesia. Ada yang ditangkap KPK karena terima suap. Ada pula yang dihukum karena menjadi calo anggaran.
Di era sisnisme publik terhadap politisi konvensional, pemilih melihat selebriti sebagai "Satria Putih" yang datang dari luar dunia politik yang hitam. Satria pengayom dan pelindung rakyat seperti yang mereka saksikan dalam film-film yang dibintanginya.
Warga Carmel, California, misalnya, memilih Clint Eastwood sebagai Walikota karena bintang film laga itu sering memerankan si "Dirty Harry", polisi yang malang melintang membasmi kejahatan jalanan di Amerika Serikat.
Warga California memilih Arnold Swarchzenegger sebagai Gubernur karena terobsesi dengan postur badan kekar berotot besi si "Terminator" yang membasmi kejahatan tanpa belas kasihan.
Di Tanah Air, bukan tidak mungkin warga Tangerang memilih Rano Karno sebagai Wakil Bupati karena terpesona oleh kebajikan Si Doel Anak Betawi yang selalu membela dan membantu warga. Bukan mustahil, pemilih di Jawa Barat mencoblos Dede Yusuf karena terkesan dengan iklan keperkasaan Dede membasmi kuman penyebab sakit kepala, atau kejeniusan "Jojo" dalan sinetron "Jendela Rumah Kita", yang mampu bertahan selama 4 tahun (1989-1992) di layar kaca TVRI.
Namun, menjadi masyhur dan dipuja tidak selamanya menjamin kemenangan dalam Pemilu. Marisa Haque gagal dalam Pilkada Banten. Pemain sinetron Anwar Fuadi jeblok di Konvensi Partai Golkar, sehingga harus mengubur ambisi besarnya untuk menjadi calon Presiden pada Pilpres 2004.

Rabu, 02 April 2008

Fitna : Ironi Kebebasan Berekspresi

Oleh Akhmad Kusaeni

Jakarta (ANTARA News) - Fitna adalah fitnah. Dan fitnah lebih kejam dari pembunuhan!

Dalam bahasa Arab, fitna berarti kebohongan yang disebarkan dengan niat buruk: untuk menjatuhkan. Paling tidak untuk mencemarkan nama baik. Pembunuhan karakter.

Arti lain dari fitna adalah kehebohan. Kegaduhan. "Upheaval".

Fitna juga judul sebuah film pendek berdurasi 16 menit buatan politisi sayap kanan Belanda, Geert Wilders, yang ditayangkan di Internet pekan lalu.

Meminjam istilah pemerintah Belanda -- yang tidak melihat manfaat film ini kecuali hanya untuk menyinggung perasaan -- Fitna jelas telah melahirkan kehebohan.

Kegaduhan yang terjadi menyusul penayangan Fitna mulai merebak di jalan-jalan bukan saja di negeri-negeri Muslim yang terhujat karena Islam disamakan dengan kekerasan. Tapi juga di negeri-negeri non Muslim, di Eropa dan Amerika, yang merasa kebebasan bicara dan berekspresi diselewengkan untuk menghujat agama dan penganutnya.

Di Karachi, Pakistan, para pengunjuk rasa meneriakkan "Mati untuk si pembuat film".

Di Jakarta, kelompok Front Pembela Islam (FPI) berdemo di depan Kedubes Belanda dengan membawa poster besar "Geert is The Great Satan".

Mereka menuntut Belanda meminta maaf atas perilaku Wilders.

"Jika tidak, kami mengancam akan mengusir semua warga negara Belanda serta Duta Besarnya," kata Djaelani, pimpinan pengunjuk rasa.

Secara lebih formal, protes keras disuarakan.

Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad mengajak negara-negara Muslim memboikot produk Belanda.

Pemerintah Indonesia resmi melarang penayangan Fitna di media massa ataupun Internet. Penayangan film itu, menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, "hanya akan menimbulkan perpecahan di antara kita".

Organisasi Konferensi Islam (OKI), yang mewakili 57 negara berpenduduk Muslim, mengutuk Fitna sekeras-kerasnya.

Pernyataan pers OKI mengklaim film Wilders sebagai "tindakan sengaja untuk mendiskreditkan Muslim" yang bertujuan "untuk memprovokasi terjadinya keonaran dan kekacauan".


Membuat marah

Meski sebagian pengunjuk rasa maupun pemimpin dunia Muslim belum sempat menonton dengan mata kepala sendiri, yang diberitakan oleh media mengenai tayangan Fitna sungguh membuat marah.

Wilders, yang dikenal sebagai anti imigran, menayangkan Fitna di Internet setelah stasiun-stasiun televisi menolak memutarnya. Film itu menggambarkan seorang ulama mengutip ayat Al-Quran yang diselingi tampilan kekerasan.

Berusaha mengidentifikasikan Islam dengan kekerasan, film itu menggabungkan beberapa gambar video mengenai tindakan teroris mulai dari serangan 11 September, pengeboman kereta api di Spanyol, dan pembunuhan Theo van Gogh, seorang sutradara film Belanda.

Seolah-olah ayat-ayat Al-Qur'an itulah yang menjustifikasi tindakan terorisme itu.
Film diakhiri dengan seruan Wilders kepada kaum Muslimin untuk "menghapuskan ayat-ayat kekerasan dari kitab suci Al-Qur'an".
Menurut Wilders, yang juga seorang anggota parlemen Belanda, Islam dan Al-Qu'an merupakan faktor berbahaya yang merusak kebebasan di Belanda.
"Saya harus mengingatkan masyarakat mengenai bahaya ini," katanya, mengenai alasan pembuatan dan penayangan filmnya yang kontroversial.

Keruan saja pola pikir macam Wilders ini dikecam di seluruh dunia, bahkan di Belanda, negerinya sendiri. Ini sebuah ironi dari kebebasan berekspresi.

Perdana Menteri Belanda Jan-Peter Balkenende tidak setuju dengan apa yang ingin digambarkan oleh Wilders bahwa Islam identik dengan kekerasan

"Ini adalah hari paling menyedihkan dari kebebasan berbicara dan berekspresi," tulis Shabana, yang mengomentari penayangan film Fitna di situs Internet Liveleak.com.

Yang disebut paling menyedihkan oleh Shabana adalah Wilders mau melarang Al-Qur'an (di Belanda), tapi pada saat yang sama, dia menganggap sebagai pelanggaran dari kebebasan berekspresi bagi pihak-pihak yang ingin filmnya dibreidel karena menghujat Islam.

"Ini munafik dan sangat menjijikan," tulis Shabana.

Slovenia, yang sekarang menduduki jabatan Presiden Uni Eropa, dalam sebuah pernyataan mengatakan kebebasan berekspresi merupakan bagian dari nilai-nilai yang dianut bangsa Eropa.

Namun, lanjutnya, hal itu harus dilaksanakan dalam semangat menghormati kepercayaan agama lain.

Saling menghormati dan menghargai adalah nilai-nilai universal yang harus dijadikan acuan. "Kami percaya, film tersebut tidak memiliki manfaat lain kecuali menyebarkan kebencian," demikian pernyataan Uni Eropa.


Tak bebas menghujat

Kebebasan berekspresi memang merupakan bagian dari hak asasi. Tapi itu tidak berarti bebas untuk menghujat dan menghina (agama dan penganutnya).

Kebebasan beragama dan beribadah juga merupakan kebebasan yang juga dilindungi oleh Konvensi Hak Asasi Manusia.

Freedom of religion setara dengan Freedom of Speech.

Satu sama lain tidak boleh meniadakan, apalagi menistakan.

Apa yang dilakukan Komunitas Umat Beragama Indonesia (KUBI) yang mengirimkan surat protes ke pemerintah Belanda pada 13 Maret 2008 sudah tepat.

Pemutaran film itu sangat menyakiti perasaan umat Islam dan dapat menciptakan ketegangan baru bagi peradaban dunia, termasuk antara para pemeluk agama.

Menggambarkan Islam sebagai agama yang menyerukan kekerasan bukan hanya sesat dan menyesatkan, tapi juga merupakan fakta gamblang betapa orang-orang macam Wilders tidak sensitif terhadap dunia Muslim dengan 1,3 miliar pengikutnya. (*)

COPYRIGHT © 2008

Jumat, 28 Maret 2008

Steve Hanke Mengenang Jatuhnya Rupiah dan Soeharto

Oleh Akhmad Kusaeni

Jakarta (ANTARA News) - Prof Steve H Hanke, penasehat ekonomi Soeharto pada masa-masa akhir pemerintahannya pada 1998, akhirnya bisa kembali ke Indonesia, setelah 10 tahun meninggalkan Jakarta.

Kepada berbagai kalangan di Jakarta, Kamis, ahli ekonomi dari John Hopkins University, Amerika Serikat, itu menjelaskan bagaimana rupiah ambruk yang diakhiri dengan jatuhnya Soeharto.

"Sama yang dilakukan terhadap Shah Iran, Amerika Serikat telah mengeliminasi Soeharto," katanya seperti ia tulis dalam majalah Forbes 15 Januari 1998.

Steve Hanke datang ke Jakarta untuk bicara pada Globe Asia Exclusive Insights yang dihadiri kalangan bisnis dan tokoh penting lainnya.

Penerbit Globe Asia Tanri Abeng memperkenalkan peneliti dari Cato Institute itu sebagai penasehat ekonomi Soeharto pada masa krisis ekonomi melanda Indonesia.

Tanri juga memperkenalkan panelis lain, seperti pengusaha Noke Kiroyan, bankir Anton H Gunawan dan Peter Gontha. Nama terakhir adalah yang disebut-sebut media kala itu sebagai orang yang mempertemukan Hanke dengan Soeharto.

Pers waktu itu melaporkan bahwa Hanke sedang berada di Istambul ketika ia menerima "telepon rahasia" dari Jakarta. Ekonom kondang itu diminta segera terbang ke Jakarta untuk bertemu Presiden Soeharto.

Menumpang pesawat khusus, Hanke tiba di Jakarta dan segera mengadakan pertemuan dengan Presiden Soeharto di Jalan Cendana Jakarta.

Pertemuan itu disebut-sebut diatur Siti Hardijanti Rukmana dan Peter Gontha yang dikenal sebagai mitra bisnis Bambang Trihatmodjo, bos grup Bimantara yang juga anak Soeharto.

Seminggu kemudian, masih menurut pemberitaan media waktu itu, saat menerima 100 ulama di Bina Graha dalam acara Halal bi halal, Presiden mengutarakan maksudnya untuk "mematok rupiah pada tingkat tertentu dengan valuta asing".

Presiden juga menegaskan bahwa pemerintah telah menemukan cara untuk "mematikan para spekulan". Tampak jelas, Hanke dan konsep yang kemudian dikenal dengan currency board system (CBS) mengilhami Kepala Negara dalam usaha mematok kurs rupiah yang sudah jatuh sampai 75 persen sejak Juli 1997.


Tidak benar

Namun, Peter Gontha membantah telah menjadi pihak yang mengundang Hanke ke Cendana.

"Saya baru pertama kali ketemu Prof. Hanke hari ini, di forum ini," kata Gontha yang duduk di sebelah Hanke.

Hanke telah membantah laporan harian Wall Street Journal edisi 10 Februari 2008 yang melaporkan bahwa Gontha memanggilnya ke Jakarta untuk menyiapkan kertas kerja ke Soeharto yang merekomendasikan pemerintah supaya nilai tukar rupiah dipatok pada 5.500 per dolar.

"Ini berita tidak benar. Saya tidak bertemu, atau kenal, dengan orang yang namanya Peter Gontha," katanya seperti juga yang ditulis dalam kolomnya di Globe Asia edisi 27 Januari 2007.

Hanke membenarkan bahwa dirinya memang bertemu Soeharto di Cendana.

"Dengan wafatnya Soeharto, saya mengenang pertemuan rutin kami di malam hari di kediamannya (jalan Cendana). Saya kagum dengan fakta bahwa di tengah badai, Soeharto selalu tenang dan kalem. Itulah satu sisi Soeharto yang saya tahu," katanya.

Dalam analisisnya mengenai "kejatuhan rupiah dan Soeharto", Hanke menguraikan krisis ekonomi yang melanda Asia dimulai dengan goncangnya mata uang Thailand.

Saat bath ambruk, rupiah terkena dampak gelombang tsunami ekonomi itu. Bahkan kondisi berkembang lebih parah. Dalam waktu singkat rupiah merosot dari 2.700 per dolar menjadi 16.000 rupiah per dolar pada 1998.

Akhir Januari 1998, Presiden Soeharto menyadari bahwa ramuan IMF untuk memulihkan ekonomi nasional tidak mustajab. Soeharto lalu meminta pendapat kedua (second opinion).

"Bulan Februari, saya diundang untuk menyampaikan `second opinion` itu dan mulai menjadi penasehat ekonominya," kata Hanke.

Setelah beberapa kali bertemu di kediaman Soeharto di Cendana, Hanke mengusulkan sebuah kebijakan untuk mematok rupiah pada harga tertentu terhadap dolar AS.

Pada saat berita pemerintah akan mematok harga nilai tukar rupiah didengar publik, mata uang Indonesia itu menguat 28 persen terhadap dolar AS.

"Perkembangan ini membuat marah pemerintah AS dan IMF," kata Hanke.


Soeharto ditekan

Menurut Hanke, serangan keji terhadap gagasan Currency Board System (CBS) dan dirinya sebagai penasehat ekonomi presiden dilancarkan.

Suharto ditekan oleh Presiden AS Bill Clinton dan Direktur Pelaksana IMF Michel Camdessus supaya tidak melaksanakan CBS dengan ancaman menunda bantuan 43 miliar dolar.

Seiring dengan berjalannya waktu, Hanke kemudian mendapat jawaban mengapa idenya tentang CBS dibantai habis-habisan, padahal di negara lain bisa jalan dengan baik.

Merton Miller, seorang penerima Hadiah Nobel untuk Ilmu Ekonomi, mengatakan bahwa penolakan pemerintah Clinton terhadap CBS "bukan karena itu tidak akan jalan tapi justeru kalau itu jalan maka Soeharto akan terus berkuasa".

Pendapat sama, lanjut Hanke, juga dikemukakan oleh mantan PM Australia Paul Keating. Keating mengatakan "AS tampak dengan sengaja menggunakan ambruknya ekonomi sebagai alat untuk menggusur Soeharto".

Bahkan Michel Camdessus, seperti dikutip Hanke, tidak menolak pendapat seperti itu.

Setelah pensiun dari IMF, Camdessus dengan bangga memproklamirkan bahwa "Kami menciptakan kondisi bahwa Persiden Soeharto harus meninggalkan jabatannya".

Tidak heran jika Prof Hanke berkesimpulan bahwa "As it did with the Shah of Iran, the U.S. has eliminated Soeharto" (sama yang dilakukan terhadap Shah Iran, Amerika Serikat telah mengeliminasi Soeharto).(*)


COPYRIGHT © 2008