Oleh Akhmad Kusaeni
Jakarta (ANTARA News) - Saat pergolakan terjadi pada Mei, sepuluh tahun lalu, seorang aktivis berkeliling Jakarta dibonceng oleh motor besar sang mertua. Keduanya kemudian bergabung dengan mahasiswa yang berunjuk rasa dan menguasai gedung parlemen. Mereka meminta Presiden Soeharto mundur.
Ketika orang kuat yang sudah berkuasa selama 32 tahun itu betul-betul mundur pada 21 Mei 1998 seperti disiarkan langsung oleh televisi, sang aktivis mencium bumi. Setelah bersujud syukur, ia menggunting sprei tempat tidur untuk dijadikan spanduk. Dengan spidol besar, ia menoreh tulisan "Bye-bye Soeharto".
Ia bawa spanduk itu ke gedung DPR/MPR Senayan. Keruan saja menjadi pusat perhatian media, terutama juru kamera dan juru foto asing. Sejumlah wartawan TV asing seperti NHK dan BBC mewawancarai si aktivis. Ia ditanya perasaannya mendengar berita Soeharto lengser.
"I am happy, my father happy, my mother happy, everybody happy..." katanya.
Itulah cerita di balik sampul buku terbitan Crawford House Publisihing, Australia yang berjudul: THE FALL OF SOEHARTO (diterbitkan hanya beberapa bulan setelah Soeharto mundur). Buku setebal 261 halaman itu merupakan kumpulan artikel yang penulisnya sebagian besar adalah pengamat Indonesia dari Australia seperti Hall Hill, Jamie Mackie, Richard Robinson, Harold Crouch, dan Geoff Forrester.
Buku ini mencoba menganalisis faktor-faktor yang mendorong mundurnya Soeharto dari jabatannya. Faktor utama yang disebutkan di buku itu adalah semakin memburuknya situasi ekonomi saat itu. Hall Hill menilai krisis ekonomi sejak Juli 1997 menyebabkan jatuhnya Soeharto.
Krisis ekonomi yang disusul krisis politik mengakibatkan pelarian modal ke luar Indonesia secara masif, hingga menyebabkan anjloknya nilai rupiah sampai mencapai Rp17.000,- per dolar. Rupiah yang lemah membuat pebisnis "collaps" karena tidak dapat lagi mengelola utang luar negerinya. Situasi diperburuk dengan besarnya utang luar negeri dan buruknya sistem manajemen keuangan dalam negeri. Harga barang kebutuhan pokok melonjak, sehingga menimbulkan keresahan sosial yang luar biasa.
Pemahaman baru
Begitulah. Yang dipahami orang waktu itu adalah Soeharto jatuh karena krisis ekonomi. Tapi belakangan, pemahaman itu berubah seiring dengan berjalannya waktu dan bersuaranya para tokoh yang terlibat memberikan analisa dan kesaksian.Analisa di balik jatuhnya Soeharto pun memiliki nuansa pemahaman baru.
Ada pihak yang berpendapat lebih spesifik dari sekedar "Soeharto jatuh karena krisis ekonomi". Mereka berpendapat "Soeharto jatuh karena IMF?" Pendapat ini antara lain dikemukakan Prof. Steve Hanke, penasehat ekonomi Soeharto dan ahli masalah Dewan Mata Uang atau Currency Board System (CBS) dari Amerika Serikat.
Menurut ahli ekonomi dari John Hopkins University itu, Amerika Serikat dan IMF-lah yang menciptakan krisis untuk mendorong kejatuhan Soeharto. Ini dibuktikan dari pengakuan Direktur Pelaksana IMF Michael Camdessus sendiri.
Dalam wawancara "perpisahan" sebelum pensiun dengan The New York Times, Camdessus yang bekas tentara Prancis ini mengakui IMF berada di balik krisis ekonomi yang melanda Indonesia.
"Kami menciptakan kondisi krisis yang memaksa Presiden Soeharto turun," ujarnya. Pengakuan ini tentu saja menyambar kesadaran banyak orang. Tak dinyana, krisis di Indonesia ternyata bukan semata kegagalan kebijakan ekonomi Soeharto, tapi juga berkat "bantuan" IMF.
Jatuhnya Soeharto, ternyata bukan hanya karena sikut-sikutan di kalangan militer atau tekanan politik dalam negeri dan gerakan mahasiswa, melainkan lebih karena tekanan pasar keuangan internasional dan IMF.
Lihatlah fakta penggalan sejarah berikut ini. Soeharto terpaksa menandatangani "letter of intent" dengan IMF di kediaman Cendana, pada 15 Januari 1998. Camdessus menyaksikan momen penandatanganan itu sambil menyilangkan kedua lengan di dada.Bos IMF itu terlihat pongah seperti tampak pada foto yang dimuat di media nasional dan internasional keesokan harinya.
Sejarah mencatat peristiwa itu sebagai "Soeharto tunduk pada IMF, salah satu pilar kapitalisme global". Hanya beberapa pekan kemudian, tanda tangan itu terbukti membelenggu Soeharto sendiri.
Mencoba lepas dari tekanan IMF, Presiden mencari "jalan lain" yang tidak disukai lembaga donor internasional itu. Pada akhir Januari 1998, Presiden menerima Steve Hanke yang menawarkan proposal CBS. D
engan CBS, rupiah akan dipatok pada 5.500 per dolar.Soeharto tertarik dan hampir memberlakukan CBS. Ia sudah menyiapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang CBS.
Dalam risalah rapat Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan yang dipimpin Soeharto tanggal 10 Februari 1998, salah satu butir keputusan rapat adalah instruksi Presiden kepada Menkeu Mar`ie Muhammad, Gubernur BI Soedradjad Djiwandono, untuk "menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk pemberlakuan "currency board."
IMF mengancam
Namun, seperti diberitakan media, IMF menganggap rencana itu merupakan gangguan terhadap konsistensi reformasi. Apalagi koran The Washington Post mengabarkan bocornya surat pribadi Michel Camdessus kepada Soeharto tertanggal 11 Februari 1998.
Surat itu berisikan ancaman bahwa IMF akan menangguhkan pinjaman sebesar 43 miliar dolar AS jika tidak ada kejelasan mengenai masa depan reformasi sesuai LoI yang telah diteken 15 Januari. Ancaman tersebut manjur. CBS akhirnya dibatalkan menyusul tekanan Barat yang makin keras.
Menurut Steve Hanke, serangan keji terhadap gagasan CBS dan dirinya sebagai penasehat ekonomi presiden dilancarkan begitu keji. Pelaksanaan CBS Indonesia ditentang habis-habisan. Akan tetapi Argentina, yang juga pasien IMF, dibolehkan.
Begitu pula kontrol devisa, yang digelar begitu mulus di Chili, ternyata diharamkan di Indonesia. Padahal, kata Steve Hanke, kalau saja Indonesia kala itu diizinkan memakai CBS atau bahkan kontrol devisa, "Perekonomian Indonesia mungkin bisa selamat."
Berkali-kali Hanke mengingatkan Soeharto agar tak mempercayai IMF, karena IMF sangat khawatir CBS bakal sukses diterapkan di Indonesia. "Washington punya kepentingan agar krisis berlangsung terus sehingga Anda jatuh" kata Hanke kepada Soeharto.
Seiring dengan berjalannya waktu, Hanke kemudian mendapat jawaban lebih jelas mengapa idenya tentang CBS dibantai habis-habisan, padahal di negara lain bisa jalan dengan baik. Merton Miller, seorang penerima Hadiah Nobel untuk Ilmu Ekonomi, mengatakan bahwa penolakan pemerintah Clinton dan IMF terhadap CBS "Bukan karena itu tidak akan jalan tapi justru kalau itu jalan maka Soeharto akan terus berkuasa".
Pendapat sama, lanjut Hanke, juga dikemukakan oleh mantan PM Australia Paul Keating. Keating mengatakan "AS tampak dengan sengaja menggunakan ambruknya ekonomi sebagai alat untuk menggusur Soeharto". Memang sampai saat ini masih menjadi tanda tanya besar, mengapa IMF ingin menjatuhkan Soeharto. Tapi, yang jelas, menurut para ekonom, masuknya IMF ke Indonesia seperti membawa kunci pembuka bagi gudang harta terpendam, yakni pasar Indonesia yang luar biasa dahsyat.
Ini terbukti, setelah IMF menjadi "dokter" perekonomian Indonesia, perusahaan asing begitu leluasa berbisnis di negeri ini. Di setiap pojok kota, kini begitu banyak kantor cabang bank asing, restoran asing, perusahaan multinasional dan barang produk luar negeri.Jika para aktivis sepuluh tahun lalu mengusung spanduk "Bye-bye Soeharto", setelah sadar apa yang sebenarnya terjadi, mereka jugalah yang kemudian meneriakan dengan keras di jalan-jalan yang panas dan berdebu: "Sayonara IMF". (*)
Jumat, 16 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
artikel di blog ini bagus dan berguna bagi pembaca di seluruh Indonesia.anda bisa lebih mempromosikan artikel anda di Infogue.com dan jadikan artikel anda topik yang terbaik bagi para pembaca.telah tersedia plugin/widget.kirim artikel dan vote yang terintegrasi dengan instalasi mudah dan singkat.salam blogger!!!
http://politik.infogue.com/
http://politik.infogue.com/imf_dibalik_kejatuhan_soeharto
Posting Komentar