Jumat, 09 Mei 2008

PRESIDEN DAN MEDIA : A LOVE STORY

Oleh Akhmad Kusaeni

Hubungan Presiden dengan media ibarat sebuah kisah cinta.
Sebagai ”love story”, tentu saja diwarnai oleh perasaan benci dan rindu. Satu hal yang pasti, keduanya saling membutuhkan dan merasa hidup tak sempurna tanpa keberadaan yang lain.
Presiden Amerika Serikat Thomas Jefferson sangat memuja dan mendewakan pers. Ia pernah mengatakan pada tahun 1787 bahwa ”Andaikata disuruh memilih antara pemerintah tanpa suratkabar, atau surat kabar tanpa pemerintah, maka saya akan memilih yang terakhir (suratkabar tanpa pemerintah)”.
Namun, sejarah juga mencatat bahwa presiden-presiden Amerika Serikat membenci dan memusuhi pers. Bahkan Jefferson sendiri pernah menuntut wartawan ke pengadilan karena dianggap telah mencemarkan nama baiknya. Clinton saat dilanda skandal dengan Monica Lewinsky, menuding media telah bersekongkol dengan kelompok sayap kanan untuk memakjulkannya dari Gedung Putih.
James Reston dalam buku ”The Artilery of the Press” mengungkapkan hampir semua Presiden Amerika Serikat sampai ke puncak kekuasaan dengan memuji-muji pers dan meninggalkan kepresidenannya dengan mengutuk banyak praktik-praktik pers.
”Sebelum berkuasa, hampir semua Presiden memuji pers, namun tatkala berkuasa merasa terganggu oleh pers,” tulis Reston.

Di titik nadir
Tidak hanya di Amerika Serikat, Presiden di negeri jiran Filipina juga begitu. Pada masa kampanye, Gloria Macapagal Arroyo sangat bersahabat dengan wartawan, namun kini hubungan Presiden Filipina dengan media tengah berada pada titik nadir.
Menurut Mia Gonzales, wartawan Istana Malacanang yang bekerja untuk harian Bussines Mirror, memburuknya hubungan Arroyo dengan wartawan dipengaruhi krisis politik terburuk yang dialami Presiden, terkait dengan dugaan rekayasa hasil suara Pemilu dan skandal korupsi.
Setiap hari koran dan televisi memberi tempat yang luas kepada pihak oposisi yang ramai-ramai mendesak Presiden mundur secara konstitusional atau melalui gerakan people power.
Hal serupa juga terjadi pada pendahulu Arroyo. Pada bulan-bulan pertama Joseph Estrada menjadi presiden pada Juni 1998 menggantikan Fidel Ramos, hubungannya dengan wartawan Istana juga begitu mesra. Jika ada kebaikan Estrada yang diingat wartawan, itu adalah perhatiannya terhadap perut orang-orang di sekeliling presiden.
Lilia Tolentino dari harian Pilipino Star Ngayon mengungkapkan Presiden Estrada punya hobby mentraktir makan dan minum para wartawan Istana. Estrada tak segan-segan makan dengan tangan dan membagi potongan daging dari piringnya kepada wartawan. Estrada juga suka mengupaskan kulit udang untuk wartawan perempuan yang makan bersamanya.
Begitu baiknya Estrada pada wartawan Istana. Tapi wartawan adalah wartawan. Seperti yang dikemukakan pakar jurnalistik Bill Kovach, “journalist makes no friend or enemy”. Wartawan tidak pernah mencari kawan atau musuh. Ia adalah anjing penjaga yang loyalitas utamanya kepada publik. Kemesraan hubungan dengan Presiden menjadi putus ketika Estrada mulai diketahui belangnya.
Presiden dituding menerima uang dari bandar judi dan suka foya-foya dengan perempuan. Adalah hasil liputan investigasi wartawan yang mengungkap Istana-Istana dan para selir Estrada yang membuat presiden pilihan rakyat itu akhirnya dimakjulkan alias dikenakan impeachment.

Mengapa presiden benci media?
Michael Nelson, pakar media dari Amerika Serikat, pernah menulis panjang lebar mengenai ”Why the Media Love Presidents and Presidents Hate the Media”.
Mengapa Presiden membenci media? Menurut Nelson, sudah jelas jawabannya, yaitu presiden membenci apa yang tidak bisa dikontrolnya. Setiap presiden, siapapun orangnya, tidak akan bisa mengendalikan sikap kritis dan sinis dari kalangan media. Itu memang sudah menjadi sikap mental dan jatidiri pers.
Presiden Arroyo membenci media karena pers sering menjadi biang kerok dan bahkan bagian dari kekuatan destabilisasi. Presiden Arroyo meminta media untuk tidak memanas-manasi situasi dan menjadi bagian dari pemecahan masalah, serta bukan sebaliknya menjadi masalah.
Arroyo meminta wartawan untuk melaksanakan jurnalisme patriotik dengan memberitakan kabar baik dan bukan melulu kabar buruk. Tapi, media di Filipina adalah yang terbebas di Asia dan tak ada urusan dengan imbauan Presiden.
Seperti dikemukakan Mia Gonzales, sebuah pers yang kehilangan kredibilitasnya sebagai anjing penggonggong pemerintah dan masyarakat, maka ia menjadi penghambat demokrasi. Oleh karena itu, media di Filipina akan terus mengkritisi presidennya, meskipun, misalnya berlaku pepatah “anjing menggonggong kafilah berlalu”.
Pertanyaan berikutnya, mengapa media (tetap) mencintai presiden padahal media sering “menggebuki” orang nomor satu di pemerintahan itu?
Jawabannya, presiden adalah sumber berita penting. Ia adalah pembuat berita. Seorang newsmaker.
“You may report, but I make the news,” kata Presiden Theodore Roosevelt kepada wartawan kepresidenan.
Benar! Wartawan bisa melaporkan suatu berita, tapi presidenlah yang sebetulnya membuat berita. Wartawan sangat haus akan berita-berita dari Istana Kepresidenan. Wartawan Gedung Putih, misalnya, tiap hari harus kirim minimal satu atau dua berita setiap hari. Oleh karena adanya pembatasan bagi wartawan untuk melakukan liputan secara independen di Kantor Presiden, pihak Istana berada pada posisi yang menentukan apa agenda pemberitaan hari itu.
Michael Parenti dalam buku “Inventing Reality: The Politics of the Mass Media” mengatakan seorang presiden punya kemampuan luar biasa untuk mempengaruhi media massa dengan memberikan informasi yang dibuat secara sadar untuk menghadirkan suatu cara pandang atau kesan tertentu.
Alhasil, kemampuan presiden untuk menentukan berita apa yang akan disampaikan kepada masyarakat umum adalah sangat tidak terbatas. Sesinis-sinisnya wartawan terhadap presiden, dia akan sangat tergantung kepada berita apa yang akan disampaikan Kepala Negara.
Tidak mengherankan bila berita yang “positif” terhadap Presiden akan selalu lebih banyak daripada yang ”negatif”. Sebagai contoh, berita kategori “good news” mengenai Presiden di koran New York Times dan televisi CBS mengalahkan berita “bad news” dengan margin 34:1 dan 6:1.
Dengan demikian, sebetulnya tidak ada alasan bagi presiden untuk mengeluhkan laporan media dan perilaku wartawan. Karena pers sudah jadi kodratnya melaporkan kabar baik dan kabar buruk secara kritis. Konstitusi memberikan hak istimewa kepada pers untuk melakukan kritik dan kontrol sosial.
Oleh karena itu, jika ada politisi yang mengeluh tentang media, sama saja dengan pelaut yang mengeluhkan samudra.

Tidak ada komentar: