Oleh Akhmad Kusaeni
Jakarta, 15/4 (ANTARA) - Kemenangan pasangan Ahmad Heryawan dan aktor Dede Yusuf dalam Pilkada Jawa Barat mengukuhkan telah datangnya suatu era baru dalam demokrasi di Indonesia; Selebriti Politik! "Celebrity Politics" mulai dikenal dalam terminologi Ilmu Politik setelah para bintang film, pemain sinetron, komedian, dan penyanyi terjun ke dunia politik, bukan sebagai penghibur panggung kampanye atau pengumpul suara. Tapi, mereka, serius mengejar kursi jabatan publik seperti anggota DPR, bupati, walikota, gubernur atau bahkan presiden.
Pengalaman di Amerika Serikat dan Filipina membuktikan bahwa film dan televisi telah menjadi pembuat raja ("kingmaker") yang memungkinkan Arnold Swarchzenegger menjadi Gubernur California dan Joseph Estrada menjadi Presiden Filipina.
Di Indonesia, selebriti politik bukan saja telah membuat lakon "Petruk Jadi Raja", tapi juga "Artis Jadi Penguasa". Sinetron Si Doel Anak Betawi telah membuat Rano Karno menjadi Wakil Bupati Tangerang.
Sementara iklan obat sakit kepala yang gencar tayang di TV telah mendorong aktor Dede Yusuf duduk di kursi Wakil Gubernur Jawa Barat.
Selamat Datang Selebriti Politik! Mengapa selebriti masuk panggung politik? Darrell West, penulis buku "Celebrity Politics", berpendapat bahwa artis dan pelawak tergiur terjun ke jabatan publik akibat perkembangan media, khususnya televisi, dan demokrasi.
Televisi menjadi medium sempurna bagi selebiriti untuk mendulang kemasyhuran dan citra diri. Sementara sistim pemilihan langsung, telah membuat selebriti yang sudah populer dan dikenal publik menjadi pilihan rakyat.
"Saat budaya berubah menuju pemujaan selebriti dan batas antara 'Hollywood' dan 'Washington' (kota dimana Gedung Putih berada) menjadi kabur, para artis menerima perhatian media yang ingar-bingar saat terjun ke dunia politik," kata West.
Mampu kumpulkan sumbangan Selebriti, setidaknya di negara maju, juga cocok untuk era politik kontemporer karena kekayaan yang mereka miliki dan kapasitas untuk mengumpulkan sumbangan politik yang tinggi.
Ongkos kampanye yang luar biasa mahal dan biaya iklan politik yang tinggi, kemampuan mengumpulkan dana politik sangat vital untuk memenangi pemilihan.
Selebriti juga diuntungkan oleh lemahnya partai politik dan citra buruk politisi konvensional. Biasanya untuk menduduki jabatan publik, orang harus berjuang dari bawah sebelum mereka dapat mengikuti pemilihan kursi jabatan publik, entah itu anggota parlemen, gubernur atau presiden.
Kini, kandidat yang berasal dari luar politisi, asal mereka tenar, bisa mengumpulkan duit sumbangan kampanye, serta mampu menarik perhatian media, dapat lompat melibat politisi dan maju jadi calon bupati atau gubernur.
Mereka tidak perlu menunggu bertahun-tahun dan merangkak di kepemimpinan partai. Bisa langsung tancap gas menuju puncak.
Dalam sistim pemilihan langsung, seperti dikemukakan oleh sutradara Garin Nugroho, popularitas calon menjadi sangat penting. Pilpres atau Pilkada ditamsilkan oleh Garin sebagai sebuah Opera Sabun. Siapa yang paling ganteng dan cantik, apalagi pandai menyanyi, akan menjadi idola yang dipuja.
Dalam pemilihan langsung, masyarakat memilih kandidat presiden, gubernur, bupati seperti ketika memilih "Indonesian Idol". Tidak heran jika peran partai menjadi lemah dan tidak berdaya. Media dan televisi telah membajak peran partai untuk mengumpul suara dan menangguk dukungan.
"Dalam situasi televisi menjadi sumber utama informasi, maka kandidat dipasarkan seperti iklan pasta gigi dan sabun. Intinya, produk yang paling sering tampil di televisi, itulah yang akan dibeli masyarakat," kata John Orman, pengamat politik di Amerika Serikat.
Satria Putih Selebriti juga diuntungkan oleh fenomena "Satria Putih" (White Knight), yaitu tokoh superhero yang gigih membasmi kejahatan dan menegakan kebenaran.
Masyarakat cenderung untuk tidak mempercayai politisi konvensional karena citra buruk mereka. Meski banyak juga yang bersih dan baik, masyarakat dibombardir kabar miring tentang ulah politisi.
Ada yang diduga menerima aliran dana Bank Indonesia. Ada yang ditangkap KPK karena terima suap. Ada pula yang dihukum karena menjadi calo anggaran.
Di era sisnisme publik terhadap politisi konvensional, pemilih melihat selebriti sebagai "Satria Putih" yang datang dari luar dunia politik yang hitam. Satria pengayom dan pelindung rakyat seperti yang mereka saksikan dalam film-film yang dibintanginya.
Warga Carmel, California, misalnya, memilih Clint Eastwood sebagai Walikota karena bintang film laga itu sering memerankan si "Dirty Harry", polisi yang malang melintang membasmi kejahatan jalanan di Amerika Serikat.
Warga California memilih Arnold Swarchzenegger sebagai Gubernur karena terobsesi dengan postur badan kekar berotot besi si "Terminator" yang membasmi kejahatan tanpa belas kasihan.
Di Tanah Air, bukan tidak mungkin warga Tangerang memilih Rano Karno sebagai Wakil Bupati karena terpesona oleh kebajikan Si Doel Anak Betawi yang selalu membela dan membantu warga. Bukan mustahil, pemilih di Jawa Barat mencoblos Dede Yusuf karena terkesan dengan iklan keperkasaan Dede membasmi kuman penyebab sakit kepala, atau kejeniusan "Jojo" dalan sinetron "Jendela Rumah Kita", yang mampu bertahan selama 4 tahun (1989-1992) di layar kaca TVRI.
Namun, menjadi masyhur dan dipuja tidak selamanya menjamin kemenangan dalam Pemilu. Marisa Haque gagal dalam Pilkada Banten. Pemain sinetron Anwar Fuadi jeblok di Konvensi Partai Golkar, sehingga harus mengubur ambisi besarnya untuk menjadi calon Presiden pada Pilpres 2004.
Rabu, 16 April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar