Oleh : Akhmad Kusaeni
Dewan Perwakilan Rakyat kini sedang menggodok RUU Intelijen. Setelah terkatung-katung sejak 2008, RUU Intelijen saat ini masuk dalam prioritas pembahasan legislasi 2010. Lewat UU ini, maka saatnya intelijen negara direformasi.
Negara yang kuat biasanya memiliki lembaga intelijen yang kuat. Lihat saja Amerika Serikat dengan CIA yang nyaris terlibat di setiap peristiwa penting dunia, Inggris dengan M16 yang mengilhami serial film-film James Bond atau Israel dengan badan intelijen Mossad yang ditakuti.
Negara yang intelijennya kuat namun tetap bisa menjaga kebebasan warga sipilnya adalah yang mempunyai aturan main dan undang-undang intelijennya yang jelas. Amerika Serikat memiliki UU Reformasi Intelijen dan Pencegahan Terorisme tahun 2004 yang mengatur tugas pokok dan fungsi 17 dinas intelijen agar bekerja sinergi dan saling mengisi.
Australia memiliki Intelligence Service Act of 2001 yang mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh enam dinas intelijennya. Inggris memiliki Intelligence Service Act sejak 1994 yang mengatur sinergi tiga dinas intelijennya. Kanada malah sudah memiliki undang-undang yang mengatur sepak terjang lembaga intelijen sejak 1985.
Namun, kegiatan dan sepak terjang intelijen Indonesia sama sekali belum ada pengaturan undang-undangnya. Adalah sangat aneh jika kedudukan Badan Intelijen Negara (BIN) yang dalam hirarki ketatanegaraan cukup tinggi, yaitu berada langsung di bawah presiden, namun hanya diatur oleh regulasi setingkat keputusan presiden.
Tidak adanya mekanisme pertanggungjawaban serta pengawasan baik dari presiden maupun DPR menjadikan BIN secara institusional lebih leluasa menafsirkan aktivitasnya sendiri. Akibatnya, BIN terkesan masih menjadi lembaga yang tidak terkontrol dan bisa menyusup kemana saja tanpa fungsi dan kewenangan yang jelas dan terukur.
Dalam kasus pembunuhan Munir, misalnya, kesaksian di pengadilan mengungkapkan lembaga negara seperti BUMN kerap dimasuki oleh operasi-operasi intelijen.
Ini tidak boleh terjadi. Meskipun badan intelijen bekerja dalam situasi tertutup dan rahasia, bukan berarti peran, fungsi dan tugasnya tidak boleh diatur dan tanpa pengawasan. Tanpa ada UU yang jelas, yaitu UU Intelijen yang merupakan hasil kesepakatan antara pemerintah dan DPR, maka BIN bisa dicurigai sebagai alat untuk memata-matai masyarakatnya sendiri atau mengintimidasi lawan-lawan politik penguasa.
Indonesia sudah berubah. Reformasi politik berjalan dengan arah yang baik.
Demokratisasi, keterbukaan dan tata kelola pemerintahan yang bersih, menjadi agenda nasional. Namun, reformasi terhadap lembaga intelijen luput dari perhatian. Padahal, ancaman terorisme makin nyata dan konflik komunal masih kerap terjadi, seperti kasus pembakaran di Mojokerto dan kerusuhan berlatarbelakang etnis di Batam.
Pada dasarnya, kegiatan intelijen adalah mengumpulkan informasi dengan berbagai cara mulai dari penggunaan agen rahasia, pemanfaatan sarana internet, menyadap saluran komunikasi, sampai penggunaan satelit pengintai. Semuanya dilakukan untuk memperoleh data intelijen yang akurat guna kepentingan pengambilan keputusan.
Organisasi intelijen semacam BIN, sangat diperlukan karena merupakan mata dan telinga untuk mendeteksi, mengantisipasi dan melakukan cegah dini terhadap hal-hal yang berpotensi menimbulkan gangguan dan ancaman.
Direktur Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat Dennis Blair mengatakan, “Tak ada yang lebih penting bagi keamanan nasional selain pembuatan dan pelaksanaan kebijakan keamanan yang baik dan dipasok data intelijen yang cepat, akurat dan objektif”.
Untuk itu, dalam reformasi intelijen nasional, perlu kiranya dipelajari bagaimana Amerika Serikat melakukan reformasi intelijen, dan bagaimana negeri itu membuat undang-undang intelijen yang lebih bisa membuat aman negeri itu dari ancaman terorisme dengan seminimal mungkin berdampak gangguan terhadap kebebasan sipil warganya.
Momentum Reformasi
Komunitas intelijen AS boleh kecolongan dengan terjadinya serangan teroris 11 September 2001. Tapi, peristiwa serangan terhadap gedung menara kembar World Trade Center New York —-yang sering disetarakan dengan serangan tentara Jepang atas Pearl Harbor tahun 1941—- dijadikan tonggak momentum untuk mereformasi intelijennya.
Komisi 9/11 yang dibentuk untuk menyelidiki serangan tersebut dan mengevaluasi di mana kekhilafan intelijen mengumumkan laporannya pada bulan Juli 2004. Rekomendasi utama Komisi 9/11 adalah perlunya dilakukan reformasi besar-besaran komunitas intelijen AS, termasuk membentuk badan baru intelijen yang dinamakan Direktorat Intelijen Nasional (Director of National Intelligence, DNI).
Segera setelah diterbitkan laporan tersebut, pemerintah AS mereformasi total kelembagaan intelijen. Presiden George Walker Bush menandatangani empat Keputusan Presiden bulan Agustus 2004 yang memperkuat komunitas intelijen sekuat-kuatnya tanpa harus mendapat persetujuan parlemen. Baru kemudian Kongres dan Senat AS mensahkan inisiatif Bush yang mengamendemen National Security Act yang berlaku sejak 1947.
Undang-undang baru itu dinamakan UU Reformasi Intelijen dan Pencegahan Terorisme 2004 (Intelligence Reform and Terrorism Prevention Act of 2004). Undang-undang ini ditandatangani Presiden Bush dan mulai berlaku pada 17 Desember 2004. Direktur Intelijen Nasional yang pertama adalah John D Negroponte, mantan Duta Besar AS untuk Irak, dengan wakil Letjen Michael V Hayden
Direktur Intelijen Nasional ditunjuk oleh Presiden dengan persetujuan Senat. Direktur Intelijen Nasional AS sekarang dijabat oleh Dennis C Blair. DNI bertindak selaku kepala dari komunitas intelijen, mengawasi dan mengarahkan pelaksanaan dari program intelijen nasional termasuk pengelolaan anggarannya. DNI juga menjadi penasehat presiden, Dewan Keamanan Nasional, dan Departemen Keamanan Dalam Negeri mengenai masalah-masalah intelijen yang terkait dengan keamanan nasional.
Kongres AS memberikan DNI sejumlah kewenangan dan tugas khusus. Seperti yang dinyatakan dalam UU Reformasi Intelijen dan Pencegahan Terorisme, DNI bertugas “memberikan informasi intelijen yang akurat dan objektif kepada presiden, kepala dari badan intelijen departemen, dan Kongres”.
Saat menandatangani UU Reformasi Intelijen ini tahun 2004, Presiden Bush mengatakan, “Dengan Undang-Undang baru ini, komunitas intelijen AS akan lebih menyatu, terkoordinasi dan efektif. Undang-undang ini akan membuat kita lebih baik melaksanakan tugas intelijen untuk melindungi rakyat Amerika”.
Reformasi intelijen itu ujung-ujungnya pada satu misi, yaitu melindungi rakyat dan kepentingan AS dari musuh di dalam dan di luar negeri. Apakah reformasi intelijen AS betul-betul membuat negeri itu lebih aman.
Sebuah panel diskusi yang dilakukan pada 6 April 2010 mengevaluasi apakah reformasi intelijen yang dilakukan sejak 2004 itu membuat rakyat sekarang lebih aman atau tidak. Ternyata panelis dari kalangan intelijen, Kongres AS, LSM dan media itu mengonfirmasi bahwa rakyat merasa lebih aman.
Artinya, reformasi intelijen itu berhasil. Rencana serangan bom di malam natal 2009 bisa digagalkan. Relatif tidak ada ancaman teroris yang berarti setelah tahun 2004.
Jika reformasi intelijen di AS berhasil menyatukan 17 badan intelijen yang sebelumnya tercerai-berai, menyinergikannya dalam menghadapi gangguan keamanan dan terorisme, serta membuat masyarakat lebih aman dan tenteram, maka reformasi intelijen di Indonesia mutlak harus dila-kukan.
Penulis adalah Wakil Pemimpin Redaksi Perum LKBN Antara.
Tulisan ini mewakili pendapat pribadi
Dimuat di Harian Suara Pembaruan 10 Juni 2010
http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=19135
Kamis, 10 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar