Kamis, 10 Juni 2010

MUSUH BARU KEBEBASAN PERS

Oleh Akhmad Kusaeni

Pada masa Orde Baru, ancaman terbesar bagi pers di Indonesia datang dari rejim Soeharto. Kini, musuh baru kebebasan pers itu datang dari publik seperti dari pengusaha, politisi atau bahkan bandar judi.
Raymond Teddy, seseorang yang pernah diperiksa polisi dengan tuduhan mengorganisir perjudian, menggugat ke pengadilan tujuh media yang menyiarkan siaran pers polisi. Ketujuh media itu adalah Suara Pembaruan, Kompas, Seputar Indonesia, Warta Kota, Republika, RCTI dan Detik.com.
Raymond yang merasa dirugikan dan dicemarkan nama baiknya karena diberitakan sebagai “bos judi” menggugat tujuh media itu masing-masing antara Rp5 miliar hingga Rp10 miliar. Kasus ini menarik perhatian, termasuk dari Istana Kepresidenan dan MPR, karena dianggap mengancam kebebasan pers.
Apa yang bisa ditarik pelajaran dari kasus gugatan terhadap media ini?
Intinya adalah siapapun yang merasa dirugikan oleh pers, bisa menggugat ke pengadilan. Sistim hukum pidana dan perdata yang berlaku di Indonesia masih memungkinkan wartawan bisa dibangkrutkan atau dipenjarakan.
Memang, sejak berlakunya Undang-undang Pers No.40 Tahun 1999, kemerdekaan pers telah menuju jalur yang benar. Pembreidelan oleh penguasa praktis tidak ada lagi. Amuk massa dan main hakim sendiri terhadap pers mulai berkurang. Banyak kasus bisa diselesaikan melalui mediasi Dewan Pers atau organisasi wartawan.
Namun, jalan ke pengadilan masih tetap terbuka lebar. Laporan ke polisi atau menggugat perdata adalah hak dari orang yang dirugikan dan merupakan hak asasi mereka. Pers di Indonesia sampai saat ini masih sering dimajukan ke pengadilan perdata atau dilaporkan ke polisi tanpa menunggu hak jawab.
Pasal 5 ayat (2) UU Pers No.40/1999 menyatakan bahwa pers wajib melayani hak jawab. Ayat (3) menyatakan pers juga wajib melayani hak koreksi. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan tersebut diancam pidana denda paling banyak Rp500 juta.
Yang jadi masalah adalah jika media telah melayani hak jawab, ternyata itu tidak menutup hak dari pihak yang menderita kerugian untuk mengajukan gugatan atau melapor ke polisi. Akibatnya, sejumlah media termasuk media arus utama digugat ke pengadilan oleh pengusaha, politisi atau pejabat militer.
Itu sebabnya sejumlah kalangan, terutama media, menginginkan UU Pers itu direvisi. Di UU Pers yang baru sebaiknya dinyatakan secara tegas bahwa jika media sudah melakukan koreksi dan melayani hak jawab, maka tertutup sudah pintu untuk mengadili secara pidana dan mengkriminalisasi pers. Yang boleh terbuka adalah gugatan ganti rugi yang jumlahnya dibatasi agar tidak membangkrutkan pers.
Upaya penyelesaian kasus pers melalui mediasi di luar pengadilan, seperti yang dilakukan melalui mekanisme UU Pers, sangat diidealkan. Jika wartawan melakukan pencurian atau pembunuhan, bolehlah dia dipenjarakan. Tapi wartawan tidak boleh dikriminalisasi karena karya dan tulisannya.

Maksud-maksud jahat
Dalam ilmu hukum pers dikenal istilah without malice atau absence of malice. Kamus bahasa Inggris karya Hassan Shadily memberi arti malice sebagai “maksud-maksud jahat yang dipikirkan sebelumnya”. Ada tidaknya malice inilah yang harus dibuktikan di pengadilan yang tengah memeriksa gugatan terhadap pers.
Pers memang bukan malaikat dan wartawan bisa berbuat salah. Oleh karena itu boleh-boleh saja pers digugat ke pengadilan.Namun, bila terbukti bahwa kesalahannya itu tidak disengaja (misalnya wartawan sama sekali tidak tahu bahwa informasi, data atau fakta yang diperolehnya itu keliru), maka pers bisa dibebaskan meskipun laporannya jelas salah. Itu karena hakim tidak menemukan adanya malice, atau niat jahat yang direncanakan sebelumnya untuk merugikan atau mencemarkan pihak korban.
Malice itu bisa terbukti kalau wartawan tahu bahwa apa yang hendak ditulisnya itu tidak benar atau meragukan, bahwa narasumbernya tidak kredibel, tapi dia dengan sengaja terus memberitakannya. Biasanya hal ini dilakukan bila wartawan atau media telah memiliki agenda setting dan memiliki bingkai tertentu. Berbagai fakta dicari agar sesuai dengan bingkai yang telah disediakan.
Dalam kasus gugatan terhadap tujuh media yang tengah disidangkan sekarang ini, sangat sulit untuk membuktikan adanya malice tersebut. Gugatan tersebut tidak beralasan karena berita itu didasarkan pada sumber yang jelas dan kredibel, yaitu siaran pers resmi Mabes Polri.
Sulit juga membayangkan bahwa ketujuh media tersebut bersekongkol membuat agenda setting bersama untuk membingkai saudara Raymond Teddy sebagai bandar judi. Pemberitaan yang dilakukan oleh ketujuh media itu bisa dipastikan without malice.
Yang mungkin terjadi adalah pemberitaan itu hanya keteledoran wartawan yang tidak melakukan cover bothsides atau tidak melakukan verifikasi tuduhan polisi kepada korban.

Tak membuat bahagia
Pelajaran lain dari kasus gugatan kepada tujuh media itu adalah proses pengadilan atas kasus pers biasanya tidak membuat bahagia penggugat dan media yang digugat. Si penggugat, jika tidak punya stamina dan modal logistik yang cukup, bisa frustasi dan putus asa.
Biaya untuk pengacara sangat mahal. Rata-rata biaya lawyers di Amerika Serikat bisa mencapai 50 persen dari nilai gugatan yang dimenangkan. Prosesnya paling cepat empat tahun sampai keluarnya keputusan hakim yang final (inkrach).
Pers juga tidak gembira. Selain biaya membela perkara yang tinggi, para wartawan terganggu pekerjaannya untuk waktu yang lama. Proses pemeriksaan dan pembuatan BAP di polisi dan sidang di pengadilan yang bertele-tele sangat melelahkan dan menyita waktu serta perhatian. Publikasi mengenai proses hukum tersebut juga bisa mengganggu reputasi dan kredibilitas media.
Jadi, cara terbaik untuk menghindari kemungkinan gugatan hukum adalah hak jawab dilaksanakan dan media secara sukarela mengoreksi kesalahan yang dibuatnya. Jika perlu, meminta maaf.
Mantan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto mencbut gugatannya atas The Washington Post karena koran Amerika Serikat itu melayani hak jawab dan meminta maaf atas kesalahannya. Pengusaha Shinivasan berdamai dengan Kompas setelah harian ini memberikan hak jawab dan meminta maaf secara terbuka.
Kebanyakan penggugat tidak akan pergi ke pengadilan jika media pada kesempatan pertama melakukan koreksi, memberikan hak jawab dan meminta maaf secara terbuka.
Mantan CEO Mobil Oil William Tavoulareas saat menggugat The Washington Post mengatakan kalimat berikut ini:
“Saya tidak ingin menghancurkan pers. Saya tahu betapa pentingnya pers yang bebas bagi negeri ini. Gugatan ini tidak akan pernah terjadi jika mereka mengakui kesalahannya dan meminta maaf”.
Masalahnya banyak wartawan yang tidak mau melakukan apa yang diinginkan oleh korban dari pemberitaan pers semacam Tavoulareas tersebut. Seperti lagu klasik Elton John, maaf adalah kata yang paling berat diucapkan wartawan.
”Sorry seems to be the hardest word” ***

(Penulis adalah Wakil Pemimpin Redaksi Perum LKBN Antara. Tulisan ini mewakili pandangan pribadi)

Dimuat di Harian Suara Pembaruan 12 Mei 2010
http://epaper.suarapembaruan.com/?iid=36199

Tidak ada komentar: