Oleh : Akhmad Kusaeni
Mabes Polri dan TVOne bermediasi di Dewan Pers, Senin (12/4), soal kasus markus gadungan. Bila terbukti narasumber TVOne palsu, berarti tayangan 18 Maret 2010 adalah berita bohong.
Etika media menyatakan, merekayasa narasumber masuk kategori ”muslihat jurnalistik” (deception in journalism).
Memang masih perlu dibuktikan apakah TVOne melakukan muslihat jurnalistik. Namun, Mabes Polri punya bukti bahwa tayangan itu sebuah rekayasa.
Polisi sudah menangkap seorang makelar kasus (markus) palsu bernama Andreas Ronaldi alias Andis (37) yang mengisi acara bincang-bincang TVOne. Dalam pemeriksaan, Andis mengaku diminta berbicara soal markus sesuai skenario dengan pertanyaan dan jawaban yang disiapkan. Tentu saja TVOne membantah.
Berdasarkan bukti polisi dan bantahan redaksi TVOne, Dewan Pers harus membuktikan apakah benar ada rekayasa dan menjelaskan kepada publik apakah benar stasiun televisi itu telah melakukan muslihat jurnalistik.
Rekayasa dan muslihat jurnalistik adalah pelanggaran berat etika media karena mengkhianati kebenaran. Pencarian kebenaran adalah hakikat pekerjaan jurnalistik. Menurut Bill Kovach dan Tom Rosenthiel, kewajiban utama wartawan adalah kepada kebenaran (the first obligation of journalism is to the truth).
Bob Steele dari Poynter Institute for Media Studies mengatakan, muslihat jurnalistik ada berbagai bentuk: dari menyiarkan berita bohong (outright lying) sampai merekayasa pengakuan tidak benar (misrepresenting) dan menyampaikan informasi menyesatkan (misleading).
Berbagai kasus
Muslihat jurnalistik pernah dilakukan wartawan media-media terkemuka. Koran New York Times pernah mengalaminya pada April 2003 ketika wartawan Jason Blair membuat berita palsu.
Wartawan itu menulis berita- berita bohong dengan narasumber palsu dan mencontek laporan koran-koran lokal.
Janet Cooke, wartawan The Washington Post, melakukan muslihat jurnalistik dalam laporan tentang anak kecil pencandu obat bius yang ternyata palsu.
Dalam artikel yang terbit 29 September 1980, Cooke menulis kisah bocah bernama ”Jimmy” di kawasan kumuh Washington DC. Jimmy menjadi pencandu heroin setelah diajari pacar ibunya.
”Jimmy, 8 tahun, adalah generasi ketiga pencandu heroin. Rambut hitam, mata coklat, dengan bekas-bekas tusukan jarum di tangannya,” begitu Janet Cooke menggambarkan Jimmy yang bercita-cita jadi bandar heroin.
Gara-gara artikel itu banyak pihak mendesak Cooke mengungkap identitas Jimmy agar bisa disembuhkan. Namun, Cooke menolak dengan alasan melindungi narasumber.
Laporan itu mendapat penghargaan Pulitzer 1982. Belakangan, baru ketahuan bahwa berita tentang bocah pencandu heroin itu bohong dan sosok Jimmy hanyalah rekaan si wartawan.
”Hacker” palsu
Muslihat jurnalistik yang mirip kasus markus palsu di Indonesia juga terjadi di majalah The New Republic, AS. Stephen Glass dalam laporan berjudul Hack Heaven (18/5/1998) menulis cerita hacker berumur 15 tahun yang mengacak komputer perusahaan Juct Micronics.
Laporan Glass merupakan wawancara eksklusif dengan Ian Restil, hacker yang disebutnya mirip Bill Gates muda. Bahkan, Glass mengaku hadir dalam pertemuan Restil dengan pimpinan Juct Micronics yang membujuk Restil jadi konsultan keamanan sistem informasi perusahaan.
”Saya mau ke Disney World, komik X-Men, langganan majalah Playboy dan Penthouse. Perlihatkan uangnya,” kata Restil seperti dikutip Glass.
”Uang sudah disiapkan,” jawab pimpinan Juct Micronics..
Belakangan terbukti, pertemuan di Hotel Hyatt, Maryland, yang dilaporkan Glass tidak ada. Ceritanya fiksi belaka. Ian Restil hanya rekaan Glass. Seperti dalam film Shattered Glass, Stephen Glass pun dipecat.
Organisasi dan perusahaan media menghukum sangat keras wartawan yang melakukan muslihat jurnalistik. Blair, Cooke, dan Glass telah dipecat. Bahkan, demi tanggung jawab moral, atasan para wartawan tersebut juga melepaskan jabatannya.
Muslihat jurnalistik bukan saja membahayakan kredibilitas dan reputasi media, tetapi lebih jauh lagi bisa mengancam kepercayaan publik terhadap media dan profesi jurnalistik.
Jika media merekayasa kebenaran dan wartawan menyampaikan kepalsuan, dari mana lagi masyarakat mendapat informasi yang akurat dan kredibel?
Jika media tak bisa lagi diandalkan menyampaikan kebenaran, siapa yang bisa memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui (people right to know)?
Menyadari pentingnya kebenaran dalam masyarakat, apalagi oleh pers yang bisnisnya menyampaikan kebenaran, muslihat jurnalistik adalah pelanggaran berat dan pelakunya wajib mendapat sanksi setimpal.
Akhmad Kusaeni Wakil Pemimpin Redaksi Perum LKBN Antara, Tulisan Mewakili Pendapat Pribadi
Tulisan ini dimuat di :
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/14/05015211/muslihat.jurnalistik
Senin, 03 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar