Oleh : Akhmad Kusaeni
Politik adalah seni meraih kekuasaan. Satu-satunya cara memiliki kekuasaan itu adalah dengan mengendalikan pemerintahan atau paling tidak, berada di pemerintahan.
Loyalitas, di sisi lain, adalah sebuah bentuk kesetiaan kepada partai. Loyalitas memerlukan kesetiaan, pengabdian dan kejujuran. Seorang loyalis siap mengorbankan apa saja untuk partainya. Loyalis adalah serdadu partai dalam arti kata yang sebenarnya. Ia akan mempersembahkan hati, jiwa dan raganya untuk kemaslahatan partai.
Ketika sejumlah politisi dan pimpinan partai berada di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, apakah loyalitas masih relevan dalam politik Indonesia sekarang ini? Tentu saja.
Kata ”loyalitas” tidak akan pernah bisa terhapus dari kamus perbendaharaan politik di negeri ini, atau di negeri mana saja. Setiap ada pemerintahan baru atau terbentuknya kabinet baru, kata ”loyalitas” selalu muncul dalam dua bentuk yang berseberangan 180 derajat.
Di satu sisi ada pihak yang mempertanyakan loyalitas para menteri baru dalam kabinet, khususnya yang berasal dari partai-partai koalisi. Di pihak lain, Presiden atau Perdana Menteri yang membentuk kabinet, meminta para menterinya menanggalkan loyalitas kepada partainya dan diganti menjadi loyalitas kepada bangsa dan negara.
Loyalitas ke partai berhenti
Pada tahun 1941, Presiden Persemakmuran Filipina yang pertama, Manuel L.Quezon, mengemukakan kalimat yang paling banyak dikutip ketika orang membicarakan masalah loyalitas politik atau loyalitas kabinet.
”My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins", begitu kata Ketua Senat yang terpilih menjadi Presiden Filipina.
Banyak orang salah sangka mengira kutipan itu berasal dari Presiden Amerika Serikat John F Kennedy. Nyatanya, literatur sejarah merujuknya ke Quezon. Dalam bahasa Tagalok, kutipan Quezon itu berbunyi “Ang katapatan ko sa aking partido ay magwawakas sa pagsibol ng katapatan ko sa aking bansa."
Itu tahun 1941. Pada 22 Oktober 2009 di Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika melantik 34 menteri kabinetnya, mengatakan hal yang hampir sama dengan yang dikemukakan Quezon.
SBY meminta para menteri, anggota Kabinet Indonesia Bersatu II, untuk menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan partai politik, kelompok, atau golongan.
SBY perlu wanti-wanti dari awal soal loyalitas ini karena sebanyak 19 dari 34 menteri berasal dari partai politik. Di antara mereka bahkan ada ketua umum parpol, yaitu Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suryadharma Ali yang menjadi Menteri Agama.
”Dari mana pun Saudara berasal, termasuk dari partai politik mana pun, saya berharap letakkanlah kepentingan pemerintah, bangsa, dan negara di atas kepentingan partai politik, kelompok, atau pun golongan. Jangan di balik,” kata SBY.
Jelas, SBY yang pemerintahannya merupakan hasil koalisi multipartai, menekankan pentingnya loyalitas.
Monoloyalitas
Jika diamati sejarah kabinet masa Orde Baru, dari Kabinet Pembangunan I (1968-1973) sampai Kabinet Pembangunan V (1988-1993), Presiden Soeharto bukan hanya menekankan pentingnya loyalitas, bahkan ia menuntut monoloyalitas dari para menteri-menterinya. Sebaliknya, Soeharto juga sangat loyal terhadap para menteri-menterinya.
Dalam buku ”Anatomi Indonesia Inc.”, Christianto Wibisono menulis bahwa Soeharto memberikan kepercayaan bulat dan tuntas kepada pembantu mandataris yaitu para menteri. Jarang dan tidak pernah ada menteri yang diberhentikan dalam masa jabatan, semuanya selamat melewati masa bakti mereka.
Soeharto sebagai atasan, kata Christianto, berani memilih, berani mempertanggungjawabkan pilihan, dan membela bawahan sebagai pembantu, mengambil alih tanggung jawab politis dari menteri yang bersangkutan apa pun kesalahannya.
Menurut Christianto, loyalitas tipe demikian ini dapat menumbuhkan esprit de corps yang tinggi dan juga loyalitas balik dari para menteri, sehingga mereka diharapkan akan memberikan ”imbalan” berupa kerja keras, prestasi tinggi atas ”kemurahan hati loyalitas” atasan yang telah mempercayakan sebagian hidup jutaan rakyat pada sektor tentu ke pundak menteri yang bersangkutan.
Jika loyalitas pimpinan yang demikian tinggi sampai disalahgunakan oleh para bawahan, maka menteri yang tidak melaksanakan tugas dengan baik sehingga merugikan kepentingan nasional yang mencolok, tentu menteri itu ”dosanya dobel”, karena sudah dibackingi dan diproteksi oleh wibawa Mandataris yang demikian loyal toh masih tega menyalahgunakan atau tidak melaksanakan tugas dengan baik.
Riwayat lima kali kabinet Orde Baru yang hampir tidak ada menteri pun yang diganti di tengah masa jabatan, masih menurut analisis Christianto Wibisono, membuktikan prinsip manajemen para menteri oleh presiden Soeharto itu berdasarkan pada monoloyalitas.
Presiden Soeharto berasumsi bahwa seorang menteri akan melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab karena telah dipercaya oleh mandataris.
Suka atau tidak suka, itulah sejarah kabinet Indonesia pada masa Orde Baru yang tidak bisa diabaikan. Manajemen para menteri oleh presiden Soeharto itu bisa dijadikan pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia. Apa yang baik diambil. Apa yang buruk ditinggalkan.
Presiden adalah nakhoda
Kembali ke Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, menteri-menteri yang terpilih dari mana pun asalnya, harus loyal kepada Presiden sebagai Kepala Negara dan Mandataris MPR. Bukan hanya karena pepatah bijak ”loyalitas kepada partai harus berhenti kepada loyalitas kepada negara dimulai”, tetapi justru yang lebih utama karena sistim pemerintahan Indonesia menganut sistem kabinet presidensial.
Dengan sistem presidensial, maka dalam hubungan kerja pemerintahan, loyalitas dan pertanggungjawaban anggota kabinet harus diberikan kepada Presiden.
”Presiden adalah nakhoda. Loyalitas dan garis pertanggungjawaban Saudara adalah kepada Presiden, bukan kepada pemimpin partai politik,” kata SBY mengingatkan kabinetnya.
Apa yang disampaikan Presiden itu sebetulnya bukan hanya berlaku kepada para menteri, tapi juga berlaku kepada seluruh bangsa dan rakyat Indonesia. Mayoritas rakyat Indonesia dalam Pemilu 2009 telah memilih SBY-Boediono sebagai nakhoda. Sang nakhoda telah memilih para pembantunya dengan seksama dan tidak gegabah, lewat proses fit and proper test yang terbuka dan bisa dipertanggungjawabkan.
Para pembantu presiden itu telah menandatangani kontrak sosial dan pakta integrita. Sudah diingatkan mengenai loyalitasnya. Sudah diwanti-wanti harus langsung kerja dan tidak ada masa bulan madu.
Oleh karena itu yang terbaik bagi bangsa ini adalah membiarkan nakhoda bersama para pembantunya membawa kita semua berlayar ke tujuan Indonesia lebih makmur, lebih stabil, aman sejahtera. Beri mereka waktu untuk berlayar dan berlabuh.
Jangan terlalu digrecoki. Hentikan sedu sedan itu.
(***)
http://www.antaranews.com/kolom/?i=1256365576
Selasa, 05 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar