Selasa, 18 Desember 2007

KISAH WARTAWAN ISTANA DAN PRESIDEN FILIPINA

Oleh Akhmad Kusaeni

Manila, 24/3 (ANTARA) - Seorang kawan menceritakan kisah ini pada saya saat minum kopi di cafeteria kampus Ateneo de Manila University, Filipina. Dua bulan sebelum Pemilu 2004, Presiden Gloria Macapagal Arroyo mengundang makan malam para wartawan di Istana Malacanang.
Menjelang Pemilu, Arroyo yang berniat maju untuk masa jabatan kedua kalinya, tentu saja tampak sangat bersahabat dengan para kuli tinta, termasuk saat seorang wartawan menunjukkan koran Manila Bulletin yang halaman depannya memajang foto Presiden dimana –maaf-- celana dalam Arroyo kelihatan akibat roknya tersingkap tertiup angin.
Arroyo tidak marah. Ia hanya tampak menarik nafas. Lalu dengan enteng mengatakan, Hillary Rodham Clinton juga pernah kena musibah yang sama dan media Amerika ramai-ramai mengeksplotasi foto mantan Ibu Negara AS itu. Bahkan Arroyo sempat melucu dengan mengatakan, “It was a good thing that I wasn’t wearing printed underpants at that time”.
Jika pada masa kampanye Arroyo sangat bersahabat dengan wartawan, namun kini hubungan Presiden dengan media tengah berada pada titik nadir, begitu kata Mia Gonzales, wartawan Istana Malacanang yang bekerja untuk harian Bussines Mirror.
Memburuknya hubungan Arroyo dengan wartawan dipengaruhi krisis politik terburuk yang dialami Presiden, terkait dengan dugaan rekayasa hasil suara Pemilu dan skandal korupsi. Setiap hari koran dan televisi memberi tempat yang luas kepada pihak oposisi yang ramai-ramai mendesak Presiden mundur secara konstitusional atau melalui gerakan people power.
Kisah itu mengingatkan saya akan cerita Presiden Abdurahman Wahid di tanah air. Wartawan juga mengeksploitasi gambar dan foto Gus Dur, panggilan akrab Presiden Wahid, yang hanya mengenakan celana pendek di Istana Negara pada detik-detik terakhir dia dilengserkan. Itulah realitas media di mana saja, termasuk di Indonesia dan Filipina.
Media tampak bersahabat dengan calon pemimpin baru, namun begitu dia melakukan penyimpangan dan korupsi, wartawan biasanya menjadi pihak terdepan untuk mengungkap habis keburukan-keburukan si presiden. Bayangkan, betapa gegap gempitanya media menyambut terpilihnya Gus Dur sebagai presiden menggantikan B.J. Habibie. Dengan gegap gempita yang sama juga media menyambut lengsernya Gus Dur.
Sejarah selalu terulang. Pada bulan-bulan pertama Joseph Estrada menjadi presiden pada Juni 1998 menggantikan Fidel Ramos, hubungannya dengan wartawan Istana begitu mesra. Jika ada kebaikan Estrada yang diingat wartawan, itu adalah perhatiannya terhadap perut orang-orang di sekeliling presiden.

Traktir makan
Lilia Tolentino dari harian Pilipino Star Ngayon mengungkapkan Presiden Estrada punya hobby mentraktir makan dan minum para wartawan Istana. Seperti dikutip dalam laporan Philipines Journalism Report (PJR) bulan Februari 2006, Estrada tak segan-segan makan dengan tangan dan membagi potongan daging dari piringnya kepada wartawan.
Estrada juga suka mengupaskan kulit udang untuk wartawan perempuan yang makan bersamanya. Tolentino menceritakan bahwa ia bersama sejumlah wartawan pernah diundang ke rumah Estrada.
Ketika Estrada muncul di ruang tamu, ia membawa nampan penuh dengan minuman untuk wartawan. Ketika Tolentino berusaha untuk membantu membawakan nampan tersebut, Estrada menolak dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ini rumah saya dan anda sekalian adalah tamu saya,” ujar Estrada.
Begitu baiknya Estrada pada wartawan Istana. Tapi wartawan adalah wartawan. Seperti yang dikemukakan pakar jurnalistik Bill Kovach, journalist makes no friend or enemy. Wartawan tidak pernah mencari kawan atau musuh. Ia adalah anjing penjaga yang loyalitas utamanya kepada publik. Kemesraan hubungan dengan Presiden menjadi putus ketika Estrada mulai diketahui belangnya.
Presiden dituding menerima uang dari bandar judi dan suka foya-foya dengan perempuan. Adalah hasil liputan investigasi wartawan yang mengungkap Istana-Istana dan para selir Estrada yang membuat presiden pilihan rakyat itu akhirnya dimakjulkan alias dikenakan impeachment.

Makin dingin
Apakah media di Filipina juga mengagendakan wacana impeachment terhadap Arroyo? Belum jelas benar karena saat ini media-media utama di negeri itu terbelah. Ada media yang pro Arroyo dan ada yang anti-presiden.
Namun yang jelas, hubungan wartawan Istana dengan Arroyo makin dingin setelah Presiden melarang wartawan melakukan wawancara dadakan dan menghentikan konperensi pers rutin mingguan beberapa bulan lalu. Keputusan itu dibuat agar Arroyo lebih punya waktu untuk mengurus negara ketimbang bicara sama wartawan.
“Hubungan kita kini tidak mesra. Tapi bagi saya itu tidak masalah,” kata Arroyo dalam pertemuan dengan sejumlah pimpinan media.
“Jika hubungan media dan presiden terlalu mesra, kepentingan public bisa terabaikan,” katanya lagi.
Hubungan tambah memburuk ketika Arroyo menuding media sebagai biang kerok dan kekuatan destabilisasi. Presiden meminta media untuk tidak memanas-manasi situasi dan menjadi bagian dari pemecahan masalah, serta bukan sebaliknya menjadi masalah.
Arroyo meminta wartawan untuk melaksanakan jurnalisme patriotic dengan memberitakan kabar baik dan bukan melulu kabar buruk. Tapi, media di Filipina adalah yang terbebas di Asia dan tak ada urusan dengan imbauan Presiden.
Seperti dikemukakan Mia Gonzales, sebuah pers yang kehilangan kredibilitasnya sebagai anjing penggonggong pemerintah dan masyarakat, maka ia menjadi penghambat demokrasi. Oleh karena itu, media di Filipina akan terus mengkritisi presidennya, meskipun, misalnya berlaku pepatah “anjing menggonggong kafilah berlalu”.

Tidak ada komentar: