Oleh Akhmad Kusaeni
Hingar-bingar demo anti Amerika Serikat tak menyurutkan kehendak Presiden George W Bush untuk datang ke Istana Bogor. Itu salah satu bukti bahwa Bush, yang partainya kalah di Pemilu Sela bulan lalu, sangat berkepentingan terhadap Indonesia. Ia ingin menjadikan Indonesia sebagai mitra strategis dalam perang melawan terorisme, membendung hegemoni China di Asia, sumber pasokan energi dan sahabat dalam mengembangkan demokratisasi. Begitu para pengamat dan pejabat menggarisbawahi agenda kunjungan enam jam Bush di Indonesia.
Dubes Indonesia di Washington DC, Sudjadnan Parnohadiningrat, berulang kali mengatakan bahwa AS menganggap Indonesia sebagai mitra strategis dan memiliki peran kunci bagi kestabilan regional. Pendahulu Sudjadnan, Dorojatun Kuntjorojakti, juga sering mengatakan hal yang sama.
Menurut Dorojatun, AS berkepentingan Indonesia menjadi negara yang stabil. Jika Indonesia kacau, kata Dorojatun, maka akan berpengaruh bukan saja pada kepentingan bisnis AS, seperti ladang gas Exxon Mobil di Aceh atau tambang emas Freeport McMoran di Papua, tetapi juga pada stabilitas regional serta mengganggu perdagangan internasional. Indonesia yang mempunyai empat selat dan jalur perairan penting selama ini dilewati oleh 40 persen pelayaran dunia dengan 1.200 kapal tanker setiap harinya.
Kalau Indonesia tidak stabil, maka jalur perdagangan dunia akan terganggu. "Posisi AS adalah mendukung integritas nasional dan tidak ingin melihat Indonesia terpecah-pecah," kata Dorojatun dalam buku "Menjaga Jembatan Jakarta-Washington", tentang kiprahnya sebagai Dubes RI di AS tahun 1998-2001. AS, baik pada pemerintah Partai Demokrat dan Partai Republik, juga tetap menganggap Indonesia sebagai sahabat demokrasi. Bahkan Gedung Putih semasa kepemimpinan Presiden Clinton menjuluki Indonesia sebagai "Negara Demokrasi Ketiga" setelah AS dan India.
Orang Amerika itu menganggap Indonesia sebagai berkah. Mengapa? Karena Indonesia telah memilih jalan demokrasi tanpa satupun tentara AS terbunuh untuk menegakkannya. Padahal, AS dalam membangun demokrasi sampai bentuknya yang sekarang, perlu ratusan tahun dengan revolusi yang memakan banyak korban. Padahal, untuk menciptakan demokrasi di Irak, misalnya, Amerika Serikat harus menegakkannya dengan melakukan invasi dan todongan bayonet.
Indonesia, dengan segala lika-likunya, sudah memilih jalan demokrasi secara sukarela dan sedang mengarah ke sana. Bangsa Indonesia telah menolak tiga pilihan lain dari masa depan Indonesia, yaitu desintegrasi, fundamentalisme Islam dan bangkitnya kembali kekuasaan otoriter. Membuat Bush senang Pilihan ini, jelas membuat senang AS dan Presiden Bush.
Indonesia berhasil menyelesaikan separatisme GAM di Aceh dan meredam gerakan serupa di Papua, dua provinsi di mana AS memiliki kepentingan bisnis dan terjaminnya pasokan energi. Soal energi menjadi hal penting ditekankan AS saat Wakil Presiden Jusuf Kalla berkunjung ke Washington awal bulan Ramadhan lalu. Dubes Sudjadnan melaporkan pasokan energi ke AS terancam dengan munculnya kelompok anti AS di Amerika Latin dan melonjaknya harga minyak.
Untuk itu, AS mencari sumber energi baru dan Indonesia merupakan salah satu negara yang bisa diandalkan untuk itu. Dalam enam tahun terakhir ini, menurut Menteri Perdagangan Marie Pangestu, nilai investasi Negara Adidaya itu sebesar satu miliar dolar AS. Sebagian besar di bidang energi dengan 205 proyek. Perusahaan-perusahaan AS akan tetap memandang Indonesia sebagai ladang profit karena kekayaan alam seperti minyak, gas alam, dan emas.
Kedatangan Bush ke Indonesia juga tak lepas dari upayanya membendung hegemoni China di Asia. Menurut Dubes Sudjadnan, Indonesia adalah negara yang dianggap Washington sebagai kekuatan yang paling memungkinkan untuk membendung laju perkembangan China. Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki posisi tersendiri pada peta keamanan nasional AS.
Sejarawan Paul Kennedy mengindikasikan bahwa di samping menetapkan prioritas terhadap Negara-negara Eropa, Jepang, Rusia dan China, AS juga mempertimbangkan beberapa negara sebagai negara pendulum atau pivotal states. Negara pendulum adalah negara yang memiliki pengaruh pada stabilitas geografis, politik, ekonomi, dan sosial di kawasan regional bahkan dunia. Negara-negara yang masuk pada katagori ini adalah Meksiko, Mesir, Afrika Selatan, India, Pakistan dan Indonesia. Cukup berpengaruh Sebagai Negara terbesar di Asia Tenggara, Indonesia mampu mempengaruhi stabilitas politik dan ekonomi kawasan.
Oleh karena itu, pemerintah AS di bawah Bush memprioritaskan kebijakan bantuan kepada Indonesia, antara lain di bidang pendidikan, penanganan bencana, kesehatan dan teknologi informasi. Menyadari pentingnya posisi Indonesia pada peta politik luar negeri dan perekonomian AS, pemerintah Indonesia mestinya memiliki posisi tawar yang cukup tinggi. Dalam pertemuan dengan Bush, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dipastikan akan memainkan kartu "truf" ini. Pemerintah, seperti kata para pengamat, perlu mengatakan kepada Bush bahwa Indonesia adalah "negara yang sangat besar dan penting untuk diabaikan oleh dunia internasional, khususnya oleh Amerika Serikat." Indonesia adalah mitra strategis yang sejajar, bukan subordinat Washington. (*)
Selasa, 04 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar