Senin, 17 Desember 2007

K-3 KALAH POPULER DENGAN K-5

Oleh Akhmad Kusaeni

Sejumlah pakar diundang untuk bicara pada Konvensi Nasional Keselamatan dan Kesehatan (K-3) di sebuah hotel berbintang di Jakarta, 11-13 Januari 2006. Sebagai wartawan, saya diminta panitia untuk menyampaikan pandangan mengenai peran pers dalam memasyarakatkan budaya K-3.
Di hadapan para peserta konvensi, saya dengan tegas mengatakan, pemberitaan pers tentang K-3 masih sangat lemah. Secara bergurau saya mengatakan, “K-3 kalah populer dengan K-5”.
Mengapa? Karena masalah pedagang kaki lima (K-5) selalu menjadi sorotan media hampir setiap hari, sementara persoalan K-3 jarang sekali muncul di koran atau menjadi bahasan talkshow di radio dan televisi. Ada peserta yang bertanya, bagaimana caranya agar K-3 bisa jadi fokus pemberitaan media sebagaimana K-5, sehingga budaya keselamatan dan kesehatan kerja bisa tersosialisasikan dengan baik.
Saya jawab, pers melaporkan K-3 itu sesuai dengan peristiwa dan agenda publik yang ada. Sifat pers adalah melaporkan peristiwa, yang membuat berita adalah tokoh-tokoh yang biasa disebut newsmaker, seperti pejabat, politisi, pakar.
Selama tidak ada peristiwa yang menyangkut K-3 dan tidak ada newsmakers yang bicara soal K-3, maka pers tidak akan memberitakan K-3. Banyak masalah lain yang lebih menarik dan lebih laku dijual untuk menjadi fokus dan agenda pemberitaan media.
Korupsi, terorisme, skandal, flu burung, tanah longsor, banjir bandang, adalah lahan pemberitaan wartawan yang seakan tak ada habisnya. Dari segi jurnalistik, semua itu lebih mempunyai nilai berita ketimbang K-3.

Bukan agenda publik
Pers tidak menoleh kepada K-3, karena K-3 bukan agenda publik atau agenda pemerintah yang jadi prioritas. Pemberitaan pers cenderung mengikuti agenda nasional. Pers akan memberikan ruang publik yang luas terhadap agenda nasiona dan internasional.
Pemberantasan korupsi menjadi headlines setiap hari karena agenda nasional mengarah kepada anti korupsi. Terorisme menjadi berita utama setiap hari karena agenda internasional/nasional mengarah kepada perang total melawan pelaku teror.
Meskipun pers bisa menjadi agenda setter, yang menjadi trendsetter pemberitaaan adalah pihak-pihak lain. Karena fungsi utama reporter adalah to report (melaporkan).
Lagipula, kacamata pers adalah bad news is good news. Anjing menggigit orang bukan berita. Orang menggigit anjing baru berita.
Keselamatan dan kesehatan kerja tidak menarik untuk menjadi berita, karena termasuk katagori anjing menggigit orang. Zero accident baru bisa menjadi berita kalau penghargaan itu dilakukan oleh Presiden di Istana. Itupun bukan karena zero accident-nya, melainkan faktor Presiden yang memberikannya.
Zero accident adalah sesuatu yang seharusnya. Tidak aneh. Itu seperti matahari terbit di Barat dan tenggelam di Timur. Tidak ada unsur keluarbiasaan yang merupakan komponen penting dari sesuatu yang punya nilai berita (news value)
Ketidaksehatan dan ketidakselamatan kerja barulah menjadi berita. Kecelakaan kerja merupakan bagian yang paling menarik untuk diberitakan. Pada saat aturan-aturan K-3 tidak dilaksanakan dan terjadi kecelakaan kerja, barulah wartawan tertarik untuk memberitakan.
Sesungguhnya angka keselakaan kerja di Indonesia sudah berada di ambang yang sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan data PT. Jaminan Sosial dan Tenaga Kerja (Jamsostek) pada tahun 2000 saja (artinya lima tahun lalu), kasus kecelakaan kerja mencapai 66.367 kasus. Dari jumlah tersebut, sebanyak 4.142 meninggal dunia, 20.970 luka berat atau cacat tetap, dan sisanya dinyatakan tidak mampu bekerja sementara.
Laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO) tang bertajuk “Global Estimates Fatalities in 2002” memperlihatkan standar keselamatan pekerja di Indonesia termasuk dalam peringkat terburuk jika dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara.
Yang negatif-negatif tentang K-3 seperti ini yang ada dalam laporan media. Yang positif-positif tentang K-3 tidak mendapat tempat, karena memang sudah sepatutnya pekerja itu sehat dan selamat.

Paling dramatis
Pemberitaan mengenai kecelakaan kerja memiliki news value karena itulah bagian yang paling dramatis dari kehidupan manusia. Segala sesuatu yang membahayakan dan mengancam kehidupan manusia punya nilai berita.
Teori jurnalistik mengatakan bahwa pembaca menginginkan berita-berita yang menyangkut ancaman terhadap jiwanya. Manusia itu takut mati dan maunya hidup bersenang-senang. Maka berita-berita mengenai kejahatan dan seks merupakan menu utama pemberitaan media. Begitu juga berita menyangkut kerusakan alam, epidemi penyakit, konflik dan peperangan, akan dibaca orang.
Dikaitkan dengan budaya K-3, maka hanya keracunan dan celaka saja yang jadi perhatian media. Pers memberitakan hal-hal yang negatif tentang program K-3, khususnya terhadap kasus-kasus kecelakaan kerja, karena fungsinya sebagai watch dog.
Anjing penggonggong yang akan keras menyalak jika melihat ketidak adilan, ketidakberesan, korupsi, pengabaian keselamatan kerja dan macam-macam penyimpangan lainnya. Sebagai penjaga moral masyarakat, pers memiliki komitmen yang kuat bagi tegaknya hak-hak pekerja. Pers akan mendukung penegakan hukum bagi pelanggar K-3. Tapi penegakan aturan K-3 tidak seheboh pemberantasan korupsi. Jadi, pemberitaannya sunyi senyap.
Oleh karena itu, pada Konvensi Nasional K-3 itu, saya mengusulkan agar dibentuk Lembaga Pemasyarakatan K-3. Bukan hanya narapidana saja yang memerlukan Lembaga Pemasyarakatan, tetapi juga K-3.
Tanpa Lembaga Pemasyarakatan Khusus itu, K-3 hanya terdengar setahun sekali ketika penyerahan zero accident oleh Presiden di Istana atau ketika kecelakaan kerja terjadi.
Tanpa kampanye terus menerus sepanjang tahun, maka K-3 akan selalu kalah populer dengan K-5 yang razia dan pembongkarannya berlangsung sepanjang waktu.

1 komentar:

Andik mengatakan...

owalah mas
saya kira ada beneran itu K-5
pas banget karena saya sedang browsing tentang zero accident di perusahaan.hehehe
saya nyasar deh
salam kenal...
andikababulu.blogspot.com