Oleh Akhmad Kusaeni
Jakarta (ANTARA News) - Jika ingin melihat bagaimana sejarah hubungan media dengan pemerintah di Indonesia tengoklah bagaimana interaksi pers dengan Letnan Jenderal (Purn) Sutiyoso, yang akan mengakhiri jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta sekira empat bulan lagi.
Pengalaman berinteraksi dengan pers diceritakan secara gamblang, blak-blakan, dan penuh humor oleh Sutiyoso pada orasi pengukuhannya sebagai Anggota Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Balaikota, Rabu malam (25/4).
Organisasi wartawan tertua dan terbesar dengan lebih 14.000 anggota itu juga memberikan penghargaan Pena Emas, satu penghargaan tertinggi di bidang pers yang tidak setiap orang bisa mendapatkannya.
"Saya setengah mati belajar tersenyum ketika menjadi gubernur sepuluh tahun lalu. Saat di militer, saya dilatih untuk membunuh. Prajurit yang cengangas-cengenges saya tempeleng. Di dunia sipil tidak seperti itu. Itu yang susah," kata mantan Panglima Komando Daerah Militer Jakarta Raya (Kodam Jaya) itu.
Fakta bahwa hadirin bisa tertawa, dan bahkan beberapa kali terpingkal-pingkal saat mendengar orasi Sutiyoso membuktikan bahwa sang jenderal termasuk fast learner, orang yang bisa cepat belajar. Dari stelan kejam dan bengis seorang komandan pasukan elit, berubah menjadi gubernur luwes yang tahu tatakrama diplomasi dan menguasai seni melucu.
Dulu, cerita Sutiyoso di hadapan rapat khusus yang dipimpin Ketua Umum PWI Pusat Tarman Azzam, berhubungan dengan media lebih mudah. Ancaman breidel dan budaya telepon membuat berita di media terkontrol dan selalu indah. Tak ada yang berani melawan pemerintah dan TNI.
"Kalau ada tentara yang salah tembak, misalnya, Pangdam bisa menelpon pimpinan redaksi supaya berita itu tidak dimuat," kenang Sutiyoso mengenai keadaan di masa Orde Baru (Orba) sebelum reformasi.
Namun, katanya, di era reformasi semuanya menjadi lain. Pers menjadi bebas sebebas-bebasnya. Ibarat kuda liar yang baru lepas dari kandang, tabrak sana, tabrak sini, hantam sana, hantam sini.
Apapun bisa ditulis. Tak perlu cek dan ricek. Pers mempraktikkan jargon kebebasan liberal, Print it and be damned!. Tulis dan persetan. Kabar bohong, fitnah, bahkan pembunuhan karakter.
Oleh karena tidak perlu Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), semua orang ingin menjadi Raja Media. Siapa pun bisa menerbitkan koran dan majalah. Supaya untung beritanya dikemas sedemikian rupa sehingga bombastis, dramatis, sensasional.
"Ibaratnya, orang ketabrak becak saja, dibikin judulnya gede-gede, fotonya besar-besar," kata Sutiyoso, kembali disambut tawa dan tepuk tangan hadirin.
Celakanya, Sutiyoso yang lahir di Semarang, Jawa Tengah, pada 6 Desember 1944, harus menjadi Gubernur DKI Jakarta pada awal-awal reformasi dengan suasana eforia kebebasan yang berlebihan itu. Apa saja yang dilakukannya selalu menjadi bulan-bulanan hujatan dan kritikan. Di awal reformasi, paradigma berita berubah dari yang selalu positif ke yang selalu negatif.
"'Bad news is good news'. Bayangkan, saya baru dua bulan menjabat gubernur, koran-koran menulis '10 Dosa Besar Sutiyoso'. Piye iku?" katanya terheran-heran, sambil menggunakan dialek Jawanya.
Salah satu yang disebut dosa besar Sutiyoso adalah membiarkan Pantai Indah Kapuk (PIK), sehingga jalan tol ke Bandar Udara Cengkareng kebanjiran. Padahal, Pantai Indah Kapuk adalah bukan kebijakannya, melainkan kebijakan gubernur pendahulunya.
"Bagaimana itu bisa dibilang dosa Sutiyoso?" ia mempertanyakan.
Oleh karena pers selalu menulis buruk tentang dirinya, Sutiyoso pun mengaku sebal dengan wartawan. Setiap ketemu dengan wartawan, Sutiyoso mengaku perutnya mual dan mules-mules.
"Gigi saya cekot-cekot..." katanya, seraya memperagakan bunyi gigi beradu akibat geram, "Apalagi yang mereka akan tanya dan tulis?".
Apa pun jawaban Sutiyoso, pasti ditulis lain atau dikutip sepotong-sepotong. Sebagai ilustrasi, ada wartawan yang bertanya bolehkah becak berkeliaran di wilayah perbatasan, seperti Bekasi, Bogor atau Tangerang. Lalu dijawab, ya kalau di perbatasan seperti itu masih bisa ditoleransi.
"Eh, besoknya ditulis Sutiyoso Memperbolehkan Becak di Jakarta. Alamak, semua becak akhirnya menyerbu Jakarta, bahkan dari Wonogiri sekalipun," katanya, lagi-lagi mengundang tawa.
Oleh karena selalu dihantam pers, Sutiyoso mengadu kepada Tarman Azzam, komandannya para wartawan.
"Saya malah tantang Pak Sutiyoso. Kalau tak sanggup dikritik pers, mundur saja," ungkap Tarman, yang sudah mengenal Sutiyoso semenjak menjadi Pangdam Jaya.
Ditantang begitu, Sutiyoso malah maju terus pantang mundur. Sebagai tentara dari pasukan khusus yang matipun bukan urusan, Sutiyoso mengaku tidak akan takut lagi menghadapi media.
"Saya putuskan untuk budeg terhadap apa pun kata media. Saya picek saja dengan apa yang diberitakan televisi. Yang penting, saya kerja. Prek! Apa pun yang wartawan tulis, monggo kerso," katanya.
Rupanya strategi see no evil, hear no devil dari Sutiyoso itu berhasil. Sutiyoso tak pernah menggubris apapun yang diberitakan pers, termasuk berita yang menyangkut kehidupan pribadi dan keluarganya.
"Saya hanya pesan kepada anak dan isteri saya supaya jangan kaget kalau media memberitakan macam-macam. Ini sudah menyangkut dunia politik," katanya kepada anak-anak dan isterinya.
Suatu saat seseorang teman anaknya memberikan sebuah tabloid yang memberitakan kedekatan Sutiyoso dengan selebritis. "Nih, baca bokap lu," katanya.
Reni, puteri Sutiyoso, langsung melempar tabloid itu. "Aku tahu ayahku. Bokap tidak seperti itu."
Oleh karena kebal terhadap kritikan pers, belakangan media lebih obyektif terhadap Sutiyoso. Apalagi, gubernur membuka akses seluas-luasnya kepada pers. Apapun yang ditanyakan wartawan dijawabnya. Bahkan kadang ia suka menantang wartawan, "Ayo, mau tanya apa lagi?".
Akibat kedekatannya dengan wartawan, Sutiyoso pada tahun 2002 pernah dinobatkan menjadi Man of the Year sebagai tokoh pembuat berita. Pada tahun 2007, PWI menganugerahkan Pena Emas untuk Sutiyoso.
"Saya tidak pernah takut lagi dengan wartawan. Kalau dulu mules-mules lihat wartawan, sekarang ini kalau gak ketemu, saya suka kangen," katanya terus terang.
Ia belum membayangkan apa yang akan dia lakukan setelah lengser dari jabatan gubernur bulan Oktober 2007 nanti.
"Yang jelas, saya sudah punya kartu anggota kehormatan PWI. Paling tidak, saya bisa jadi wartawan," ujarnya.
Ketika wartawan menanyakan hal panas dan sensitif seperti apakah pada 2009 nanti ia akan mencalonkan diri sebagai Presiden, Sutiyoso pun tidak gentar menjawab.
"Wait and see," katanya mantap.
"Saya tidak mau jadi bonek. Kalau hanya dapat dukungan empat persen buat apa maju. Tapi, kalau dukungan meyakinkan, sebagai prajurit saya tidak akan pernah mundur dari tanggungjawab," lanjutnya.
Itulah Sutiyoso. (*)
Selasa, 18 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar