PERAN PERS DALAM MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN DI TINGKAT LOKAL
Oleh Akhmad Kusaeni
Ada hal yang tidak berubah meskipun Lebak kini sudah mencapai usia 175 tahun, yakni pembangunan daerah yang lamban bahkan macet di sejumlah kawasan.
Menurut sahibul hikayat, Max Havelaar termasuk pejabat Hindia Belanda yang rajin berkunjung ke pedalaman. Jika berkunjung ke desa-desa, Asisten Residen Lebak itu menggunakan kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda. Melewati jalan tanah yang becek dan berkelok-kelok, kereta kuda yang ditumpangi Max Havelaar sering kejeblos ke dalam kubangan lumpur. Ini mengakibatkan perjalanan sang Asisten Residen terganggu beberapa hari untuk menunggu jalan kering atau kereta ditarik dari kubangan lumpur.
Peristiwa ini terjadi sekitar 130 tahun lalu. Beberapa waktu lalu, sebagai wartawan saya pernah mengunjungi desa Jayasari, sebuah desa tertinggal di Lebak, yang jaraknya hanya beberapa puluh kilometer dari Rangkasbitung, ibukota kabupaten. Saya memang tidak menggunakan andong seperti Max Havelaar, waktu itu saya naik mobil. Tapi suasana yang saya lihat dan alami tidak ada bedanya dengan 130 tahun lalu.
Saya masih melihat jalan tanah becek yang sama dan mobil saya kejeblos di kubangan lumpur yang sama. Untuk sampai ke kantor kepala desa, saya harus punya nyali yang kuat, karena satu-satunya jalan menuju ke sana adalah dengan meniti jembatan bambu di atas air sungai Ciujung yang tengah meluap. Saya beristigfar. Ya Allah, ternyata Lebak tidak banyak berubah semenjak zaman Max Havelaar 130 tahun yang lalu.
Jangankan di padesaan dan pedalaman, di kota Rangkasbitung sendiri sedikit sekali yang berubah dalam kurun waktu 39 tahun terakhir atau sepanjang usia saya sekarang ini. Awal tahun 1970-an, saya duduk di bangku SD Muara Ciujung XII di Jl. Sunan Giri. Meskipun sedang belajar, jika terdengar suara helicopter, kami segera berlarian meninggalkan kelas menuju alun-alun kota Rangkasbitung. Sebagian besar tak bersepatu, kami lari secepatnya untuk melihat siapa gerangan pejabat yang datang dengan helicopter tersebut. Di pinggir lapangan, kami anak-anak melambai-lambaikan tangan kepada gubernur, menteri atau siapa saja yang turun. Kami cukup senang jika pejabat itu balik melambaikan tangan.
Saat saya dewasa, pada musim kampanye Pemilu tahun 1997, saya ikut dengan seorang pejabat naik helicopter ke Lebak. Saya turun di alun-alun yang sama dan saya menyaksikan suasana yang sama dengan masa-masa seperempat abad lalu. Saya masih melihat anak-anak yang tanpa sepatu berlarian menuju alun-alun dan melambai-lambaikan tangan kepada kami yang turun dari helicopter.
Artinya, Lebak tidak banyak berubah. Ada sih perubahan, namun tidak signifikan. Pembangunan yang lamban dan bahkan macet di sejumlah kawasan inilah yang menjadi tantangan bagi siapapun yang terlibat di Lebak, termasuk kalangan pers. Pers harus mampu berperan untuk mempercepat pembangunan di Lebak, apalagi di zaman otomi daerah sekarang ini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar