Senin, 17 Desember 2007

IRAN PALING KERAS MENENTANG UNILATERISME

IRAN PALING KERAS MENENTANG UNILATERISME

Oleh Akhmad Kusaeni

Jakarta, 15/4 (ANTARA) – Iran sangat menganggap penting KTT Asia-Afrika yang akan berlangsung pekan depan di Jakarta, karena negeri itu berharap konferensi 107 negara yang mewakili 4,3 miliar manusia bisa memperkokoh multilateralisme dan menentang unilateralisme.
“KTT Asia Afrika mendatang bukan perjalanan kembali ke masa lalu, melainkan menjadi babak baru bagi negara Dunia Ketiga. Intinya, mari kita bersatu untuk memperkuat multilateralisme dan menentang unilateralisme,” kata Duta Besar Iran untuk Indonesia Shaban Shahidi Moaddab. Mengapa Iran sangat menentang keras unilateralisme? Beberapa bulan lalu, Amerika Serikat menyatakan tidak tertutup kemungkinan untuk menyerang Teheran yang dituding tengah mengembangkan senjata nuklir.
Saat pidato kenegaraan, Presiden George W Bush mengatakan Iran yang bersenjata nuklir merupakan kekuatan yang bisa menimbulkan ketidakstabilan di kawasan. Untuk itu, Bush mendesak para sekutu Baratnya untuk mencegah kemungkinan itu terjadi. Wakil Presiden Dick Cheney mengkonfirmasi bahwa Iran termasuk salah satu negara yang berada dalam daftar yang bisa diserang AS.
Khawatir akan menjadi sasaran sikap unilaterasme AS, Iran menekankan pentingnya Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika untuk menjadi semacam penyeimbang kekuatan terhadap AS yang kini menjadi satu-satunya negara adikuasa di dunia. "Bila kita hanya memiliki satu orang yang menguasasi dan mendikte adalah tidak baik bagi seluruh dunia. Ini tidak bisa diterima," katanya Dubes Shahidi sehubungan dengan KTT Asia Afrika dan peringatan 50 Tahun Konferensi Bandung akhir bulan ini. Pada tahun 1950-an, wakil-wakil negara Asia dan Afrika bertemu dan bersepakat di Bandung untuk memperjuangkan kemerdekaan dan menentang kolonialisme dan imperialisme. Pada waktu itu, negara-negara Barat dengan dalih "Beban Bangsa Kulit Putih" menguasai dan menjajah Dunia Ketiga dan menjadikannya sebagai negara koloni. Kini, atas nama "menyebarluaskan demokrasi dan perang melawan terorisme", Amerika Serikat melakukan hal yang nyaris sama di Afghanistan dan Irak. "Cepat atau lambat kekuatan lain pasti muncul. Dan polah tingkah satu orang dan dominasi satu orang akan berakhir," katanya.

Tingkatkan ketegangan

Dalam pandangan Iran, unilateralisme tidak membuat dunia lebih baik dan lebih damai. Unilateralisme dianggap justru meningkatkan ketegangan internasional dan menimbulkan ketidakstablian di berbagai belahan dunia. Apa yang terjadi di Afghanistan dan Irak merupakan sebuah contoh. Pendudukan AS mendapat perlawanan yang sengit sehingga menimbulkan korban jiwa dan kehancuran yang tak perlu.
“Kini dunia berharap setelah terlaksananya Pemilu, rakyat Irak bisa memerintah Irak dan pasukan asing secepatnya keluar dari Irak. Begitu juga halnya di Afghanistan,” kata Dubes Shahidi.
Yang lebih membahayakan dari sikap unilateralisme AS adalah kebijakan sepihak itu melemahkan peranan dan fungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Perang tanpa persetujuan PBB, menurut pakar internasional Phyllis Benis, adalah kejahatan internasional.
Akan tetapi AS tak memerlukan persetujuan badan dunia itu untuk melakukan doktrin serangan dini (preemptive strike), yakni memukul musuh lebih dahulu sebelum si musuh punya kekuatan untuk menyerang AS.
Dubes Shahidi mengakui bahwa dalam kenyataannya pada saat ini sangat sukar untuk menghadapi dominasi dan hegemoni AS sehingga negera adidaya itu bisa malang memintang bisa melakukan apa saja yang dikehendakinya. "Itulah sebabnya kita (negara-negara di Asia dan Afrika) perlu memperkuat multilateralisme. Kita harus memberdayakan PBB dan membuat keputusan kolektif dalam mengatasi segala persoalan dan tantangan," katanya. Ia sangat yakin bahwa masalah demokratisasi PBB sangat penting untuk dibahas di KTT Asia Afrika yang akan berlangsung di Jakarta 22-23 April mendatang, khususnya mengenai posisi kursi tetap Dewan Keamanan PBB yang dikuasai lima negara pemenang Perang Dunia Kedua. "Saat ini, pemerintah Iran punya sejumlah calon seperti Indonesia, India, Jepang, Jerman dan beberapa negara di Afrika untuk didukung memperoleh kursi khusus di Dewan Keamanan," katanya. Namun, ia menambahkan bahwa masalah demokratisiasi di badan dunia itu tergantung pada bagaimana negara-negara di Asia dan Afrika memandang PBB. "Jika anda melihat PBB dari sudut pandang agama, maka anda harus mengatakan negara Islam harus terwakili di sana, karena di Dewan Keamanan tak ada negara yang mewakili Muslim. Padahal jumlah anggota negara Muslim di PBB banyak," katanya. Jika dilihat dari sudut pandang komposisi lima benua, katanya, maka perlu ada wakil satu atau dua negara yang berasal dari setiap benua. "Demokratisasi PBB adalah isu yang sulit. Kita lihat saja proposal dan inisiatif dari Sekjen PBB Kofi Annan untuk memdemokratisasi badan dunia itu," katanya.

Harus realistis
KTT Asia-Afrika yang diselenggarakan bersama oleh Indonesia-Afrika Selatan itu akan berlangsung pada 22-23 April 2005, didahului dengan pertemuan tingkat pejabat tinggi (SOM) dan pertemuan tingkat menteri (KTM) 18-21 April 2005. Sebanyak 56 negara dari 106 negara di benua Asia dan Afrika telah menyatakan diri akan hadir. Dalam KTT Asia-Afrika mendatang yang mengacu pada kemitraan strategis baru Asia Afrika (NAASP) diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan di kawasan Asia Afrika yang mengarah pada upaya-upaya meningkatkan sejumlah mekanisme yang sudah ada. Namun, seperti dikemukakan Dubes Shahidi, negara-negara Asia dan Afrika harus realistis menghadapi kenyataan yang ada. Mayoritas negara berkembang di benua Afrika, Asia dan Amerika Latin-lah yang akan diwakili oleh KTT Asia Afrika di Bandung nanti. Sementara minoritas negara yang sangat kaya dan negara industri maju tidak hadir dalam pertemuan tersebut. Meski demikian, dalam pandangan Iran, idealnya negara-negara Asia-Afrika bisa menjadi kekuatan penyeimbang di antara kekuatan yang telah ada seperti AS dan Uni Eropa. Kendati negara-negara di kedua benua itu telah memiliki ikatan pada sejumlah organisasi internasional, seperti OPEC (organisasi negara-negara pengekspor minyak), Gerakan Non-Blok dan Konferensi Negara-negara Islam (OKI), namun belum memiliki wadah kerjasama yang kokoh. "Mari kita jadikan KTT Asia-Afrika sebagai satu ajang penting. Dalam KTT itu, kita punya suara kolektif dan dapat memperluas kerjasama. Kita bisa bilang 'tidak' pada unilateralisme dan 'tidak' pada pencaplokan wilayah negara lain," katanya.

Tidak ada komentar: