Senin, 17 Desember 2007

WARTAWAN (SEMESTINYA) AHLI KATA-KATA

Oleh Akhmad Kusaeni


Jika pandai besi disebut blacksmith, wartawan adalah wordsmith: ahli kata-kata.
Itulah intisari penerbitan buku Panduan Penulisan Berita Antara ini.
Wartawan memang semestinya seorang ahli kata-kata. Jika pandai besi dengan keahliannya bisa menempa baja menjadi pedang yang indah dan tajam, atau keris bertuah yang mematikan; maka wordsmith bisa mengubah huruf-huruf, kata-kata, menjadi sebuah artikel yang menarik atau berita yang enak dibaca dan perlu.
Jika dunia pandai besi menghasilkan orang-orang macam Mpu Sendok yang legendaris, maka dunia wordsmith memunculkan nama-nama besar seperti Pulitzer, Mochtar Lubis, BM Diah atau Gunawan Muhammad.
Merekalah legenda wartawan ahli kata-kata. Tulisan mereka tajam, bahasa mereka mengalir, penuh makna, enak dibaca dan perlu. Merekalah yang semestinya menjadi kiblat para wartawan muda.
Oleh karena itu, jika kita semua sudah memastikan untuk mengarungi dunia kewartawanan, mau tidak mau harus menguasai seni kata-kata. Kita harus bisa merangkai huruf menjadi kata, kata menjadi kalimat, kalimat menjadi berita dan tulisan yang dahsyat. Jika tidak mampu, berhentilah jadi wartawan.
Para pakar mengumpamakan dunia wartawan seperti ‘purveyor of the words’ atau pabrik kata-kata. Setiap hari wartawan mengolah kata-kata, menyusunnya, mengeditnya. Pendek kata, pekerjaan wartawan adalah memproduksi kata-kata yang bentuk akhirnya adalah berita, pumpunan, spektrum, telaah, kolom, artikel dan essai.
Sekali lagi, perlu saya tegaskan bahwa jika tidak menguasai seni kata-kata, jangan bermimpi jadi wartawan, apalagi menjadi wartawan kaliber Antara. Jadi pengusaha lebih bagus.
Orang bijak mengatakan wartawan itu penjaga taman kata-kata. Dunia jurnalistik mirip dengan sebuah taman dimana wartawan menanam atau memangkas kata-kata. Kalau mau taman itu bagus, indah dan subur, tanamlah pohon kata-kata yang tepat dan jitu. Kalau terlalu gondrong, dahannya meliuk-liuk membahayakan rumah tetangga, harus dipangkas.
Ada lagi yang mengatakan kata-kata itu senjatanya para wartawan. Oleh karena itu, supaya menang perang (dalam arti tulisannya menarik dibaca orang), wartawan harus bisa menggunakan kata-kata dengan tepat. Dalam bahasa Inggrisnya, ia harus eloquent. Persis. Tell it as it is! Kalau harga naik, ya naik. Jangan dibilang harga disesuaikan. Kalau pelacur, jangan dibilang pekerja seks komersial. Kalau jinah, jangan disebut selingkuh (selingan indah, keluarga utuh).

Berbahaya
Wartawan yang tidak bisa memilih kata-kata yang tepat bisa berbahaya. Dalam kasus kerusuhan di Maluku misalnya, wartawan cenderung hanyut dalam emosi saat memberitakannya. Akibatnya, bertaburan kata-kata yang terkesan hiperbol dan bombastis. Wartawan yang emosional terkesan mendramatisir dan melebih-lebihkan apa yang terjadi di Maluku. Mereka menggunakan bahasa yang berkonotasi ketimbang yang bermakna harfiah.
Bisa jadi kondisi yang berkembang di Maluku sudah sangat parah, tetapi wartawan tidak boleh mendramatisasinya. Apakah tepat misalnya menggambarkan Maluku sebagai "killing field", sebuah ladang pembantaian macam di Kamboja yang korbannya mencapai dua juta orang? Cukup sepadankah jika Maluku disamakan dengan Bosnia kedua, sehingga memerlukan campur tangan pasukan asing? Apakah benar penggunaan istilah perang salib atau perang suci untuk kerusuhan Maluku?
Apa yang dilakukan kelompok Kristen terhadap kelompok Islam di Maluku sering disetarakan dengan genocide, pemusnahan dan pembersihan etnis. Kelompok Kristen dijuluki sebagai Kristen radikal, anasir separatis, dan label-label yang penuh prasangka lainnya. Sebaliknya, kelompok Islam digambarkan sebagai mujahid Islam dan pasukan jihad, seakan-akan yang terjadi di Maluku sungguh-sungguh perang agama.
Jika kewajiban utama wartawan adalah kepada kebenaran, maka penggunaan label-label bombastis itu jelas tidak akurat. Sebutan ”killing field” pas untuk korban pembantaian di Kamboja yang jumlahnya sampai dua juta orang. Di Maluku, jumlah korban hanya ratusan, katakanlah ribuan. Jadi tidak memenuhi syarat dan sangat tidak tepat untuk disebut ”killing field”, apalagi ”genocide”.
Penyebutan konflik di Maluku sebagai “perang agama” juga tidak akurat, karena sebetulnya akarnya lebih terkait kepada masalah ekonomi dan politik. Masyarakat Maluku adalah masyarakat yang memiliki tradisi harmoni agama dan toleransi yang tinggi dengan konsep “pela gandong”-nya.
Jadi, hati-hatilah memilih kata. Mulutmu adalah harimau-mu. Clint Eastwood, dalam film ”Dirty Harry”, mengatakan, ”Stick and stone can break your bone, but words can cause severe and permanent damage”. Betul sekali bahwa tongkat dan batu bisa mematahkan tulang orang, namun itu tidak berarti apa-apa dibanding dengan hujatan kata-kata yang bisa menyebabkan kehancuran permanen kejiwaan seseorang.
Kata-kata bisa menjadi kabar bohong, fitnah yang keji, pencemaran nama baik, bahkan pembunuhan karakter. Kata-kata dalam berita dan tulisan yang salah bisa mengakibatkan gugatan, somasi dan membawa penulisnya ke meja hijau atau masuk ke hotel prodeo.
Bukan itu saja, kata-kata dan berita yang salah bisa mengakibatkan kredibilitas Antara jatuh dan diragukan. Bisnis media adalah bisnis kredibilitas. Kalau mengeja kata-kata saja salah, bagaimana orang bisa percaya berita anda?
Buku panduan penulisan ini akan membantu kita semua untuk menulis berita berkualitas sesuai dengan motto ”Cepat, Akurat, Penting”. Jadikanlah buku ini acuan. Berpegang teguhlah kepada kaidah-kaidah di buku ini, Insya Allah, kita akan bisa memproduksi karya jurnalistik yang memenuhi ”kaliber Antara”.


Jakarta, 17 Agustus 2007

Tidak ada komentar: