Oleh Akhmad Kusaeni
Berita ANTARA menggunakan byline, mengapa tidak? Inilah usulan yang saya jual pada setiap kesempatan, termasuk pada saat stylebook ANTARA direvisi sekarang ini. Jualan ini belum begitu laku, karena sejumlah pihak masih belum bisa diyakinkan betapa pentingnya berita ANTARA diberi byline. Pumpunan dan tulisan memang sudah byline. Tapi orang-orang masih kaget, mengapa berita harus diberi byline?
Supaya ada kesamaan pemahaman, saya perlu menjelaskan dulu teori jurnalistik mengenai apa itu byline dan mengapa itu perlu. Dalam buku-buku teks mengenai penulisan berita, selalu ditemui anatomi tubuh berita yang istilahnya pakai line-line.
Yang pertama adalah headline atau baris kepala alias judul. Headline berfungsi mengiklankan suatu berita agar pembaca segera tertarik untuk membaca isinya. Untuk itu judul harus mencolok mata (eyes catching).
Yang kedua adalah byline atau baris oleh alias nama penulisnya. Sejumlah kantor berita dari mulai dari Itar Tass di Rusia sampai Associated Press (AP) di Amerika Serikat sudah menerapkan byline untuk berita yang disiarkannya. Kantor berita multinasional dari Inggris, Reuters, juga memakai sistim byline. Sementara AFP dari Prancis menerapkannya secara selektif, yakni hanya berita-berita kualifikasi tertentu saja yang bisa byline.
Majalah-majalah internasional seperti TIME dan Newsweek umumnya juga memakai byline, paling tidak di akhir berita ditulis nama-nama reporter dan kontributor. Di Indonesia, koran online Detik.Com dan suratkabar harian Tempo dan The Jakarta Post sudah memakai byline. Biro Foto ANTARA sudah menerapkan sistim byline untuk produk foto yang diterbitkannya. Tinggal berita ANTARA saja yang belum.
Yang ketiga adalah dateline atau baris tanggal alias baris terbit, yakni tempat berita itu dibuat atau dikirim oleh si wartawan. Misalnya, Pulau Nasi, Aceh, 17/6 (ANTARA). Ini berarti berita tersebut dibuat/dikirim dari Pulau Nasi, Aceh, pada 17 Juni 2003 oleh wartawan ANTARA yang meliput ke pulau tempat penahanan anggota Gerakan Separatis Aceh.
Penghargaan kepada wartawan
Mengapa berita, selain Pumpunan, perlu memakai byline?
Ada dua nilai etis yang terkait dengan dateline dan byline, yaitu kejujuran (honesty) dan keadilan (fairness). Kejujuran dipersembahkan untuk pembaca, sedangkan keadilan untuk menghargai si wartawan yang menulis berita.
Kejujuran terkait dengan pertanggungjawaban (accountability). Keadilan menyangkut penghargaan (credit). Wartawan yang jungkir balik mencari berita, bahkan menghadapi resiko mati dalam liputan di daerah konflik, perlu diberi penghargaan. Dengan ditulis namanya di berita, wartawan mendapatkan peluang aktualisasi diri (yang fitrah manusiawi secara psikologi). Namanya bisa dikenal, paling tidak oleh redaktur media pelanggan ANTARA.
Selama ini, sehebat apapun wartawan ANTARA, pasti tidak dikenal. Sistim kode membuat si wartawan seperti anonim. Kecuali Pak Sobary, barangkali sekarang ini tidak ada lagi orang ANTARA yang namanya dikenal luas. Padahal, kalau kita lihat Kompas, sejumlah wartawannya dikenal luas bahkan dengan area keahliannya. Ingat berita luar negeri, ingat Rien Kuntari. Ingat angkutan udara, ingat Dudi Sudibyo. Masalah kereta api, Moch Hendrowiyono. Ingat seni budaya, ingat Bre Redana, Efix Mulyadi dan Rudi Badil.
Sebetulnya, wartawan ANTARA juga tidak kalah ahlinya. Ahli militer, ada Boyke Soekapdjo, Benny Butar-Butar, Hisar Sitanggang. Ahli parlemen, ada Askan Krisna. Ahli lingkungan hidup, ada Ariwibowo, Sapto, Djunaydi Siswanto. Ahli perfilman nasional, ada Martin Moentadhin. Ahli pasar modal, ada Sihol Hutabarat, Sahrizal. Sayang sekali, peluang mereka untuk dikenal publik tertutup hanya karena tidak dibukanya kran byline. Sistim anonim membuat emas dan berlian ANTARA terbenam dalam lumpur kegelapan!
Sistim anonim, sistim kode-kode, juga membuat wartawan cenderung asal-asalan. Berlindung di balik kode, si wartawan tidak mempunyai konsekuensi apa-apa jika berita yang ditulisnya buruk. Tidak ada nama baik yang dipertaruhkan dengan sistim kode. Dengan sistim byline, wartawan tidak sembarangan dalam membuat berita karena nama baiknya dipertaruhkan. Ingin dikenal sebagai wartawan macam apa adalah pilihannya sendiri. Kalau ingin dikenal sebagai wartawan yang baik, maka dia akan menulis berita yang bagus. Kalau ingin dikenal sebagai wartawan medioker, ya, buatlah berita secara serampangan dan asal-asalan.
Jujur pada pembaca
Sebuah media mempunyai tanggungjawab untuk bersikap jujur terhadap para pembaca dengan menjelaskan dimana berita dibuat atau berasal dan siapa yang bertanggungjawab. Pembaca berhak mengetahui semua informasi ini.
Dateline menggambarkan asal dari berita. Ia memberi pembaca identifikasi geografi mengenai tempat terjadinya peristiwa atau TKP. Ia juga menjelaskan kepada pembaca bahwa wartawan yang menulis berita mempunyai hubungan langsung dengan lokasi tersebut. Si wartawan berada langsung di sana, di lokasi tempat kejadian. Dateline mendongkrak pengertian dan kepercayaan pembaca.
Berita yang diberi byline mempersonifikasikan berita sehingga pembaca mengetahui siapa yang bertanggungjawab terhadap apa yang ditulis dan dilaporkan. Byline memberi pembaca untuk memegang siapa yang bertanggungjawab terhadap sebuah berita. Pada intinya, byline mengatakan, “Anda harus percaya dengan informasi ini karena ada nama saya di situ”. Believe this information because my name on it!
Keadilan atau fairness terkait dengan penghargaan. Adalah tanggungjawab penerbit untuk menjamin wartawan yang memproduksi berita diakui hasil kerjanya secara wajar. Umumnya, byline hanya satu nama dan orang itulah yang melakukan wawancara dan liputan serta menulis beritanya. Kadang-kadang, bisa juga dua nama atau lebih jika berita itu hasil garapan bersama.
Si redakturlah yang membuat pedoman untuk mengatur berita apa dan siapa yang bisa ditulis byline. Redaktur juga membuat aturan main mengenai penggunaan catatan editor yang bisa ditulis diakhir sebuah berita. Catatan editor ini bisa berisi siapa yang membantu liputan dan wawancara atau bahkan yang melakukan riset untuk memperkaya berita tersebut.
Ada yang menolak sistim byline ini dengan alasan security. Katanya, kalau ada berita salah, si wartawan bisa terancam keamanannya karena namanya jelas disebut. Pihak yang dirugikan gampang mencari wartawan tersebut untuk diintimidasi bahkan dibunuh.
Menurut saya, alasan security ini tidak relevan lagi sekarang. Tidak ada gunanya lagi menyamarkan identitas wartawan dengan kode-kode. Lihat wartawan televisi, bukan hanya namanya ditulis jelas tapi mukanya sekalian tampil di kamera. Kalau soal resiko, wartawan televisi lebih besar resikonya. Tapi toh mereka berani menanggungnya. Mengapa? Justru karena nama dan wajahnya bisa diidentifikasi dengan jelas, maka wartawan akan lebih hati-hati lagi dalam membuat berita. Karena besar resikonya, si wartawan tidak akan membuat berita yang bisa menyebabkan kerugian bagi pihak lain. Ia tidak akan berani membuat berita bohong, fitnah, sepihak dan mengandung kebencian. Kalau dia lakukan itu, sama saja dia bunuh diri.
Undang-Undang Pers sekarang, UU No.40/1999, tidak lagi mengenal sistim pertanggungjawaban berjenjang (waterfall). Dulu, jika terjadi delik pers, Pemimpin Redaksi bisa pasang badan untuk mengambil alih tanggungjawab. Sekarang, siapa berbuat, siapa bertanggungjawab. Kalau ada delik pers, si wartawan yang membuat berita yang harus bertanggungjawab, bukan orang lain. Si redaktur yang mengedit, bisa terkena pasal pidana penyertaan atau membantu terjadinya delik pers. Lihat saja kasus Tempo, yang jadi tersangka adalah Achmad Taufik, wartawan yang membuat berita “pemulung besar di Tenabang”. Kesimpulannya, dengan sistim pertanggungjawaban pidana “kau berbuat, kau bertanggungjawab” seperti itu akan membuat si wartawan hati-hati. Kalau dia salah, ancamannya penjara. Makanya dia hanya akan memproduksi berita-berita yang secara etika dan hukum bisa dipertannggungjawabkan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar