Oleh Akhmad Kusaeni
Jakarta, 21/12 (ANTARA) – Pamor Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) makin memudar. Ada analis yang bahkan menuding ASEAN yang memasuki usia 41 tahun pada 2006 ini sebagai tengah mengalami krisis usia paruh baya. Terlalu kasar kalau menyebutnya sebagai tak punya tenaga. Sangat tidak diplomatis kalau menyebut ASEAN impoten.
ASEAN akhir tahun ini baru saja menunda pertemuan puncaknya di Filipina. Alasan resmi penundaan adalah untuk menghindari bencana badai, namun sumber-sumber tidak resmi menyebutkan itu akibat adanya ancaman serangan teroris.
Penundaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-12 dari yang semula direncanakan berlangsung di Pulau Cebu pada 9-13 Desember 2006 menjadi 10-15 Januari 2007, apapun alasanya, tidak hanya menurunkan citra Filipina sebagai tuan rumah tetapi juga pamor ASEAN sendiri.
"Penundaan itu membuat citra Filipina menjadi buruk dan hal itu berpengaruh pula kepada ASEAN secara keseluruhan," kata pengamat masalah internasional dari CSIS Bantarto Bandoro.
Namun, bagi ASEAN sendiri, penundaan itu merupakan hal yang baik.
“ASEAN hanya punya sedikit bahan untuk didiskusikan dalam KTT,” kata pengamat internasional Chan Akya.
KTT dari organisasi yang didirikan tahun 1967 itu belakangan lebih sering dikritik sebagai ‘talking shop’ alias arena pidato bla-bla-bla belaka. Presiden dan Perdana Menteri yang hadir secara bergiliran bicara di podium, lalu foto bersama dengan pakaian khas negara tuan rumah. Kalau ketemu di Jakarta, pakai batik. Di Filipina pakai barong, Vietnam pakai aodai.
Photo-ops itu diambil dengan latar belakang Istana atau objek khas negeri tuan rumah. Para pemimpin itu bergandeng tangan dan mengobral senyum. Seolah-olah tidak ada hal genting yang perlu diselesaikan atau dirisaukan. Seperti tidak ada krisis ekonomi yang harus diatasi. Seperti tidak ada ancaman teroris yang harus diperangi bersama. Seperti tidak ada diktatur di belahan bumi kawasan ini yang perlu dijinakkan perilaku melanggar hak asasinya. Sepertinya, mengutip istilah anak muda, ASEAN Oke-Oke Aja!
Lalu seluruh media dan koran memasang foto para pemimpin ASEAN itu di halaman depan. KTT berakhir. Para pemimpin ASEAN pulang. Pesta berakhir. Kehidupan kembali berjalan seperti biasa. Sampai ketemu di (arisan?) tahun depan.
Itulah kesan pengamat yang sangat kritis terhadap ASEAN. Beragam kepentingan ekonomi dan politik 10 negara anggotanya, ASEAN berkembang ke banyak segi dan arah. Ini masalah yang dihadapi kelompok-kelompok Negara di kawasan lain juga, termasuk Uni Eropa. Namun, karena kurang kuatnya infrastruktur dasar di ASEAN, dampaknya sangat membelenggu gerak langkah perhimpunan yang pernah digjaya pada masa-masa awal kelahirannya.
ASEAN memiliki Sekretariat kecil di Jakarta, namun koordinasi kebanyakan dilakukan melalui secretariat nasional di masing-masing Negara anggota. Dengan infrastruktur dasar semacam itu, Sekretariat ASEAN tidak cukup banyak bisa berbuat.
Membendung komunis
Jika dilihat dari sejarahnya, ASEAN dibentuk atas kehendak Amerika Serikat yang berupaya untuk membangun kawasan anti-komunis di Asia Tenggara. Sebagai perhimpunan yang didirikan untuk menghadapi ancaman luar, maka ASEAN sejatinya dirancang memiliki organisasi terpusat. Faktanya adalah tidak.
Dari awal pembentukannya, negara-negara anggota ASEAN sudah sepakat untuk tidak saling campur tangan terhadap masalah internal anggotanya. Itulah sebabnya pertemuan ASEAN lebih banyak diisi dengan pidato-pidato, ekstrimnya basa-basi, untuk menghindari kesan sebuah negara anggota campur tangan terhadap urusan negara lainnya.
Bahkan, negara-negara ASEAN bersumpah menghindari perang di antara sesamanya. Bentrokan kecil saja di antara negara-negara tetangga yang saling berbatasan, akan membuka peluang bagi pemberontak komunis atau separatis.
Ketimbang bicara politik, negara-negara ASEAN lebih senang bicara ekonomi dan perdagangan. Era tahun 1970-an merupakan masa keemasan kerjasama perdagangan ASEAN yang menggabungkan diri dengan pertumbuhan ekonomi Jepang dan AS. Investor-investor Jepang dan AS ramai-ramai tanam modal di ASEAN dan negara di kawasan ini menikmati pertumbuhan yang tinggi.
Tumbangnya Uni Soviet membuat alasan utama atau raison d’etre keberadaan ASEAN punah. Pada saat yang sama, ASEAN juga gagal untuk mengintegrasikan kepentingan ekonomi dan politik bersama. Ini diperparah dengan datangnya krisis ekonomi di tahun 1997-1998. Lalu, diperburuk lagi dengan meningkatnya ancaman teroris di kawasan ini.
“Merebaknya terorisme di kawasan Asia Tenggara akan mendorong makin jatuhnya pertumbuhan ekonomi di kawasan ini sampai beberapa tahun ke depan,” kata Chan Akya.
Pengamat internasional dari Universitas Indonesia Andi Wijayanto mengatakan negara-negara anggota ASEAN semestinya mampu menjadikan terorisme sebagai isu bersama dalam konteks kawasan. Ide Amerika Serikat untuk menumpas terorisme yang tecermin dalam wacana kelompok Islam garis keras di Thailand, Filipina dan Indonesia mestinya bisa diredam dengan kemampuan ASEAN menyikapi uniknya masalah tersebut di kawasan Asia Tenggara sendiri.
"ASEAN harus mampu mengatakan permasalahan di dalam kawasan bisa diselesaikan sendiri," tuturnya.
Namun, ASEAN gagal mengatasi ancaman terorisme di kawasannya sendiri, sehingga AS ikut intervensi, termasuk menghadirkan pasukannya seperti di Filipina.
Andi mengusulkan agar dihidupkan kembali ASEAN Regional Forum (ARF). Forum yang semestinya sekarang sudah sampai pada taraf diplomasi preventif itu kini terbenam oleh menumpuknya masalah krisis ekonomi di tahun-tahun belakangan. Akibatnya, sampai saat ini ASEAN masih mempunyai masalah berkenaan dengan soal-soal yang bersifat transnasional, khususnya perang total melawan terorisme .
Kepemimpinan lemah
Krisis ekonomi dan tidak tuntasnya perang melawan teoris di kawasan ini disebabkan oleh lemahnya kepemimpinan pusat ASEAN. Jika dibiarkan terus dalam keadaan ‘auto pilot’, ASEAN akan menjadi organisasi papan nama saja yang tidak bisa mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi anggotanya.
Seperti dikemukakan Chan Akya, kegagalan ASEAN adalah karena ketidakmampuan negara anggota untuk menerima kebutuhan tentang perlunya otoritas terpusat seperti Uni Eropa.
Uni Eropa bukan saja memiliki ‘otoritas terpusat’, Komisi Eropa sudah memiliki parlemen sendiri yang keputusan-keputusan dan peraturannya bisa dilaksanakan di seluruh negara anggota. Uni Eropa sudah memiliki mata uang bersama Euro, kebijakan fiscal dan visa bersama.
Hanya dengan menatapi jalan yang telah ditempuh Uni Eropa, krisis paruh baya ASEAN bisa diobati. Dengan begitu, bukan saja perhimpunan ini bisa terus hidup, tetapi juga berguna bagi anggota dan seluruh rakyat yang hidup di kawasan ini.
Senin, 17 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar