Senin, 17 Desember 2007

MEDIA DAN PEMASYARAKATAN HUKUM

MEDIA DAN PEMASYARAKATAN HUKUM
Oleh Akhmad Kusaeni SH MA


“MAFIA HANCURKAN PERADILAN”.
Itulah bunyi headline harian Kompas Sabtu, 29 April 2006. Judulnya bikin merinding. Laporannya lebih seram lagi. Di halaman satu koran tersebut, wartawan melaporkan bagaimana carut marutnya dunia hukum dan peradilan kita, sebagai berikut:
“Pemberantasan korupsi tanpa memerangi lebih dulu mafia peradilan sama dengan omong kosong. Praktik jual berli hokum yang mencuat di semua jajaran penegak hokum telah merusak sistim peradilan. Diperlukan konsentrasi penuh dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membenahinya”.
Sehari sebelumnya, hampir semua koran Ibukota memuat gambar bagaimana mantan Dirut Jamsostek Achmad Djunaidi melempar jaksa penuntut umum. Djunaidi yang divonis delapan tahun, menuding jaksa telah menerima Rp600 juta. Tak mungkin ada asap kalau tak ada api. Kenyataan itu menyadarkan kita semua bahwa mafia peradilan adalah realitas, tulis koran-koran dengan gegap gempita.
Penegakan hukum dan lika-likunya merupakan bagian yang paling menarik untuk diberitakan media. Dibanding pilar-pilar pembangunan hukum lain, seperti pembentukan undang-undang dan penumbuhan kesadaran hukum masyarakat, pers lebih terfokus memasyaratkan hukum dalam artian bagaimana hukum itu ditegakkan.
Mengapa? Karena unsur dramatis dari sebuah berita ada di pilar penegakan hukum ini, seperti persoalan keadilan, jual beli perkara, dan mafia keadilan. Makanya hampir semua headline dan rubrik hukum di media dipenuhi oleh berita kasus Probosutedjo VS Bagir Manan, pemeriksaan dugaan korupsi Dirut PLN Eddie Widiono, pemeriksaan korupsi di KPU yang melibatkan nama besar Menteri Hamid Awaluddin, pengadilan kasus BNI yang menyebut-nyebut aliran uang merasuk sampai “Trunojoyo 1” atau Rumah Dinas mantan Kapolri Jenderal Dai Bachtiar. Sementara TV-TV dibanjiri tayangan polisi memburu dan menembak kriminal dalam acara Buser, Tikam, dan Derap Hukum.
Pemberitaan mengenai penegakan hukum memiliki nilai berita (news value) karena hukum tidak lagi sekedar barisan pasal-pasal mati, tapi sudah “dihidupkan” oleh aparat hukum. Law in action memiliki nilai berita yang tinggi, sehingga hampir semua media menempatkan wartawannya di kepolisian, kejaksaan, KPK dan pengadilan.
Pada saat ditegakkan inilah hukum mulai memasuki wilayah das sein (yang senyatanya) dan meninggalkan wilayah das sollen (yang seharusnya). Oliver Wendel Holmes (1979:409): “Law is what the courts will do in fact”.
Pemberitaan pers tentang penegakan hukum yang tidak bisa diprediksi itu -–yang menang bisa kalah, yang kalah bisa menang-- justeru membuat citra hukum dan penegaknya jadi hancur-hancuran.
Dewi Keadilan bukan saja dalam keadaan gundah hati, melainkan –meminjam kata-kata pengamat—dalam keadaan sakit parah. Penutup matanya robek, pedangnya tumpul dan timbangan yang digenggamnya oleng. Mahkamah Agung yang menjadi benteng terakhir keadilan, seolah-olah menjadi pedagang dan calo keadilan.
Masyarakat mempertanyakan mengapa Bagir Manan dkk bisa memperpanjang usia pensiunnya sendiri dan menolak rekrutmen langsung oleh Komisi Yustisial. Rakyat juga heran mengapa Bagir Manan enggan dipanggil pengadilan menjadi saksi, padahal Ketua Mahkamah Agung seharusnya menjadi contoh sadar hukum, bahwa siapapun memiliki hak yang sama di depan hukum, bahwa tak ada yang kebal hukum di negeri ini.
Namun Hakim Agung yang memutus perkara atas nama Tuhan, menurut pengakuan pengacara Harini dalam kasus suap Probosutedjo, telah “dibereskan”. Pengadilan dituding telah menjadi toko keadilan, dimana putusan bisa dijual dan dibeli. HAKIM disingkat menjadi Hubungi Aku Kalau Ingin Menang. KUHP menjadi Kasih Uang Habis Perkara. Sementara orang yang jadi korban kejahatan mengaku enggan melapor ke polisi karena takut “lapor ayam hilang, kambing melayang”.

Dosa wartawan
Barangkali, pemberitaan mengenai betapa kelabunya penegakan hukum, merupakan salah satu dosa wartawan. Dunia hukum yang selalu diberitakan gonjang-ganjing oleh media telah berdampak pada merosotnya kewibawaan lembaga dan aparat hukum. Kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan lembaga peradilan menjadi negatif. Masyarakat jadi suka main hakim sendiri.
Namun kalangan media bisa saja berkilah bahwa justeru mereka telah melakukan tugas sucinya yang mulia. Wartawan merasa sedang melakukan jurnalisme jihad (crusade journalism) dengan menyampaikan kebenaran dan membongkar kejahatan. Pers memberitakan hal-hal yang negatif terhadap lembaga peradilan dan aparat penegaknya, karena fungsinya sebagai watch dog.
Sebagai anjing penggonggong, pers akan keras menyalak jika melihat ketidak adilan, ketidakberesan, suap, praktek jual beli perkara, korupsi dan macam-macam penyimpangan lainnya.
Bagi pers, bad news is good news!
Penegakan hukum yang adil dianggap sudah sepatutnya. Kalangan pers menyadari bahwa masih banyak sekali putusan-putusan pengadilan yang adil. Ribuan hakim yang betul-betul memutus atas nama Tuhan dan keadilan. Ribuan pula polisi yang memeriksa tersangka kejahatan tanpa memandang bulu dan tanpa memberikan nomor rekening. Jaksa-jaksa yang menuntut hukuman murni atas dasar bukti-bukti yang ada dan bukannya atas dasar kongkalingkong dengan pengacara.

Bukan rumusan berita
Tapi semua yang baik-baik itu tidak termasuk rumusan nilai berita sebagaimana dimaksud para wartawan. Itu sama saja dengan rumusan anjing menggigit orang. Padahal, yang bisa menjadi berita adalah orang menggigit anjing.
Para pakar media mengatakan, “A dog bites a man is not news. A man bites a dog, that is news!”. Sebuah berita memerlukan sebuah keluarbiasaan. Matahari terbit dari Timur dan tenggelam di Barat bukanlah berita. Itu sebuah keniscayaan. Padahal, kelumrahan tidak mendapat tempat dalam sebuah berita.
Sebagai penjaga moral masyarakat, pers memiliki komitmen yang kuat bagi tegaknya hukum dan good governance.
Dengan memberitakan bagaimana hukum itu ditegakkan atau dibengkokkan, sesungguhnya pers sudah berperan untuk memasyarakatkan hukum. Apakah itu hasilnya akan baik atau buruk bagi citra hukum dan lembaga peradilan Indonesia, pers hanya melaporkan fakta: Begitullah hukum di Indonesia berjalan dan dilaksanakan.
Pers hanya melaporkan (to report the facts). Yang membuat berita adalah polisi, jaksa, hakim, pengacara, tersangka. Yang membuat berita adalah Bagir Manan, Jenderal Sutanto, Taufik Ruki dan Erry Riyana, Abdurahman saleh, atau O.C. Kaligis.
Artinya: Kalau mau citra hukum bagus dimasyarakatkan oleh pers, proses penegakan hukum harus dilaksanakan dengan adil tanpa pandang bulu.
Kunci pemasyarakatan hukum yang efektif adalah meskipun langit runtuh, keadilan harus ditegakkan!
[1] Makalah pada “Temu Konsultasi Pemberdayaan Masyarakat Dalam Rangka Peningkatan Kesadaran Hukum” yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, 9-11 Mei 2006.

Tidak ada komentar: