Oleh Akhmad Kusaeni
Tak banyak yang tahu jika George Soros, multijutawan pimpinan Soros Fund Management, pekan ini sedang berada di Indonesia dan berkunjung ke kota kita - Jakarta. Ini kunjungan pertama kalinya setelah tahun 1997 dia dituding sebagai biang keladi krisis moneter Asia yang melengserkan Presiden Soeharto dari kekuasaannya.
Saya beruntung bisa bertemu Soros pada acara Editor’s Club di Jakarta, Kamis malam (5/1) dan mendengarkan secara langsung dari mulutnya sendiri visi dan misinya memperjuangkan demokratisasi dan ‘open society’ dengan dana melimpah yang dimilikinya. Soros tak segan-segan menggelontorkan miliaran dolar kepada yayasan-yayasan di seluruh dunia untuk menyebarluaskan “nilai-nilai yang menjadi fondasi dasar demokrasi Amerika” itu, termasuk kepada Yayasan Tifa di Indonesia.
Saya senang bisa makan malam sambil mendengarkan obrolan Soros karena dengan demikian saya bisa lebih memahami “orang super-kaya yang kontraversial” itu. Sebelumnya, saya merasa gamang dengan lelaki kelahiran Hongaria, 76 tahun lalu, yang pada usia sangat muda sudah malang melintang di bursa saham Wall Street di New York, Amerika Serikat.
Apakah saya harus menyebutnya sebagai dermawan yang gandrung pada konsep masyarakat terbuka, atau sebaliknya, saya harus mengatakan, Soros adalah lintah darat biang keladi krisis moneter di Asia Tenggara tahun 1997-1998?
Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad (kini mantan) menuding Soros sebagai “spekulan jahat” berkedok dermawan. Saat kriris moneter pecah, Mahathir menengarai Soros, lewat perusahaannya Quantum Fund CCL, sengaja ingin menghancurkan perekonomian Asia Tenggara dengan melepaskan mata uang regional yang dipegangnya sehingga nilai mata uang itu ambruk.
Kepada para pemimpin redaksi yang hadir bersamanya, Soros membantah semua tudingan buruk terhadapnya. Setelah mendengar langsung versi Soros, saya bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi. Garis bawahnya adalah di zaman globalisasi sekarang ini, dimana sistim ekonomi moneter internasional saling terkait langsung, peran para pialang dan pemilik modal macam Soros sangat berpengaruh terhadap kelangsungan atau kejatuhan sebuah pemerintahan.
Itu kesan saya. Kekuatan ekonomi moneter ternyata bisa sama dahsyat dengan kekuatan politik militer. Soros sama kuatnya dengan Presiden Bush.
Orang seperti Soros bisa melakukan “regime change” sama seperti Presiden Bush menggulingkan Saddam Hussein dengan mengirim tentara dan mesin perang ke Irak. Soros bisa menjatuhkan sebuah pemerintahan hanya dengan memborong atau melepas mata uangnya. Sungguh powerful orang-orang seperti Soros.
Hanya cari uang
Sebagai pemilik modal, Soros mengaku hanya mencari uang. Menurut dia, yang bisa mengontrol sistem keuangan adalah otoritas yang berwenang, sedangkan dia hanya pelaku pasar. Tanggungjawab untuk mengontrol keuangan ada pada otoritas, sedangkan dia hanya melihat dan bertindak atas dasar perkembangan pasar. Oleh karena itu, ia membantah sebagai biang keladi gonjang-ganjingnya ekonomi dan moneter di Asia dan dimanapun. Soros bahkan berkeyakinan bahwa dia tak bersalah sama sekali, padahal pemerintahan-pemerintahan di Asia Tenggara waktu itu gonjang ganjing.
“Yang salah adalah pemerintah di negara-negara yang mengalami krisis itu,” katanya membela diri.
Ia mengatakan saat itu kebijakan pengaturan mata uang di berbagai negara Asia terlalu mementingkan stabilitas dan dikontrol dengan ketat (tight money policy).
“Saya sendiri tidak mengontrol,” tuturnya mempertanyakan mengapa ia dipersalahkan dan bahkan dikambinghitamkan.
“It is absolute nonsense,” tegasnya mengenai tudingan-tudingan buruk terhadapnya.
Soros tampak tahu betul dunianya. Pekerjaannya adalah mencari, mencari dan mencari uang seperti Mr. Krab di film kartun Sponge Bob, kesayangan anak-anak saya.
Investasi di pasar uang, katanya, tergantung pada pasar. Jika pasar berjalan benar, maka dia mendapat keuntungan dari aktivitas pendanaannya itu.
“Saya menggunakan uang saya sendiri bukan untuk mencoba mempengaruhi pemerintah. Saya hanya mencari laba,” katanya tanpa mau tahu bahwa tindakannya mencari laba itu berdampak sangat serius bagi orang lain, bahkan menentukan hidup matinya sebuah pemerintahan.
Pada tahun 1992, misalnya, media di Inggris menjuluki lelaki keturunan Yahudi itu sebagai “Orang yang membuat bangkrut Bank of England” karena dia berhasil dalam taruhan investasi senilai US$10 miliar, yang membuat nilai tukar poundsterling rontok.
Tahun 1997, Soros melancarkan serangan spekulatif terhadap mata uang Baht, Thailand, yang ujung-ujungnya menghancurkan perekonomian Indonesia dan sejumlah negara Asia Tenggara lainnya. Aksi melepas Baht dan mata uang regional lainnya yang merontokan perekonomian Asia Tenggara itu dikecam keras oleh Mahathir Mohammad.
Justeru itulah yang membuat Soros makin popular, disegani dan mungkin juga ditakuti di seluruh dunia. “Mahathir adalah mesin popularitas saya. Sayang sekali dia salah persepsi,” katanya sambil tersenyum.
Majalah Time pernah menjuluki milioner dan pialang global ini sebagai seorang Robin Hood zaman modern. Soros merampok dari orang-orang kaya dan memberikannya ke negara-negara miskin di Eropa Timur, Rusia dan Asia. Time mengklaim bahwa Soros mendapat untung finansial besar-besaran dengan melakukan spekulasi melawan bank-bank sentral Barat.
Laba raksasa yang didapatnya itu kemudian dia gunakan untuk membantu pertumbuhan ekonomi negara-negara Eropa Timur dan bekas Uni Soviet, termasuk juga di Asia, serta membantu negara-negara itu membentuk apa yang diobsesikannya sebagai “Open Society”.
Kolumnis William Engdahl mengatakan bahwa laporan Time itu sangat akurat. Namun, kita diminta waspada terhadap apa yang dimaksud Soros sebagai “Open Society”. Menurut Engdahl, masyarakat terbuka yang dimaksud Soros adalah masyarakat yang membuka dirinya terhadap pialang macam Soros dan predator keuangan teman-temannya untuk menjarah sumber dan asset-asset berharga dari negara-negara mantan Pakta Warsawa.
Dengan membawa orang-orang seperti Jeffrey Sach dan Ander Aslund beserta kebijakan ekonomi shock therapy ke negara-negara Eropa Timur tersebut, Soros sebetulnya sedang menyiapkan kerangka dasar untuk membeli asset-asset di seluruh negeri itu dengan harga yang sangat murah.
Meskipun tokoh pers Jacob Oetama malam itu menyampaikan bahwa “dunia perlu menyambut baik dermawan-dermawan seperti Tuan Soros”, kewaspadaan terhadap Soros seperti dikemukakan Engdahl jangan diabaikan.
Beware, everyone. Soros in town!
Selasa, 18 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar