Oleh Akhmad Kusaeni
Menteri Komunikasi dan Informasi Muhammad Nuh mengatakan, Undang-Undang Pers No.40/1999 akan direvisi atau tidak, itu bergantung sepenuhnya pada komunitas pers. Saat berkunjung ke Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara 18 Juni 2007, Nuh menyatakan pemerintah tidak akan mengambil inisiatif untuk mengubah Undang-Undang Pers yang menjadi cikal bakal kebebasan pers di Indonesia pasca-rejim Soeharto."Apakah UU Pers perlu direvisi atau tidak, silakan kalangan pers sendiri yang menentukan. Pemerintah akan mengikuti saja," katanya.
Pemimpin Umum LKBN Antara, Asro Kamal Rokan, dalam pertemuan dengan Menteri Nuh waktu itu mengatakan masyarakat pers perlu mendorong revisi Undang-Undang Pers yang berlaku sekarang. "Hanya kitab suci saja yang tidak boleh diubah dan direvisi," kata Asro.
Ada banyak alasan UU Pers itu perlu disempurnakan. Salah satunya adalah UU Pers bukan satu-satunya undang-undang yang digunakan untuk menyelesaikan kasus dan sengketa pers. UU Pers bukan "lex specialis", sehingga terbuka kemungkinan aparat hukum menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk mengadili kasus yang terkait dengan pers.
Sekarang ini terdapat pandangan hukum yang berbeda antara pihak-pihak yang mendukung kebebasan pers dengan mereka yang menginginkan membatasinya. Pihak yang pertama mendesak agar pengadilan harus menggunakan UU Pers dalam mengadili delik pers. Sementara pihak yang lain lebih senang menggunakan KUHP, karena hukumannya lebih berat ketimbang ancaman sanksi di UU Pers.Pasal 5 ayat A2 UU Pers menyebutkan pers berkewajiban melayani hak jawab dan hak koreksi serta menarik berita atau tulisan yang salah.
Perusahaan pers yang melanggar ketentuan ini diancam hukuman denda paling besar Rp500 juta.Dalam prakteknya, pelaksanaan aturan hak jawab dalam UU Pers menghadapi masalah. Jika media memberikan hak jawab kepada pihak yang dirugikan oleh suatu pemberitaan, hal itu tidak menutup kemungkinan korban menggugat atau mengadukan kasusnya ke pengadilan.
Akibatnya, dalam beberapa tahun terakhir, banyak media dan wartawan yang harus berurusan dengan pengadilan karena digugat oleh pengusaha, politisi dan pejabat militer.Revisi yang perlu diusulkan, misalnya, harus dengan tegas menyatakan "Jika media sudah menarik kembali berita yang keliru, meminta maaf atau memberikan hak jawab, maka kasus pencemaran nama baik dapat digugat perdata ke pengadilan, tapi tidak disertai hukuman pidana".
Dalam hal ini, hanya ganti rugi yang bisa dilakukan. Tidak boleh ada ancaman pidana penjara dalam UU Pers yang baru.Bukan hal baruPenyelesaian kasus pers semacam ini bukan hal baru. Mantan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto pernah "menyelesaikan secara adat" perseteruannya dengan koran Washington Post.
Jenderal Sutarto menarik gugatan pencemaran nama baiknya terhadap Washington Post, setelah koran terbitan Amerika Serikat itu memberikan hak jawab dan meminta maaf atas kesalahannya.Contoh lain adalah dalam kasus pengusaha Shinivasan melawan harian Kompas. Shinivasan menggugat Kompas, namun kemudian kedua belah pihak menempuh penyelesaian di luar pengadilan. Kompas memberikan hak jawab dan permintaan maaf secara resmi, lalu Shinivasan mencabut gugatannya.
Dua kasus tersebut merupakan preseden yang baik mengenai bagaimana hak jawab diutamakan untuk menghindari gugatan pidana dan perdata di pengadilan. Pablito Perez, ahli hukum pers dari Ateneo de Manila University, Filipina, mengatakan hak jawab merupakan jalan alternatif penting dari sengketa pers, khususnya jika tidak ada unsur kesengajaan, melainkan hanya kesalahan redaksional atau kelalaian manusiawi."Kalau ada unsur kesengajaan, hak jawab lebih rumit mengingat pemberian hak jawab saja tidak bisa sepenuhnya mengembalikan reputasi yang terlanjur hancur. Makanya dalam kasus ini kepada pihak yang dirugikan oleh pemberitaan pers masih dimungkinkan untuk menggugat perdata," katanya.
Namun, berperkara di pengadilan jarang sekali memberi kepuasan kepada para pihak, baik yang menggugat atau yang digugat. Gugatan jarang sekali dimenangkan. Jikapun menang, biaya membayar pengacara bisa mencapai 50 persen dari total nilai ganti rugi. Proses perkaranya bisa berlangsung sampai empat atau lima tahun.Pers juga tidak gembira.
Biaya berperkara di pengadilan sangat mahal dan redaksi terbelenggu kinerjanya semala proses pengadilan berlangsung. Pemberitaan mengenai proses pengadilan itu hanya mendorong sikap negatif orang terhadap media yang digugat, sehingga kredibilitas koran bisa hancur. Padahal bisnis media adalah bisnis terkait dengan kredibilitas dan kepercayaan.Akui kesalahanJadi, cara terbaik untuk menghindai risiko gugatan pencemaran nama baik adalah pemberian hak jawab dan media secara sukarela mengakui kesalahannya. Jika mungkin, minta maaf.
Namun, yang lebih penting lagi adalah media mempraktekkan jurnalisme yang baik, melaksanaan kode etik dan mengutamakan "kebenaran" dalam mencari dan memberitakannya.Kebanyakan penggugat mengaku tidak akan maju ke pengadilan jika media melakukan koreksi segera, menarik berita yang salah dan meminta maaf.
CEO Mobil Oil, William Tavoulareas, mengatakan hal berikut ketika memutuskan untuk menggugat Washington Post."Saya tidak berusaha untuk menghancurkan pers. Saya tahu persis apa artinya kebebasan pers untuk negeri ini. Gugatan ini tidak akan terjadi jika wartawan mengakui kesalahannya," kata Tavoulareas.Masalahnya, banyak wartawan enggan mengakui kesalahannya.
Seperti judul lagu klasis "It is Hard To Say I am Sorry", maka maaf adalah kata yang paling sulit diucapkan wartawan.Yang juga penting dalam upaya "dekriminalisasi libel" atau pencemaran nama baik dan revisi UU Pers adalah bagaimana memberdayakan Dewan Pers sebagai wahana penyelesaian kasus pers. Jadi, revisi UU Pers berarti menyatakan dengan tegas bahwa semua kasus terkait media harus diselesaikan melalui jalur Dewan Pers. Revisi UU Pers akan membuat Dewan Pers efektif dan efisien untuk menyelesaikan sengketa pers ketimbang lewat jalur pengadilan. (*)
Copyright © 2007 ANTARA
Selasa, 04 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar