Oleh : Akhmad Kusaeni
Sumber berita sangat penting dalam jurnalisme. You may report, but I make the news, kata Presiden Theodore Roosevelt, seorang narasumber berita terpenting Amerika Serikat pada zamannya. Wartawan boleh melaporkan, tapi yang membuat berita adalah narasumber macam Presiden Roosevelt itu.
Sejarah jurnalisme di Indonesia pun mendudukkan tahta sumber berita di tempat terpenting dan terhormat. Sejak zaman Mpu Prapanca, pujangga istana Jawa Kuno abad 14, telah mendudukkan sumber berita ke singgasana mulia. Berita-berita mengenai kerajaan hanya boleh dimaklumatkan oleh satu mulut narasumber, yaitu Prabu Hayam Wuruk, raja Majapahit.
Mpu Prapanca adalah cikal bakal wartawan Indonesia karena dia bertugas sebagai penyebar maklumat raja. Sebagai reporter, Mpu Prapanca tak berhak mengubah barang satu huruf pun dari sabda raja. Dia harus melaporkan kata-kata raja itu apa adanya. Tell it as it is. Jika dia membesarkan atau mengecilkan sabda raja, dia bisa digantung.
Sebagai wartawan kerajaan, Mpu Prapanca hanya mengenal satu nara sumber berita, yaitu raja. Informasi pada zaman Majapahit menjadi hak absolut raja, karena raja tidak ingin pemberitaan gonjang-ganjing dengan narasumber yang tak jelas.
Prabu Hayam Wuruk sudah menerapkan apa yang disebut manajemen pemberitaan (news management) sehingga ia mengontrol dengan mutlak berita apa yang bisa atau tidak disampaikan kepada rakyatnya. Dan ia menunjuk Mpu Prapanca, wartawan handal yang bisa dipercaya untuk menyampaikan maklumat raja dengan cepat dan akurat.
Wartawan-wartawan zaman sekarang lebih baik ketimbang Mpu Prapanca. Sebagai wartawan kerajaan, gerak liputan si Mpu sangat terbatas. Dia hanya punya satu narasumber berita yaitu raja dan tentu saja dia tidak bisa mewawancarai, apalagi pinjam mulut, Prabu Hayam Wuruk. Apa yang disabdakan raja, itulah yang ditulis dan dilaporkan.
Wartawan sekarang beruntung memiliki narasumber yang melimpah, tidak hanya raja atau presiden saja. Kita semua bebas mewawancarai siapa saja, tentang apa saja, dan untuk kepentingan apa saja. Banyaknya narasumber memang positif, karena banyak pendapat dan suara yang bisa diberitakan, sehingga kebenaran tidak bisa dimonopoli satu pihak saja. Ilmu jurnalistik sendiri mengajarkan perlunya berita berimbang (cover both sides). Artinya, berita minimal harus dari dua sumber, supaya kebenaran –sebagai hakikat dari jurnalisme—bisa dicapai atau terpenuhi.
Namun, banyaknya narasumber juga bisa negatif, apabila wartawan tidak menyeleksi kualitas dan otoritas sumber beritanya. Sumber berita, banyak sekali yang tidak berwenang, bisa ngomong apa saja termasuk hal-hal yang di luar domain otoritas dan keahliannya. Budayawan bicara agama, kyai bicara inflasi, ahli hukum bicara pemanasan global, lurah bicara suksesi presiden, tukang becak dukung calon gubernur, dan banyak lagi contoh tidak pas antara sumber berita dan substansi yang diberitakan.
Ini yang membuat bumi “makin panas”, karena semua sumber bicara lantang, vokal, dan keras. Banyak isi media muncul dari mulut yang asbun, alias asal bunyi atau meminjam istilah Pak Harto: asal njeplak.
Wartawan Kantor Berita Antara, sebagai kantor berita nasional, harus selektif dalam memilih sumber beritanya. Sumber yang tidak punya otoritas dan keahlian untuk bicara, jangan diwawancarai dan dikutip. Sumber yang asbun dan asal njeplak, tidak boleh diberi tempat di media kita yang terhormat. Kita harus berpegang teguh kepada kode etik dimana wartawan harus mempertimbangkan otoritas narasumber berita. Otoritas itu bisa dilihat dari jabatannya, keahliannya, kapasitasnya, dan kaitannya dengan peristiwa yang jadi berita.
Acara talk show ”Magic Breakfast” di Radio Ramako bisa dijadikan contoh acuan. Konsep “Magic Breakfast” adalah mengupas tuntas berita yang menjadi headlines di koran-koran pagi itu dengan mewawancarai tokoh-tokoh paling terkait dan paling berwenang. Maksudnya, kalau bicara pembalakan liar yang jadi nara sumbernya adalah Menteri Kehutanan. Kalau bicara penculikan, dihadirkan korban, orang tua, atau bahkan penculiknya. Kalau bicara kecelakaan pesawat, ya Ketua Dewan Keselamatan Transportasi atau pimpinan maskapai penerbangannya.
Untuk menjaga kredibilitas media kita, maka sumber berita tidak boleh sembarang. Sumber berita harus dipilih secara selektif. Jangan yang ecek-ecek dan remeh temeh. Harus yang bonafid, berkualitas, ahli, kredibel, punya otoritas, dan menjual. Sumber berita harus dipilih yang bisa menjadi newsmaker, karena kita tahu nama bisa membuat berita.
Oleh karena itu, setiap media yang ingin menjaga kualitas berita dan narasumbernya, mereka membuat buku khusus narasumber yang menjadi pedoman bagi wartawannya untuk mengakses sumber berita yang berkualitas itu. Buku nara sumber itu merupakan ”rahasia perusahaan” yang tidak boleh disebarluaskan kepada wartawan lain yang menjadi pesaingnya.
Penerbitan buku narasumber ini merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas berita Antara sesuai mottonya: Cepat, Akurat, Penting.
Jakarta, 17 September 2007.
Akhmad Kusaeni
Selasa, 18 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar