Selasa, 18 Desember 2007

RAKYAT FILIPINA BOSAN DENGAN PEOPLE POWER

Oleh Akhmad Kusaeni


Manila, 23/3 (ANTARA) – Rakyat Filipina, entah itu supir taksi atau akademisi, ternyata sudah bosan dengan strategi dan cara-cara menjatuhkan pemimpin mereka dengan unjuk rasa besar-besaran yang dinamakan ‘people power’.
Pola menggalang kekuatan rakyat di jalan-jalan, yang puncaknya massa berkumpul di sepanjang jalan Evanigno De los Santos Avenue (EDSA), pernah berhasil menggulingkan Presiden Ferdinand Marcos tahun 1986 dan Presiden Joseph Estrada tahun 2001, yang disebut People Power I dan People Power II.
Oleh karena ‘people power’ itu berlangsung di sepanjang jalan EDSA (di Jakarta semacam jalan Thamrin-Sudirman dengan bundaran Hotel Indonesia di tengahnya), orang Filipina menyebutnya sebagai EDSA 1 dan EDSA 2.
Kini, sejumlah elit dan opisisi Filipina berusaha untuk menggalang terjadinya EDSA 3 untuk melengserkan Presiden Gloria Macapagal Arroyo yang dituding merekayasa hasil suara Pemilu dan korupsi. Sementara untuk mencegah terjadinya EDSA 3, Arroyo baru saja mendeklarasikan situasi negara dalam keadaan darurat (martial law) yang melarang konsentrasi massa di jalan-jalan.
Mengapa EDSA 3 kurang popular sekarang ini meski tokoh-tokoh oposisi utama telah bergabung untuk menggulingkan Arroyo? Mereka antara lain mantan Presiden Corazon Aquino dan Fidel V Ramos serta artis kondang Susan Roces (isteri Fernando Poe Jr, kandidat Presiden lawan Arroyo pada Pemilu 2004).
Jawabannya adalah rakyat bosan dan putus asa ternyata people power tidak bisa membawa mereka kepada kemakmuran dan keamanan seperti yang dicita-citakan.

Telah gagal
Luis V Teodoro, professor yang mengajar komunikasi politik di Ateneo de Manila University, mengatakan rakyat Filipina kini menganggap EDSA 1 dan EDSA 2 telah gagal dan mereka rindu akan suasana tenang dan damai di era pemerintahan Marcos.
Orang-orang yang pernah mengalami kehidupan di zaman Marcos tidak ingat lagi betapa membelenggunya pelaksanaan undang-undang darurat di masa lalu. Yang mereka ingat adalah masa-masa jalanan bersih dari unjuk rasa, masa-masa ‘damai dan stabil’, ‘harga-harga murah’, ‘pemerintahan yang baik dan efisien’, dan ‘masa-masa lebih baik dari masa sekarang’.
Mereka, masih kata Teodoro, membandingkannya dengan keadaan sekarang dimana mereka melihat situasi chaos, kemiskinan yang meluas, kejahatan yang merajalela dan korupsi di segala lapisan pemerintahan.
“Mereka menganggap people power, entah itu EDSA tahun 1986 atau 2001, sebagai sebuah kegagalan dan penyimpangan,” kata Teodoro yang juga seorang kolumnis terkemuka di Filipina.
Bahkan sebagian rakyat berfikir lebih jauh lagi. Menurut Gabby Gabaya, mahasiswa pasca sarjana dari universitas tempat Teodoro mengajar, sejumlah kalangan menginginkan tokoh seperti Ferdinand Marcos kembali berkuasa di negeri jiran itu.
“Kalau di Indonesia ada sindrom ingin kembali ke era Orde Baru Soeharto, di negeri kami ada sindrom rindu Marcos. Filipina diambang anarki, jadi butuh orang kuat semacam Marcos,” katanya.
Para penentang people power berpendapat bahwa ‘demokrasi’ Filipina tidak berjalan seperti yang dicita-citakan. Justeru dengan demokrasi dan kebebasan yang kebablasan itu Filipina di bawa ke keadaan carut marut politik dan ekonomi sekarang ini.
“Yang diperlukan negeri ini adalah orang kuat semacam Marcos, seorang ksatria yang bisa memulihkan keamanan dan disiplin, mengakhiri ketidakpastian dan kekacauan politik, dan memfokuskan energi dalam negeri untuk pembangunan,” kata Teodoro lagi.

Pilihan menarik
Lebih 20 tahun setelah EDSA 1 yang menjatuhkan kekuasaan Marcos, otoritarianisme tetap menjadi pilihan menarik bagi rakyat Filipina sebagai konsekuensi dari kemiskinan dan tiadanya lapangan kerja yang cukup.
“Dulu memang kebebasan politik dibelenggu, tapi keadaan aman dan stabil sehingga kita bisa bekerja dengan tenang. Kini kita memiliki kebebasan tapi kehidupan tidak lebih baik. Setiap saat terjadi demonstrasi, ancaman kudeta, pemerintahan tidak stabil,” kata Dante Villanueva, sopir taksi yang mengaku tengah mengurus izin kerja di sebuah perusahaan di Batam, Indonesia.
“Saya bosan tinggal di negeri ini. Ribut terus, skandal terus. Hidup tidak tenang. Mendingan saya kerja di Batam,” katanya.
Dante baru akan kembali ke negerinya jika situasi politik di Filipina telah berubah. Dante bersumpah bahwa ia akan terus tinggal di luar negeri sampai datangnya pengganti Arroyo, yakni seorang tokoh yang bisa menjadi personifikasi Ratu Adil yang bisa mengembalikan kedamaian, kestabilan dan kemakmuran yang menjadi dambaan seluruh rakyat negeri itu.
Namun ketika ditanya siapakah yang paling ideal menggantikan Presiden Arroyo, Dante tidak bisa menyebutkannya secara tegas. Ia hanya mengatakan sedang menunggu seorang satria piningit yang dipastikan muncul setelah terjadinya goro-goro atau kekalutan yang luar biasa.
“Pada waktunya Ratu Adil pasti akan datang,” katanya sambil menerawang jauh ke depan.

Tidak ada komentar: