Senin, 17 Desember 2007

STUDI KASUS KAMPANYE PUBLIC RELATIONS

Studi Kasus Kampanye Public Relations 1:

Nama Operasi:
Bantuan kemanusiaan AS untuk korban tsunami Aceh

Target sasaran:
Publik di Indonesia dan Dunia Muslim

Tujuan kampanye:
Merubah citra Dunia Islam bahwa Amerika Anti-Islam

Ketika tsunami menerjang, seorang teman bergurau bahwa NAD kini bukan lagi singkatan dari Nanggroe Aceh Darussalam, melainkan Nanggroe Amerika Darussalam. Ini karena sekarang banyak sekali tentara Amerika Serikat yang berada di Serambi Mekkah dan “memimpin” penanganan bencana tsunami yang menewaskan sekitar 100.000 orang itu.
Lewat layar televisi pemirsa di seluruh dunia menyaksikan bagaimana tentara yang didukung mesin perang AS melakukan “operasi kemanusiaan” di Aceh. Inilah operasi militer AS yang terbesar di Asia setelah Perang Vietnam. Pesawat angkut Hercules dengan bendera Amerika hilir mudik membawa bantuan. Helikopter-helikopter Sea Hawk mendarat dan terbang dari kapal induk USS Abraham Lincoln untuk membagikan makanan dan mengevakuasi korban.
Sementara kapal-kapal AS lain terus berdatangan ke perairan Aceh. Kapal-kapal itu masing-masing bisa menyulap air laut menjadi air minum dan mengangkut puluhan ribu galon air bersih setiap hari. Mereka juga membawa tim medis, obat-obatan dan perlengkapan darurat sehingga sewaktu-waktu bisa dijadikan rumah sakit terapung. Tim bantuan kemanusiaan AS untuk bencana tsunami Asia mencapai 13.000 personil.
Tak tanggung-tanggung, Menlu AS Colin Powell dan Gubernur Florida Jeb Bush meninjau langsung pelaksanaan operasi kemanusiaan terbesar itu. Powell dengan emosional mengatakan bahwa dirinya yang pernah terlibat dalam sejumlah perang, dihantam badai dan angin topan, namun belum pernah melihat bencana sedahsyat yang terjadi di Aceh. AS, katanya, akan melakukan apa saja untuk membantu korban bencana di Asia, khususnya di Aceh.
Dibalik tragedi yang memakan ratusan ribu korban jiwa dan kepedihan yang masih menyelimuti wajah-wajah korban yang selamat, gambar-gambar di televisi yang tersiar ke seluruh peloksok dunia itu, secara tidak langsung mengukuhkan keunggulan AS dalam situasi dunia sekarang.
Di tengah retorika anti-Amerika yang digembar-gemborkan sejumlah media dan kelompok di dunia ketiga, termasuk juga di Indonesia, ternyata hanya intervensi AS-lah bisa melakukan penanggulangan bencana dengan cepat. Dengan peralatan yang dimilikinya, berupa kapal induk, helicopter, dan pesawat angkut, AS berhasil mendistribusikan makanan dan minuman sebelum kelaparan mengancam, mengevakuasi mayat-mayat dan menyelamatkan korban yang masih hidup. Evakuasi dan penyelamatan juga dilakukan TNI, sukarelawan dan militer asing.
AS sepanjang sejarahnya selalu tergerak untuk melakukan operasi-operasi kemanusiaan, meskipun selalu saja ada komentar-komentar permusuhan dari media dan pemerintahan di banyak negara di seluruh dunia (Fereydon Hoveyda, 2005). Oleh karena itulah, seperti dikemukakan oleh Menlu Colin Powell, AS memanfaatkan bencana di Asia itu untuk melakukan apa yang disebut “Tsunami Diplomasi”.
AS ingin memperlihatkan kemurah-hatian bangsa Amerika. AS ingin membuktikan bahwa Amerika adalah sahabat Indonesia dalam senang dan susah. AS ingin menapik tudingan tidak membantu kalau yang jadi korban itu kaum Muslimin.
Apa yang dilakukan AS dalam membantu bencana di Indonesia, sebuah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, adalah memberikan kesempatan kepada kalangan internasional untuk melihat kemurah-hatian Amerika dan nilai-nilai yang dianut bangsa itu sedang dilaksanakan.
“America is not an anti-Islamic, anti-Muslim nation. America is a diverse society. We respect all religions,” kata Powell menjelaskan “tsunami diplomasi”-nya di Aceh.
Tsunami diplomasi AS diharapkan akan mengubah citra global AS sebagai adidaya yang egois dan bersikap bermusuhan kepada negara-negara Islam.


Studi kasus kampanye Public Relations 2


Nama Operasi:
Selling of the President

Target sasaran:
Publik calon pemilih

Tujuan kampanye:
Menjual calon presiden Richard Nixon dan memenangi Pemilu


Publik di Amerika pertama kali bisa melihat dapur tim kampanye dan kiprah konsultan politik calon presiden dalam publikasi buku The Selling of the President karya Joe McGinnis tahun 1968. McGinnis, kolumnis Philadelphia Inquirer, mendapat akses kepada orang-orang di belakang layar tim sukses kandidat Presiden Richard Nixon. Buku itu menggambarkan betapa hati-hatinya image Nixon dikemas dan dijual.
Tim sukses Nixon disewa dari perusahaan PR dan konsultan politik J. Walter Thompson (JWT) Agency. Mereka terdiri atas lima orang konsultan politik, yakni H.R. Hadelman, Laurence Higby, Ron Ziegler, Dwight Chapin dan Ken Cole. Mereka berusaha menjual Nixon seperti sabun.
Konsultan JWT Agency berhasil mengemas dengan bagus politisi kelas dua (Nixon pernah kalah secara memalukan dalam pemilihan Gubernur California tahun 1962) dan menjualnya kepada rakyat Amerika melalui kampanye media yang canggih. JWT Agency bekerjasama dengan rumah produksi milik Roger Ailes membuat spot iklan-iklan kampanye Nixon.
Penampilan Nixon di-upgrade sedemikian rupa, pernyataan-pernyataan Nixon diatur melalui naskah yang sudah dipersiapkan, pertanyaan-pertanyaan untuk Nixon dikendalikan sedemikian rupa dan dimanipulasi untuk menarik simpati publik. Idenya adalah membuat “New Nixon”, citra baru bagi politisi kelas dua yang sebelumnya bahkan gagal menjadi gubernur.
Dalam buku Richard Nixon, By the Press Obsessed (1989), Nixon mengakui menghabiskan jutaan dolar untuk iklan politik 30 detik di televisi yang disebutnya sebagai “deodorant” yang membuatnya tampak harum dan wangi. Nixon juga mengakui bahwa penampilannya, sepak terjang dan ucapannya, selalu atas saran dari konsultan politik terbaiknya.
Roger Alies, yang membuat spot iklan politik Nixon, waktu itu pun sudah sesumbar bahwa apa yang dikerjakannya merupakan awal dari konsep baru dalam menjual seorang kandidat presiden.
“This is it. This is the way they will be elected. The next guy up will have to be performer,” katanya merujuk pada bagaimana tim sukses mengatur Nixon yang hanya melaksanakan dengan patuh strategi mereka memenangkan Pemilu.
Sejak itulah industri Pemilu di AS berkembang pesat. Industri semacam ini dibayar mahal untuk memenangi pemilihan presiden, senator dan anggota kongres. Sebuah industri yang melibatkan berbagai macam ahli termasuk manajer kampanye, konsultan politik, media strategis, orang-orang PR, penulis pidato, teknisi audio-visual dan pengumpul dana. Mereka dibantu oleh pasokan data ilmiah dari komponen lain yang mendukung industri di bidang pengelolaan kampanye ini, yakni dari lembaga-lembaga riset penyelenggara polling dan ahli perilaku manusia dan masalah kejiwaan.

2 komentar:

theBaNDieTZ mengatakan...

excelent analysis, thanks for informations...this is improve overall communications skills within the context of a Network PR international. terimakasih!!!

theBaNDieTZ mengatakan...

excelent analysis, thanks for informations...this is improve overall communications skills within the context of a Network PR international. terimakasih!!!