Oleh Akhmad Kusaeni
Penegakan hukum merupakan bagian yang paling menarik untuk diberitakan media. Dibanding pilar-pilar pembangunan hukum lain, seperti pembentukan undang-undang dan penumbuhan kesadaran hukum masyarakat, pers lebih terfokus memasyaratkan hukum dalam artian bagaimana hukum itu ditegakkan.
Mengapa? Karena unsur dramatis dari sebuah berita ada di pilar penegakan hukum ini, seperti persoalan keadilan, jual beli perkara, dan mafia keadilan. Makanya hampir semua headline dan rubrik hukum di media dipenuhi oleh berita kasus korupsi tanker VLCC Pertamina, aliran dana BI miliaran rupiah ke DPR, kasus Bulog dan Irawady Joenoes, Ketua Bidang Keluruhan Martabat Hakim KPK yang tidak luhur. Sementara TV-TV dibanjiri tayangan polisi memburu dan menembak kriminal dalam acara Buser, Tikam, dan Derap Hukum.
Pemberitaan mengenai penegakan hukum memiliki nilai berita (news value) karena hukum tidak lagi sekedar barisan pasal-pasal mati, tapi sudah “dihidupkan” oleh aparat hukum. Law in action memiliki nilai berita yang tinggi, sehingga hampir semua media menempatkan wartawannya di kepolisian, kejaksaan, KPK dan pengadilan.
Pada saat ditegakkan inilah hukum mulai memasuki wilayah das sein (yang senyatanya) dan meninggalkan wilayah das sollen (yang seharusnya). Oliver Wendel Holmes (1979:409): “Law is what the courts will do in fact”.
Pemberitaan pers tentang penegakan hukum yang tidak bisa diprediksi itu -–yang menang bisa kalah, yang kalah bisa menang-- justeru membuat citra hukum dan penegaknya jadi hancur-hancuran.
Dewi Keadilan bukan saja dalam keadaan gundah hati, melainkan –meminjam kata-kata pengamat—dalam keadaan sakit parah. Penutup matanya robek, pedangnya tumpul dan timbangan yang digenggamnya oleng. Mahkamah Agung yang menjadi benteng terakhir keadilan, seolah-olah menjadi pedagang dan calo keadilan.
Hakim Agung yang memutus perkara atas nama Tuhan, menurut pengakuan pengacara Harini dalam kasus suap Probosutedjo, telah “dibereskan”. Pengadilan dituding telah menjadi toko keadilan, dimana putusan bisa dijual dan dibeli. HAKIM disingkat menjadi Hubungi Aku Kalau Ingin Menang. KUHP menjadi Kasih Uang Habis Perkara. Sementara orang yang jadi korban kejahatan mengaku enggan melapor ke polisi karena takut “lapor ayam hilang, kambing melayang”.
Dosa wartawan
Barangkali, pemberitaan mengenai betapa kelabunya penegakan hukum, merupakan salah satu dosa wartawan. Dunia hukum yang selalu diberitakan gonjang-ganjing oleh media telah berdampak pada merosotnya kewibawaan lembaga dan aparat hukum. Kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan lembaga peradilan menjadi negatif. Masyarakat jadi suka main hakim sendiri.
Namun kalangan media bisa saja berkilah bahwa justeru mereka telah melakukan tugas sucinya yang mulia. Wartawan merasa sedang melakukan jurnalisme jihad (crusade journalism) dengan menyampaikan kebenaran dan membongkar kejahatan. Pers memberitakan hal-hal yang negatif terhadap lembaga peradilan dan aparat penegaknya, karena fungsinya sebagai watch dog.
Sebagai anjing penggonggong, pers akan keras menyalak jika melihat ketidak adilan, ketidakberesan, suap, praktek jual beli perkara, korupsi dan macam-macam penyimpangan lainnya.
Bagi pers, bad news is good news!
Penegakan hukum yang adil dianggap sudah sepatutnya. Kalangan pers menyadari bahwa masih banyak sekali putusan-putusan pengadilan yang adil. Ribuan hakim yang betul-betul memutus atas nama Tuhan dan keadilan. Ribuan pula polisi yang memeriksa tersangka kejahatan tanpa memandang bulu dan tanpa memberikan nomor rekening. Jaksa-jaksa yang menuntut hukuman murni atas dasar bukti-bukti yang ada dan bukannya atas dasar kongkalingkong dengan pengacara.
Bukan rumusan berita
Tapi semua yang baik-baik itu tidak termasuk rumusan nilai berita sebagaimana dimaksud para wartawan. Itu sama saja dengan rumusan anjing menggigit orang. Padahal, yang bisa menjadi berita adalah orang menggigit anjing.
Para pakar media mengatakan, “A dog bites a man is not news. A man bites a dog, that is news!”. Sebuah berita memerlukan sebuah keluarbiasaan. Matahari terbit dari Timur dan tenggelam di Barat bukanlah berita. Itu sebuah keniscayaan. Padahal, kelumrahan tidak mendapat tempat dalam sebuah berita.
Sebagai penjaga moral masyarakat, pers memiliki komitmen yang kuat bagi tegaknya hukum dan good governance.
Dengan memberitakan bagaimana hukum itu ditegakkan atau dibengkokkan, sesungguhnya pers sudah berperan untuk memasyarakatkan hukum. Apakah itu hasilnya akan baik atau buruk bagi citra hukum dan lembaga peradilan Indonesia, pers hanya melaporkan fakta: Begitullah hukum di Indonesia berjalan dan dilaksanakan.
Pers hanya melaporkan (to report the facts). Yang membuat berita adalah polisi, jaksa, hakim, pengacara, tersangka. Yang membuat berita adalah Hendarman Supandji, Bagir Manan, Jenderal Sutanto, Taufik Ruki dan Erry Riyana, OC Kaligis atau Adelin Lis.
Artinya: Kalau mau citra hukum bagus dimasyarakatkan oleh pers, proses penegakan hukum harus dilaksanakan dengan adil tanpa pandang bulu.
Kunci pemasyarakatan hukum yang efektif adalah meskipun langit runtuh, keadilan harus ditegakkan!
Senin, 17 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar