Jumat, 04 Januari 2008

PUBLIC RELATIONS UNTUK TNI

Oleh Akhmad Kusaeni

Abad ini abad informasi. Barangsiapa menguasai informasi, dia yang menguasai dunia. Dia akan yang jadi pemenang. Fakta ini diyakini betul oleh para Commander in Chiefs dan Chief Executive Officers Amerika Serikat.

Presiden-presiden AS berusaha menjalankan pemerintahan dengan publisitas (government by publicity). Para CEO AS ramai-ramai menjalankan perusahaannya dengan publikasi dan pemberitaan (managing corporation with the news). Para jenderal Pentagon memboyong embedded journalists ke medan perang “to win the hearts and minds of the people”.

Pelatihan ini akan mempelajari bagaimana pemerintah AS, perusahaan-perusahaan multinasional, dan Pentagon melakukan operasi informasi dan ke-PR-an untuk menjaga citra dan mencapai tujuan-tujuannya. Amerika adalah contoh kasus pekerjaan PR yang mendekati sempurna. Untuk itu perlu ditarik pelajaran dari pengalaman keberhasilan dan juga kegagalannya. Pada bagian akhir, akan dibahas bagaimana public relations untuk TNI, bagaimana hubungan pers-TNI yang lebih kondusif serta bagaimana peran pers dalam operasi militer.

A. Government by publicity

Donald Cater dalam buku The Fourth Branch of Government menyebut pemerintahan AS sebagai "pemerintahan dengan publisitas". Hal ini karena kegiatan Gedung Putih tidak lain dari "komunikasi atas nama presiden".

Presiden AS yang menyadari pentingnya publisitas untuk membangun opini publik mempunyai staf komunikasi dan kehumasan yang besar. Tim komunikasi yang sering disebut spin doctors itu mempunyai fungsi mahapenting, yakni "menjual" dan mempromosikan presiden, keputusan dan kebijakan yang diambilnya.

Setidaknya, 75 persen atau 2/3 dari staf Gedung Putih (jumlahnya antara 350 sampai 600 orang) terkait dengan tugas komunikasi dan kehumasan tersebut.

Mereka terdiri atas para ahli komunikasi, praktisi public relations, dan mantan wartawan. Mereka bekerja mulai dari menyiapkan pidato presiden, membuat siaran pers, membuat kliping koran, menyampaikan briefing pers harian, menyeleksi permintaan wawancara, sampai mengatur pertemuan mana untuk konsumsi pers dan mana yang tidak perlu diliput media.

Sementara Presiden AS tidak bisa mengontrol pers, ia dapat secara luas mempengaruhi media massa. Caranya, dengan membuat agenda pemberitaan yang bisa menjadi fokus perhatian pers, seperti mengadakan keterangan pers, menyebarkan video news release (VNR), menyampaikan pidato radio setiap akhir pekan dan menerima wawancara khusus dari koran dan majalah tertentu yang dipilih.

Bisa juga dengan bicara dalam berbagai pertemuan penting di dalam negeri atau di arena yang sudah dikenal dunia seperti Sidang Umum PBB, KTT APEC, pertemuan WTO atau NATO serta pertemuan puncak dunia lainnya. Presiden juga memanfaatkan pertemuan dengan para pemimpin dunia baik di Amerika Serikat sendiri atau di ibu kota negara yang dikunjunginya.

Semua penampilan dan kegiatan presiden itu direncanakan dengan matang dan direkayasa sedemikian rupa untuk mendapat sebesar-besarnya perhatian publik dan media massa di bawah skenario yang terkendali. Kegiatan yang dikoordinir oleh tim komunikasi Gedung Putih itu tujuannya adalah public relations bagi presiden.

Penampilan presiden yang dikemas untuk menciptakan kesan tertentu atau bertujuan mengambil simpati dan dukungan publik sering dilakukan oleh para pemintal cerita (spin doctors) Gedung Putih.

Misalnya saja, untuk menarik dukungan terhadap Perang Irak, Presiden Bush mengadakan kunjungan rahasia ke Baghdad demi merayakan Thanksgiving Day dengan para prajurit AS di medan perang. Photo Bush yang sedang membagi-bagikan kalkun kepada tentara AS dimuat di hampir semua koran dan ditayangkan televisi di seluruh dunia, membangun kesan bahwa AS telah menguasai sepenuhnya Irak.

Contoh lain, untuk mendapat dukungan rakyat dan Kongres AS dalam program Perang Bintang (Star Wars), Presiden Ronald Reagan mengeksploitasi ketegangan Perang Dingin dan ancaman nuklir Uni Soviet dan sekutunya, Reagan memboyong sejumlah wartawan dan kamera televisi ke kawasan panas di Semenanjung Korea.

Reagan dengan postur koboi Amerika berdiri dengan tegak dan gagah di zona demiliterisasi (DMZ) di perbatasan dua Korea dengan mata menatap tajam dan geram ke arah Korea Utara yang disebutnya sebagai boneka Uni Soviet. Gambar lebih bicara dari sejuta kata. Kongres AS kemudian menyetujui anggaran militer terbesar sepanjang sejarah Amerika untuk Star Wars, suatu program untuk membuat perisai di luar angkasa demi melindungi negara adidaya itu dari serangan nuklir Uni Soviet.

Ini adalah program yang sebetulnya tak masuk akal karena teknologi impenetrable shield in space sampai saat ini pun belum ada. Tapi karena Reagan seorang komunikator yang piawai memanfaatkan media, maka ia berhasil menjual impian Perang Bintang-nya menjadi kebijakan AS.

Rakyat AS yang pintar dan paling rasionalpun, berhasil diyakinkan bahwa "perisai sempurna" di angkasa itu memungkinkan. Tinggal keluarkan dana multi-miliar dolar untuk riset. Mereka bisa diyakinkan bahwa pertahanan bukanlah soal anggaran. Keluarkan dana berapapun banyaknya untuk menyelamatkan rakyat dari serangan nuklir. Untuk program Star Wars, pembayar pajak AS rela mengeluarkan kocek 294,7 miliar dolar untuk anggaran militer.

Kemampuan tim komunikasi Clinton juga berpengaruh terhadap kegagalan proses impeachment Clinton dalam kasus skandal seks dengan Monica Lewinsky. Tim komunikasi Gedung Putih berhasil meyakinkan rakyat dan Kongres AS bahwa sex affairs presiden dengan pekerja magang kantornya itu adalah urusan pribadi dan tidak ada kaitannya dengan urusan negara dan pemerintahan.

Clinton adalah pemimpin pemerintahan, bukan pemimpin moral rakyat Amerika. Perselingkuhan seorang presiden tidak ada kaitannya dengan urusan negara.

B. Managing corporation with the news

Dengan memetik pengalaman Gedung Putih tersebut, perusahaan-perusahaan AS dan para CEO-nya juga menganggap penting publikasi dan pengelolaan berita (news management). Perusahaan-perusahaan mempekerjakan tim komunikasi dan kehumasan sebagaimana spin doctors yang dipunyai Gedung Putih.

Jika dalam pemerintahan dikenal istilah government by publicity, di kalangan swasta dikenal istilah managing corporation with the news. Saking pentingnya publikasi ini, maka sejumlah pemilik perusahaan dan CEO memanfaatkan dirinya sendiri untuk menjadi sumber berita atau bintang iklan.

Misalnya saja, daging ayam Perdue dan Kentucky diiklankan sendiri oleh para pemiliknya, Frank Perdue dan Colonel Sanders. Chrysler, sejak dipegang oleh Lee Iacocca, bintang iklannya adalah presidennya sendiri. Pemirsa televisi di Amerika, sering melihat Lee Iacocca muncul di iklan-iklan televisi mempromosikan Chrysler.

Dalam salah satu iklan, Lee tampak menantang, “Kalau anda mengetahui ada mobil yang lebih baik daripada Chrysler,” lalu dihantamnya bagian depan mobil Chrysler, “beli sajalah mobil itu!”.

Iklan yang lain menantang pembeli untuk mencoba dulu Chrysler. “Kalau anda tak suka, kembalikan saja!” kata Lee. Ternyata yang mengembalikan mobil Chrysler setelah dibeli sangat sedikit. Memang ada yang dikembalikan, tetapi itu dicurigai dikembalikan oleh pabrik mobil pesaingnya.

Untuk menggenjot terus publikasi, Lee dengan senang hati melayani wawancara pers atau tampil dalam seminar-seminar. Ia juga menulis biografi yang laku keras. Lee dengan sadar menjadikan dirinya sendiri sebagai pusat perhatian. Ia menjalankan perusahaannya dengan publikasi dan pemberitaan. Ia sadar bahwa Lee dan Chrysler adalah dua nama yang sudah jadi satu. Ingat Lee, ingat Chrysler. Begitupun sebaliknya.

Selain menjadi Chief Executive Officer (CEO), Lee Iacocca sekaligus juga berperan sebagai Salesman in Chief.

Yang jadi persoalan, bagaimana caranya kita bisa menjalankan perusahaan dengan publikasi dan pemberitaan semacam Lee Iacocca? How to manage our corporation with the news just like Iacocca?

Ada sebuah buku panduan Public Relations mengenai “How to Get Publicity for Your Business?” . Beberapa kiat di buku itu yang perlu kita lakukan adalah sebagai berikut:

  1. Get to know reporters.

Give them red carpet treatment.

  1. Send press release and video news release (VCR).

Photo-ads Bush Thanksgiving Party, VCR boneka bicara

3. Speak in your community.

Aktif di Perhimpunan Humas (Perhumas) dan PR Society of Indonesia dan jadi pembicara di bidang keahlian anda.

  1. Conduct seminar or be a sponsor of workshop.

Seminar, workshop, lokakarya adalah panggung yang baik untuk publikasi.

  1. Receive media attention in major publications.

Kasus pembobolan Bank BNI, kontrak karya Freeport, lemak babi, McDonald dan aksi anti Amerika, flu burung dan KFC.

  1. Make ads on special events that receive media attention.

Aqua, official sponsor of PON, iklan Olimpiade, World Cup, Tablig Akbar

  1. Sponsor a contest or survey.

Jarum Super Music Contest, Sampurna A-mild motor-cross,

Pemilihan Putri Indonesia Mustika Ratu, Suzuki Touch the Car.

  1. Make a significant charitable contribution.

Pemberian beasiswa dan sumbangan bencana alam memberi kesan perusahaan memiliki tanggungjawab social dan bukan hanya mengeruk keuntungan.

  1. Get an industry award.

ISO-2000, Es Teler Juara Indonesia, The No.1 Indonesia Bank,

The best restaurant in town, The most favorite shopping mall.

  1. Have your own radio and TV shows.

Gebyar BCA, Telkom mania, Panasonic Award, Suzuki: Touch the Car,

Sajian Sekejap Bogasari, Arisan Rinso, Indofood Galileo, Kreasi Ibu Royco.

C. Peran Pers dalam Operasi Militer

Untuk mengetahui bagaimana Pentagon menggunakan pers sebagai alat perang dalam operasi militernya, saya kutipkan tulisan pengamat masalah internasional T. Yulianti di harian Kompas, 5 April 2003, berikut ini.

PERANG DI RUANG KELUARGA

Oleh T. Yulianti

Makin canggihnya teknologi penyiaran media massa telah memungkinkan perang memasuki ruang keluarga. Perang Irak sekarang ini boleh dikatakan “living room war”. Sambil minum kopi dan mengunyah kacang, kita bisa menyaksikan secara langsung perang Irak yang dibingkai dalam judul-judul garang seperti “Invasi ke Irak” (TV7) atau “Irak Under Attack” (Metro-TV).

Kita bisa menyaksikan bagaimana rudal-rudal pasukan Amerika Serikat membumihanguskan kota Baghdad, kilang-kilang minyak terbakar, gedung dan bangunan yang hancur, cendawan api dan asap hitam tebal membumbung ke angkasa, atau penduduk sipil yang terkapar jadi korban di rumah sakit.

Kita juga bisa menyaksikan bagaimana pergerakan pasukan koalisi AS dan Inggris yang berusaha memasuki wilayah Irak, konvoi tank yang merangsek di tengah gurun pasir, tentara yang tiarap dan siap siaga menembak, atau pertempuran sengit memperebutkan kota pelabuhan Umm Qasr.

Semua tersaji di televisi dengan gamblang, lugas, dan live. Apa yang terjadi di medan perang nun jauh 8000 mil di Timur Tengah bisa disaksikan lewat layar kaca sambil bersantai di rumah. Inilah yang dikatakan sebagai revolusi media!

Revolusi media ini di satu pihak memungkinkan terpenuhinya hak setiap orang untuk mengetahui (people right to know). Kita, misalnya, bisa mengetahui seluk beluk Perang Irak dan perkembangannya setiap saat. Tinggal pegang remote control, tekan tombol, di layar TV semua informasi terbaru dan terkini tentang perang bisa kita lihat.

Namun, di pihak lain muncul problematika dalam pemberitaan perang yang terkait dengan masalah etika, obyektivitas, keharusan untuk bersikap netral dan meliput dari sisi kedua belah pihak (cover both side). Kitapun, misalnya, tidak yakin betul 100 persen terhadap apa yang diberitakan oleh CNN. Seorang teman menyarankan tontonlah CNN jika ingin melihat perang versi Amerika. Sebaliknya, simaklah Al-Jazeera jika ingin melihat perang versi Irak.

Satu tim

Pemerintah Amerika Serikat mengikutsertakan lebih dari 500 wartawan untuk meliput perang Irak bersama-sama dengan Angkatan Bersenjata AS. Wartawan CNN Walter Rodgers, misalnya, tergabung dalam Skuadron 3 Resimen Kavaleri ke-7 AS yang memimpin Divisi Infanteri 3 AS yang bergerak masuk ke wilayah Irak dari Kuwait. Oleh karena itu, Walter bisa secara rinci menceritakan apa yang terjadi di gurun wilayah selatan Irak itu.

Kami baru saja meninggalkan Kuwait dan kini memasuki wilayah padang pasir Irak. Kavaleri terus maju, rata-rata kecepatan kami 40 hingga 50 km per jam…,” lapor Walter sementara kameramen mengambil gambar tank M 1A1 Abrams bergerak cepat menyusuri gurun meninggalkan debu yang beterbangan.

Disinilah letak persoalannya. Walter yang melaporkan berita dari kendaraan lapis baja AS itu ternyata menggunakan kata “kami”. Artinya, wartawan CNN tersebut telah menganggap dirinya sebagai “satu tim” dengan Skuadron 3 Resimen Kavaleri ke-7 AS.

“Ketika anda bagian dalam satu tim, anda tidak bisa lagi obyektif. Alih-alih menjadi wartawan yang obyektif, anda akan menjadi partisipan,” ujar Michael Ryan, seorang wartawan kawakan AS.

Ryan bersama-sama sejumlah veteran wartawan perang AS lainnya sejak awal memang menentang rencana Pentagon bulan Oktober tahun lalu untuk melatih para wartawan dasar-dasar pertempuran militer sebagai bagian dari rencana kontinjensi bagi media untuk kemungkinan meliput Perang Irak. Dalam latihan itu, para wartawan diperkenalkan dengan suasana di medan perang dan bagaimana mereka bisa bertahan dalam situasi yang membahayakan.

Instruktur mempertunjukan gambar-gambar video bagaimana wartawan seharusnya meliput konflik dan peperangan. Mereka juga menjalani simulasi skenario perang, diperkenalkan dengan senapan mesin, ranjau dan ledakan bom serta bagaimana menghadapi situasi yang tidak terduga di kancah perang.

Para wartawan juga diuji ketahanan fisiknya dengan menaiki lembah dan berlari di tengah kubangan lumpur. Mereka juga dilatih bagaimana melarikan diri dari simulasi bahaya seperti penyergapan, serangan artileri dan bahkan bagaimana menyelamatkan diri jika Irak menggunakan senjata biologi dan kimianya.

Memang latihan fisik diperlukan agar para jurnalis itu bisa tahan berada di gurun pasir dan selamat di tengah-tengah kancah perang yang membahayakan. Namun, secara kejiwaan, para wartawan itu diperkenalkan dengan pola pikir dan pola tindak militer. Mereka diajarkan aturan pertempuran, struktur komando, dan kebiasaan militer AS. Yang lebih penting lagi, mereka dilatih untuk berfikir bahwa mereka adalah “satu tim” dengan pasukan AS. Disinilah letak masalahnya.

Sistim penyertaan wartawan dalam operasi militer AS ini banyak ditentang oleh berbagai kalangan. Seorang wartawan tahu kemana harus mengejar berita. Wartawan tidak memerlukan pemerintah atau tentara untuk membawa mereka ke kamp-kamp atau kancah perang.

Melibatkan wartawan dalam satu tim dengan pasukan AS dianggap bukanlah jurnalisme, tapi propaganda. Satu-satunya cara untuk mendapatkan kebenaran adalah wartawan harus meliput sendiri sehingga kebebasan dan independensinya terjaga. Begitu suara-suara pengkritik gagasan “penanaman wartawan” dalam pasukan AS yang tengah bertempur di Irak.

Diberi pangkat

Sampai dengan Perang Vietnam, para wartawan selalu berada di kancah pertempuran bersama-sama dengan pasukan AS yang melawan Vietcong. Dalam Perang Dunia II, para jurnalis bahkan sempat diberi pangkat militer kehormatan. Michael Ryan, misalnya, diberi pangkat Letnan Kolonel. Tapi itu tidak berarti bahwa para wartawan tidak melaporkan kebenaran. Para wartawan ketika itu diberi kebebasan melaporkan situasi perang apa adanya. Setelah Perang Vietnam, pihak militer melakukan pembatasan akses terhadap para wartawan.

Memang wartawan sendiri, khususnya para kru televisi, bukan satu-satunya yang menyebabkan mundurnya AS dari kancah Perang Vietnam. Namun jelas ada korelasi antara jatuhnya korban tentara AS yang diberitakan wartawan dengan dukungan publik terhadap Perang Vietnam. Hasil penelitian John E Muller (1985) menyebutkan bahwa angka dukungan publik menurun 15 persen setiap korban jatuh di pihak AS mencapai 10 orang.

Belajar dari pengalaman Perang Vietnam, Pentagon tidak ingin membiarkan media massa mengacaukan operasi militer di kemudian hari. Ketika pasukan AS menginvasi Grenada pada 25 Oktober 1983 tak satupun wartawan yang diikutsertakan. Cara baru penyensoran dengan tidak mengikutsertakan secara fisik itu merupakan reaksi akan makin canggihnya teknologi penyiaran media massa. Para pengkritik menyebut physical exclusion itu sebagai “ larangan total bagi akses pers terhadap medan perang”.

Kasus Grenada itu membuat para tokoh media massa dan militer bertemu untuk membahas bagaimana cara terbaik liputan pada sebuah operasi militer. Sebuah komite yang diketuai oleh Mayjen Winant Sidle mengeluarkan rekomendasi pada 23 Agustus 1984 untuk membentuk sistim Press Pool, yaitu sekelompok kecil reporter akan mendampingi pasukan yang terjun ke medan perang dan mereka menyampaikan hasil liputannya kepada reporter dari media lain yang tidak ikut ke medan perang. Sistim ini misalnya pernah diujicoba ketika militer AS melakukan invasi ke Panama pada 20 Desember 1989, pada Perang Teluk 1991 dan Perang Afghanistan 2002.

Dalam Perang Irak sekarang ini, Pentagon tampaknya berusaha untuk memanfaatkan lebih banyak lagi wartawan untuk menjadi public relations-nya di medan pertempuran. Hal ini karena para petinggi militer AS tahu persis betapa besarnya pengaruh media massa pada sukses tidak suatu operasi militer. Media massa bisa menyatakan kegagalan atau keberhasilan aksi militer bahkan pada hari pertama operasi militer dilakukan.

You don’t win unless CNN say you win,” ujar mantan Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata AS, Jenderal Hugh Shelton.

Artinya, pada era informasi real time dan tayangan televisi 24 jam ke seluruh dunia, anda tidak akan memenangkan suatu pertempuran kalau CNN tidak menyatakan anda menang! Pentagon membutuhkan Peter Arnett, Walter Rodgers dan Christiane Amanpour dalam setiap operasi militernya. Memenangkan pertempuran berarti memenangkan perang informasi. Itulah sebabnya Pentagon merekrut 500 wartawan untuk diikutsertakan dalam pasukan AS yang tengah berperang di Irak.***

Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara pers dan militer yang tampak tidak mudah, saya kutipkan lagi tulisan T. Yulianti di Suara Pembaruan, 12 Nopember 2003.

BENTURAN KEPENTINGAN ANTARA PERS DAN MILITER

Oleh T. Yulianti

Meskipun wartawan telah meliput pertempuran sepanjang sejarah, hubungan antara pers dan militer selalu tidak mudah. Ada tugas dan tanggungjawab yang saling berbenturan (clash of responsibilities) antara pers dan militer. Pengalaman bagaimana Amerika Serikat (AS) mengatasi konflik antara pers dan militer yang akan dibahas dalam tulisan ini, kiranya bisa menjadi pertimbangan dan pelajaran bagi operasi informasi TNI dalam operasi militer di Aceh yang baru saja diperpanjang pelaksanaannya.

Di Amerika, militer bertanggungjawab terhadap pertahanan dan keamanan umum. Tanggungjawab itu dijamin oleh konstitusi. Sementara tugas dan tanggungjawab pers untuk melaporkan kepada publik apa yang dilakukan pemerintah dan pihak militer juga dilindungi dan dijamin oleh konstitusi yang sama. Untuk kepentingan keamanan, militer cenderung ke ketertutupan dan kerahasiaan. Sementara untuk memenuhi hak rakyat untuk mengetahui, pers cenderung ke transparansi dan keterbukaan. Kepentingan yang berbeda tersebut membuat pers dan militer terkadang saling berbenturan.

Ketegangan antara pers dengan pihak militer tidak akan pernah mengendor, karena masing-masing pihak saling membutuhkan, namun tidak bisa memberikan apa yang masing-masing pihak inginkan. Pada masa perang, kebebasan absolut untuk menyiarkan dan menayangkan apapun yang terjadi di medan pertempuran jelas tidak mungkin. Sebaliknya juga tidak mungkin dalam sebuah demokrasi ada pihak yang menjadikan pers dan media sebagai alat propaganda.

Dalam suatu operasi militer, tentara umumnya memiliki tiga kekuatiran terhadap pers. Pertama, tentara tidak ingin wartawan melaporkan informasi yang bisa menyebabkan musuh siaga dan prajurit terbunuh. Kedua, tentara tidak ingin dukungan rakyat menurun terhadap perang dan operasi militer yang mereka laksanakan. Ketiga, mereka tidak ingin kesalahan dan ketidakberhasilan mereka diekpose.

Wartawan perang biasanya menerima dan menghormati kekuatiran tentara yang pertama dan menolak kekuatiran yang ketiga. Sedangkan mengenai kemungkinan dukungan rakyat menurun terhadap perang sehingga wartawan dilarang memberikan kepada publik apa yang semestinya diketahui, sering menjadi pangkal masalah dalam hubungan antara pers dan militer.

Hubungan pers dengan militer tidak begitu mulus dan sering bertabrakan mengenai bagaimana rakyat harus diberi tahu atau tidak diberi tahu mengenai perkembangan perang. Wartawan AP Tom Lambert dan Peter Kalischer diusir dari Korea tahun 1950 karena menulis berita mengenai kepanikan, kekurangan perlengkapan senjata, dan kocar-kacirnya pasukan AS yang terjebak dalam serangan mendadak pasukan Korea Utara. Meskipun laporan wartawan tersebut adalah fakta apa adanya, mereka dianggap telah mengungkapkan informasi yang bisa “berdampak buruk terhadap moral dan kejiwaan pasukan” serta “menurunkan dukungan rakyat di dalam negeri AS”.

Jenderal Douglas McArthur mencabut larangan meliput Perang Korea tersebut, namun meminta kepada kedua wartawan itu agar mereka memiliki tanggungjawab dalam hal perang urat syaraf. Bukankah seperti pernah dikemukakan oleh Jenderal Eisenhower, opini publik (membantu) memenangkan perang?

Kedua wartawan itu juga diingatkan agar tidak lupa di pihak mana sebetulnya mereka berada. Sebagai warga AS, mereka diminta untuk berada di pihak tentara AS dan bukan menyuarakan hal-hal yang bisa menguntungkan musuh. Pada Perang Vietnam beberapa tahun kemudian, Laksamana Harry Felt mengulang permintaan McArthur tersebut. Kepada wartawan AP yang lain, Malcolm Browne, yang dianggap laporannya negatif dan nyeleneh, Laksamana Harry Felt menyindir “Mengapa kita tidak menjadi satu tim?”.

Lebih buruk

Hubungan kurang harmonis antara pers dengan tentara bahkan lebih buruk lagi pada Perang Dunia I. Wartawan harus bersumpah bahwa mereka akan menyampaikan kebenaran kepada rakyat dan bangsa AS dan tidak menyiarkan berita-berita (meskipun benar adanya) yang bisa menguntungkan dan membantu musuh. Koran-koran harus membayar uang jaminan 10.000 dolar AS, suatu jumlah yang besar waktu itu, jika ingin meliput perang. Uang jaminan itu akan disita jika wartawan yang bersangkutan tidak mengikuti aturan peliputan yang ditetapkan militer.

Ketika AS masuk ke kancah Perang Dunia II, Washington membentuk Kantor Penyensoran (Office of Cencorship) dan Kantor Informasi Perang (Office of War Information) untuk mengatur arus pemberitaan. Kedua lembaga itu misalnya saja mengeluarkan ketentuan bahwa suratkabar dan stasion penyiaran harus aktif mendukung upaya perang. Perang total, menurut aturan itu, membutuhkan kepatuhan total dari wartawan.

Namun, pada Perang Vietnam, lain ceritanya. Pada mulanya, wartawan mendukung upaya perang meskipun mereka “tidak selalu satu tim” dengan pasukan AS. Belakangan, pers mempertanyaan perang itu sendiri. Penentangan terhadap perang lebih radikal di akhir dekade 1960-an. Pers melihat tentara AS sebagai penindas dan penjajah, suatu hal yang tak pernah bisa dimaafkan oleh tentara AS.

Sampai saat inipun, sejumlah tentara veteran Perang Vietnam masih bersikeras bahwa pers terutama televisi telah menyebabkan kalahnya AS dengan cara menjatuhkan moral dan dukungan di dalam negeri. Pers mengabaikan imbauan militer untuk tidak mendramatisir brutalnya perang dan makin banyaknya tentara AS yang tewas di medan perang.

“Dalam sejarah panjang peperangan, wartawan selalu akan lebih jujur kepada rakyat AS ketimbang kepada para pejabat-pejabatnya,” kata James Reston, wartawan The New York Times.

Dalam Perang Vietnam, wartawan telah membuktikan pengabdiannya kepada kepentingan rakyat AS yang menghendaki perang diakhiri, ketimbang kepada pihak militer yang justru ingin eskalasi perang ditingkatkan dengan penambahan pasukan dan peralatan senjata. Oleh karena “dikhianati” pers, pihak militer AS tidak pernah lagi memberikan akses kepada operasi militernya sebagaimana yang pernah diberikan sebebas-bebasnya pada Perang Vietnam.

Pada invasi AS di Grenada tahun 1983, para wartawan sama sekali tidak diikutsertakan. Kebijakan tidak mengikutsertakan wartawan secara fisik tersebut diprotes keras oleh organisasi-organisasi wartawan dan kalangan praktisi media. Akhirnya, Pentagon menyepakati untuk melakukan sistim pool pada operasi militer AS berikutnya. Sistim pool tersebut memberikan akses kepada sejumlah wartawan untuk ikut dalam operasi militer pasukan AS dan kemudian membagi liputannya kepada wartawan lain yang tidak ikut.

Bisa diterima pers

Sistim pool digunakan dalam operasi militer di Somalia (1992-1993) dan Haiti (1994-1995) yang dianggap sebagai suatu alternatif peliputan yang bisa diterima oleh kalangan pers dan militer. Sistim ini pula yang diterapkan secara ketat dalam Perang Teluk I saat pasukan AS menghukum tentara Irak yang menyerbu Kuwait. Inilah operasi militer AS terbesar setelah Perang Vietnam, namun dalam hal pembatasan pers dinilai sebagai yang terburuk.

Aturan main peliputan adalah tidak ada laporan mengenai pergerakan pasukan dan tidak ada akses ke medan perang kecuali bagi wartawan yang diorganisir dalam sistim pool. Kunjungan wartawan kepada unit tempur tanpa izin akan menyebabkan dicabutnya kartu izin meliput (press credential). Berita dan gambar disensor dengan alasan untuk kepentingan keamanan dan keselamatan pasukan. Ditegaskan bahwa sensor tersebut bukan untuk membungkam kritik dan mencegah militer dipermalukan.

Akibatnya 1.600-an wartawan yang meliput di medan perang sangat dibatasi gerakannya, bahkan wawancara dengan perawat dan dokter di kawasan non-tempur pun tidak diizinkan kecuali didamping oleh pejabat militer. Yang terjadi adalah publik sangat tergantung pada berita yang disampaikan dalam keterangan pers pihak militer yang jauh dari lokasi pertempuran. Tentu saja berita-berita tersebut dikemas dengan sangat baik oleh pihak militer. Hanya berita-berita yang dianggap “aman” saja yang disiarkan ke publik.

Ini menyulut protes dari kalangan wartawan, termasuk Walter Cronkite. Veteran wartawan perang yang sangat dihormati itu mengkritik bahwa pembatasan pers yang tidak pernah terjadi sebelumnya itu “memberangus hak masyarakat untuk mengetahui”. Terhadap tudingan dan kritikan itu, Pentagon berdalih bahwa perang modern yang bergerak cepat tidak mungkin bisa mengakomodasi wartawan secara tak terbatas ke medan perang.

Meskipun demikian, di bawah tekanan kuat dari organisasi-organisasi wartawan, Pentagon akhirnya menyetujui adanya pedoman baru peliputan media di medan perang. Aturan baru tersebut menyebutkan bahwa sistim pool baru akan digunakan jika tidak ada cara lain yang terbaik untuk mengakomodasi pers; wartawan akan diberikan akses kepada unit-unit militer, petugas humas hanya akan bertindak sebagai pejabat penghubung (liaisons officer) dan tidak akan campur tangan dalam urusan peliputan; komandan lapangan akan mengizinkan wartawan untuk menumpang kendaraan dan pesawat militer jika memungkinkan.

Aturan baru peliputan di medan perang tersebut disambut baik kalangan pers. Pemimpin Redaksi AS Louis Boccardi mengatakan “Aturan tersebut memberikan janji peliputan yang seharusnya diperoleh di sebuah masyarakat demokrasi, disamping mengakui kebutuhan akan keamanan dan keselamatan di wilayah pertempuran”. Sistim baru inilah yang dipraktekan pada liputan Perang Teluk II dengan mencantolkan wartawan (embedding journalists) ke unit-unit tempur pasukan AS di Irak. Dengan sistim ini, kepentingan pers dan militer bisa diakomodasi dan ternyata tidak mesti berbenturan. *** (Penulis adalah pemerhati masalah internasional)

Tidak ada komentar: