Jumat, 04 Januari 2008

MENGGUNAKAN MEDIA SEBAGAI ALAT PERANG INFORMASI

Oleh Akhmad Kusaeni

Abad ini abad informasi. Barangsiapa menguasai informasi, dia yang menguasai dunia. Dia akan yang jadi pemenang. Fakta ini diyakini betul Presiden Amerika Serikat. Makanya, Presiden-presiden AS selalu berusaha menjalankan pemerintahan dengan publisitas (government by publicity).

Donald Cater dalam buku The Fourth Branch of Government menyebut pemerintahan AS sebagai "pemerintahan dengan publisitas". Hal ini karena kegiatan Gedung Putih tidak lain dari "komunikasi atas nama presiden".

Presiden AS yang menyadari pentingnya publisitas untuk membangun opini publik mempunyai staf komunikasi dan kehumasan yang besar. Tim komunikasi yang sering disebut spin doctors itu mempunyai fungsi mahapenting, yakni "menjual" dan mempromosikan presiden, keputusan dan kebijakan yang diambilnya.

Setidaknya, 75 persen atau 2/3 dari staf Gedung Putih (jumlahnya antara 350 sampai 600 orang) terkait dengan tugas komunikasi dan kehumasan tersebut.

Mereka terdiri atas para ahli komunikasi, praktisi public relations, dan mantan wartawan. Mereka bekerja mulai dari menyiapkan pidato presiden, membuat siaran pers, membuat kliping koran, menyampaikan briefing pers harian, menyeleksi permintaan wawancara, sampai mengatur pertemuan mana untuk konsumsi pers dan mana yang tidak perlu diliput media.

Sementara Presiden AS tidak bisa mengontrol pers, ia dapat secara luas mempengaruhi media massa. Caranya, dengan membuat agenda pemberitaan yang bisa menjadi fokus perhatian pers, seperti mengadakan keterangan pers, menyebarkan video news release (VNR), menyampaikan pidato radio setiap akhir pekan dan menerima wawancara khusus dari koran dan majalah tertentu yang dipilih.

Bisa juga dengan bicara dalam berbagai pertemuan penting di dalam negeri atau di arena yang sudah dikenal dunia seperti Sidang Umum PBB, KTT APEC, pertemuan WTO atau NATO serta pertemuan puncak dunia lainnya. Presiden juga memanfaatkan pertemuan dengan para pemimpin dunia baik di Amerika Serikat sendiri atau di ibu kota negara yang dikunjunginya.

Semua penampilan dan kegiatan presiden itu direncanakan dengan matang dan direkayasa sedemikian rupa untuk mendapat sebesar-besarnya perhatian publik dan media massa di bawah skenario yang terkendali. Kegiatan yang dikoordinir oleh tim komunikasi Gedung Putih itu tujuannya adalah public relations bagi presiden.

Penampilan presiden yang dikemas untuk menciptakan kesan tertentu atau bertujuan mengambil simpati dan dukungan publik sering dilakukan oleh para pemintal cerita (spin doctors) Gedung Putih.

Misalnya saja, untuk menarik dukungan terhadap Perang Irak, Presiden Bush mengadakan kunjungan rahasia ke Baghdad demi merayakan Thanksgiving Day dengan para prajurit AS di medan perang. Photo Bush yang sedang membagi-bagikan kalkun kepada tentara AS dimuat di hampir semua koran dan ditayangkan televisi di seluruh dunia, membangun kesan bahwa AS telah menguasai sepenuhnya Irak.

Tim media SBY

Kemampuan tim pengelola isu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono perlu mendapat acungan jempol. Para penasehat media Istana Kepresidenan telah berhasil menenggelamkan isu kenaikan BBM yang banyak ditentang publik dengan mengangkat isu Ambalat yang berhasil membakar nasionalisme dan dukungan publik.

Koran-koran yang sebelumnya ramai memberitakan unjuk rasa anti-kenaikan BBM beralih melaporkan bagaimana kapal-kapal perang dan pesawat tempur F-16 digelar untuk mempertahankan kedaulatan negara. Televisi yang tadinya menayangkan suasana demo BBM yang makin marak di sejumlah kota di Tanah Air, berganti menyajikan gambar heroisme SBY yang naik kapal perang dan memeriksa kesiapan tempur pasukan di pos TNI terdepan di Pulau Sebatik.

Ketika Indonesia menetapkan status Blok Ambalat yang diklaim Malaysia sebagai wilayahnya dalam status Siaga Tempur I, demo anti-Malaysia segera berkembang mengalahkan demo anti-kenaikan BBM. Suasana konfrontasi “ganyang Malaysia” jadi wacana perdebatan dalam acara-acara talkshow dan obrolan warung kopi. Bahkan, Metro-TV menyertai laporan krisis di Ambalat dengan lagu mars “Maju Tak Gentar”, sama seperti stasiun televisi Fox News di Amerika Serikat yang meramaikan genderang perang terhadap Irak yang ditabuh Presiden George W Bush.

Pendeknya, manajemen pemberitaan pemerintahan SBY, meminjam istilah poluler, “oke punya”. Para news managers Istana, di Amerika sering disebut sebagai spin doctors, berhasil mengalihkan isu negatif soal BBM menjadi isu positif soal Ambalat. SBY yang kemungkinan keseleo lidah saat menyatakan “I don’t care with my popularity”, bisa dipoles kembali menjadi presiden yang “I do care with my territorial integrity”.

News management di Depdagri

Pengalihan isu yang mengancam popularitas seorang presiden dengan isu baru yang meningkatkan citra presiden sebetulnya bukan barang baru. Itu sudah dilakukan Presiden Bush di Amerika Serikat dan SBY di Indonesia. Tapi di Depdagri? Sudahkan Departemen ini memiliki news management yang baik? Sudahkah memiliki para spin doctors yang handal? Jurubicara yang lincah dan artikulatif?

Melihat gunjang-ganjingnya pelaksanaan Pilkada, maraknya demo ke Depdagri, dan adanya boikot wartawan atas kegiatan Mendagri, jawabannya saya khawatir negatif. Beberapa waktu lalu saya diundang makan malam oleh Pak Maruf dan Pak Sulatin. Beliau mengeluhkan pemberitaan media yang selalu menghantam Depdagri. Pak Maruf sendiri merasa jadi bulan-bulan dan sasaran tembak. Diberitakan bahwa pelaksanaan Pilkada amburadul dan kacau. Mendagri dianggap tak becus mengatasi kisruh Pilkada di Depok, di Kaur, di Lampung, dan Banyuwangi. Pers selalu memblow-up Pilkada yang bermasalah dan Depdagri selalu disalahkan.

Pak Maruf bertanya bagaimana ini? Padahal kita sudah selenggarakan ratusan Pilkada, dan yang kisruh hanya 12 kasus, atau kurang dari 10 persen saja. Tapi yang diberitakan di media seolah semua Pilkada kacau balau. Tolong bantu saya carikan perusahaan PR yang handal.

Saya bilang kepada Pak Menteri dan Pak Sulatin: Pak, publik opini memenangkan perang. Informasi itu adalah mata uang untuk memenangani pertempuran. Dalam perang opini, kalau kita diam, musuh yang akan menang. Siapa menguasai informasi, dia yang akan menguasai. Kebohongan kalau diulang-ulang terus menerus, diberitakan nonstop 24 jam, itu akan dianggap sebagai kebenaran.

Ini perang informasi, kalau tidak mau pecundang, kita harus offensif. Pertahanan terbaik adalah menyerang. Lawan. Kita tidak boleh terus menari di atas gendang yang ditabuh orang lain. Maksudnya, kita jangan hanya mengcounter pemberitaan yang salah dan keliru, tetapi membombardir dengan informasi-informasi yang benar dan positif.

Bagaimana caranya?

Untuk mengatasi pemberitaan negatif mengenai pelaksanaan tugas Menteri Dalam Negeri, diperlukan pengelolaan berita (news management) yang lebih efektif. Departemen Dalam Negeri membutuhkan apa yang disebut "spin doctors" seperti yang dipunyai Gedung Putih di Amerika Serikat.

Spin doctors adalah istilah bagi kelompok inti di Washington yang pekerjaannya membuat strategi komunikasi media dan ke-PR-an untuk kepentingan Gedung Putih dan menjaga (kalau bisa meningkatkan) citra presiden dan pemerintahannya.

Dengan demikian, Tim Strategi Media Departemen Dalam Negeri termasuk perangkat Humas di Pusat dan Daerah, harus membuat strategi komunikasi media dan ke-PR-an untuk kepentingan Menteri/Departemen . Tim ini harus mampu menjaga serta meningkatkan citra menteri dan departemen yang dipimpinnya, khususnya dalam pelaksanaan Pilkada yang mendapat sorotan masyarakat dan media.

Kemampuan mempengaruhi media

Menurut Michael Parenti dalam buku Inventing Reality: The Politics of the Mass Media, pemerintah punya kemampuan luar biasa untuk mempengaruhi media massa dengan memberikan informasi yang dibuat secara sadar untuk menghadirkan suatu cara pandang atau kesan tertentu. Gedung Putih misalnya mengontrol secara ketat pemberitaan media massa bukan dengan cara breidel atau mengerahkan massa untuk unjuk rasa atau menyerang kantor koran dan majalah yang bersuara miring terhadap pemerintah.

Spin doctors mengontrol media dengan menutup pilihan bagi wartawan untuk mengakses informasi dari Gedung Putih dan pejabatnya. Wartawan hanya punya akses informasi dari Gedung Putih melalui pertemuan terjadwal, briefing harian juru bicara presiden, pidato resmi, pidato radio akhir pekan, dan konperensi pers. Lain dari itu, saluran informasi dibuat seret. Bahkan, menurut Parenti, Gedung Putih mempunyai kapasitas tersendiri untuk menghentikan liputan mengenai masalah kontroversial dengan cara menolak wawancara dan menahan informasi.

Tidak ada salahnya, metoda yang baik itu juga digunakan di Departemen Dalam Negeri. Sebab arus berita yang tak terkendali, yang penuh kejutan karena tak dikelola dengan baik, justeru membuat suasana gonjang-ganjing dan panas dingin. Selain tidak menguntungkan, pada akhirnya itu menggerogoti kredibilitas menteri dan departemennya.

Spin doctors atau tim strategi media ini membantu Departemen Dalam Negeri dalam meningkatkan citra dan kredibilitasnya. Kajian yang pernah dilakukan para ahli terhadap sejumlah instansi di Amerika menyebutkan bahwa setelah perusahaan PR intervensi, maka persepsi terhadap instansi itu berubah positif.

Tim ini bertugas mempengaruhi agenda pemberitaan media massa dari mulai membocorkan informasi secara sengaja atau tidak sengaja, sampai kegiatan resmi seperti keterangan pers, wawancara, pidato, siaran pers, dan pertemuan umum lainnya. Presiden AS sendiri memiliki kemampuan luar biasa untuk memproduksi berita sesuai dengan yang diinginkannya demi menjaga citra dan dukungan terhadap pemerintahannya. Hal ini karena seorang presiden tahu betul bahwa media akan meliput apa saja yang dilakukan dan diomongkannya.

Membuat agenda pemberitaan

D.L. Paletz dalam Media, Power and Politics lebih jauh mengatakan "Seorang presiden dan pejabat negara sangat berperan dalam menjaga kredibilitas pemerintahannya, termasuk dalam peran dan kemampuannya membuat agenda pemberitaan pers".

M.B. Grossman dalam The Media and the Presidency mengatakan "Kemampuan pejabat negara untuk menentukan berita apa yang akan disampaikan kepada masyarakat umum adalah sangat tidak terbatas". Bahkan J.B. Reston dalam "The Press, the President, and Foreign Policy" menyatakan "media bisa saja melaporkan suatu berita, tapi presiden dan pejabat negara-lah yang membuatnya".

Tim Strategi Media bertugas memberikan masukan kepada Mendagri dan jajarannya mengenai informasi atau kegiatan apa saja yang dipublikasikan kepada masyarakat sehingga dapat mendongkrak citra dan kredibilitas departemen. Hal ini mengingat apa saja yang dikatakan dan dilakukan Mendagri pasti menjadi berita di media massa.

Tim ini antara lain akan bekerja:

1. Menyelenggarakan konferensi pers

2. Menyeleksi media mana yang bisa wawancara khusus.

3. Seminar apa yang harus didatangani Menteri dan bicara apa.

4. Kegiatan-kegiatan apa yang perlu diliput atau tidak diliput.

5. Membuat dan menyebarluaskan siaran pers

6. Memberikan informasi yang bisa menjadi berita di pidato menteri.

7. Menganalisa peta berita dan mengcounter berita yang negatif.

8. Membuat dan Mengisi website Departemen Dalam Negeri.

Dengan memiliki Tim Strategi Media yang efektif, maka tidak akan ada lagi pernyataan-pernyataan dan tindakan pejabat Departemen yang kontraproduktif bagi posisi dan departemennya sendiri. Pemerintahan Gus Dur misalnya tidak memiliki Tim Strategi Media yang baik sehingga terjadi blunder-blunder yang merugikan posisi Gus Dur sendiri.

Misalnya saja, seorang pejabat Istana pernah mengatakan Gus Dur berniat membeli pesawat kepresidenan macam Air Force One. Omongan semacam ini jelas akan mengundang kemarahan rakyat dan makian anggota DPR karena di tengah krisis ekonomi yang belum pulih, presiden hendak mengeluarkan uang negara miliaran dolar untuk hal-hal yang bukan prioritas mendesak.


Tidak ada komentar: