Oleh Akhmad Kusaeni
Jakarta, 20/8 (ANTARA) – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kehilangan diplomat terbaiknya. Ketua Misi PBB di Irak Sergio Vieira de Mello (55) tewas ketika sebuah truk yang dipenuhi bahan peledak menerjang Markas PBB di Baghdad, Selasa petang. “Ini sebuah tragedi,” ujar Sekjen PBB Kofi Annan tentang kematian De Mello.
De Mello adalah pejabat PBB andalan Annan. De Mello dikenal sebagai “troubleshooter”, seseorang yang harus mereparasi kerusakan setelah terjadinya konflik di suatu wilayah. Tak mengherankan bila ia memiliki catatan panjang bertugas di daerah-daerah konflik yang rawan, dari mulai Kosovo, Timur Timur dan terakhir di Irak sampai akhir hayatnya.
Banyak pejabat Indonesia yang mengenal De Mello saat menjadi Kepala Pemerintahan Transisi PBB di Timor Timur (UNTAET) dari bulan Desember 1999 sampai Timtim merdeka pada 20 Mei 2002. Ketika ditunjuk Kofi Annan untuk memimpin UNTAET, sejumlah pejabat dan diplomat Indonesia tampak agak kurang berkenan.
“Ini pasti konspirasi,” kata seorang diplomat Indonesia di PBB saat Annan mengumumkan nama Wakil Sekjen PBB untuk Urusan Kemanusiaan itu sebagai Kepala UNTAET bulan Desember 1999.
Keberatan sejumlah pihak di Indonesia waktu itu terlebih karena De Mello adalah diplomat asal Brasil, sebuah negara yang berbahasa Portugis. Penunjukkannya untuk bertugas di Timtim dikhawatirkan memihak kepada kepentingan Portugal dan wilayah bekas jajahannya. Indonesia dan negara-negara ASEAN ketika itu lebih menghendaki calon yang berasal dari Asia. ASEAN waktu itu menyebut nama mantan Menlu Aljazair Lakhdar Brahimi dan mantan Dubes Singapura di PBB Tommy Koh.
Namun akhirnya De Mello berangkat juga ke Dili. Terlepas dari keberatan pihak Indonesia, De Mello adalah diplomat yang disukai di kalangan PBB yang mengagumi kinerjanya sebagai pimpinan pemerintahan sipil PBB di Kosovo. Ia juga orang yang supel dan sangat sederhana.
Meski sebagai pejabat tinggi di PBB, orang sering melihat De Mello berjalan kaki dan makan siang di restoran Cina di seberang Markas PBB dimana para wartawan suka makan disana karena harganya yang murah meriah, lima dolar sekali makan. Selama bertugas di daerah konflik, kecuali untuk acara-acara resmi, De Mello lebih suka berpakaian tidak resmi. Selama bertugas di Timtim, misalnya, De Mello tidak jarang tampak memakai kaus dan celana jeans.
De Mello lahir di Rio de Jeneiro tanggal 15 Maret 1948. Ia mengabdi di PBB sejak masih mahasiswa jurusan filsafat di Rio dan kemudian di Universitas Sorbone, Prancis. Selepas kuliah, De Mello bekerja di Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR). Selama kariernya di badan dunia, De Mello dikenal memiliki gaya kepemimpinan yang pragmatis. Ia benar-benar orang lapangan yang cepat bosan duduk di belakang meja. Ia menyukai penugasan yang penuh tantangan.
Sebelum bertolak ke Dili untuk memimpin UNTAET, De Mello mengatakan tugasnya yang teramat berat ialah membantu 800.000 penduduk Timtim untuk mewujudkan impian mereka menjadi bangsa dan negara yang merdeka.
Ia mengatakan masih terlalu dini untuk menentukan berapa waktu yang diperlukan untuk membangun kembali dari nol semua lembaga pemerintahan dan melatih penduduk Timtim agar mampu menjalankan negara mereka secara mandiri dan dapat mencukupi kebutuhan sendiri.
“Bagi saya, semakin singkat waktu itu semakin baik. Terus terang, tugas itu teramat berat, tetapi menantang,” tuturnya. Ia menambahkan bahwa tugas itu diterimanya “penuh harapan dan kegembiraan”.
Memang tugas De Mello membawa Timtim menuju pintu gerbang kemerdekaannya sangat berat. Tokoh Timtim yang dulu menyanjung-nyanjung PBB mulai berbalik menyerang badan dunia itu. Mario Viegas Carrascalao, mantan Gubernur Indonesia di Timtim, secara terang-terangan menuduh PBB menerapkan kolonialisme baru di Timtim. PBB, khususnya De Mello, dianggap tuan baru di Timtim setelelah Portugal dan Indonesia.
Tak jarang kantor PBB di Timtim, tempat De Mello bertugas, menjadi ajang tempat berdemonstrasi. Pada 4 Januari 2000, misalnya, sekitar 300 pengunjuk rasa berdemo untuk mendesak badan dunia itu menyediakan lapangan kerja, menurunkan harga barang yang membumbung dan menyalurkan bantuan ke seluruh Timtim.
“Kami perlu makan dan obat-obatan, bukan hotel dan diskotik,” teriak para pengunjuk rasa.
Namun De Mello tetap saja sabar menghadapi aksi unjuk rasa itu. “Ini suatu unjuk rasa frustasi rakyat Timtim. Memang banyak masalah di Timtim, terutama pengangguran,” katanya.
Ia menjelaskan kepada para pengunjuk rasa bahwa pihaknya akan menyalurkan US$520 juta dari negara donor untuk program padat karya dan mengatasi pengangguran. Banyaknya pengangguran itu membuat tingkat kriminalitas di Timtim menjadi-jadi. Kasus pembunuhan, perkosaan, dan perampokan meningkat sejak puluhan ribu pengungsi kembali ke Dili setelah Indonesia mundur dari wilayah itu.
Tetapi tugas yang berat dan jabatan yang “keras” tidak membuat De Mello berpaling. Ia berhasil mengantarkan rakyat Timtim sampai kepada kemerdekaannya pada 20 Mei 2002. Baru setelah Timtim merdeka dan Xanana Gusmao diangkat jadi presiden, De Mello kembali ke markasnya di New York. Pada akhir tahun 2002, ia mengambil alih posisi Mary Robinson sebagai Kepala Komisi Hak Asasi Manusia PBB, sebuah jabatan yang juga tak kalah keras dan sulitnya.
Saat perang Irak selesai dan rejim Saddam Hussein berhasil digulingkan, De Mello memimpin misi PBB di negeri Seribu Satu Malam itu. Tugasnya di Irak sebagai Ketua Markas Besar PBB di Baghdad juga luar biasa sulitnya karena ia harus terus “berkompromi” untuk melaksanakan peran PBB di Irak.
Ia harus berhadapan langsung dengan kekuasaan pasukan AS yang membentuk pemerintahan militer sementara di Irak. PBB yang sebelumnya menentang serangan AS ke Irak, kurang diberi peran besar sebagaimana ketika mereparasi kerusakan di Timtim. De Mello juga harus berhadapan dengan pihak-pihak di dalam negeri Irak yang tidak suka dengan kehadiran badan dunia itu di Baghdad. Tetapi hasil penyelidikan dan waktu akan membuktikan apakah serangan bom bunuh diri atas Markas PBB di Irak itu dilakukan oleh kelompok ini atau kelompok lain yang sengaja membuat sabotase demi mendiskreditkan bahwa pasukan AS tidak bisa mengamankan Irak pasca perang.
Jumat, 04 Januari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar