Jumat, 04 Januari 2008

MAAF ADALAH KATA PALING SULIT DIUCAPKAN WARTAWAN

Oleh Akhmad Kusaeni

Tingkat kebebasan pers di Indonesia naik turun sesuai dengan iklim politik. Pada masa pemerintahan Soeharto, kebebasan pers dinilai sangat buruk. Tiga penerbitan dibreidel bulan Juni 1994, yaitu Tempo, Detik dan Editor. Wartawan diintimidasi, bahkan dibunuh seperti pada kasus Udin di Yogyakarta. Rejim Soeharto membungkam wartawan sebab Orde Baru menganggap kebebasan akan menghasilkan anarki, konflik dan ketidakstabilan.
Setelah Soeharto lengser pada Mei 1998, media di Indonesia mulai menikmati kebebasan. Undang-Undang Pers No. 40/1999 dengan tegas menyatakan bahwa “Kebebasan pers dijamin sebagai hak warganegara”. Tidak ada lagi sensor. Tidak diperlukan lagi ijin untuk menerbitkan surat kabar. Pemerintah tidak mempunyai hak untuk membreidel pers atau menutup suratkabar.
Apakah pers Indonesia lebih baik pada masa sekarang ketimbang zaman rejim Soeharto?
Ada yang mengatakan memang benar sekarang kita mempunyai kebebasan pers, tetapi masalah etika justru telah menjadi momok bagi pers Indonesia pasca Soeharto.
Ketika Soeharto lengser, hanya ada 284 penerbit pers di Indonesia. Satu tahun kemudian, muncul 1.138 peneribatan baru, 641 di antaranya tabloid. Banyak tabloid baru tersebut memfokuskan pemberitaannya pada masalah seks dan skandal serta menjual selera murahan.
Ketidakseimbangan berita, kekaburan antara fakta dan opini serta kurangnya profesionalisme wartawan menghantui pers Indonesia pasca-Soeharto. Dewan pers menyatakan kurang dari 10 persen wartawan Indonesia yang bekerja dengan integritas.
Mantan Ketua Dewan Pers Atmakusumah Astraatmadja menyebutkan lebih dari 10.000 wartawan Indonesia sekarang ini tidak terlatih dan tidak tertarik dengan masalah etika.
“Kita bebas sekarang, mengapa kita perlu etika?” kata RH Siregar, mantan Sekjen Dewan Pers, mengutip pertanyaan seorang wartawan kepadanya dalam suatu seminar.

Kudaliar
Ada yang mengatakan pers Indonesia sekarang ini seperti kuda liar yang baru keluar dari kandang. Joseph Kirschke dari Media Watch Pasific menuding pers di Indonesia seperti roda yang berputar bebas (free wheeling). Jika dibandingkan dengan Thailand, Malaysia dan Singapura, pers Indonesia jauh kebablasan.
Sejumlah praktisi media percaya bahwa etika hanya membatasi dan membelenggu kebebasan mereka. Jadi, atas nama kebebasan pers, mereka menaruh kode etik di dalam kotak besi sejarah.
“Cetak dan persetan!” kata ahli media Tjipta Lesmana menerangkan tentang situasi terakhir kebebasan pers di Indonesia. Ya, print it, and be damned!
Beberapa praktisi media berfikir bahwa mereka mempunyai kebebasan absolut untuk menulis dan memberitakan segala sesuatu yang “fit to print”. Mereka menyebarluaskan kalimat fitnah, laporan palsu, fakta menyesatkan dan opini yang berbau upaya pembunuhan karakter.
Euphoria kebebasan pers seperti itu mungkin tidak bertahan lama. Ketika pembatasan-pembatasan pemerintah tidak lagi seketat seperti selama 32 tahun rejim Soeharto, para aktivis media mengatakan kebebasan pers kini dalam bahaya.
Ada musuh baru di pintu gerbang berupa jeritan publik akan praktek jurnalistik yang buruk di media-media tertentu. Tidak semua media buruk, tentu saja. Sejumlah media mempunyai sejarah panjang dalam mempraktikan “good journalism” dan mempertahankan kredibilitas di mata pembacanya.
Tetapi, ada kecenderungan bahwa penerbitan dan wartawan sekarang ini menghadapi tantangan situasi dimana mereka bisa menjadi sasaran amuk massa dan penyerangan secara fisik serta gugatan hukum dari individual, pejabat dan pengusaha.
“Selama era Soeharto, ancaman terbesar pada pers Indonesia datang dari rejim penguasa. Sekarang datang dari sumber yang berbeda: Masyarakat,” kata ahli hukum Nono Anwar Makarim seperti dikutip media baru-baru ini.
Setidaknya ada 14 kasus pencemaran nama baik yang masuk ke pengadilan sejak tahun lalu. Satu kasus terjadi pada redaktur harian Rakyat Merdeka yang menulis sebuah artikel dengan judul kontroversial: “Megawati lebih berbahaya daripada Sumanto”. Sumanto adalah seorang kanibal yang memakan mayat.
Kasus lain terjadi pada Tempo Media Group yang menghadapi sembilan tuntutan perkara. Pengusaha Tomy Winata mengajukan tujuh diantaranya di tiga dari lima Pengadilan Negeri di Jakarta. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, misalnya, pada 16 September 2004 menjatuhkan hukuman satu tahun penjara kepada pemimpin Redaksi Majalah Tempo Bambang Harymurti.
Jaksa penuntut umum sebelumnya menuntut Bambang dengan hukuman dua tahun penjara atas berita bohong tentang Tommy Winata. Bambang menjadi wartawan pertama di Indonesia setelah era Soeharto yang dihukum penjara. Pemenjaraan terhadap wartawan memang sangat disesalkan, tetapi putusan pengadilan harus dihormati. Toh, Bambang masih punya kesempatan untuk naik banding serta kasasi untuk membuktikan diri tidak bersalah.

Pertanggungjawaban media
Gugatan hukum mengenai pencemaran nama baik, menurut para ahli, dapat menjadi alat yang sangat kuat bagi pertanggungjawaban media, karena gugatan itu bisa memaksa penerbit dan wartawan untuk tidak bertindak gegabah sehingga menyebabkan pihak yang dirugikan menempuh jalur hukum.
Berdasarkan pengalaman yang terjadi di Amerika Serikat, penerbit dan wartawan jarang yang bisa lolos dari gugatan hukum. Para juri terkenal tidak simpatik dan tidak berpihak kepada media dan wartawan. Menurut pakar hukum pers Craig Sanders, media dan wartawan yang menghadapi gugatan di pengadilan umumnya divonis kalah.
Jikapun wartawan dimenangkan, biaya selama proses pengadilan sangat besar. Berperkara di pengadilan dalam kasus gugatan pencemaran nama baik bukanlah suatu pengalaman yang menyenangkan bagi pihak-pihak yang terlibat. Penggugat jarang bersuka ria. Biaya buat pengacara bisa mencapai 50 persen dari jumlah gugatan ganti yang dimenangkan. Sedangkan proses hukum berlangsung lama dan bertele-tele, rata-rata diperlukan empat tahun untuk mencapai putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Media yang digugat juga tidak bersuka cita. Biaya untuk membela diri sangat mahal dan para wartawan terpaksa tidak bisa bekerja sebagaimana sepatutnya dalam jangka waktu lama karena harus mondar-mandir menghadiri pemeriksaan dan persidangan. Publikasi mengenai proses gugatan dan persidangan mendorong munculnya sikap negatif pembaca terhadap media yang menghadapi gugatan. Kredibilitas penerbitan rusak karena publik memahami bahwa media yang menghadapi gugatan adalah media yang melakukan praktik jurnalistik yang buruk.
Jadi, cara terbaik untuk menghindari resiko gugatan hukum adalah dengan cara melaksanakan Hak Jawab dan wartawan secara sukarela mengkoreksi kesalahan yang dibuatnya. Bilamana perlu, wartawan meminta maaf. Lebih dari itu, praktikanlah “good journalism”. Tetaplah pada koridor kode etik dalam mencari dan melaporkan kebenaran.
Kebanyakan dari penggugat tidak akan mengajukan gugatan hukum jika media dan wartawan bersedia melakukan koreksi, mencabut berita yang salah, dan tidak segan meminta maaf jika ada kesalahan. Toh, wartawan bukan malaikat. Sebagai manusia yang tidak sempurna, wartawan pasti ada salahnya, sengaja atau tidak sengaja. Tidak mesti benar selamanya.
Presiden Direktur Mobil Oil, William Tavoulareas, mengatakan kalimat berikut ini ketika ia dengan terpaksa menggugat koran The Washington Post.
“Saya tidak berupaya untuk menghancurkan pers. Saya tahu apa arti pers bebas bagi negeri ini. Gugatan ini tidak akan pernah terjadi jika mereka mengakui kesalahan mereka,” katanya.
Masalahnya, banyak wartawan enggan melakukan hal ini. Seperti judul lagu lama, memang tak mudah untuk mengatakan “Saya salah dan saya minta maaf”.
Ya, bagi wartawan “sorry seems to be the hardest word”.

(Akhmad Kusaeni adalah penerima beasiswa Konrad Adenauer Stiftung dan mahasiswa pasca sarjana bidang jurnalistik pada Ateneo de Manila University, Filipina)

Tidak ada komentar: