Kamis, 03 November 2011

Membayangkan Nabi Ibrahim menyembelih Ismail

oleh : Akhmad Kusaeni *

Akhmad Kusaeni (Dokumentasi Pribadi)
Mekkah (ANTARA News) - Musim haji tahun ini lebih dari tiga juta orang dari seluruh dunia datang ke Tanah Suci Mekkah untuk memenuhi panggilan Nabi Ibrahim. Salah satu yang disunahkan pada Idul Adha atau Idul Kurban adalah menyembelih hewan ternak seperti kambing, sapi atau unta.

Sebaliknya, menyembelih ternak malah jadi wajib hukumnya bagi jamaah haji yang melanggar larangan selama ihram. Itu sebagai "dam" atau denda. Selama melaksanakan ihram, terdapat sejumlah larangan seperti memakai pakaian berjahit, memakai parfum, atau menggigit dan memotong kuku.

Bermesraan atau berhubungan suami isteri selama ihram wajib menyembelih seekor kambing dan hajinya tidak sah. Bagi haji tamattu , juga diwajibkan menyediakan hewan kurban. Haji tamattu adalah jamaah yang melaksanakan umrah jauh sebelum mengambil hajinya.

Sebagai haji tamattu, penulis bersama jutaan umat Islam lain tidak mampu bertahan dalam pakaian ihram sekian lama. Penulis dan rombongan Amirul Haj datang ke Mekkah pada 23 Oktober 2011 dalam keadaan ihram, tawaf, sa`i, lalu langsung tahalul. Dengan begitu kami selesai menunaikan umrah dan boleh kembali memakai pakain biasa.

Kami harus menunggu sampai saat dimulainya prosesi haji tiba pada 8 Dzulhijah atau 4 Nopember 2011 untuk kembali ihram dari tempat kediaman kami di Mekkah. Baru kami berangkat haji dengan bermalam di Mina dan Musdalifah serta wukuf di Padang Arafah.

Untuk haji semacam itu kami diwajibkan menyediakan hewan kurban atau bagi yang tidak menyembelih hewan wajib berpuasa 10 hari. Tiga hari puasa dilakukan di Tanah Suci dan tujuh hari sisanya bisa di negara asal, yaitu di Indonesia. Ketimbang puasa, saya memilih mencari hewan kurban.

Maka berangkatlah saya ke pasar ternak Kaa?kia satu mobil bersama tiga rombongan Amirul Haj untuk berburu kambing qurban. Mereka adalah staf Ahli Menkominfo Henry Subiakto, Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Agama Zubaidi dan Agus Subeno, pejabat Badan Pusat Statistik. Sopir kami Idrus, asal Makassar, merangkap sebagai penerjemah.

Dari kantor Misi Haji Indonesia di kawasan Mina, perjalanan di tempuh selama 20 menit. Sejak kami menginjak kota Mekkah, Henry Subiakto yang sudah empat kali naik haji, berkali-kali mengatakan akan mengajak kami ke kawasan seluas 500 meter persegi yang dipenuhi ribuan kambing, sapi dan unta.


Bisnis menggiurkan

Bisnis hewan ternak selama musim haji, kata Henry, sangat menggiurkan. Saudagar kambing dan unta di Kaa`kia adalah warga Arab Saudi namun pengelolanya orang asing dari berbagai negara, khususnya orang-orang kulit hitam Afrika terutama asal Yaman dan Sudan.

Bayangkan ada tiga juta jemaah haji tahun ini. Separuh saja yang menyediakan hewan qurban, maka dibutuhkan 1,5 juta kambing. Ditambah dengan sekitar satu juta orang yang membayar dam karena memilih haji tamattu, maka selama dua bulan musim haji akan disembelih 2,5 juta kambing dan unta.

"Saudagar kambing di Kaa`kia panen besar kalau musim haji," kata Henry seperti layaknya pemandu wisata.

Selama dua bulan musim haji, seorang saudagar kambing bisa menjual 3.000-5.000 kambing dibanding bulan-bulan biasa. Sementara untuk unta bisa dijual sekitar 1.000 sampai 2.000 pada periode yang sama.

Begitu kami sampai di Kaa`kia, mobil belum berhenti sudah dikerubungi para pedagang, pekerja dan tukang jagal. Umumnya berkulit hitam kelam dan memakai baju seragam warna merah. Agak seram melihat mereka karena semuanya menenteng golok dan menggenggam pisau belati. Jumlah penjual dan penjagal ini sangat banyak, nyaris sebanyak kambing-kambing yang mereka tawarkan. Mereka bekerja per kelompok dan bergerombol.

Saat keluar dari mobil, satu kelompok penjagal menarik kami ke satu lapak. Padahal rencananya kami mau keliling lihat-lihat dulu. Idrus, sopir sekaligus penerjemah kami, tampak ribut dengan mereka. Karena tidak tahu bahasa Arab, kami tidak tahu apa yang mereka ributkan. Saya pikir Idrus berusaha membebaskan kami untuk digelandang ke satu lapak.

Tapi lepas dari satu kelompok penjagal, kami dikerubuti kelompok penjagal lainnya. Akhirnya Idrus menyerah. Kami masuk ke satu lapak dan dipertemukan dengan orang Arab yang kamis pastikan adalah pemilik lapak atau saudagar kambingnya. Macam-macam jenis kambing di lapak tersebut. Ada kambing kacang yang kecil-kecil, kambing gunung yang janggutnya keren, biri-biri yang bulunya kribo, dan domba Australia yang tanduknya panjang.

Harga kambing bervariasi antara 300 sampai 1.000 riyal. Untuk unta harganya antara 3000 sampai 4.000 riyal. Kalau dirupiahkan, hitung sendiri. Matematika saya jeblog. Satu riyal kalau dikurs kira-kira Rp2.400.

"Yang ini 400 riyal, haji. Murah. Murah...," kata Jaafar bin Abdul Wahab, si saudagar kambing.

Tawar menawar terjadi. Akhirnya Jaafar memberi harga pamungkas. Kalau dia yang pilihkan, harganya 350 riyal. Tapi kalau kami yang pilih, harganya 370 riyal. Karena mau yang bagus, besar dan jantan, kami pilih sendiri. Kami menunjuk kambing yang kami pilih di kandang, anak buah Jaafar menarik si kambing dan mengangkat satu kaki belakang untuk memperlihatkan torpedo si kambing.

"Ini kambing jantan. Halal," kata anak buah Jaafar.

Untuk hewan qurban, kambing jantan lebih diutamakan ketimbang yang betina. Makanya menunjukan alat kelamin si kambing merupakan atraksi menarik di Kaa`kia yang baunya minta ampun meski kami semua mengenakan masker penutup mulut dan hidung.


Digiring ke tempat penyembelihan

Setelah transaksi jual beli selesai kami pergi ke rumah potong hewan yang berada di bagian samping pasar. Kami berjalan kaki mengikuti si penjagal yang menggiring kambing dengan memegang kepalanya. Kami lihat kambing-kambing itu manut saja digiring ke tempat penyembelihan. Kalau saja dia tahu mau dibantai, pastinya sudah berontak atau kabur lintang pukang.

Usai membayar biaya potong sebesar 20 riyal per kambing, si tukang jagal mencabut goloknya yang tajam. Satu persatu kambing disembelih dengan menyebut nama siapa yang membayar dam atau siapa yang berkurban.

Menyaksikan bagaimana si penjagal memotong hewan ternak tersebut, saya tiba-tiba teringat bagaimana Nabi Ibrahim menyembelih anaknya, Ismail, yang menjadi cikal bakal ibadah qurban. Saya pernah membaca buku "Hajj" karangan Dr Ali Shariati. Cendikiawan Mmuslim asal Iran itu secara dramatis menggambarkan proses penyembelihan itu. Berikut saya kutipkan:

"Ibrahim berserah diri kepada Allah. Ia semakin gentar. Keputusan telah diambilnya. Ia pun bangkit. Diambilnya sebuah pisau dan dengan sebuah batu pisau itu diasahnya. Sanggupkah ia melakukan hal itu kepada puteranya yang sedemikian dicintainya itu?"

"Ismail, manusia gagah berani yang menerima kehendak Allah, tetapi tenang dan tidak berkata apa-apa. Seolah tak satupun yang akan terjadi."

"Kemudian Ibrahim membawa remaja itu ke tempat pengorbanan, menyuruhnya berbaring di tanah, menginjak kaki dan tangannya, dan menjambak rambutnya, mendongakkan kepalanya agar urat-urat nadi di lehernya terlihat".

"Dengan nama Allah, Ibrahim menaruh pisau di tenggorokan puteranya. Ia ingin menyembelih Ismail secepat mungkin. Lelaki tua itu ingin menyelesaikan kewajibannya itu dalam seketika. Tetapi apakah yang terjadi? Pisaunya tidak dapat melukai Ismail."

"Ismail mengaduh: "Sakit sekali. Engkau menyiksaku!"

"Dengan berang Ibrahim mencampakkan pisaunya dan seperti seekor singa yang terluka ia meraung: "Apakah aku bukan ayahnya? Apakah aku bukan ayahnya?"

Segera pisau itu dipungutnya kembali dan sekali lagi ia mencoba menyembelih Ismail. Kali ini Ismail tetap tenang. Bahkan bergerak pun tidak. Tetapi sebelum pisau itu menyentuh dirinya, tiba-tiba muncullah seekor kambing yang disertai seruan Allah:

"Wahai Ibrahim! Sesungguhnya Allah tidak menghendaki agar engkau mengorbankan Ismail. Inilah seekor kambing sebagai tebusannya. Engkau telah melaksanakan perintah! Sesungguhnya Allah Maha Besar!".


Tertunduk dan diam

Penulis tertunduk dan terdiam ketika kambing atas nama Akhmad Kusaeni, nama saya sendiri, dibawa si penjagal Afrika berbaju merah itu ke tempat pengorbanan, membaringkan hewan ternak itu di lantai bertegel putih. Lalu si penjagal menginjak kaki dan tangannya, dan menjambak tanduknya. Kemudian mendongakkan kepalanya agar urat-urat nadi di lehernya terlihat.

Dengan nama Allah, si penjagal dari Kaa`kia menaruh pisau di tenggorokan kambing yang terbaring pasrah. Si penjagal berusaha menyembelih si kambing secepat mungkin. Lelaki Afrika mirip algojo itu tampak ingin menyelesaikan kewajibannya itu dalam seketika. Dan sreetttttt.....darah memuncrat. Lantai bersimbah darah.

Si penjagal mengangkat pisaunya. Membersihkan pisau tajam itu dari ceceran darah dengan air dari selang. Memasukkan pisau kebanggannya itu ke dalam sarungnya di pinggang. Ia menyalami saya.

"Khalas...(sudah)? katanya tersenyum memperlihatkan gigi putihnya dari wajahnya yang legam.

(*Akhmad Kusaeni adalah Wakil Pemimpin Redaksi Antara)

Tidak ada komentar: