Senin, 07 November 2011

Mabit di Mina: korbankan Ismailmu

Oleh : Kusaeni*

Jamaah haji bermalam (mabit) di Mina, Arab Saudi, Senin (7/11) dini hari. Mabit di Mina merupakan wajib haji yang dilakukan pada tanggal 11,12,13 Dzulhijah. (FOTO ANTARA/Prasetyo Utomo/11)
Mina (ANTARA News) - Selama dua atau tiga malam jamaah haji harus melaksanakan mabit atau bermalam di Mina, sebuah padang dan bukit batu antara Masjidil Haram dan Muzdalifah.

Sebanyak tiga juta jamaah dari seluruh dunia berkemah di Mina yang lokasinya dekat tempat melempar jumrah atau melempar setan.

Saat mabit di malam pertama pada Minggu 10 Dzulhijah bertepatan dengan 6 Nopember 2011 saya tiduran di tanah bersama para "mabiter" dari Pakistan, Afghanistan dan Aran Saudi di sekeliling tenda.

Hanya beralaskan sajadah saya menatap ke langit dan tafakur. Bulan yang hampir penuh bulatannya tampak bersinar terang di langit. Tidak ada awan yang menggumpal atau berarak.

Suasana Mina malam itu begitu dipadati jemaah. Agus Subeno, kawan saya dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang sedang mensurvei kepuasan pelayanan haji, mengatakan suasana seperti pasar malam, hingar bingar, meskipun tidak kehilangan aspek relijiusitasnya.

Polisi sesekali dengan mobil dan speakernya yang keras mengusir jemaah yang duduk atau tiduran dekat lokasi melempar jumrah.

Tapi para jemaah tetap saja enggan pergi dari lokasi jumrah. Kalaupun terpaksa pergi karena diusir polisi, mereka hanya melengos atau beringsut. Begitu mobil patroli lewat dan polisi pergi, mereka kembali ke tempat semula.

Para mabiter itu yakin kalau bermalam di sekitar tempat melempar jumrah itu yang paling afdol sesuai dengan sunah nabi Muhammad SAW dan riwayat nabi Ibrahim.

Mereka beranggapan yang namanya Mina adalah hanya padang di sekitar jumrah saja sehingga hanya di lokasi itu lah mabit yang sah.

Mereka bertahan untuk berada di sekitar jumrah meskipun tidak mendapatkan kapling atau tenda-tenda yang tersedia untuk mereka di tempat lain.

Akibatnya, jalur pejalan kaki antara Mekkah dan Mina juga dipenuhi jemaah. Mereka menggelar tikar di jalan-jalan, termasuk jalan di depan kantor Misi Haji Indonesia.

Selama ritual mabit, praktis kantor ditutup. Mobil-mobil tidak bisa keluar. Bahkan Menteri Agama Suryadharma Ali harus berjalan kaki untuk sampai ke tenda-tenda tempat bermalamnya jemaah haji Indonesia.

Sampah berserakan di jalan. Orang-orang tidur dan duduk sembarangan. Bau sampah dan air kotoran WC yang bocor campur aduk.

Tapi semerbak bau itu tidak membuat jemaah beringsut untuk berada di sekitar lempar jumrah. Mereka yang tidak mendapat tempat, naik ke tebing dan gunung-gunung batu yang curam dan terjal. Mereka membangun tenda di ketinggian 200 sampai 300 meter.

"Yang penting masih menghadap ke tempat melempar jumrah," kata Burhanuddin Zanzalani, jemaah berjanggut dan bersurban asal Afghanistan.

Ia baru saja turun dari tangkringannya di puncak bukit untuk mengambil air zamzam. Oleh karena negerinya secara geografis lebih bergunung dan berbukit terjal, Zanzalani enteng-enteng saja naik turun bukit di Mina.


Mengapa dilakukan?

Yang membuat saya heran dan terkagum-kagum mengapa para jemaah haji melakukan semua ini? Tumplek blek di Mina yang gersang, yang siang hari teriknya minta ampun dan malam hari dinginnya "bujubuneng". Mengapa mereka begitu antusias melaksanakan ritual ibadah yang beresiko terhadap fisik dan kesehatan tersebut?

Ajaran agama apakah yang membuat tiga juta jemaah haji itu mau berada di Mina dan melewatkan malam yang dingin di padang tandus dan berbukit batu tersebut?

Selidik punya selidik, ternyata Mina adalah tempat Nabi Ibrahim berdialog dengan puteranya Ismail pada detik-detik terakhir menjelang eksekusi penyembelihan Ismail yang belakangan diganti dengan domba.

Menurut Wakil Amirul Haj KH Abdul Mu`ti peristiwa bersejarah yang terjadi di Mina tersebut menjadi cikal bakal ibadah dan hari raya Idul Qurban.

Dr. Ali Shariati dengan dramatis menggambarkan dialog Nabi Ibrahim dan Ismail di lembah Mina yang sepi dalam bukunya "Hajj" yang best-seller di seluruh dunia.

Ibrahim, si ayah, dengan rambut dan janggut yang putih, sudah berusia satu abad, sedang Ismail, puteranya, baru menanjak remaja. Ketika ayah berbicara kepada anaknya itu, menurut Shariati, langit yang mengatapi Jazirah Arab tak tega menyaksikan peristiwa itu.

Mula-mula Ibrahim tidak kuasa membuka mulutnya untuk mengatakan kepada puteranya: "Aku hendak mengorbankan engkau ya Ismail dengan tanganku sendiri". Apalagi setan terus menggoda dan membuatnya bimbang.

Sumber keraguan Ibrahim adalah kecintaannya kepada Ismail. Si ayah yang malang dan tua ini telah sedemikian lamanya mendambakan kehadiran seorang putera.

Inilah tragedi yang sangat mengerikan. Inilah pengalaman yang sangat menyedihkan. Ibrahim harus melaksakan perintah Allah sementara setan terus menggoda dan membuatnya bimbang: Pilih Allah atau Ismail?

Setan adalah musuh manusia. Dimana saja terlihat dan siapa saja yang memperlihatkan tanda-tanda ketakutan, kelemahan, keragu-raguan, keputusasaan, kebodohan, bahkan cinta, maka di situlah setan tampil untuk melancarkan tipu dayanya yang jahat.

Setan membuat manusia, termasuk sekaliber Nabi Ibrahim sekalipun, terlengah dari kewajiban-kewajiban sehingga kebenaran perintah Allah kalau bisa tidak dipatuhi dan dilaksanakan.

"Kecintaanmu terhadap anakmu merupakan sebuah cara menguji engkau...," begitu firman Allah dalam Al Quran, 8:28.


Ujian bagi Ibrahim

Menurut KH Abdul Mu`ti dalam suatu diskusi dengan saya, kecintaan kepada Ismail merupakan ujian bagi Ibrahim.

Kecintaannya imi merupakan satu-satunya kelemahan Ibrahim dalam perjuangannya melawan setan. Tapi pada akhirnya, Ibrahim berhasil mengalahkan tipu daya setan yang terkutuk.

Akhirnya Ibrahim berserah diri kepada Allah dan berkata: "Ismail! Aku bermimpi! Di dalam mimpi itu engkau kukorbankan". Kata-kata ini diucapkan Ibrahim dengan sangat cepat agar tidak terdengar oleh telinganya sendiri. Setelah itu ia membisu.

Ia takut dan wajahnya pucat. Ia tidak mempunyai kekuatan untuk menatap mata Ismail. Tetapi Ismail menyadari gejolak hati Ibrahim dan berusaha menenangkan ayahnya. Ia berkata:

"Ayah, patuhilah Allah dan jangan ragu-ragu untuk melaksanakan perintah-Nya" kata Ismail.

Maka eksekusi penyembelihan Ismail pun dilakukan. Tiba-tiba muncul seekor domba sebagai pengganti karena Allah sebetulnya tidak menghendaki pengorbanan Ismail.

Allah telah menguji Ibrahim dan Ibrahim telah lulus ujian dan melaksanakan perintah Allah.

Begitulah alasan relijius mengapa jemaah harus mengingap di Mina dan melempar jumrah sebagai simbol perlawanan terhadap setan si penggoda iman.

Jemaah yang selama dua atau tiga malam mabit di Mina merenungi kembali kisah dialog sang ayah dan puteranya menjelang detik-detik pengorbanan Ismail.

Sekarang masalahnya, kata KH Abdul Mu`ti, "Siapakah Ismailmu yang harus kau korbankan?". Itulah hikmah pelajaran yang harus ditarik setiap jemaah haji yang memenuhi panggilan Allah melalui Nabi Ibrahim.

"Ismail-Ismail abad modern" banyak ragamnya. Ia bisa berupa harta, tahta, dan wanita. Ismail-Ismail masa kini adalah kecintaan kita akan semua itu yang kadang-kadang harus bertabrakan dengan perintah dan kehendak Allah.

Korbankanlah Ismailmu. Itulah pesan dari mengapa harus mabit di Mina dan melempar setan di jamarat.

(*Akhmad Kusaeni adalah Wakil Pemimpin Redaksi ANTARA)

Tidak ada komentar: