oleh : Akhmad Kusaeni*
Jakarta (ANTARA News) - Seruan Nabi Ibrahim untuk melakukan ibadah haji terjawab tahun ini. Saya akhirnya bisa berangkat ke Tanah Suci Mekkah, Sabtu, setelah dua kali gagal memenuhi seruan itu pada tahun 1997 dan 2002.
Sebagai wartawan yang selama dua tahun berturut-turut mengikuti Safari Ramadhan dan Temu Kader Ketua Umum Golkar Harmoko ke lebih 350 kabupaten di Tanah Air, saya dihadiahi tiket untuk pergi haji tahun 1997. Umur saya waktu itu 33 tahun, masih sangat muda, dan belum kepikir untuk dipanggil dan menjalani hidup selayaknya "Pak Haji".
Waktu itu saya masih semangat-semangatnya menikmati "dunia" dan belum sepenuhnya mempersiapkan soal "akhirat".
Padahal, saya masih punya ibu yang sudah tua dan belum berhaji (Ayah saya almarhum sudah berhaji beberapa tahun sebelumnya). Lalu saya datang ke Harmoko dan meminta izin agar tiket haji yang diberikan kepada saya dialihkan ke Siti Manisah, ibu saya. Harmoko yang waktu itu juga Menteri Penerangan menyatakan ok, tidak keberatan. Maka berangkatlah ibu saya ke Tanah Suci berbekal tiket hadiah untuk saya.
Seruan kedua untuk pergi ke Baitullah datang pada tahun 2002. Wakil Ketua DPR A.M.Fatwa mengundang untuk mengikuti kunjungan kerja DPR ke Amerika Serikat, Kuba dan juga ke Saudi Arabia untuk melakukan ibadah haji. Kali itu saya menyambut seruan berhaji itu dengan gegap gempita. Umur saya sudah makin tua, 38 tahun. Saya sudah lebih relijius dan mulai memikirkan persiapan "akhirat".
Saya senang karena sudah bisa menunaikan rukun Islam yang kelima itu sebelum umur 40 tahun.
Namun apa daya tangan tak sampai. Seruan Nabi Ibrahim gagal terpenuhi. Saya terdampar di Havana, Kuba, karena persoalan visa. Dari San Fransisco, Amerika Serikat, rombongan DPR memang singgah ke Havana, Kuba. Dari situ mereka kembali ke San Fransisco dalam perjalanan menuju Saudi Arabia. Celakanya, visa saya ke Amerika Serikat hanya untuk satu kali masuk (one entry), sementara A.M. Fatwa dan rombongan DPR lainnya dapat visa masuk berkali-kali (multiple entries).
Terdampar di Kuba
Maka terdamparlah saya beberapa hari di negeri Fidel Castro tersebut. Atas bantuan diplomat dari KBRI Havana saya memang bisa masuk kembali ke Amerika Serikat. Namun masa haji sudah tak terkejar. Saya hanya bisa melakukan shalat Iedul Adha di Mesjid Indonesia New York, tempat saya menjadi salah satu pengurusnya pada periode 1998-2001 saat saya menjabat Kepala Biro Antara di Markas Besar PBB.
Sementara para jemaah haji tawaf di Masjidil Haram, saya tawaf di Times Square untuk mengenang masa-masa kejayaan "my good old days in the U.S.A.". Saya berkeliling di pusat hiburan itu sambil bersenandung lagu Frank Sinatra "New York, New York" pada saat para jemaah haji keliling Kabah dan mengucapkan talbiyah "Labaik Allahuma Labaik".
Begitu juga saat jemaah haji wukuf di Padang Arafah, saya malah wukuf di kawasan pecinan, Queens. Saya pernah malang melintang di Queens dan menjadi "King of the Hill" selama sekitar tiga tahun (1998-2001) di situ. Makanya tidak heran, jika orang dapat haji mabrur, saya dapat haji kabur.
Tapi, sekali lagi, saya orang yang beruntung. Setelah kegagalan berhaji tersebut, saya berkesempatan untuk dua kali melakukan ibadah umroh saat Ramadhan pada tahun 2006 dan 2008. Dua-duanya bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pada 2006, Jusuf Kalla mengadakan kunjungan ke Amerika Serikat dan pulangnya mampir ke Mekkah untuk berumroh. Inilah untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Tanah Suci.
Subhanallah. Hati saya bergetar saat dengan mata kepala sendiri melihat Kabah yang selama ini hanya bisa saya lihat di gambar dan lukisan. Saya menangis ketika saya bisa memeluk Kabah dan tangan saya memegang kiswah, kain selimut Kabah. Konon setiap tahun kiswah itu diganti saat Kabah dicuci. Kain hitam bertuliskan huruf Arab dengan benang warna emas itu dipesan pemerintah Arab Saudi seharga sekitar Rp50 miliar.
Kabah ternyata hanya sebuah bangunan persegi dan kosong. Menurut Dr. Ali Shariati, bangunan ini terbuat dari batu-batu hitam keras yang tersusun dengan cara sangat sederhana, sedang sebagai penutup celah-celahnya dipergunakan kapur putih. Di dalam Kabah tidak ada keahlian arsitektural, keindahan, seni, atau prasasti kolosal.
Ketika berada di dekat Kabah, imajinasi-imajinasi visual saya tentang Kabah sebelumnya sangat berbeda dengan apa senyatanya yang saya saksikan. Saya pernah membayangkan Kabah itu seperti mahakarya arsitektur yang indah, dimana di dalamnya terkubur seorang tokoh manusia yang penting. Barangkali seorang pahlawan, seorang raja, jenius atau bahkan mungkin seorang nabi.
Ternyata di dalam Kabah itu tidak ada kuburan. Ternyata Kabah itu kosong belaka di dalamnya. Meminjam istilah Shariati, Kabah hanyalah sebuah tonggak penunjuk jalan. Arah dimana Muslim di seluruh dunia berpegang dalam menentukan kemana harus menghadap saat shalat. Kabah adalah arah kiblat. Itu saja.
Yang istimewa ada di sekitar Kabah adalah batu hitam yang disebut sebagai hajar aswad. Setiap muslim yang melakukan tawaf keliling Kabah selalu bermimpi dan berusaha untuk bisa mencium batu hitam itu. Ratusan ribu orang berebut untuk mendekati hajar aswad. Tidak setiap orang bisa mencium dan meraih batu tersebut.
Mencium hajar aswad
Pada kesempatan umrah kedua bersama Jusuf Kalla tahun 2008, saya beruntung bisa mendekati dan mencium hajar aswad dengan leluasa. Maklum saya termasuk rombongan Wakil Presiden yang menjadi tamu undangan Raja Saudi.
Askar-askar menjaga dan membantu kami satu persatu mendekat dan mencium batu hitam itu. Berkahnya lagi, ada fotografer yang diperbolehkan mengabadikan momen penting bersejarah, relijius dan emosional itu. Dengan bangga saya posting foto saya mencium hajar aswad itu di facebook. Juga di blog saya akusaeni.blogspot.com. Betul-betul narsis!
Di Multazam, antara pintu Kabah dan hajar aswad, dimana Allah menjanjikan semua doa yang dipanjatkan disitu ijabah, saya berdoa agar bisa kembali ke Baitullah pada musim haji beberapa tahun ke depan. Kalau bisa, gratis ya Allah. (Inilah pikiran nakal wartawan: kalau bisa cuma-cuma, kenapa mesti bayar sendiri).
Namun, hati saya haqul yakin kalau Allah akan mengabulkan doa "agak nakal" saya. Bukankah saya berdoa di Multazam, tempat dimana semua doa akan ijabah? Termasuk doa minta naik haji gratis?
Betul saja. Doa saya makbul. Allah memberi jalan agar saya, kini dalam usia 47 tahun, bisa menjawab seruan nabi Ibrahim tersebut tanpa harus mengeluarkan biaya sendiri. Tahun ini, saya mewakili LKBN Antara untuk menjadi pengarah media Amirul Hajj, yaitu Menteri Agama Suryadharma Ali. Untuk itu saya ke Tanah Suci atas biaya dinas. Sebagai Haji Abidin (Atas Biaya Dinas), saya tetap harus bekerja. Saya bertugas membantu dan mengarahkan Media Center Haji (MCH) yang diperkuat sekitar 30 wartawan dari berbagai media.
Tidak banyak orang yang bisa menjadi pengarah media bagi Amirul Hajj. Musim haji tahun 2011 ini hanya tiga orang, yaitu Staf Ahli Menkominfo Dr. Henry Subiyakto, Kepala Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat Kementerian Agama Zubaidi, dan saya; Wakil Pemimpin Redaksi Perum LKBN Antara.
Sebagai wartawan saya wajib membuat berita dan menulis artikel selama perjalanan ibadah ini. Sepulang haji nanti, selain menjadi haji mabrur, saya juga berniat untuk membukukan berita dan artikel tersebut. Saya sudah punya judul bagus untuk buku itu. Kalau budayawan Danarto menulis buku ?Orang Jawa Naik Haji?, maka buku saya akan berjudul ?Wartawan Naik Haji?. Keren nggak?.
*(Akhmad Kusaeni adalah Wakil Pemimpin Redaksi LKBN Antara)
(A017/A011)
Minggu, 23 Oktober 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar