Oleh : Akhmad Kusaeni*
Sejumlah orang berziarah di Gua Hira, Jabal Nur, Makkah, Sabtu (7/11). Gua Hira merupakan tempat untuk pertama kalinya Nabi Muhammad SAW menerima wahyu. (FOTO ANTARA/Maha Eka Swasta)
Mekkah (ANTARA News) - Gua Hira adalah tempat yang saya masukkan ke dalam katagori "a must visit place". Saya sudah mengunjungi banyak negeri. Dalam 23 tahun karier saya sebagai wartawan, praktis saya sudah khatam mengunjungi lima benua.
Saya sudah datangi negeri-negeri yang jauh sampai ke Afrika. Bahkan kawasan Patagonia yang disebut "ujung dunia" pun sudah saya datangi. Untuk sampai ke Bariloche, Argentina, yang di peta merupakan titik terujung benua Amerika, misalnya, saya harus terbang selama 39 jam dari Jakarta.
Tapi tidak ada perjalanan yang semenantang ke Gua Hira yang terletak di Jabal Nur atau Gunung Cahaya.
Saya sudah kenal Gua Hira sejak masa kanak-kanak di kampung nun di pedalaman Lebak, Banten. Kyai guru mengaji saya dulu selalu menceritakan bagaimana Muhammad menyepi di sebuah gua batu di pinggiran kota Mekkah.
Lalu Malaikat Jibril menyampaikan wahyu pertama Tuhan kepada Muhammad yang sedang bertafakur dan menggigil di dalam gua.
"Bacalah, dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah".
"Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya."
Surat Al-Alaq ayat 1-5 dari Al-Quran itu saya hafal di luar kepala. Kisah datangnya ayat pertama itu tidak pernah saya lupakan.
Mengunjungi Gua Hira adalah obsesi masa kanak-kanak saya yang ingin tahu apa dan bagaimana tempat asal mula kenabian seorang Rasullullah bernama Muhammad itu. Dua kali saya ke Mekkah tahun 2005 dan 2008, saya hanya melihatnya dari kejauhan. Di puncak gunung sekitar 3,5 km dari Masjidil Haram itu lah Gua Hira berada.
Tapi sekarang lah saatnya. Saya punya cukup waktu sambil menunggu puncak ibadah haji pada 10 Dzulhijah atau 6 Nopember 2011. Maka saya niatkan untuk ziarah ke tempat yang saya impikan itu. Maka pada 26 Oktober 2011, sesudah shalat subuh saya bertolak menuju Jabal Nur bersama dengan Sekretaris PP Muhammadiyah KH Abdul Mu'ti, Kepala Informasi dan Humas Kementerian Agama Zubaidi dan staf ahli Menkominfo Henry Subiakto.
Medan sangat berat
Hari masih gelap ketika kami sampai pada titik awal pendakian. Medan sangat berat karena Jabal Nur merupakan gunung batu dengan ketinggian yang menjulang seperti piramid. Gua Hira terletak pada ketinggian 270 meter dengan radius 263 meter. Untuk sampai ke sana harus melewati lebih dari 600 anak tangga yang berkelok namun dengan derajat kemiringan nyaris 90 derajat.
"Kita harus berangkat pagi-pagi sekali, kalau siang sedikit saja, sudah ramai dan padat," kata Henry Subiakto yang tahun lalu pernah berkunjung ke gua yang disebut sebagai mesjid pertama umat Islam karena di gua itulah Nabi Muhammad pertama kali beribadah sesuai tata cara Islam.
Setiap hari sekitar 5000 jemaah mendaki Jabal Nur yang terjal. Pada musim haji, jumlah peziarah ke Gua Hira bisa mencapai belasan ribu orang.
Saya melihat puncak gunung dimana Gua Hira berada. Saya merasa keder dan kecut. Bisakah saya naik ke atas sana? Mampukah saya mendaki selama sekitar satu jam melewati tangga-tangga batu dimana kanan kirinya adalah lembah dan jurang?
Hati saya bergejolak antara meneruskan pendakian atau menyerah. Jiwa saya bergelut antara semangat memenuhi obsesi masa kecil saya untuk melihat Gua Hira dengan mata kepala sendiri atau saya cukup puas dengan menyaksikannya hanya dari kejauhan?
Fursotul umur
Akhirnya saya memutuskan untuk naik dengan resiko apapun yang terjadi. Saya ingat apa pesan sahabat saya, Saiful Hadi yang putera KH Idham Chalid (alm) mengenai apa yang dia selalu sebut sebagai "fursotul umur".
Fursotul umur adalah sesuatu kesempatan dalam hidup yang datang satu kali dan belum tentu bisa datang lagi. Saya sudah datang jauh-jauh, saya sudah berada di Mekkah bahkan sudah di lereng Jabal Nur. Kalau saya tidak paksakan untuk naik, belum tentu kesempatan itu datang kembali. Atau, kalaupun kesempatan itu ada, mungkin saya sudah lebih tua dan lebih lemah.
Saya melihat jemaah orang-orang tua bersemangat mendaki, mereka bahkan dibantu dengan memakai tongkat. Kakek-kakek dan ibu-ibu seumur ibu saya pada berani mendaki. Maka saya mulai langkah saya untuk menerabas undakan demi undakan. Seperempat perjalanan saya sudah loyo dan ngos-ngosan. Kyai Abdul Mu'ti memberikan botol minumannya kepada saya yang kehausan.
"Ayo minum dulu, mari saya temani istirahat sebentar," kata Wakil Amirul Haj itu.
Saya malu sebenarnya. Masak saya yang lebih muda kalah sama kyai yang tampak trengginas menapaki undak-undakan. Tapi memang saya capek banget. Setelah beristirahat sejenak, pendakian saya lanjutkan. Undak-undakannya lebih tinggi dan lebih curam. Di kiri kanan jalan sudah dipasangi besi-besi pengaman agar pendaki tidak terpeleset masuk jurang.
Kira-kira separuh perjalanan, saya sudah tidak kuat. Kali ini Henry Subiakto yang meledeki saya.
"Masak kalah dengan Siti Khadijah. Isteri nabi itu setiap hari naik turun Jabal Nur untuk mengantar makanan pada suaminya," katanya.
Saya hanya diam dan mengatur nafas yang ngos-ngosan. Keringat dingin mulai bebas mengucur di wajah dan tubuh saya.
"Siti Khadijah itu umurnya sudah 55 tahun lho. Kamu kan baru 47 tahun. Masak kalah sama wanita yang lebih tua. Ayo jalan lagi," katanya memprovokasi.
Mencintai Rasulullah
Saya masih duduk selonjorkan kaki di batu besar. Nafas saya tersengal-sengal. Lalu, Zubadi mencoba berargumentasi dengan Henry. Zubaidi mengatakan Siti Khadijah bisa enteng naik turun Gua Hira karena dia cinta sama Nabi Muhammad. Lagipula Khadijah kan orang lokal Mekkah yang biasa hidup di gunung, sementara kami adalah orang kota yang jarang berolah raga pula.
"Kalau anda cinta Rasullulah, ayo kita naik lagi. Kita harus rasakan bagaimana suanana kebatinan ketika Nabi menerima wahyu dan memulai kenabiannya," kata Henry lagi.
Akhirnya saya berusaha melangkah lagi. Satu demi satu tangga saya lewati. Hari mulai terang. Saya agak terhibur karena di sepanjang pendakian saya melihat onta, kucing, kambing gunung dan monyet-monyet yang berlarian dan loncat-loncatan dari batu ke batu. Itu cukup mengobati rasa capek saya. Apalagi para pedagang souvenir tampak mulai membuka lapaknya sehingga saya bisa sedikit terhibur melihat barang dagangan mereka.
Makin mendekati puncak, makin mendekati Gua Hira, saya makin bersemangat. Rasa capek dan lelah tiba-tiba hilang ketika saya sampai di mulut Gua Hira. Jemaah dari berbagai negara, pagi itu kebanyakan dari Pakistan, Afghanistan, Turki, dan China, tampak berjubel di depan gua. Ada yang melakukan shalat dua rakaat di atas batu.
Ada yang membaca keras-keras surat Al Alaq. Ada juga yang mengaji surat Al Rahman:
"Fabbiayi ini illa robikuma tzukadziban (Nikmat Allah apalagi yang kamu dustakan)," begitu mereka bacakan berulang-ulang. Berulang-ulang. Berulang-ulang.
Saya pun ikut komat-kamit membacakan surat yang menggetarkan jiwa tersebut. Memang benar, nikmat apalagi yang harus saya dustakan. Sementara ratusan juta muslim meninggal dunia tanpa bisa menginjakan kakinya di Jabal Nur, saya bisa datang ke Gua Hira yang bersejarah menjadi cikal bakal kenabian Rasulullah.
Subhannallah! Ternyata Gua Hira hanya seperti sebuah ceruk di gunung Jabbal Nur, dalamnya kira-kira 2,5 meter menyempit ke dalam. Lebarnya kurang dari 1,5 meter. Pintunya lebih lebar dari pada ujung di dalamnya. Tingginya kurang dari dua meter.Setiap jemaah yang masuk harus membungkuk .
Pas di depan pintu gua, terdapat tulisan Arab "Ghor Hira" dengan cat warna merah. Ada juga tulisan dua ayat pertama Surat Al-Alaq dengan cat warna hijau. Gua Hira terletak persis di samping kiri tulisan tersebut.
Di atas gua terdapat 3-5 buah batu besar yang bertumpuk saling mengikat, sehingga menjadi semacam atapnya. Ada lantai sederhana dari keramik yang dipasang pada alasnya. Tidak ada yang tampak istimewa di dalam Gua Hira. Pemerintah Saudi Arabia tidak mengistimewakan tempat-tempat semacam ini, karena takut membuat orang jadi memuja dan mengirim sesaji dan orang menjadi syirik.
Tersungkur dan bersyukur
Saya tersungkur di depan Gua Hira. Saya sujud di sebuah batu besar yang ujungnya menjulang ke jurang. Saya tengadahkan dua tangan dan berdoa. Saya beryukur bisa sampai di Gua Hira sementara 1,6 miliar kaum muslimin lain dari seluruh dunia belum tentu mendapatkan keistimewaan ini. Mereka hanya bisa mendengarkan kisah Nabi Muhammad dari para gurunya atau membacanya di kitab-kitab dan riwayat.
Saya pun jadi teringat semua yang diceritakan Ustadz Azhari, guru mengaji saya waktu kecil. Walaupun guru saya itu belum pernah ke Gua Hira, tapi bagaimana cara menceritakan kisah wahyu pertama kepada nabi itu sangat luar biasa. Terngiang-ngiang apa yang diucapkan ustadz Azhari bahwa hari itu, Senin 17 Ramadhan yang bertepatan dengan 6 Agustus 610 M, Muhammad menerima wahyu pertama.
Saat itulah Muhammad resmi dilantik sebagai Nabi dan Rasul-Nya. Saat menerima penobatan sebagai Nabi ini, usia Muhammad sekitar 40 tahun dan Siti Khadijah 55 tahun. Setelah menerima wahyu itu, Muhammad menggigil. Lalu oleh Khadijah dibawa pulang ke rumah. Khadijah kemudian menyelimuti Nabi dengan penuh kasih sayang.
Nabi menceritakan apa yang terjadi di dalam gua ketika malaikat Jibril menyampaikan wahyu yang pertama. Si pendeta membenarkan. Maka sejak saat itu, Muhammad menjadi rasul dan Islam disebarluaskan sampai akhir zaman.(A017)
(*Akhmad Kusaeni adalah Wakil Pemimpin Redaksi Antara)
Jumat, 28 Oktober 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar