Kamis, 27 Oktober 2011

Tak mudah memberi makan 201.000 jemaah haji

Mekkah (ANTARA News) - Ibadah haji adalah ibadah fisik. Artinya, salah makan bisa berabe. Apa jadinya ketika wukuf perut kena diare akibat makan makanan basi? Bayangkan kalau anda mencret-mencret di Padang Arafah di tengah tiga juta jemaah haji sementara fasilitas toilet amat terbatas?

Persoalan bagaimana memberi makan 221.000 jemaah Indonesia yang sedang melaksanakan haji di Arafah, Musdalifah dan Mina (sering disingkat sebagai Armina) menjadi perhatian serius Amirul Haj Suryadharma Ali. Menteri Agama itu ingin memastikan tidak ada jemaah haji yang kena diare pada saat ibadah puncak haji, yaitu saat bermalam di Mina dan wukuf di Arafah.

"Jangan sampai jemaah mencret dan terganggu ibadahnya. Untuk itu, selama di Armina mereka harus makan dengan cara prasmanan, bukan dalam box," katanya di Mekkah, Rabu, saat menerima laporan para petugas haji dan persiapan pelayanan puncak ibadah haji.

Meskipun sejumlah pihak, termasuk para anggota DPR, mengusulkan agar selama di Armina jemaah haji diberikan nasi kotak supaya praktis dan tidak antri, pemerintah memilih menyediakan katering makanan dengan sistim prasmanan seperti dalam hajatan atau pesta perkawinan.

Amirul Haj pun panjang lebar menjelaskan alasan dipilihnya konsumsi model hajatan ketimbang pembagian dalam kotak. Coba bayangkan bagaimana ribetnya menyediakan kotak makanan untuk 221.000 jemaah tiga kali sehari. Kapan menyiangi bahan bakunya, kapan memasaknya, masukin ke kotaknya, lalu mendistribusikannya dalam situasi transportasi lumpuh ke tenda-tenda jemaah haji.

"Ribetnya minta ampun. Belum lagi kotak-kotak makanan itu disimpan dimana? Di Armina tidak ada tempat penyimpanan. Telat dimakan sedikit saja sudah basi," katanya.

Akhirnya pemerintah memutuskan untuk prasmanan kendati jemaah harus mengantri panjang dalam suasana panas dan terik untuk mendapatkan makanan tersebut.

"Coba pilih mana: mencret atau antri panjang?" tanya Suryadharma seraya menambahkan bahwa sakit perut lebih mudharat karena nanti jemaah haji tidak bisa beribadah. Bukannya antri prasmanan, tetapi malah antri menunggu giliran masuk toilet yang terbatas jumlahnya.

Sistim prasmanan dianggap lebih baik karena makanannya masih fresh dan jemaah bisa memilih makanan yang mereka sukai. Resiko basinya bisa dikatakan nol persen.

Pengusaha katering tentu saja akan memilih kotak makanan ketimbang model hajatan. Kalau pakai kotak bisa lebih irit bahan baku dan tentunya lebih menguntungkan. Jika ada 1000 jemaah di satu maktab, maka diperlukan 1000 telor atau 1000 tempe. Tapi kalau sistim prasmanan, mereka harus menyediakan sampai 1500 telor dan 1500 tempe.

"Dengan sistim prasmanan, jemaah bisa ambil jatah lebih dari yang seharusnya," kata Suryadharma.

Ia menjelaskan bahwa problem pelaksanaan haji yang cukup krusial adalah masalah katering. Menurut Amirul Haj, katering yang sukses dan baik itu adalah tingkat distribusinya cepat dan tingkat kesehatan dari makanan itu terjamin, termasuk soal kandungan gizinya.

Untuk itu, dalam sistim prasmanan pun menunya diarahkan untuk tidak membuat perut jemaah haji berontak. Biasanya pengusaha katering tidak menyediakan sambal yang pedas dan sayur lodeh yang banyak santannya. Makanan yang terlalu banyak garamnya juga tidak dianjurkan.

"Sambal menyebabkan diare, sayur lodeh bisa bikin perut kembung, makanan asin bisa bikin darah tinggi," kata Menag.

Pertanyakan

Keputusan pemerintah untuk menggunakan sistim prasmanan saat di Armina dipertanyakan Tim Pengawas Pelaksanaan Ibadah Haji DPR. Prasmanan dianggap bertentangan dengan hasil keputusan rapat kerja Menteri Agama dengan Komisi VIII DPR RI.

Busro Suhud dari Komisi VIII DPR merasa rekomendasinya diabaikan. Pada musim haji tahun 2010, katanya, dengan sistim prasmanan banyak jemaah yang tak kebagian jatah makan, antri lama di tengah panas yang terik, dan ada jemaah usia lanjut yang jatuh sakit karena kelamaan mengantri.

Arfan Samrang, dari Fraksi PAN, dalam pertemuan dengan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) di Jeddah 22 Oktober 2011 juga tampak berang. Pemerintah dianggap tidak melaksanakan kesepakatan dengan parlemen yang katanya sudah menyetujui sistim kotak makanan.

"Koq diubah secara sepihak. Kami merasa tidak dianggap dan disepelekan?" katanya seperti dikutip dalam laporan Media Center Haji (MCH).

Meskipun wakil rakyat keberatan dengan sistim prasmanan, toh fakta di lapangan menunjukkan lain. Sebanyak 16 perusahaan katering yang mendapat kontrak dari pemerintah menyatakan tidak bisa memenuhi layanan sistim kotak makanan. Mereka mengaku kesulitan dalam packaging dan penyimpanan di maktab-maktab.

Menurut Ketua PPIH Arab Saudi Syairozy Dimyati pemerintah Arab Saudi hanya memberikan ruang tidak lebih dari 12 meter persegi untuk proses memasak, packaging, dan penyimpanan di setiap maktab. Kondisi ini tidak memungkinkan karena dalam satu maktab, penyedia layanan katering harus menyiapkan makanan untuk sekitar 3000 jemaah.

Apalagi, katanya, proses pemaketan harus dilakukan secara manual, karena otoritas haji Arab Saudi melarang perusahaan katering membawa mesin packaging yang bisa bekerja dalam waktu singkat.

Jika tetap nekad menggunakan kotak, makanan akan basi sebelum dibagikan kepada jemaah. Sebab, dibutuhkan waktu minimal empat jam hanya untuk proses packaging di setiap waktu makan. Belum lagi proses pendistribusiannya kepada ribuan jemaah.

PPIH dihadapkan pada dua pilihan: kotak atau prasmanan?

Dan untuk musim haji tahun ini, PPIH telah memutuskan untuk tetap memilih prasmanan meskipun dikritik habis-habisan oleh anggota DPR. Memang tidak mudah memberi makan 221.000 jemaah haji tiga kali sehari. Daripada kena diare dan mencret-mencret yang berakibat ibadah terganggu, lebih baik bersabar antri prasmanan di tengah terik matahari.(*)

Tidak ada komentar: