SIAPA PEDULI PANCASILA? Oleh Akhmad Kusaeni
Jakarta, 17/6 (ANTARA) – Di tengah hingar bingarnya kampanye pemilihan presiden, peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni nyaris tidak terdengar gaungnya. Meminjam istilah Prof. Azyumardi Azra, ”Pancasila nyaris absen dalam wacana, diskusi, dan kampanye politik sekarang ini”.
Ironi memang. Para Capres dan tim suksesnya lebih senang mengusung isu Neolib ketimbang Pancasila yang menjadi dasar dan fondasi bangsa. Isu Ekonomi Pancasila, misalnya, seolah tabu diangkat karena dikhawatirkan bisa menurunkan elektabilitas Capres. Kalau elite politik dan calon pemimpin bangsa saja enggan membicarakan Pancasila, apalagi masyarakatnya.
Lalu, siapa yang masih peduli Pancasila?
Ada. Salah satunya adalah As”ad Said Ali, yang kebetulan kini menjabat Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Ia adalah penulis buku ”Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa” yang diterbitkan LP3ES (2009).
As’ad mengaku sudah kagum dan bangga terhadap Pancasila sejak mengikuti kuliah mata pelajaran Pancasila di Universitas Gajah Mada tahun 1969. Yang mengajar waktu itu Profesor Notonagoro, tokoh yang dianggap pelopor pengkajian Pancasila secara ilmiah.
Namun demikian, di era reformasi, Pancasila yang dikagumi As’ad dipersoalkan oleh sejumlah anak bangsa. Saat terjadi krisis yang mengakibatkan keterpurukan di hampir semua bidang kehidupan, Pancasila dijadikan kambing hitam. Menurut mereka, hanya liberalisme dan kapitalisme yang terbukti memenangkan perang ideologi dunia bisa menyelamatkan Indonesia. Bahkan, ada salah seorang tokoh yang terang-terangan menyatakan diri “Aku seorang neoliberalis”. Sementara yang lain berani mengatakan, “tinggalkan Pancasila, ikutilah neolib.”
Sekarang ini berbicara tentang Pancasila bisa membuat sementara orang mencibir. Hal ini tidak lain karena terdapatnya disparitas dan kesenjangan antara kelima sila Pancasila dan realitas dalam kehidupan sehari-hari. Seperti dikemukakan KH. Mustofa Bisri yang memberi pengantar dalam buku setebal 340 halaman itu bahwa kehidupan berbangsa dan bermasyarakat semakin menjauh dari Pancasila.
Menurut tokoh Nahdlatul Ulama (NU) itu, kondisi di negeri berketuhanan ini sudah seperti tanpa Tuhan atau “kebanyakan tuhan”. Negeri berkemanusiaan yang adil dan beradab ini sudah seperti tidak kenal lagi dengan perikemanusiaan. Persatuan Indonesia sudah seperti dilecehkan. Rakyat seperti tidak terwakili. Keadaan sosial hanya bagi segelintir orang.
Maka orang pun bertanya, “Dimanakah kau, Pancasila? Masihkan kau ada menafasi bangsa ini?”. Pertanyaan Mustofa Bisri adalah pertanyaan kita semua sekarang ini.
Hidupkan Pancasila
Buku As’ad Said Ali adalah sumbangannya unuk “menghidupkan” kembali Pancasila. Buku yang ini tidak hanya merunut dari awal terumuskannya Pancasila hingga perjalanannya melalui Demokrasi Terpimpi-nya Bung Karno; Orde Barunya Pak Harto; sampai dengan zaman “reformasi” sekarang ini, tetapi juga mencoba meyakinkan akan pentingnya — bahkan semakin pentingnya — Pancasila dewasa ini.
Lebih jauh, penulis berusaha keras menjelaskan kembangkan pengertian Pancasila tidak hanya sebagai ideologi dan Dasar Negara, tetapi juga membahas kaitan di antara Pancasila dengan Agama, menjelas-jabarkan sila-silanya, bahkan menjelaskan secara rinci ideologi-ideologi lain yang “mengepung” Pancasila.
Pendek kata, kata Mustofa, buku ini tidak hanya mencoba mengembalikan “citra Pancasila”, tapi juga berusaha membuktikan pentingnya Pancasila bagi kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini maupun di masa akan datang.
As’ad Said Ali, yang lahir di Kudus, Jawa Tengah, pada tahun 1949 dan selama kariernya di BIN bertugas dan berkeliling ke Timur Tengah, Eropa, Amerika, Afrika dan Asia, sangat yakin bahwa Pancasila adalah anugrah Tuhan buat bangsa Indonesia. Terlepas dari pasang surutnya dalam kehidupan bangsa, Pancasila telah membuktikan diri sebagai ”common platform” yang paling cocok dan mampu bertahan sebagai falsafah dan dasar negara Indonesia.
Selama periode pascareformasi, secara tidak disadari energi Pancasila berproses sevara otomatis. Coba renungkan, berbagai macam konflik dan musibah luar biasa besar mampu diatasi. Bandingkan dengan Myanmar ketika terjadi bencana alam tsunami dan gempa bumi. Indonesia membuka diri dan menerima uluran bantuan luar negeri, sedangkan Myanmar membatasi diri karena khawatir dengan campur tangan asing yang mendompleng masuknya bantuan.
Sikap dan cara Indonesia kemudian dijadikan code of conduct yang disepakati oleh beberapa negara pada pertemuan informal “Shangrilla Dialog” di Singapura, Juni 2008. Sikap dan kebijakan Indonesia itu didasarkan pada prisip kemausiaan yang beradab, berjiwa besar, dan agamis. Padahal, saat itu, Aceh dalam konflik politik dan banyak pihak khawatir dengan dampak masuknya orang-orang luar. Justru perdamaian yang terwujud.
Saat terjadi musibah tsunami, kesetiakawanan yang melandasi terwujudnya sila “Persatuan Indonesia” dan sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab” muncul secara serempak. Bantuan kemanusiaan mengalir dari seluruh penjuru Tanah Air membantu rakyat Aceh tanpa ada yang memberi komando.
Energi Pamcasila
Energi Pancasila itulah, menurut As’ad, yang muncul dan mendorong terciptanya perdamaian di berbagai daerah konflik. Umumnya, konflik-konflik tersebut, tidak terkecuali konflik di Ambon dan Poso, ditengarai ssebagai bagian dari konflik politik yang tidak terlepas dari provokasi dan campur tangan halus pihak luar. Setelah masa puncak konflik dapat dilewati, muncul penyesalan mendalam dari kedua belah pihak.
Pengalaman pribadi As’ad tentang energi Pancasila yang mampu memotivasi perdamaian dialaminya dalam konflik Poso. Hampir dua tahun setelah perjanjian Malino II di tandatangani, interaksi di antara komunitas muslim yang berpusat di daerah pesisir Poso dengan komunitas kristen di Tentena sangat minim. Padahal perdamaian nyata terjadi kalau hubungan sehari-hari berlangsung normal.
Pada pertemuan pertama, As’ad menyaksikan sendiri tokoh kedua belah pihak, yakni Ustad Adnan Arsal dan Pendeta Damanik, saling merangkul sambil menangis. Keduanya menyatakan tidak tahu sebab-musabab kenapa sampai terjadi konflik. Akhirnya muncul kesepakatan untuk menciptakan perdamaian dan melupakan. Dengan pertemuan kedua tokoh itu, kemudian disusul pertemuan informal wakil kedua komunitas dalam jumlah besar, segenap provokasi dalam bentuk teror tidak mampu mengoyahkan perdamaian.
Kebersamaan dan penghormatan terhadap kebinekaan mendorong mereka menciptakan perdamaian. Itulah energi Pancasila yang muncul dengan sendirinya pada saat-saat kritis. Bila “tenaga dalam” itu dapat dikelola dengan benar, Indonesia tidak pelak menjadi negara besar yang disegani.
Menurut As’ad energi Pancasila itu juga menggerakkan perdamaian dalam konteks pelaksanaan otonomi khusus di Aceh dan Papua. Dewasa ini, solusi konflik di Aceh dan Papua dijadikan model oleh dunia internasional untuk mengangani konflik serupa.
As’ad sangat yakin, energi Pancasila tersebut tidak dapat dengan mudah musnah dari bangsa Indonesia. Secara tidak disadari, karena melekat dengan budaya, energi Pancasila menjadi bagian tak terpisahkan khususnya dalam semangat kebersamaan.
Rakyat kecil justru mempersalahkan para elite yang tidak mampu merumuskan langkah atau kebijakan yang sesuai dengan Pancasila secara tepat. Tidak sedikit elite nasional dan calon permimpin kehilangan jati diri sebagai anak bangsa. Berpikir pragmatis demi kepentingan sesaat, tetapi kehilangan masa depan karena tidak punya idealisme. Silau terhadap budaya materi dari luar dan melupaka keluhuran budaya spiritual bangsa sendiri.
Bukankah banyak pengalaman sejarah telah membuktikan bahwa berpegang teguh pada nilai luhur budaya sendiri merupakan sumber kekuatan. Perhatikan Jepang, China, India, dan lain-lain, yang mencapai kemajuan luar biasa. Bandingkan pula, misalnya, dengan Filipina yang larut dalam budaya luar.
Saatnya, bangsa ini menengok kembali kepada Pancasila lalu merevitalisasinya.
Rabu, 17 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar