Rabu, 10 Juni 2009

KAMPANYE HITAM DAN RACUN POLITIK

Jakarta (ANTARA News) - Kampanye hitam (black campaign) telah menjadi senjata pemusnah para tim sukses dan konsultan politik.

Menjelang masa akhir kampanye Pemilihan Presiden, senjata pemusnah itu makin sering ditembakkan dengan tujuan mengalahkan lawan dan mempengaruhi pemilih di bilik suara pada 8 Juli 2009.

Isu neolib diangkat, jilbab bagi ibu negara dipersoalkan, pengusaha yang jadi penguasa dipertanyakan, kuda seharga Rp3 miliar diramaikan, kerusuhan Mei 1998 dibuka kembali, dan masalah agama dipolitisasi.

Tim sukses "menggoreng" isu-isu negatif tersebut untuk mengangkat kandidat dan menghancurkan kandidat lain.

"Pemilihan presiden itu seperti perang nuklir: Siapa yang menyerang lebih dahulu, dialah yang menang," kata ahli politik Ken Swope.

Medan perang para kandidat itu adalah media. Pertarungan dikemas dalam berita, talkshow dan iklan politik.

Oleh karena kampanye di lapangan dan pengerahan massa terbatas, maka pertarungan antar kandidat lebih panas dan lebih seru di media, terutama di televisi. Masing-masing stasiun televisi "semuanya mengklaim diri sebagai TV Pemilu", memiliki program dan liputan khusus soal Pilpres.

Strategi ilmu perang "menyerang adalah pertahanan yang terbaik", dipraktikan. Tim sukses saling serang dan saling bantah. Capres-Cawapres saling sindir dan berbalas pantun. Media bertepuk tangan. Televisi apalagi.

Rating naik dengan berita-berita mengumbar konflik. Talkshow televisi pun diberi label "Ring Politik", seolah-olah para Capres-Cawapres diadu dalam sebuah pertandingan tinju mulut dan silat lidah. Untuk mendinginkan suasana perdebatan, musik dan lagu dimainkan.

Politik telah menjadi hiburan. Politisi berubah menjadi selebriti. Memilih Presiden dan Wapres dikemas mirip kontes Indonesian Idol. Kandidat ditampilkan bicara, menyampaikan visi misi, dikomentari, lalu pemirsa disuruh memilih siapa idolanya. Media ramai-ramai melakukan polling. Ketik-spasi-reg menjadi trend bagi media untuk mengukur dukungan dan elektabilitas Capres-Cawapres.

Dijamin dapat liputan

Roger Ailes, pengamat politik dan media dari AS, mengatakan ada tiga hal yang media selalu tertarik untuk memberitakan: gambar (pictures), kesalahan (mistakes), dan serangan (attacks).

"Jika anda membutuhkan publikasi, maka anda harus menyerang. Dijamin anda akan mendapat liputan media," kata Roger Ailes.

Ailes mengatakan, publikasi melalui pemberitaan media akan lebih efektif dampaknya ketimbang memasang iklan politik. "Anda akan mendapat 30 sampai 40 persen dampak lebih efektif dalam pemberitaan dibanding lewat iklan. Anda akan menjangkau lebih banyak pemirsa dan lebih dipercaya," katanya.

Pendapat Ailes ini diamini para tim sukses. Ada Capres-Cawapres yang sebetulnya enggan untuk melakukan kampanye negatif, tapi konsultan politiknya menasehati bahwa jika tidak melakukan serangan, maka anda akan jadi abu.

Capres lain bersemangat untuk menyerang dengan keras dan menyewa konsultan politik dan tim sukses yang galak dan berlidah api.

"Waktu kampanye tinggal beberapa minggu. Kami harus menyerang: api lawan api," kata seorang tim sukses.

No gut, no glory," kata seorang Cawapres, seolah meneguhkan bahwa jika tidak ada keberanian (menyerang), kemenangan tidak bisa diraih.

Sepanjang sejarah

Sejarah membuktikan bahwa politisi sejak zaman Romawi telah mengeksploitasi ketakutan, intimidasi dan prasangka terhadap saingan politiknya dalam upaya untuk mempertahankan kekuasaan atau sebaliknya menjatuhkan kekuasaan..

Cicero, misalnya, dikenal sebagai orator ulung, tapi banyak orang lupa bahwa dia juga seorang pelaku kampanye hitam yang hebat.

Abad pertama masehi bukan hanya merupakan perang saudara Romawi yang dipenuhi kekerasan fisik, tapi juga kekerasan retorika. Cicero adalah seorang pencerca yang sadis. Ia menuduh Cataline, lawan politiknya, berniat melakukan konspirasi menjatuhkan pemerintah.

"Pergilah anda dari Romawi. Setiap orang takut dan membencimu. Matamu penuh airmata buaya, tanganmu penuh dengan darah, tubuhmu dibalut keserakahan," begitu Cicero menghujat Cataline.

Bukan itu saja. Cicero menuding Cataline telah membunuh isterinya supaya bisa kawin lagi. Tudingan dan serangan verbal Cicero dalam setiap pidatonya membuat Cataline tidak tahan. Cateline yang mengalami demoralisasi akhirnya meninggalkan Romawi dan terbunuh dalam perang beberapa waktu kemudian.

Dari kisah Cicero tersebut maka bisa disimpulkan bahwa kampanye hitam telah menjadi racun politik sepanjang sejarah politik itu sendiri.

Membunuh demokrasi

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah kampanye hitam, saling serang dan saling menelanjangi, itu baik bagi perkembangan demokrasi?

Victor Kamber, penulis buku "Poison Politics", menjawab bahwa kampanye negatif, apalagi kampanye hitam, merusak demokrasi.

"Kampanye hitam itu seperti racun politik yang tidak sehat bagi rakyat," katanya tegas.

Di negara yang kehidupan demokrasinya sudah matang seperti Amerika Serikat sekalipun, katanya, kampanye hitam tetap terjadi.

Barack Obama, misalnya, tak luput dari kampanye hitam saat Pilpres. Musuh politiknya kerap mengaitkan masa kecil Obama dengan agenda-agenda besar politisi yang pernah sekolah di Menteng, Jakarta itu.

Masa lalu Obama di Indonesia dan Kenya menjadi sasaran empuk kampanye hitam lawan politiknya. Seolah-olah warna Indonesia pada Obama akan membahayakan kehidupan beragama di Amerika Serikat.

Begitupun kandidat Wapres Sarah Palin. Ia disorot media atas kehamilan di luar nikah yang dialami putrinya. Memang Amerika Serikat relatif bebas dalam pergaulan seks ini, tetapi kenyataannya masyarakat di sana tetap menginginkan pemimpin yang bersih, termasuk urusan keluarga tersebut.

Kehamilan di luar nikah telah menjadi senjata kampanye hitam sehingga Sarah Palin menjadi bulan-bulanan media.

Kampanye hitam, menurut Victor Kamber, telah berkontribusi terhadap sikap anti-politik dan meningkatnya jumlah golongan putih (Golput) di Amerika Serikat.

Kampanye negatif telah meracuni demokrasi dengan menelanjangi kekurangan dan kebobrokan para kandidat dan pemimpin politik.

"Bayangkan jika biro iklan Coca Cola menyerang betapa buruknya Pepsi dan Pepsi membalas betapa berbahayanya Coca Cola. Lama kelamaan, tidak ada orang yang mau minum Coca Cola atau Pepsi," tulis Kamber.

Orang dapat hidup tanpa minum minuman ringan. Tapi orang tidak akan bisa terjamin keamanan dan kesejahteraannya tanpa pemerintahan, tanpa presiden dan wakil presiden.

Kampanye hitam akan membuat bangsa ini terbelah. Ia akan menyebarkan permusuhan, fitnah, SARA, dan kebencian.

Dalam perspektif inilah, masyarakat menyambut baik pencopotan Ruhut Sitompul dari tim kampanye SBY-Boediono. Ruhut dianggap menodai etika kesantunan karena meremehkan etnis Arab. Ia juga dinilai melanggar etika dan fatsoen politik yang dijunjung tinggi oleh SBY.

Politik harus beretika. Ia tidak boleh menghalalkan segala cara. Jika kampanye didasarkan hanya pada bagaimana memenangkan Pilpres dan tidak pada landasan etika, maka akan melahirkan presiden yang oportunis, tidak jujur dan berorientasi pada kepentingan sesaat berjangka pendek.

Sebaliknya, jika kampanye didasarkan pada etika dan persaingan yang fair, maka bangsa ini akan mendapatkan presiden yang betul-betul terbaik dari yang baik. Maka, stop kampanye hitam. Katakan tidak pada poison politics ! (***)
COPYRIGHT © 2009

Tidak ada komentar: