Oleh Akhmad Kusaeni
Bangsa Indonesia akan memilih presiden dan wakil presiden pilihannya pada 8 Juli 2009. Yang penting, siapapun presiden dan wapres yang terpilih nanti, rakyat harus menang. Tidak boleh rakyat kalah.
Oleh karena ada tiga pasang Capres/Cawapres, tentu ada yang menang dan ada yang kalah. Itu wajar, karena para kandidat itu telah menyatakan siap menang dan siap kalah. Itulah indahnya demokrasi. Kalah-menang tidak menjadi alasan untuk membenci, apalagi membikin onar dan kekacauan.
Pada debat Capres putaran terakhir, moderator menanyakan apa yang akan dilakukan masing-masing kandidat jika kalah. Megawati, Capres nomor urut 1, menyatakan akan terus mengabdi kepada bangsa dan negara, terutama melayani rakyat wong cilik.
Susilo Bambang Yudhoyono, Capres nomor urut 2, menyatakan akan menyalami presiden terpilih pada kesempatan pertama. "Saya akan mengucapkan selamat dan akan mendukung penuh pemerintahannya," kata SBY yang dikenal bersikap satria.
Sedangkan Jusuf Kalla, capres nomor urut 3, berkeyakinan dialah yang akan menjadi pemenang. "Tapi kalau ternyata kalah, saya akan pulang kampung," katanya tanpa beban disambut tepuk tangan riuh rendah hadirin.
Jadi, sebenarnya tidak perlu ada kekhawatiran Pilpres akan kacau. Jika elite politik dan para Capres sudah mendeklarasikan Pemilu damai, tak perlu risau konflik pasca Pemilu di Iran akan terjadi di Tanah Air.
Pilpres 2009 merupakan pemilihan presiden secara langsung untuk kedua kalinya. Yang pertama pada tahun 2004. Pergantian kekuasaan waktu itu berlangsung mulus dan merupakan sejarah bagi Indonesia yang belum pernah mengalami pergantian kekuasaan tanpa huru-hara.
Dari presiden pertama RI Soekarno ke Soeharto terjadi revolusi berdarah yang banyak memakan korban jiwa. Dari Presiden Soeharto ke Habibie pada 1998 didahului demonstrasi mahasiswa yang berujung pada kerusuhan Mei. Dari Presiden Habibie ke Abdurahman Wahid diwarnai manuver politisi di DPR yang menolak pertanggungjawaban presiden.
Sementara Abdurahman Wahid lengser dan diganti Megawati pada Juli 2001 setelah konflik tak berkesudahan dengan parlemen.
Selama kurang dari enam tahun, Presiden berganti selama empat kali. Pemerintahan jatuh bangun dan sangat tidak stabil. Perekonomian runtuh, pembangunan stagnan, dan hiruk pikuk politik begitu ramai dan bising.
Mulai stabil
Tahun 2004 pergantian presiden mulai stabil. Masa pemerintahan Megawati (23 Juli 2001 sampai 20 Oktober 2004) ditandai dengan semakin menguatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Dalam masa pemerintahannya lah, pemilihan umum presiden secara langsung dilaksanakan dan secara umum dianggap merupakan salah satu keberhasilan proses demokratisasi di Indonesia. Meskipun, sejarah kemudian mencatat, Megawati menjadi korban dari sistem Pilpres dipilih langsung yang dibangunnya.
Ia mengalami kekalahan (40 persen - 60 persen) dalam pemilihan umum presiden 2004 tersebut dan harus menyerahkan tonggak kepresidenan kepada Susilo Bambang Yudhoyono mantan Menteri Koordinator pada masa pemerintahannya.
Pilpres langsung ini, seperti dikemukakan pengamat politik dari Universitas Indonesia Sri Budi Eko Wardhani, merupakan inovasi demokrasi Indonesia yang perlu disyukuri dimana bangsa Indonesia betul-betul bisa melaksanakan hak pilihnya secara langsung, umum, bebas, dan rahasia, serta lebih jurdil.
Oleh karena itu, bagi yang optimistis, Pilpres 2009 ini pun akan berlangsung dengan aman, damai dan lancar serta tepat waktu. Terlepas dari adanya ribut-ribut mengenai Daftar Pemilih Tetap (DPT), kampanye hitam, dan sikut menyikut antar tim sukses, tidak ada arus utama yang menghendaki Pemilu ditunda atau KPU dibekukan.
Putera terbaik
Bagi bangsa Indonesia, tiga Capres yang ada merupakan putera puteri terbaik bangsa. Ini bukan pilihan seperti makan buah simalakama dimana konsekuensinya semuanya buruk dimana bapak atau ibu yang mati. Tapi ini adalah pilihan terbaik di antara yang baik. Siapapun Capres yang menang, itu akan merupakan pilihan bersejarah bagi bangsa Indonesia.
Jika Megawati menang, misalnya, maka ini akan mengukuhkan kembali penghargaan bangsa Indonesia kepada kaum perempuan. Di negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, dimana pemimpin biasanya diutamakan dari kaum laki-laki, ternyata seorang wanita bisa menjadi Presiden.
Dalam kaitan gender dan penghargaan terhadap wanita, Indonesia jauh lebih maju dari Amerika Serikat yang sampai saat ini tidak pernah memiliki presiden atau wakil presiden dari kaum hawa.
Jika SBY terpilih lagi, ini menunjukkan bahwa rakyat puas dengan pemerintahan sekarang dan ingin stabilitas politik, pemberantasan korupsi, dan pembangunan dilanjutkan. Ini berarti legitimasi SBY makin menguat seiring tingkat kepuasan rakyat.
Sedangkan jika Jusuf Kalla yang terpilih, maka itu akan merupakan tonggak sejarah dimana mitos selama ini bahwa presiden itu harus orang Jawa tidak berlaku lagi. Presiden dipilih bukan lagi atas dasar etnis, agama dan gender, tapi atas dasar kemampuannya memimpin dan membawa rakyat ke pintu gerbang kesejahteraan, kemakmuran dan keamanan. Bahwa siapapun, dari suku apapun, bisa menjadi presiden.
Rakyatlah yang akhirnya berdaulat. Merekalah yang menentukan sendiri siapa yang akan menjadi pemimpinnya lima tahun ke depan. Kalau mereka puas dengan pemerintahan sekarang, SBY sudah pasti terpilih kembali.
Sebaliknya, kalau suasana hati dan kebatinan rakyat selama lima tahun terakhir ini kurang puas dan mereka menginginkan perubahan, tentu Megawati yang menang karena Capres ini paling giat menjanjikan perubahan.
Atau, bisa juga rakyat puas dengan pemerintahan sekarang, namun ingin percepatan kesejahteraan dan kemakmuran, maka Jusuf Kalla bisa menjadi pilihan. Capres ini memiliki slogan kampanye "Lebih cepat lebih baik".
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar