Oleh : Akhmad Kusaeni
Jakarta, 30/4 (ANTARA) - Jagat wartawan Indonesia patut berbangga. Satu insannya ditunjuk Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menjadi Duta Bangsa. Itulah Hazairin Pohan, SH. MA. Mantan wartawan harian Waspada Medan yang menjadi Duta Besar Indonesia Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Republik Polandia.
Dubes Pohan pekan-pekan ini punya hajat besar. Dia menjadi ’sahibul bait’ pameran dagang, investasi, dan pariwisata Indonesia pertama dan terbesar untuk wilayah Eropa Tengah dan Timur. Perhelatan besar itu bertajuk "1st Indonesia Expo in Central and East Europe" (1st IE-CEE) dan berlangsung 5-10 Mei 2008.
Perhelatan akbar Indonesia itu digelar di gedung pameran termegah di Polandia Expo-XXI seluas 10.000 meter persegi. Lebih dari 150 pengusaha nasional ikut serta. Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) M Lutfi, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, Menteri Perdagangan Marie Pangestu dan Menteri Perindustrian Fahmi Idris akan hadir. Selain itu, tentu saja Dubes Pohan mengundang “teman-teman wartawan”, termasuk saya.
Saat berpamitan untuk berangkat ke posnya di Warsawa tahun 2006, Dubes Pohan berjanji akan “tetap menulis dan bikin berita” untuk Antara dan Jurnal Nasional, harian dimana adiknya, Ramadhan Pohan, menjadi Pemimpin Redaksi.
Saking seringnya mengirim berita dan siaran pers, Dubes Pohan dijuluki sebagai “Koresponden Luar Biasa dan Berkuasa Penuh”. Sebuah istilah pelesetan dari jabatan terhormatnya sebagai “Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh” untuk Polandia.
“Jiwa kewartawan saya tak pernah mati,” katanya ketika pamitan.
“Kawan-kawan media sering menyebut saya wartawan diplomat, sebaliknya teman-teman Deplu menyebut saya diplomat wartawan,” lanjutnya.
Darah daging wartawan
Memang benar, darah daging diplomat kelahiran 12 Nopember 1953 itu adalah wartawan. Ia adalah anak ke-7 dari 13 anak H. Abdul Muthalib Pohan, seorang wartawan dan guru bahasa Inggris dari Pematang Siantar, Sumatera Utara. Adiknya, Ramadhan Pohan, juga wartawan di kelompok Jawa Pos sebelum menjadi Pemred di Jurnal Nasional.
Saat menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, Pohan menerbitkan suratkabar kampus ”Panta Rhei”. Ia juga pernah menjadi wartawan harian Waspada (1975-1976). Bekal dan pengalamannya sebagai wartawan itu menjadi modal utama Pohan dalam kariernya sebagai diplomat. Bersama-sama diplomat muda lain, ia mendirikan Jurnal Caraka, majalah ilmiah Departemen Luar Negeri.
Ia juga menjadi penyumbang tulisan mengenai politik luar negeri dan masalah-masalah internasional dalam berbagai publikasi. Di tengah kesibukannya berdiplomasi, ia terus menulis, menulis, dan menulis.
”Saya ini wartawan dan sebagai wartawan “they are never die, they only lose their notebook!”,” katanya berseloroh mengenai profesi jurnalis yang tidak tepat lagi disebut “kuli tinta” melainkan “kuli laptop”.
Dubes Pohan menceritakan bagaimana ia mengagumi sosok Adam Malik, pendahulunya sebagai diplomat wartawan, yang juga sama-sama berasal dari Pematang Siantar. Adam Malik mendirikan Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara pada 13 Desember 1937 sebelum menjadi Menteri Luar Negeri dan kemudian Wakil Presiden RI.
Ada kesamaan penting antara Adam Malik dan Dubes Pohan. Yakni, sama-sama merantau keluar dari Pematang Siantar untuk cita-cita hidup lebih baik dan berbakti bagi bangsa ini. Dalam memoarnya ”Mengabdi Republik”, Adam Malik semasa anak-anak adalah penjaga warung di Pematang Siantar.
Sebagai penjaga warung di pasar yang becek, Adam Malik yang berusia 12 tahun menyaksikan bagaimana penderitaan ribuan kuli di tempat kelahirannya.
”Saya sangat berhutang kepada kuli-kuli itu. Andaikata saya tidak memahami amanat penderitaan mereka, satu kenyataan yang telah mendorong saya keluar dari Pematang Siantar, maka barangkali saya akan tetap tinggal sebagai seorang penunggu warung di Pematang Siantar,” kenang Adam Malik
Melihat dunia
Bagi Adam Malik dan Dubes Pohan, menjadi wartawan berarti peluang melihat dunia. Menjadi diplomat, berarti keliling dunia. Sejak bergabung menjadi pegawai negeri di Deplu tahun 1980, praktis Dubes Pohan hatam lima benua. Ia pernah menjadi diplomat di KBRI Moskow (1986-1989) yang memungkinkannya fasih berbahasa Rusia.
”Saya mewarisi ketertarikan saya akan bahasa-bahasa asing dari ayah saya,” kata wartawan diplomat yang fasih berbagai bahasa asing itu.
Pernah juga menjadi Sekretaris I KBRI Sofia di Bulgaria (1992-1996), Minister Counsellor di Perwakilan Tetap RI di PBB New York (1998-2002), Direktur Eropa Tengah dan Timur, Ditjen Amerika dan Eropa, Deplu (2002-2006), sebelum akhirnya menjadi Dubes RI di Polandia sejak 2006.
Dubes Pohan terkenal sebagai orang kreatif yang tidak bisa diam. Sebagai wartawan diplomat, ia rajin turun ke lapangan dan ke tempat kejadian perkara. Dalam ilmu jurnalistik, katanya, setiap ada peristiwa besar terjadi, wartawan harus segera datang ke lokasi pada kesempatan pertama. Itu supaya dia bisa melaporkan peristiwa dengan cepat dan akurat.
Salah satu ilmu wartawan yang berguna bagi diplomat adalah selalu konfirmasi dan verifikasi di lapangan. Pekerjaan diplomat tidak bisa melulu diurus di belakang meja perundingan. Lobi-lobi di luar perundingan perlu di lakukan. Selalu cek dan recek.
Oleh karena itu, ia sering "road show" ke berbagai negara lainnya seperti ke Lithunia, Balairus, Rusia dan Spanyol untuk ”telling Indonesia to the world” dan ”menjual potensi Indonesia ke dunia”. Ia bertekad bisa mendatangkan lima ribu pembeli ke Indonesian Expo di Warsaw yang digagasnya bersama 26 Dubes RI di Eropa lainnya.
Itulah Hazarin Pohan. Ia mengikuti jejak wartawan diplomat lainnya yang menjadi Duta Besar seperti Sabam Siagian dari The Jakarta Post (Australia), Djafar Assegaf dari LKBN Antara/Media Indonesia (Vietnam), dan Susanto Pudjomartono dari Jakarta Post (Rusia).
”Jurnalisme telah memberi saya berbagai kebajikan, seperti bertemu Raja dan Presiden, aktor dan aktris terkenal, sopir taksi dan pedagang asongan,” kata Hazairin Pohan.
Ia mengatakan setiap orang bisa menjadi wartawan. Setiap orang bisa juga menjadi diplomat. Tapi tidak setiap orang bisa menjadi wartawan sekaligus diplomat. Dubes Pohan bersyukur, ia menggenggam dua profesi terhormat itu, wartawan sekaligus diplomat.
”Terserah anda mau panggil saya: wartawan diplomat atau diplomat wartawan,” kata Dubes Pohan sambil tertawa lebar.
Rabu, 30 April 2008
Rabu, 23 April 2008
BENARKAH DESI ANWAR BANTU PENEMBAK RAMOS HORTA?
Oleh Akhmad Kusaeni
Jakarta, 23/4(ANTARA) – Presiden Timor Leste Ramos Horta menuding wartawati Metro TV Desi Anwar membantu tokoh pemberontak Alfredo Reinaldo yang tewas dalam insiden serangan terhadap Horta di Dili, 11 Februari 2008.
Dalam keterangan pers dengan media internasional pekan lalu, Horta yang baru sembuh dari perawatan luka tembak di sebuah rumah sakit di Australia, paling tidak menyebut tiga kali nama Desi Anwar untuk memperkuat tuduhannya.
Dengarlah apa yang dikatakan Horta ketika itu.
”Tuan Alfredo Reinaldo memiliki banyak kontak di Indonesia. Ia pergi ke negeri itu dengan dokumen palsu. Siapa yang memberikan dokumen palsu itu kepadanya di Atambua? Kami tahu siapa yang melakukannya”.
Wartawan yang hadir menunggu dengan antusias kalimat berikutnya ke luar dari mulut Horta. Mereka ingin tahu apakah Presiden Timor Leste itu akan menyebut nama pihak yang membantu pemimpin kelompok tentara pembelot yang tewas dalam insiden serangan itu. Ini tentu bisa menjadi berita utama di media. Bisa jadi breaking news.
Horta lalu “feeding the beast” (istilah bagi media yang lapar terhadap berita besar) dengan menyebut siapa di belakang Alfredo .
“Pihak berwenang di Atambua memberikan dokumen palsu dengan bantuan wartawati Metro TV Desi Anwar,” ujar Horta.
Semua yang hadir di konferensi pers itu tentu kaget. Tidak menduga sama sekali. Biasanya wartawan hanya melaporkan berita. Kali ini wartawan menjadi berita. Dituding bersekongkol membantu kelompok pembunuh seorang presiden lagi!
Horta berjanji akan melakukan ”complain” ke lembaga wartawan internasional yang bermarkas di Brussel karena ”tindakan mereka nyaris membuat saya, seorang presiden yang terpilih secara demokratis, terbunuh”.
Oleh karena itu, Horta tidak akan bisa diam sampai ”kebenaran” terbuka.
”Bilamana perlu saya akan angkat masalah ini ke Dewan Keamanan PBB sebagai mana kasus pembunuhan terhadap Perdana Menteri Lebanon,” ujar Horta.
Berita tuduhan Horta bahwa wartawan Indonesia Desi Anwar terlibat dalam membantu serangan terhadap Presiden Timor Leste pun tersebar ke seluruh penjuru dunia.
Saya menelpon Desi Anwar untuk mengecek kebenaran tuduhan itu. Wartawati itu mengatakan sambil terkekeh bahwa saya bukan orang pertama yang mempertanyakan kebenaran berita tersebut. Bahwa dia sudah ditelpon banyak orang, dari dalam dan luar negeri, sebagian besar wartawan, yang ingin melakukan konfirmasi.
Desi membantah keras tuduhan Horta yang mengatakan dirinya membantu Alfredo Reinado berkunjung ke Indonesia untuk wawancara pada 23 Mei 2007.
"Ini sangat lucu dan tidak masuk akal. Sama sekali tidak benar," katanya.
Sebelumnya, Horta diberitakan menuduh wartawati Indonesia Desi Anwar, membantu pemimpin kelompok tentara pembelot yang tewas dalam insiden serangan di Dili 11 Februari lalu, Alfredo Reinado, berkunjung ke Indonesia untuk wawancara pada 23 Mei 2007.
Terhadap tudingan itu, Desi Anwar mengaku hanya bisa tertawa.
"Mudah-mudahan berita ini bukan bagian dari April Mop," katanya terkekeh.
Ia menyayangkan seorang Presiden bisa menyampaikan tudingan yang tidak didasari bukti-bukti dan data yang akurat. Ia mendoakan Horta betul-betul sehat kembali.
"Saya berdoa untuk kesembuhan Horta. Saya juga berdoa untuk masa depan negerinya," kata wartawati senior yang telah mewawancarai sejumlah tokoh seperti mantan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher, Jenderal Pervez Musharraf, dan mantan Presiden Cina Jiang Zhemin.
Bukan yang pertama
Kasus Desi Anwar bukan yang pertama. Rekan saya dari Filipina, Dana Batnag, yang menjaji koresponden kantor berita Jiji Press dari Jepang, juga mengalami nasib yang sama.
Dana, teman satu angkatan sewaktu kuliah di Ateneo de Manila University, menjadi berita pada 24 Januari 2008. Kawan-kawan di mailing list ramai saling kirim pesan.
“Kawan kita Dana Batnag kini jadi berita. Ia dituduh oleh Kepolisian Nasional Filipina (PNP) sebagai telah membantu pemimpin kudeta, sehingga dia bisa keluar dari Hotel Peninsula, Manila, yang dijadikan markas tentara pemberontak,” begitu email yang saya terima.
Dana dituding telah memberikan kartu pers kepada Kapten Nicanor Faeldon sehingga pemimpin pemberontak itu bisa meninggalkan hotel bersama-sama dengan para wartawan dan lolos dari pandangan 1.500 polisi yang menyerbu hotel tersebut.
Tentu saja Dana membantah. Ia hadir di Hotel Peninsula untuk meliput, bukan untuk membantu membebaskan pemberontak. Kamera CCTV memang merekam Dana sedang berbicara dengan Faeldon. Tapi itu sebuah wawancara. Itupun dilakukan bersama-sama tiga lusin wartawan lain.
Gambar CCTV, yang belakangan diputar oleh sejumlah stasiun televisi, tidak memperlihatkan Dana memberi Kapten Faeldon sebuah kartu pers sehingga dia bisa lolos dari pemeriksaan polisi.
“Sangat tidak masuk akal kalau saya dituduh ikut membantu pelarian Kapten Faeldon,” tegasnya.
“Saya merasa tersanjung menjadi korban fitnah pemerintah terhadap pekerja media, tapi sejatinya saya tidak melakukan semua yang dituduhkan itu,” katanya lagi.
Respon organisasi pers
Sangat menarik membandingkan kasus Dana Batnag di Filipina dengan Desi Anwar di Indonesia, terutama dalam kaitan bagaimana respon masyarakat dan tokoh media terhadap kedua kasus serupa tapi tak sama itu.
Asosiasi Koresponden Asing di Filipina (FOCAP), dimana Dana menjabat sebagai Wakil Ketua, mengeluarkan pernyataan yang mendukung wartawati tersebut.
“Kami mendesak agar aparat menghentikan fitnah terhadap media,” tulis FOCAP.
Persatuan Wartawan Nasional Filipina (NJUP), semacam PWI di Indonesia, malah dengan gamblang menyatakan “laporan yang mengkaitkan wartawan dalam pelarian Kapten Faeldon dikeluarkan oleh penyebar rumor yang pengecut”.
“Kami menantang polisi untuk membuktikan tuduhan itu. Jika tidak, hentikan fitnah terhadap media,” tulis NJUP.
Organisasi wartawan itu yakin Dana hanya dijadikan kambing hitam dari kegagalan polisi menangkap pemimpin pemberontak.
Itu di Filipina. Lain dengan di Indonesia. Hampir tidak satu tokoh media ataupun organisasi wartawan di Tanah Air yang memberikan perhatian kepada Desi Anwar. Seperti Dana Batnag, Desi dituduh membantu pemberontak. Tapi nyaris tidak ada yang membela. Desi dibiarkan sendirian membela diri. Kasihan.
Jakarta, 23/4(ANTARA) – Presiden Timor Leste Ramos Horta menuding wartawati Metro TV Desi Anwar membantu tokoh pemberontak Alfredo Reinaldo yang tewas dalam insiden serangan terhadap Horta di Dili, 11 Februari 2008.
Dalam keterangan pers dengan media internasional pekan lalu, Horta yang baru sembuh dari perawatan luka tembak di sebuah rumah sakit di Australia, paling tidak menyebut tiga kali nama Desi Anwar untuk memperkuat tuduhannya.
Dengarlah apa yang dikatakan Horta ketika itu.
”Tuan Alfredo Reinaldo memiliki banyak kontak di Indonesia. Ia pergi ke negeri itu dengan dokumen palsu. Siapa yang memberikan dokumen palsu itu kepadanya di Atambua? Kami tahu siapa yang melakukannya”.
Wartawan yang hadir menunggu dengan antusias kalimat berikutnya ke luar dari mulut Horta. Mereka ingin tahu apakah Presiden Timor Leste itu akan menyebut nama pihak yang membantu pemimpin kelompok tentara pembelot yang tewas dalam insiden serangan itu. Ini tentu bisa menjadi berita utama di media. Bisa jadi breaking news.
Horta lalu “feeding the beast” (istilah bagi media yang lapar terhadap berita besar) dengan menyebut siapa di belakang Alfredo .
“Pihak berwenang di Atambua memberikan dokumen palsu dengan bantuan wartawati Metro TV Desi Anwar,” ujar Horta.
Semua yang hadir di konferensi pers itu tentu kaget. Tidak menduga sama sekali. Biasanya wartawan hanya melaporkan berita. Kali ini wartawan menjadi berita. Dituding bersekongkol membantu kelompok pembunuh seorang presiden lagi!
Horta berjanji akan melakukan ”complain” ke lembaga wartawan internasional yang bermarkas di Brussel karena ”tindakan mereka nyaris membuat saya, seorang presiden yang terpilih secara demokratis, terbunuh”.
Oleh karena itu, Horta tidak akan bisa diam sampai ”kebenaran” terbuka.
”Bilamana perlu saya akan angkat masalah ini ke Dewan Keamanan PBB sebagai mana kasus pembunuhan terhadap Perdana Menteri Lebanon,” ujar Horta.
Berita tuduhan Horta bahwa wartawan Indonesia Desi Anwar terlibat dalam membantu serangan terhadap Presiden Timor Leste pun tersebar ke seluruh penjuru dunia.
Saya menelpon Desi Anwar untuk mengecek kebenaran tuduhan itu. Wartawati itu mengatakan sambil terkekeh bahwa saya bukan orang pertama yang mempertanyakan kebenaran berita tersebut. Bahwa dia sudah ditelpon banyak orang, dari dalam dan luar negeri, sebagian besar wartawan, yang ingin melakukan konfirmasi.
Desi membantah keras tuduhan Horta yang mengatakan dirinya membantu Alfredo Reinado berkunjung ke Indonesia untuk wawancara pada 23 Mei 2007.
"Ini sangat lucu dan tidak masuk akal. Sama sekali tidak benar," katanya.
Sebelumnya, Horta diberitakan menuduh wartawati Indonesia Desi Anwar, membantu pemimpin kelompok tentara pembelot yang tewas dalam insiden serangan di Dili 11 Februari lalu, Alfredo Reinado, berkunjung ke Indonesia untuk wawancara pada 23 Mei 2007.
Terhadap tudingan itu, Desi Anwar mengaku hanya bisa tertawa.
"Mudah-mudahan berita ini bukan bagian dari April Mop," katanya terkekeh.
Ia menyayangkan seorang Presiden bisa menyampaikan tudingan yang tidak didasari bukti-bukti dan data yang akurat. Ia mendoakan Horta betul-betul sehat kembali.
"Saya berdoa untuk kesembuhan Horta. Saya juga berdoa untuk masa depan negerinya," kata wartawati senior yang telah mewawancarai sejumlah tokoh seperti mantan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher, Jenderal Pervez Musharraf, dan mantan Presiden Cina Jiang Zhemin.
Bukan yang pertama
Kasus Desi Anwar bukan yang pertama. Rekan saya dari Filipina, Dana Batnag, yang menjaji koresponden kantor berita Jiji Press dari Jepang, juga mengalami nasib yang sama.
Dana, teman satu angkatan sewaktu kuliah di Ateneo de Manila University, menjadi berita pada 24 Januari 2008. Kawan-kawan di mailing list ramai saling kirim pesan.
“Kawan kita Dana Batnag kini jadi berita. Ia dituduh oleh Kepolisian Nasional Filipina (PNP) sebagai telah membantu pemimpin kudeta, sehingga dia bisa keluar dari Hotel Peninsula, Manila, yang dijadikan markas tentara pemberontak,” begitu email yang saya terima.
Dana dituding telah memberikan kartu pers kepada Kapten Nicanor Faeldon sehingga pemimpin pemberontak itu bisa meninggalkan hotel bersama-sama dengan para wartawan dan lolos dari pandangan 1.500 polisi yang menyerbu hotel tersebut.
Tentu saja Dana membantah. Ia hadir di Hotel Peninsula untuk meliput, bukan untuk membantu membebaskan pemberontak. Kamera CCTV memang merekam Dana sedang berbicara dengan Faeldon. Tapi itu sebuah wawancara. Itupun dilakukan bersama-sama tiga lusin wartawan lain.
Gambar CCTV, yang belakangan diputar oleh sejumlah stasiun televisi, tidak memperlihatkan Dana memberi Kapten Faeldon sebuah kartu pers sehingga dia bisa lolos dari pemeriksaan polisi.
“Sangat tidak masuk akal kalau saya dituduh ikut membantu pelarian Kapten Faeldon,” tegasnya.
“Saya merasa tersanjung menjadi korban fitnah pemerintah terhadap pekerja media, tapi sejatinya saya tidak melakukan semua yang dituduhkan itu,” katanya lagi.
Respon organisasi pers
Sangat menarik membandingkan kasus Dana Batnag di Filipina dengan Desi Anwar di Indonesia, terutama dalam kaitan bagaimana respon masyarakat dan tokoh media terhadap kedua kasus serupa tapi tak sama itu.
Asosiasi Koresponden Asing di Filipina (FOCAP), dimana Dana menjabat sebagai Wakil Ketua, mengeluarkan pernyataan yang mendukung wartawati tersebut.
“Kami mendesak agar aparat menghentikan fitnah terhadap media,” tulis FOCAP.
Persatuan Wartawan Nasional Filipina (NJUP), semacam PWI di Indonesia, malah dengan gamblang menyatakan “laporan yang mengkaitkan wartawan dalam pelarian Kapten Faeldon dikeluarkan oleh penyebar rumor yang pengecut”.
“Kami menantang polisi untuk membuktikan tuduhan itu. Jika tidak, hentikan fitnah terhadap media,” tulis NJUP.
Organisasi wartawan itu yakin Dana hanya dijadikan kambing hitam dari kegagalan polisi menangkap pemimpin pemberontak.
Itu di Filipina. Lain dengan di Indonesia. Hampir tidak satu tokoh media ataupun organisasi wartawan di Tanah Air yang memberikan perhatian kepada Desi Anwar. Seperti Dana Batnag, Desi dituduh membantu pemberontak. Tapi nyaris tidak ada yang membela. Desi dibiarkan sendirian membela diri. Kasihan.
Rabu, 16 April 2008
SELEBRITI POLITIK
Oleh Akhmad Kusaeni
Jakarta, 15/4 (ANTARA) - Kemenangan pasangan Ahmad Heryawan dan aktor Dede Yusuf dalam Pilkada Jawa Barat mengukuhkan telah datangnya suatu era baru dalam demokrasi di Indonesia; Selebriti Politik! "Celebrity Politics" mulai dikenal dalam terminologi Ilmu Politik setelah para bintang film, pemain sinetron, komedian, dan penyanyi terjun ke dunia politik, bukan sebagai penghibur panggung kampanye atau pengumpul suara. Tapi, mereka, serius mengejar kursi jabatan publik seperti anggota DPR, bupati, walikota, gubernur atau bahkan presiden.
Pengalaman di Amerika Serikat dan Filipina membuktikan bahwa film dan televisi telah menjadi pembuat raja ("kingmaker") yang memungkinkan Arnold Swarchzenegger menjadi Gubernur California dan Joseph Estrada menjadi Presiden Filipina.
Di Indonesia, selebriti politik bukan saja telah membuat lakon "Petruk Jadi Raja", tapi juga "Artis Jadi Penguasa". Sinetron Si Doel Anak Betawi telah membuat Rano Karno menjadi Wakil Bupati Tangerang.
Sementara iklan obat sakit kepala yang gencar tayang di TV telah mendorong aktor Dede Yusuf duduk di kursi Wakil Gubernur Jawa Barat.
Selamat Datang Selebriti Politik! Mengapa selebriti masuk panggung politik? Darrell West, penulis buku "Celebrity Politics", berpendapat bahwa artis dan pelawak tergiur terjun ke jabatan publik akibat perkembangan media, khususnya televisi, dan demokrasi.
Televisi menjadi medium sempurna bagi selebiriti untuk mendulang kemasyhuran dan citra diri. Sementara sistim pemilihan langsung, telah membuat selebriti yang sudah populer dan dikenal publik menjadi pilihan rakyat.
"Saat budaya berubah menuju pemujaan selebriti dan batas antara 'Hollywood' dan 'Washington' (kota dimana Gedung Putih berada) menjadi kabur, para artis menerima perhatian media yang ingar-bingar saat terjun ke dunia politik," kata West.
Mampu kumpulkan sumbangan Selebriti, setidaknya di negara maju, juga cocok untuk era politik kontemporer karena kekayaan yang mereka miliki dan kapasitas untuk mengumpulkan sumbangan politik yang tinggi.
Ongkos kampanye yang luar biasa mahal dan biaya iklan politik yang tinggi, kemampuan mengumpulkan dana politik sangat vital untuk memenangi pemilihan.
Selebriti juga diuntungkan oleh lemahnya partai politik dan citra buruk politisi konvensional. Biasanya untuk menduduki jabatan publik, orang harus berjuang dari bawah sebelum mereka dapat mengikuti pemilihan kursi jabatan publik, entah itu anggota parlemen, gubernur atau presiden.
Kini, kandidat yang berasal dari luar politisi, asal mereka tenar, bisa mengumpulkan duit sumbangan kampanye, serta mampu menarik perhatian media, dapat lompat melibat politisi dan maju jadi calon bupati atau gubernur.
Mereka tidak perlu menunggu bertahun-tahun dan merangkak di kepemimpinan partai. Bisa langsung tancap gas menuju puncak.
Dalam sistim pemilihan langsung, seperti dikemukakan oleh sutradara Garin Nugroho, popularitas calon menjadi sangat penting. Pilpres atau Pilkada ditamsilkan oleh Garin sebagai sebuah Opera Sabun. Siapa yang paling ganteng dan cantik, apalagi pandai menyanyi, akan menjadi idola yang dipuja.
Dalam pemilihan langsung, masyarakat memilih kandidat presiden, gubernur, bupati seperti ketika memilih "Indonesian Idol". Tidak heran jika peran partai menjadi lemah dan tidak berdaya. Media dan televisi telah membajak peran partai untuk mengumpul suara dan menangguk dukungan.
"Dalam situasi televisi menjadi sumber utama informasi, maka kandidat dipasarkan seperti iklan pasta gigi dan sabun. Intinya, produk yang paling sering tampil di televisi, itulah yang akan dibeli masyarakat," kata John Orman, pengamat politik di Amerika Serikat.
Satria Putih Selebriti juga diuntungkan oleh fenomena "Satria Putih" (White Knight), yaitu tokoh superhero yang gigih membasmi kejahatan dan menegakan kebenaran.
Masyarakat cenderung untuk tidak mempercayai politisi konvensional karena citra buruk mereka. Meski banyak juga yang bersih dan baik, masyarakat dibombardir kabar miring tentang ulah politisi.
Ada yang diduga menerima aliran dana Bank Indonesia. Ada yang ditangkap KPK karena terima suap. Ada pula yang dihukum karena menjadi calo anggaran.
Di era sisnisme publik terhadap politisi konvensional, pemilih melihat selebriti sebagai "Satria Putih" yang datang dari luar dunia politik yang hitam. Satria pengayom dan pelindung rakyat seperti yang mereka saksikan dalam film-film yang dibintanginya.
Warga Carmel, California, misalnya, memilih Clint Eastwood sebagai Walikota karena bintang film laga itu sering memerankan si "Dirty Harry", polisi yang malang melintang membasmi kejahatan jalanan di Amerika Serikat.
Warga California memilih Arnold Swarchzenegger sebagai Gubernur karena terobsesi dengan postur badan kekar berotot besi si "Terminator" yang membasmi kejahatan tanpa belas kasihan.
Di Tanah Air, bukan tidak mungkin warga Tangerang memilih Rano Karno sebagai Wakil Bupati karena terpesona oleh kebajikan Si Doel Anak Betawi yang selalu membela dan membantu warga. Bukan mustahil, pemilih di Jawa Barat mencoblos Dede Yusuf karena terkesan dengan iklan keperkasaan Dede membasmi kuman penyebab sakit kepala, atau kejeniusan "Jojo" dalan sinetron "Jendela Rumah Kita", yang mampu bertahan selama 4 tahun (1989-1992) di layar kaca TVRI.
Namun, menjadi masyhur dan dipuja tidak selamanya menjamin kemenangan dalam Pemilu. Marisa Haque gagal dalam Pilkada Banten. Pemain sinetron Anwar Fuadi jeblok di Konvensi Partai Golkar, sehingga harus mengubur ambisi besarnya untuk menjadi calon Presiden pada Pilpres 2004.
Jakarta, 15/4 (ANTARA) - Kemenangan pasangan Ahmad Heryawan dan aktor Dede Yusuf dalam Pilkada Jawa Barat mengukuhkan telah datangnya suatu era baru dalam demokrasi di Indonesia; Selebriti Politik! "Celebrity Politics" mulai dikenal dalam terminologi Ilmu Politik setelah para bintang film, pemain sinetron, komedian, dan penyanyi terjun ke dunia politik, bukan sebagai penghibur panggung kampanye atau pengumpul suara. Tapi, mereka, serius mengejar kursi jabatan publik seperti anggota DPR, bupati, walikota, gubernur atau bahkan presiden.
Pengalaman di Amerika Serikat dan Filipina membuktikan bahwa film dan televisi telah menjadi pembuat raja ("kingmaker") yang memungkinkan Arnold Swarchzenegger menjadi Gubernur California dan Joseph Estrada menjadi Presiden Filipina.
Di Indonesia, selebriti politik bukan saja telah membuat lakon "Petruk Jadi Raja", tapi juga "Artis Jadi Penguasa". Sinetron Si Doel Anak Betawi telah membuat Rano Karno menjadi Wakil Bupati Tangerang.
Sementara iklan obat sakit kepala yang gencar tayang di TV telah mendorong aktor Dede Yusuf duduk di kursi Wakil Gubernur Jawa Barat.
Selamat Datang Selebriti Politik! Mengapa selebriti masuk panggung politik? Darrell West, penulis buku "Celebrity Politics", berpendapat bahwa artis dan pelawak tergiur terjun ke jabatan publik akibat perkembangan media, khususnya televisi, dan demokrasi.
Televisi menjadi medium sempurna bagi selebiriti untuk mendulang kemasyhuran dan citra diri. Sementara sistim pemilihan langsung, telah membuat selebriti yang sudah populer dan dikenal publik menjadi pilihan rakyat.
"Saat budaya berubah menuju pemujaan selebriti dan batas antara 'Hollywood' dan 'Washington' (kota dimana Gedung Putih berada) menjadi kabur, para artis menerima perhatian media yang ingar-bingar saat terjun ke dunia politik," kata West.
Mampu kumpulkan sumbangan Selebriti, setidaknya di negara maju, juga cocok untuk era politik kontemporer karena kekayaan yang mereka miliki dan kapasitas untuk mengumpulkan sumbangan politik yang tinggi.
Ongkos kampanye yang luar biasa mahal dan biaya iklan politik yang tinggi, kemampuan mengumpulkan dana politik sangat vital untuk memenangi pemilihan.
Selebriti juga diuntungkan oleh lemahnya partai politik dan citra buruk politisi konvensional. Biasanya untuk menduduki jabatan publik, orang harus berjuang dari bawah sebelum mereka dapat mengikuti pemilihan kursi jabatan publik, entah itu anggota parlemen, gubernur atau presiden.
Kini, kandidat yang berasal dari luar politisi, asal mereka tenar, bisa mengumpulkan duit sumbangan kampanye, serta mampu menarik perhatian media, dapat lompat melibat politisi dan maju jadi calon bupati atau gubernur.
Mereka tidak perlu menunggu bertahun-tahun dan merangkak di kepemimpinan partai. Bisa langsung tancap gas menuju puncak.
Dalam sistim pemilihan langsung, seperti dikemukakan oleh sutradara Garin Nugroho, popularitas calon menjadi sangat penting. Pilpres atau Pilkada ditamsilkan oleh Garin sebagai sebuah Opera Sabun. Siapa yang paling ganteng dan cantik, apalagi pandai menyanyi, akan menjadi idola yang dipuja.
Dalam pemilihan langsung, masyarakat memilih kandidat presiden, gubernur, bupati seperti ketika memilih "Indonesian Idol". Tidak heran jika peran partai menjadi lemah dan tidak berdaya. Media dan televisi telah membajak peran partai untuk mengumpul suara dan menangguk dukungan.
"Dalam situasi televisi menjadi sumber utama informasi, maka kandidat dipasarkan seperti iklan pasta gigi dan sabun. Intinya, produk yang paling sering tampil di televisi, itulah yang akan dibeli masyarakat," kata John Orman, pengamat politik di Amerika Serikat.
Satria Putih Selebriti juga diuntungkan oleh fenomena "Satria Putih" (White Knight), yaitu tokoh superhero yang gigih membasmi kejahatan dan menegakan kebenaran.
Masyarakat cenderung untuk tidak mempercayai politisi konvensional karena citra buruk mereka. Meski banyak juga yang bersih dan baik, masyarakat dibombardir kabar miring tentang ulah politisi.
Ada yang diduga menerima aliran dana Bank Indonesia. Ada yang ditangkap KPK karena terima suap. Ada pula yang dihukum karena menjadi calo anggaran.
Di era sisnisme publik terhadap politisi konvensional, pemilih melihat selebriti sebagai "Satria Putih" yang datang dari luar dunia politik yang hitam. Satria pengayom dan pelindung rakyat seperti yang mereka saksikan dalam film-film yang dibintanginya.
Warga Carmel, California, misalnya, memilih Clint Eastwood sebagai Walikota karena bintang film laga itu sering memerankan si "Dirty Harry", polisi yang malang melintang membasmi kejahatan jalanan di Amerika Serikat.
Warga California memilih Arnold Swarchzenegger sebagai Gubernur karena terobsesi dengan postur badan kekar berotot besi si "Terminator" yang membasmi kejahatan tanpa belas kasihan.
Di Tanah Air, bukan tidak mungkin warga Tangerang memilih Rano Karno sebagai Wakil Bupati karena terpesona oleh kebajikan Si Doel Anak Betawi yang selalu membela dan membantu warga. Bukan mustahil, pemilih di Jawa Barat mencoblos Dede Yusuf karena terkesan dengan iklan keperkasaan Dede membasmi kuman penyebab sakit kepala, atau kejeniusan "Jojo" dalan sinetron "Jendela Rumah Kita", yang mampu bertahan selama 4 tahun (1989-1992) di layar kaca TVRI.
Namun, menjadi masyhur dan dipuja tidak selamanya menjamin kemenangan dalam Pemilu. Marisa Haque gagal dalam Pilkada Banten. Pemain sinetron Anwar Fuadi jeblok di Konvensi Partai Golkar, sehingga harus mengubur ambisi besarnya untuk menjadi calon Presiden pada Pilpres 2004.
Rabu, 02 April 2008
Fitna : Ironi Kebebasan Berekspresi
Oleh Akhmad Kusaeni
Jakarta (ANTARA News) - Fitna adalah fitnah. Dan fitnah lebih kejam dari pembunuhan!
Dalam bahasa Arab, fitna berarti kebohongan yang disebarkan dengan niat buruk: untuk menjatuhkan. Paling tidak untuk mencemarkan nama baik. Pembunuhan karakter.
Arti lain dari fitna adalah kehebohan. Kegaduhan. "Upheaval".
Fitna juga judul sebuah film pendek berdurasi 16 menit buatan politisi sayap kanan Belanda, Geert Wilders, yang ditayangkan di Internet pekan lalu.
Meminjam istilah pemerintah Belanda -- yang tidak melihat manfaat film ini kecuali hanya untuk menyinggung perasaan -- Fitna jelas telah melahirkan kehebohan.
Kegaduhan yang terjadi menyusul penayangan Fitna mulai merebak di jalan-jalan bukan saja di negeri-negeri Muslim yang terhujat karena Islam disamakan dengan kekerasan. Tapi juga di negeri-negeri non Muslim, di Eropa dan Amerika, yang merasa kebebasan bicara dan berekspresi diselewengkan untuk menghujat agama dan penganutnya.
Di Karachi, Pakistan, para pengunjuk rasa meneriakkan "Mati untuk si pembuat film".
Di Jakarta, kelompok Front Pembela Islam (FPI) berdemo di depan Kedubes Belanda dengan membawa poster besar "Geert is The Great Satan".
Mereka menuntut Belanda meminta maaf atas perilaku Wilders.
"Jika tidak, kami mengancam akan mengusir semua warga negara Belanda serta Duta Besarnya," kata Djaelani, pimpinan pengunjuk rasa.
Secara lebih formal, protes keras disuarakan.
Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad mengajak negara-negara Muslim memboikot produk Belanda.
Pemerintah Indonesia resmi melarang penayangan Fitna di media massa ataupun Internet. Penayangan film itu, menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, "hanya akan menimbulkan perpecahan di antara kita".
Organisasi Konferensi Islam (OKI), yang mewakili 57 negara berpenduduk Muslim, mengutuk Fitna sekeras-kerasnya.
Pernyataan pers OKI mengklaim film Wilders sebagai "tindakan sengaja untuk mendiskreditkan Muslim" yang bertujuan "untuk memprovokasi terjadinya keonaran dan kekacauan".
Membuat marah
Meski sebagian pengunjuk rasa maupun pemimpin dunia Muslim belum sempat menonton dengan mata kepala sendiri, yang diberitakan oleh media mengenai tayangan Fitna sungguh membuat marah.
Wilders, yang dikenal sebagai anti imigran, menayangkan Fitna di Internet setelah stasiun-stasiun televisi menolak memutarnya. Film itu menggambarkan seorang ulama mengutip ayat Al-Quran yang diselingi tampilan kekerasan.
Berusaha mengidentifikasikan Islam dengan kekerasan, film itu menggabungkan beberapa gambar video mengenai tindakan teroris mulai dari serangan 11 September, pengeboman kereta api di Spanyol, dan pembunuhan Theo van Gogh, seorang sutradara film Belanda.
Seolah-olah ayat-ayat Al-Qur'an itulah yang menjustifikasi tindakan terorisme itu.
Film diakhiri dengan seruan Wilders kepada kaum Muslimin untuk "menghapuskan ayat-ayat kekerasan dari kitab suci Al-Qur'an".
Menurut Wilders, yang juga seorang anggota parlemen Belanda, Islam dan Al-Qu'an merupakan faktor berbahaya yang merusak kebebasan di Belanda.
"Saya harus mengingatkan masyarakat mengenai bahaya ini," katanya, mengenai alasan pembuatan dan penayangan filmnya yang kontroversial.
Keruan saja pola pikir macam Wilders ini dikecam di seluruh dunia, bahkan di Belanda, negerinya sendiri. Ini sebuah ironi dari kebebasan berekspresi.
Perdana Menteri Belanda Jan-Peter Balkenende tidak setuju dengan apa yang ingin digambarkan oleh Wilders bahwa Islam identik dengan kekerasan
"Ini adalah hari paling menyedihkan dari kebebasan berbicara dan berekspresi," tulis Shabana, yang mengomentari penayangan film Fitna di situs Internet Liveleak.com.
Yang disebut paling menyedihkan oleh Shabana adalah Wilders mau melarang Al-Qur'an (di Belanda), tapi pada saat yang sama, dia menganggap sebagai pelanggaran dari kebebasan berekspresi bagi pihak-pihak yang ingin filmnya dibreidel karena menghujat Islam.
"Ini munafik dan sangat menjijikan," tulis Shabana.
Slovenia, yang sekarang menduduki jabatan Presiden Uni Eropa, dalam sebuah pernyataan mengatakan kebebasan berekspresi merupakan bagian dari nilai-nilai yang dianut bangsa Eropa.
Namun, lanjutnya, hal itu harus dilaksanakan dalam semangat menghormati kepercayaan agama lain.
Saling menghormati dan menghargai adalah nilai-nilai universal yang harus dijadikan acuan. "Kami percaya, film tersebut tidak memiliki manfaat lain kecuali menyebarkan kebencian," demikian pernyataan Uni Eropa.
Tak bebas menghujat
Kebebasan berekspresi memang merupakan bagian dari hak asasi. Tapi itu tidak berarti bebas untuk menghujat dan menghina (agama dan penganutnya).
Kebebasan beragama dan beribadah juga merupakan kebebasan yang juga dilindungi oleh Konvensi Hak Asasi Manusia.
Freedom of religion setara dengan Freedom of Speech.
Satu sama lain tidak boleh meniadakan, apalagi menistakan.
Apa yang dilakukan Komunitas Umat Beragama Indonesia (KUBI) yang mengirimkan surat protes ke pemerintah Belanda pada 13 Maret 2008 sudah tepat.
Pemutaran film itu sangat menyakiti perasaan umat Islam dan dapat menciptakan ketegangan baru bagi peradaban dunia, termasuk antara para pemeluk agama.
Menggambarkan Islam sebagai agama yang menyerukan kekerasan bukan hanya sesat dan menyesatkan, tapi juga merupakan fakta gamblang betapa orang-orang macam Wilders tidak sensitif terhadap dunia Muslim dengan 1,3 miliar pengikutnya. (*)
COPYRIGHT © 2008
Jakarta (ANTARA News) - Fitna adalah fitnah. Dan fitnah lebih kejam dari pembunuhan!
Dalam bahasa Arab, fitna berarti kebohongan yang disebarkan dengan niat buruk: untuk menjatuhkan. Paling tidak untuk mencemarkan nama baik. Pembunuhan karakter.
Arti lain dari fitna adalah kehebohan. Kegaduhan. "Upheaval".
Fitna juga judul sebuah film pendek berdurasi 16 menit buatan politisi sayap kanan Belanda, Geert Wilders, yang ditayangkan di Internet pekan lalu.
Meminjam istilah pemerintah Belanda -- yang tidak melihat manfaat film ini kecuali hanya untuk menyinggung perasaan -- Fitna jelas telah melahirkan kehebohan.
Kegaduhan yang terjadi menyusul penayangan Fitna mulai merebak di jalan-jalan bukan saja di negeri-negeri Muslim yang terhujat karena Islam disamakan dengan kekerasan. Tapi juga di negeri-negeri non Muslim, di Eropa dan Amerika, yang merasa kebebasan bicara dan berekspresi diselewengkan untuk menghujat agama dan penganutnya.
Di Karachi, Pakistan, para pengunjuk rasa meneriakkan "Mati untuk si pembuat film".
Di Jakarta, kelompok Front Pembela Islam (FPI) berdemo di depan Kedubes Belanda dengan membawa poster besar "Geert is The Great Satan".
Mereka menuntut Belanda meminta maaf atas perilaku Wilders.
"Jika tidak, kami mengancam akan mengusir semua warga negara Belanda serta Duta Besarnya," kata Djaelani, pimpinan pengunjuk rasa.
Secara lebih formal, protes keras disuarakan.
Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad mengajak negara-negara Muslim memboikot produk Belanda.
Pemerintah Indonesia resmi melarang penayangan Fitna di media massa ataupun Internet. Penayangan film itu, menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, "hanya akan menimbulkan perpecahan di antara kita".
Organisasi Konferensi Islam (OKI), yang mewakili 57 negara berpenduduk Muslim, mengutuk Fitna sekeras-kerasnya.
Pernyataan pers OKI mengklaim film Wilders sebagai "tindakan sengaja untuk mendiskreditkan Muslim" yang bertujuan "untuk memprovokasi terjadinya keonaran dan kekacauan".
Membuat marah
Meski sebagian pengunjuk rasa maupun pemimpin dunia Muslim belum sempat menonton dengan mata kepala sendiri, yang diberitakan oleh media mengenai tayangan Fitna sungguh membuat marah.
Wilders, yang dikenal sebagai anti imigran, menayangkan Fitna di Internet setelah stasiun-stasiun televisi menolak memutarnya. Film itu menggambarkan seorang ulama mengutip ayat Al-Quran yang diselingi tampilan kekerasan.
Berusaha mengidentifikasikan Islam dengan kekerasan, film itu menggabungkan beberapa gambar video mengenai tindakan teroris mulai dari serangan 11 September, pengeboman kereta api di Spanyol, dan pembunuhan Theo van Gogh, seorang sutradara film Belanda.
Seolah-olah ayat-ayat Al-Qur'an itulah yang menjustifikasi tindakan terorisme itu.
Film diakhiri dengan seruan Wilders kepada kaum Muslimin untuk "menghapuskan ayat-ayat kekerasan dari kitab suci Al-Qur'an".
Menurut Wilders, yang juga seorang anggota parlemen Belanda, Islam dan Al-Qu'an merupakan faktor berbahaya yang merusak kebebasan di Belanda.
"Saya harus mengingatkan masyarakat mengenai bahaya ini," katanya, mengenai alasan pembuatan dan penayangan filmnya yang kontroversial.
Keruan saja pola pikir macam Wilders ini dikecam di seluruh dunia, bahkan di Belanda, negerinya sendiri. Ini sebuah ironi dari kebebasan berekspresi.
Perdana Menteri Belanda Jan-Peter Balkenende tidak setuju dengan apa yang ingin digambarkan oleh Wilders bahwa Islam identik dengan kekerasan
"Ini adalah hari paling menyedihkan dari kebebasan berbicara dan berekspresi," tulis Shabana, yang mengomentari penayangan film Fitna di situs Internet Liveleak.com.
Yang disebut paling menyedihkan oleh Shabana adalah Wilders mau melarang Al-Qur'an (di Belanda), tapi pada saat yang sama, dia menganggap sebagai pelanggaran dari kebebasan berekspresi bagi pihak-pihak yang ingin filmnya dibreidel karena menghujat Islam.
"Ini munafik dan sangat menjijikan," tulis Shabana.
Slovenia, yang sekarang menduduki jabatan Presiden Uni Eropa, dalam sebuah pernyataan mengatakan kebebasan berekspresi merupakan bagian dari nilai-nilai yang dianut bangsa Eropa.
Namun, lanjutnya, hal itu harus dilaksanakan dalam semangat menghormati kepercayaan agama lain.
Saling menghormati dan menghargai adalah nilai-nilai universal yang harus dijadikan acuan. "Kami percaya, film tersebut tidak memiliki manfaat lain kecuali menyebarkan kebencian," demikian pernyataan Uni Eropa.
Tak bebas menghujat
Kebebasan berekspresi memang merupakan bagian dari hak asasi. Tapi itu tidak berarti bebas untuk menghujat dan menghina (agama dan penganutnya).
Kebebasan beragama dan beribadah juga merupakan kebebasan yang juga dilindungi oleh Konvensi Hak Asasi Manusia.
Freedom of religion setara dengan Freedom of Speech.
Satu sama lain tidak boleh meniadakan, apalagi menistakan.
Apa yang dilakukan Komunitas Umat Beragama Indonesia (KUBI) yang mengirimkan surat protes ke pemerintah Belanda pada 13 Maret 2008 sudah tepat.
Pemutaran film itu sangat menyakiti perasaan umat Islam dan dapat menciptakan ketegangan baru bagi peradaban dunia, termasuk antara para pemeluk agama.
Menggambarkan Islam sebagai agama yang menyerukan kekerasan bukan hanya sesat dan menyesatkan, tapi juga merupakan fakta gamblang betapa orang-orang macam Wilders tidak sensitif terhadap dunia Muslim dengan 1,3 miliar pengikutnya. (*)
COPYRIGHT © 2008
Langganan:
Postingan (Atom)