"Kami yakin wisata budaya Baduy memiliki nilai jual yang mendunia, seperti kehidupan komunitas suku Aborigin di Australia, suku Amish di Amerika Serikat, atau suku Incha di Manchu Pichu Peru,"
Lebak (ANTARA News) - Pemerhati sosial dari Rangkasbitung Ahmad Kusaeni mengatakan objek wisata adat masyarakat Baduy di pedalaman Kabupaten Lebak, Banten, bisa dijadikan wisata dunia karena memiliki keunikan suku terasing.
"Kami yakin wisata budaya Baduy memiliki nilai jual yang mendunia, seperti kehidupan komunitas suku Aborigin di Australia, suku Amish di Amerika Serikat, atau suku Incha di Manchu Pichu Peru," kata Ahmad saat dihubungi di Lebak, Rabu.
Khasanah budaya masyarakat Baduy cukup menarik untuk dilakukan wisata penelitian antropologi, karena kehidupan masyarakat itu hingga kini masih mempertahankan adat leluhurnya.
Untuk itu, banyak pengunjung wisata domestik dan mancanegara melakukan penelitian kehidupan masyarakat Baduy.
Masyarakat Baduy hingga kini masih mempertahankan adat istiadat dan menolak kehidupan modern.
Kawasan hutan yang dihuni masyarakat Baduy seluas 5.100 hektare tanpa jalan, jaringan listrik, televisi, radio, dan kendaraan.
Bahkan, masyarakat Baduy Dalam berpakaian putih-putih bepergian ke luar daerah harus berjalan kaki dan dilarang naik angkutan kendaraan.
"Banyak para antropolog datang ke Baduy untuk melakukan penelitian," katanya.
Menurut dia, keberadaan suku terasing itu akan menjadi objek wisata dunia sehingga memberikan nilai tambah untuk peningkatan ekonomi masyarakat juga pendapatan asli daerah (PAD).
Dengan begitu, ujarnya, pemerintah daerah harus memprogramkan wisata Baduy menjadi Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA).
Pengembangan wisata ini nantinya ditata melalui pembangunan terintegrasi dengan infrastruktur, penginapan, dan pusat perdagangan.
Apalagi, produk-produk kerajinan suku Baduy cukup unik di antaranya aneka jenis souvenir, tas koja, golok, tenun, dan gula aren.
"Saya yakin jika dibangun secara terintegrasi di kawasan Baduy dipastikan bisa menjadi objek wisata mendunia," kata mantan Direktur Pemberitaan LKBN Antara itu.
Kepala Bidang Pariwisata Dinas Pemuda, Olahraga, Budaya dan Pariwisata Kabupaten Lebak Okta mengatakan pemerintah daerah terus membangun jalan menuju objek wisata budaya Baduy dari Rangkasbitung hingga Ciboleger atau pintu gerbang masuk kawasan Baduy.
Kunjungan wisatawan domestik 2015 kemungkinan bertambah hingga mencapai 6.849 orang, sedangkan tahun sebelumnya hanya 5.380 orang.
Sedangkan, wisatawan mancanegara tercatat 158 orang berasal dari Belanda, Inggris, dan Swiss.
Sebagian besar wisman itu, katanya, untuk kepentingan konservasi maupun mempelajari budaya setempat.
Para pengunjung kawasan permukiman Baduy tidak dibebani retribusi oleh pemerintah daerah.
"Kami memberikan kemudahan bagi wisatawan yang berkunjung ke Baduy dengan tidak tidak memungut biaya," katanya.
Emuy Mulyanah, seorang Anggota DPRD Kabupaten Lebak mengatakan potensi objek wisata Baduy memiliki nilai jual hingga mendunia karena cukup menarik untuk dijadikan bahan penelitian.
Sebab, katanya, masyarakat Baduy masuk kategori suku terasing yang ada di Tanah Air.
Masyarakat Baduy bersahabat dengan alam, sehingga kawasan Baduy tidak ada penerangan listrik, elektronika, maupun jalan beraspal.
Namun, pihaknya prihatin kekayaan potensi wisata adat itu tidak didukung infrastuktur dan sarana lainnya yang memadai.
Saat ini, di kawasan wisata Baduy tidak terdapat hotel, wisma, pasar, dan pasokan air bersih.
Dengan demikian, ujar dia, hingga kini objek wisata adat Baduy relatif kecil dikunjungi wisatawan mancanegara.
"Kami yakin objek wisata itu bisa mendatangkan wisatawan mancanegara," ujar politikus PDI Perjuangan itu.
Sekretaris Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar Sarpin mengatakan selama ini rombongan pengunjung objek wisata Baduy kebanyakan dari perguruan tinggi, sekolah, peneliti, lembaga, instansi swasta, dan pemerintah, sedangkan dari kalangan keluarga relatif kecil.
"Kami yakin ke depan kunjungan wisata adat Baduy meningkat, baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan lokal," kata Sarpin.
"Kami yakin wisata budaya Baduy memiliki nilai jual yang mendunia, seperti kehidupan komunitas suku Aborigin di Australia, suku Amish di Amerika Serikat, atau suku Incha di Manchu Pichu Peru," kata Ahmad saat dihubungi di Lebak, Rabu.
Khasanah budaya masyarakat Baduy cukup menarik untuk dilakukan wisata penelitian antropologi, karena kehidupan masyarakat itu hingga kini masih mempertahankan adat leluhurnya.
Untuk itu, banyak pengunjung wisata domestik dan mancanegara melakukan penelitian kehidupan masyarakat Baduy.
Masyarakat Baduy hingga kini masih mempertahankan adat istiadat dan menolak kehidupan modern.
Kawasan hutan yang dihuni masyarakat Baduy seluas 5.100 hektare tanpa jalan, jaringan listrik, televisi, radio, dan kendaraan.
Bahkan, masyarakat Baduy Dalam berpakaian putih-putih bepergian ke luar daerah harus berjalan kaki dan dilarang naik angkutan kendaraan.
"Banyak para antropolog datang ke Baduy untuk melakukan penelitian," katanya.
Menurut dia, keberadaan suku terasing itu akan menjadi objek wisata dunia sehingga memberikan nilai tambah untuk peningkatan ekonomi masyarakat juga pendapatan asli daerah (PAD).
Dengan begitu, ujarnya, pemerintah daerah harus memprogramkan wisata Baduy menjadi Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA).
Pengembangan wisata ini nantinya ditata melalui pembangunan terintegrasi dengan infrastruktur, penginapan, dan pusat perdagangan.
Apalagi, produk-produk kerajinan suku Baduy cukup unik di antaranya aneka jenis souvenir, tas koja, golok, tenun, dan gula aren.
"Saya yakin jika dibangun secara terintegrasi di kawasan Baduy dipastikan bisa menjadi objek wisata mendunia," kata mantan Direktur Pemberitaan LKBN Antara itu.
Kepala Bidang Pariwisata Dinas Pemuda, Olahraga, Budaya dan Pariwisata Kabupaten Lebak Okta mengatakan pemerintah daerah terus membangun jalan menuju objek wisata budaya Baduy dari Rangkasbitung hingga Ciboleger atau pintu gerbang masuk kawasan Baduy.
Kunjungan wisatawan domestik 2015 kemungkinan bertambah hingga mencapai 6.849 orang, sedangkan tahun sebelumnya hanya 5.380 orang.
Sedangkan, wisatawan mancanegara tercatat 158 orang berasal dari Belanda, Inggris, dan Swiss.
Sebagian besar wisman itu, katanya, untuk kepentingan konservasi maupun mempelajari budaya setempat.
Para pengunjung kawasan permukiman Baduy tidak dibebani retribusi oleh pemerintah daerah.
"Kami memberikan kemudahan bagi wisatawan yang berkunjung ke Baduy dengan tidak tidak memungut biaya," katanya.
Emuy Mulyanah, seorang Anggota DPRD Kabupaten Lebak mengatakan potensi objek wisata Baduy memiliki nilai jual hingga mendunia karena cukup menarik untuk dijadikan bahan penelitian.
Sebab, katanya, masyarakat Baduy masuk kategori suku terasing yang ada di Tanah Air.
Masyarakat Baduy bersahabat dengan alam, sehingga kawasan Baduy tidak ada penerangan listrik, elektronika, maupun jalan beraspal.
Namun, pihaknya prihatin kekayaan potensi wisata adat itu tidak didukung infrastuktur dan sarana lainnya yang memadai.
Saat ini, di kawasan wisata Baduy tidak terdapat hotel, wisma, pasar, dan pasokan air bersih.
Dengan demikian, ujar dia, hingga kini objek wisata adat Baduy relatif kecil dikunjungi wisatawan mancanegara.
"Kami yakin objek wisata itu bisa mendatangkan wisatawan mancanegara," ujar politikus PDI Perjuangan itu.
Sekretaris Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar Sarpin mengatakan selama ini rombongan pengunjung objek wisata Baduy kebanyakan dari perguruan tinggi, sekolah, peneliti, lembaga, instansi swasta, dan pemerintah, sedangkan dari kalangan keluarga relatif kecil.
"Kami yakin ke depan kunjungan wisata adat Baduy meningkat, baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan lokal," kata Sarpin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar