Oleh : Akhmad Kusaeni
Jakarta (ANTARA News) - Di tengah duka bangsa Korea yang masih sangat dalam terasa akibat tenggelamnya kapal perang Cheonan yang menewaskan 46 prajurit angkatan laut, nama Indonesia harum dipuji di negeri ginseng itu.
Ada orang Indonesia yang dipandang sebagai pahlawan dan pemberi inspirasi dalam musibah yang menggetarkan hati dan meningkatkan ketegangan di semenanjung Korea tersebut. Penghargaan terhadap orang Indonesia itu disampaikan pejabat dan media setempat.
Pada 26 Maret 2010 sebuah Korvet Angkatan Laut dengan 104 awak kapal sedang patroli rutin di perairan dekat perbatasan Korea Selatan dan Korea Utara. Tiba-tiba saja terjadi ledakan dahsyat di buritan. Mesin perang itu nyaris terbelah dua dan tenggelam.
Saat itu pukul 21:00 waktu setempat. Tempat di Laut Kuning, dekat Kepulauan Baengyeong. Malam mulai gelap ketika operasi penyelamatan dilakukan oleh penjaga pantai dibantu oleh nelayan pencari ikan yang kebetulan berada di sekitar lokasi. Mereka berhasil menyelamatkan 58 orang. Yang lainnya tewas dan menghilang.
Salah satu kapal nelayan yang ikut dalam operasi pencarian dan penyelamatan adalah kapal ikan Geumyang No.98. Di kapal ikan itu ada Lambang Nurcahyo (36) dan Yusuf Harefa (35), dua pelaut Indonesia. Bersama lima pelaut Korea Selatan, awak Geumyang terlibat dalam aksi heroik penyelamatan di laut bebas, gelap dan berbahaya.
Malang tak bisa diraih, untung tak bisa ditolak. Kapal ikan Geumyang di tengah aksi penyelamatan bertabrakan dengan kapal kargo Kamboja. Seluruh awaknya ikut tenggelam.
Jenazah Lambang Nurcahyo, bapak dua anak, ditemukan beberapa hari kemudian. Namun si lajang Yusuf Harefa hingga kini masih hilang. Upaya kemanusiaan pelaut Indonesia itu diakui dan dihormati bangsa Korea yang tengah berkabung. Mereka wafat dalam upaya mulia.
Surat kabar Korea Times hari Kamis (22/4) memuji Nurcahyo dan Harefa. Dalam tajuk rencana berjudul "Indonesian heroes", Korea Times menulis bahwa "Seperti para pelaut AL yang gugur itu, para nelayan Geumyang itu juga merupakan pahlawan-pahlawan yang telah mengambil risiko nyawa mereka untuk menyelamatkan korban-korban Cheonan?.
Pemerintah Korea Selatan berjanji memberikan santunan baik kepada awak kapal Korsel maupun Indonesia. Menteri Luar Negeri Yu Mung-hwan menyampaikan simpati dan telah menulis surat sehubungan dengan tragedi tersebut kepada keluarga Nurcahyo dan Harefa.
"Kami menghargai jasa-jasa kedua pelaut Indonesia yang tewas dalam insiden tersebut. Kami sungguh menyesalkan telah terjadinya peristiwa ini," kata Yu Mung-hwan.
Jadi pusat perhatian
Orang Indonesia lain yang mendapat penghormatan di Seoul adalah Dirut Perum LKBN ANTARA Dr. Ahmad Mukhlis Yusuf. Ia menjadi pusat perhatian di Seoul karena selaku Presiden Organisasi Kantor Berita Asia Pasifik (OANA) ia meminta pimpinan media dunia yang berkumpul di negeri itu untuk berdiri dan mengheningkan cipta atas musibah yang meningkatkan ketegangan di semenanjung Korea.
"Semoga arwah mereka beristirahat dengan damai dan yang hilang bisa segera ditemukan," katanya dalam hening cipta yang diikuti 68 pimpinan kantor berita dari Asia Pasifik, Arab, Mediterania, Eropa dan Balkan serta Perdana Menteri Korea Selatan Chung Un-Chan.
Mukhlis Yusuf sudah tiga tahun terakhir ini memimpin OANA, organisasi kantor berita dari 33 negara di kawasan Asia Pasifik.
Bekerja sama dengan kantor berita Yonhap, OANA mengumpulkan para tokoh media di Seoul untuk membahas tantangan dan peluang yang dihadapi kantor berita pada era konvergensi multimedia. Namun, OANA Summit Congress dibayangi kasus tenggelamnya Cheonan.
Meski belum bisa dibuktikan keterlibatan Korea Utara dalam insiden itu, laporan media setempat menyebut kemungkinan kapal tersebut ditorpedo atau terkena ranjau laut yang disebar Pyongyang.
Ketika membawa para tokoh media dari seluruh dunia itu bertemu dengan Presiden Lee Myung-bak di Istana Biru, Mukhlis menyampaikan belasungkawa dan doa kepada para korban. Presiden Lee tampak tergugah dengan pidato pengantar Mukhlis yang tidak diduga menyinggung insiden Cheonan dan doa agar bangsa Korea bisa mengatasi musibah itu dengan penuh kesabaran dan perdamaian.
Pidato Mukhlis itulah yang mendorong Presiden Lee menyatakan sikapnya atas musibah Cheonan. Sikap itulah yang kemudian menjadi berita utama di seluruh dunia. Di koran-koran setempat, seperti The Korean Times dan Korean Herald, berita pertemuan Mukhlis Yusuf dan Presiden Lee menjadi berita utama di halaman depan. Foto Mukhlis pun menghiasi halaman media Seoul.
"Saya mulai mengagumi anda," kata Park Jung-Chan, Presiden kantor berita Korea Selatan Yonhap kepada Mukhlis Yusuf pada pidato jamuan makan malam selepas pertemuan di Istana Biru.
"Anda berhasil membuat Presiden Lee angkat bicara soal Cheonan," katanya.
Presiden Lee dan seluruh bangsa Korea memang sangat terguncang dengan musibah itu. Lee langsung meninjau operasi pencarian dan bertemu marinir yang ditempatkan di barat Pulau Baengnyeong.
Dengan helikopter, Lee menuju pulau dekat perbatasan Korsel-Korut itu. Kunjungan Lee dimaksudkan untuk menghibur keluarga korban yang menunggu dengan cemas pencarian jasad anggota keluarga mereka. Lee juga memerintah militer agar lebih waspada pasca tenggelamnya Cheonan. Sejak tenggelamnya kapal Cheonan militer diminta benar-benar mempersiapkan diri untuk setiap aktivitas yang dilakukan Korea Utara.
Ketegangan memuncak di semenanjung Korea menyusul insiden itu. Kemungkinan pecah perang baru antar Korea kembali menjadi kekhawatiran dunia. Padahal, Korea Utara memiliki senjata nuklir sebagai pemusnah massal dan rejim di Pyongyang bisa melakukan tindakan tidak terduga.
Namun, kekhawatiran dunia itu bisa diredakan. Menjawab pertanyaan dan pernyataan Mukhlis, Presiden Lee menyatakan tidak akan membalas dendam sekalipun Pyongyang terbukti paling bertanggungjawab atas insiden Cheonan. Perang, menurut Lee, bukan pilihan. Pihaknya membawa kasus ini kepada Dewan Keamanan PBB.
Oleh karena itulah, pemimpin media dari seluruh dunia yang bertemu Presiden Lee, memuji Mukhlis Yusuf. Presiden OANA yang juga Dirut Perum ANTARA itu berhasil menggugah Presiden Lee untuk menyatakan sikapnya yang jelas: tak boleh ada perang lagi di semenanjung Korea.
(A017/B010)
COPYRIGHT © 2010
Senin, 03 Mei 2010
MUSLIHAT JURNALISTIK
Oleh : Akhmad Kusaeni
Mabes Polri dan TVOne bermediasi di Dewan Pers, Senin (12/4), soal kasus markus gadungan. Bila terbukti narasumber TVOne palsu, berarti tayangan 18 Maret 2010 adalah berita bohong.
Etika media menyatakan, merekayasa narasumber masuk kategori ”muslihat jurnalistik” (deception in journalism).
Memang masih perlu dibuktikan apakah TVOne melakukan muslihat jurnalistik. Namun, Mabes Polri punya bukti bahwa tayangan itu sebuah rekayasa.
Polisi sudah menangkap seorang makelar kasus (markus) palsu bernama Andreas Ronaldi alias Andis (37) yang mengisi acara bincang-bincang TVOne. Dalam pemeriksaan, Andis mengaku diminta berbicara soal markus sesuai skenario dengan pertanyaan dan jawaban yang disiapkan. Tentu saja TVOne membantah.
Berdasarkan bukti polisi dan bantahan redaksi TVOne, Dewan Pers harus membuktikan apakah benar ada rekayasa dan menjelaskan kepada publik apakah benar stasiun televisi itu telah melakukan muslihat jurnalistik.
Rekayasa dan muslihat jurnalistik adalah pelanggaran berat etika media karena mengkhianati kebenaran. Pencarian kebenaran adalah hakikat pekerjaan jurnalistik. Menurut Bill Kovach dan Tom Rosenthiel, kewajiban utama wartawan adalah kepada kebenaran (the first obligation of journalism is to the truth).
Bob Steele dari Poynter Institute for Media Studies mengatakan, muslihat jurnalistik ada berbagai bentuk: dari menyiarkan berita bohong (outright lying) sampai merekayasa pengakuan tidak benar (misrepresenting) dan menyampaikan informasi menyesatkan (misleading).
Berbagai kasus
Muslihat jurnalistik pernah dilakukan wartawan media-media terkemuka. Koran New York Times pernah mengalaminya pada April 2003 ketika wartawan Jason Blair membuat berita palsu.
Wartawan itu menulis berita- berita bohong dengan narasumber palsu dan mencontek laporan koran-koran lokal.
Janet Cooke, wartawan The Washington Post, melakukan muslihat jurnalistik dalam laporan tentang anak kecil pencandu obat bius yang ternyata palsu.
Dalam artikel yang terbit 29 September 1980, Cooke menulis kisah bocah bernama ”Jimmy” di kawasan kumuh Washington DC. Jimmy menjadi pencandu heroin setelah diajari pacar ibunya.
”Jimmy, 8 tahun, adalah generasi ketiga pencandu heroin. Rambut hitam, mata coklat, dengan bekas-bekas tusukan jarum di tangannya,” begitu Janet Cooke menggambarkan Jimmy yang bercita-cita jadi bandar heroin.
Gara-gara artikel itu banyak pihak mendesak Cooke mengungkap identitas Jimmy agar bisa disembuhkan. Namun, Cooke menolak dengan alasan melindungi narasumber.
Laporan itu mendapat penghargaan Pulitzer 1982. Belakangan, baru ketahuan bahwa berita tentang bocah pencandu heroin itu bohong dan sosok Jimmy hanyalah rekaan si wartawan.
”Hacker” palsu
Muslihat jurnalistik yang mirip kasus markus palsu di Indonesia juga terjadi di majalah The New Republic, AS. Stephen Glass dalam laporan berjudul Hack Heaven (18/5/1998) menulis cerita hacker berumur 15 tahun yang mengacak komputer perusahaan Juct Micronics.
Laporan Glass merupakan wawancara eksklusif dengan Ian Restil, hacker yang disebutnya mirip Bill Gates muda. Bahkan, Glass mengaku hadir dalam pertemuan Restil dengan pimpinan Juct Micronics yang membujuk Restil jadi konsultan keamanan sistem informasi perusahaan.
”Saya mau ke Disney World, komik X-Men, langganan majalah Playboy dan Penthouse. Perlihatkan uangnya,” kata Restil seperti dikutip Glass.
”Uang sudah disiapkan,” jawab pimpinan Juct Micronics..
Belakangan terbukti, pertemuan di Hotel Hyatt, Maryland, yang dilaporkan Glass tidak ada. Ceritanya fiksi belaka. Ian Restil hanya rekaan Glass. Seperti dalam film Shattered Glass, Stephen Glass pun dipecat.
Organisasi dan perusahaan media menghukum sangat keras wartawan yang melakukan muslihat jurnalistik. Blair, Cooke, dan Glass telah dipecat. Bahkan, demi tanggung jawab moral, atasan para wartawan tersebut juga melepaskan jabatannya.
Muslihat jurnalistik bukan saja membahayakan kredibilitas dan reputasi media, tetapi lebih jauh lagi bisa mengancam kepercayaan publik terhadap media dan profesi jurnalistik.
Jika media merekayasa kebenaran dan wartawan menyampaikan kepalsuan, dari mana lagi masyarakat mendapat informasi yang akurat dan kredibel?
Jika media tak bisa lagi diandalkan menyampaikan kebenaran, siapa yang bisa memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui (people right to know)?
Menyadari pentingnya kebenaran dalam masyarakat, apalagi oleh pers yang bisnisnya menyampaikan kebenaran, muslihat jurnalistik adalah pelanggaran berat dan pelakunya wajib mendapat sanksi setimpal.
Akhmad Kusaeni Wakil Pemimpin Redaksi Perum LKBN Antara, Tulisan Mewakili Pendapat Pribadi
Tulisan ini dimuat di :
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/14/05015211/muslihat.jurnalistik
Mabes Polri dan TVOne bermediasi di Dewan Pers, Senin (12/4), soal kasus markus gadungan. Bila terbukti narasumber TVOne palsu, berarti tayangan 18 Maret 2010 adalah berita bohong.
Etika media menyatakan, merekayasa narasumber masuk kategori ”muslihat jurnalistik” (deception in journalism).
Memang masih perlu dibuktikan apakah TVOne melakukan muslihat jurnalistik. Namun, Mabes Polri punya bukti bahwa tayangan itu sebuah rekayasa.
Polisi sudah menangkap seorang makelar kasus (markus) palsu bernama Andreas Ronaldi alias Andis (37) yang mengisi acara bincang-bincang TVOne. Dalam pemeriksaan, Andis mengaku diminta berbicara soal markus sesuai skenario dengan pertanyaan dan jawaban yang disiapkan. Tentu saja TVOne membantah.
Berdasarkan bukti polisi dan bantahan redaksi TVOne, Dewan Pers harus membuktikan apakah benar ada rekayasa dan menjelaskan kepada publik apakah benar stasiun televisi itu telah melakukan muslihat jurnalistik.
Rekayasa dan muslihat jurnalistik adalah pelanggaran berat etika media karena mengkhianati kebenaran. Pencarian kebenaran adalah hakikat pekerjaan jurnalistik. Menurut Bill Kovach dan Tom Rosenthiel, kewajiban utama wartawan adalah kepada kebenaran (the first obligation of journalism is to the truth).
Bob Steele dari Poynter Institute for Media Studies mengatakan, muslihat jurnalistik ada berbagai bentuk: dari menyiarkan berita bohong (outright lying) sampai merekayasa pengakuan tidak benar (misrepresenting) dan menyampaikan informasi menyesatkan (misleading).
Berbagai kasus
Muslihat jurnalistik pernah dilakukan wartawan media-media terkemuka. Koran New York Times pernah mengalaminya pada April 2003 ketika wartawan Jason Blair membuat berita palsu.
Wartawan itu menulis berita- berita bohong dengan narasumber palsu dan mencontek laporan koran-koran lokal.
Janet Cooke, wartawan The Washington Post, melakukan muslihat jurnalistik dalam laporan tentang anak kecil pencandu obat bius yang ternyata palsu.
Dalam artikel yang terbit 29 September 1980, Cooke menulis kisah bocah bernama ”Jimmy” di kawasan kumuh Washington DC. Jimmy menjadi pencandu heroin setelah diajari pacar ibunya.
”Jimmy, 8 tahun, adalah generasi ketiga pencandu heroin. Rambut hitam, mata coklat, dengan bekas-bekas tusukan jarum di tangannya,” begitu Janet Cooke menggambarkan Jimmy yang bercita-cita jadi bandar heroin.
Gara-gara artikel itu banyak pihak mendesak Cooke mengungkap identitas Jimmy agar bisa disembuhkan. Namun, Cooke menolak dengan alasan melindungi narasumber.
Laporan itu mendapat penghargaan Pulitzer 1982. Belakangan, baru ketahuan bahwa berita tentang bocah pencandu heroin itu bohong dan sosok Jimmy hanyalah rekaan si wartawan.
”Hacker” palsu
Muslihat jurnalistik yang mirip kasus markus palsu di Indonesia juga terjadi di majalah The New Republic, AS. Stephen Glass dalam laporan berjudul Hack Heaven (18/5/1998) menulis cerita hacker berumur 15 tahun yang mengacak komputer perusahaan Juct Micronics.
Laporan Glass merupakan wawancara eksklusif dengan Ian Restil, hacker yang disebutnya mirip Bill Gates muda. Bahkan, Glass mengaku hadir dalam pertemuan Restil dengan pimpinan Juct Micronics yang membujuk Restil jadi konsultan keamanan sistem informasi perusahaan.
”Saya mau ke Disney World, komik X-Men, langganan majalah Playboy dan Penthouse. Perlihatkan uangnya,” kata Restil seperti dikutip Glass.
”Uang sudah disiapkan,” jawab pimpinan Juct Micronics..
Belakangan terbukti, pertemuan di Hotel Hyatt, Maryland, yang dilaporkan Glass tidak ada. Ceritanya fiksi belaka. Ian Restil hanya rekaan Glass. Seperti dalam film Shattered Glass, Stephen Glass pun dipecat.
Organisasi dan perusahaan media menghukum sangat keras wartawan yang melakukan muslihat jurnalistik. Blair, Cooke, dan Glass telah dipecat. Bahkan, demi tanggung jawab moral, atasan para wartawan tersebut juga melepaskan jabatannya.
Muslihat jurnalistik bukan saja membahayakan kredibilitas dan reputasi media, tetapi lebih jauh lagi bisa mengancam kepercayaan publik terhadap media dan profesi jurnalistik.
Jika media merekayasa kebenaran dan wartawan menyampaikan kepalsuan, dari mana lagi masyarakat mendapat informasi yang akurat dan kredibel?
Jika media tak bisa lagi diandalkan menyampaikan kebenaran, siapa yang bisa memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui (people right to know)?
Menyadari pentingnya kebenaran dalam masyarakat, apalagi oleh pers yang bisnisnya menyampaikan kebenaran, muslihat jurnalistik adalah pelanggaran berat dan pelakunya wajib mendapat sanksi setimpal.
Akhmad Kusaeni Wakil Pemimpin Redaksi Perum LKBN Antara, Tulisan Mewakili Pendapat Pribadi
Tulisan ini dimuat di :
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/14/05015211/muslihat.jurnalistik
Langganan:
Postingan (Atom)