Oleh : Akhmad Kusaeni
Serba salah bagi Presiden. Mendiamkan saja kekosongan pimpinan KPK dianggap lepas tangan. Berinisiatif mencari pelaksana tugas untuk mengganti tiga pimpinan KPK non-aktif juga dituding sebagai intervensi. Bahkan ada yang tega mengatakan Presiden berusaha melemahkan KPK.
Niat baik saja ternyata tidak cukup. Barangkali pikiran presiden sederhana saja. Ini ada kekosongan menyusul non-aktifnya Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto serta Ketua KPK Antasari Azhar yang sudah ditetapkan jadi tersangka jauh-jauh hari sebelumnya. Praktis pimpinan KPK yang tersisa tinggal dua, yakni M Jasin dan Haryono Umar.
Supaya pemberantasan korupsi tetap "kenceng", pemerintah menganggap perlu segera ada pengganti Antasari, Chandra dan Bibit. Apa salahnya?
"Ibaratnya KPK itu seperti kereta yang ditarik lima ekor kuda. Lha, kalau kuda yang nariknya tinggal dua, apa kereta bisa jalan dengan kecepatan yang sama? Apa tidak ngos-ngosan?" kata mantan Ketua KPK Taufiequrahman Ruki.
Tamsil yang sama juga disampaikan Adnan Buyung Nasution, anggota Dewan Pertimbangan Presiden untuk masalah hukum. KPK itu ibarat mobil balap yang bisa melaju sangat cepat karena dilengkapi mesin ber-CC besar dengan lima busi yang bekerja prima.
"Apa jadinya kalau mobil balap itu businya tinggal dua?" tanya Buyung seusai pertemuan dengan para pemimpin redaksi di Hotel Borobudur, Jumat lalu (25/9).
Seorang wartawan sambil terkekeh menyahut: "Kayak Bajaj dong Bang".
Siapa yang tinggal di Jakarta paham betul perangai Bajaj di jalanan Ibu kota. Selain jalannya lelet, konon hanya Tuhan yang tahu kalau Bajaj itu mau belok ke kiri atau ke kanan.
Persoalannya, KPK itu mau tetap jadi mobil balap atau Bajaj yang sering dicap sebagai sandal jepit jalanan?
Bisa ngebut
Pemerintah, khususnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tentu menginginkan KPK itu seperti mobil balap yang bisa ngebut dalam memberantas korupsi. Bukankah salah satu pencapaian SBY dalam lima tahun kepresidenannya yang pertama adalah keberhasilan dalam pemberantasan korupsi?
Iklan kampanye SBY, yang menarik hati pemilih, adalah "Katakan Tidak Pada Korupsi". Mana mungkin SBY mengkhianati tekadnya sendiri dan pencapaiannya sendiri? Melemahkan KPK berarti melemahkan pemberantasan korupsi itu sendiri.
Dari kerangka pemikiran seperti itu, mestinya upaya mengisi kekosongan pimpinan KPK itu dinilai sebagai niat baik untuk menjaga stamina gerakan anti korupsi. Tak mungkin Haryono dan Jasin sendirian bisa memikul tugas berat KPK. Koruptor-koruptor masih bergentayangan untuk ditangkap. Yang sudah ditetapkan sebagai tersangka harus diperiksa. Mereka antri untuk di-BAP dan diserahkan ke pengadilan untuk diadili.
Dalam pertemuan dengan Tim Lima yang ditunjuk presiden untuk menjaring tiga pemimpin baru KPK, Haryono dan Jasin mengakui soal beratnya tugas mereka.
"Mereka berdua ikhlas jika ada pelaksana tugas pimpinan KPK," kata Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Widodo AS, yang menjadi semacam koordinator Tim Lima, yang anggotanya Menteri Hukum Andi Mattalata, Taufiequrahman Ruki, Adnan Buyung Nasution, dan pengacara senior Todung Mulya Lubis.
Meski ikhlas, ternyata mengisi kekosongan pimpinan KPK itu, bukan persoalan gampang karena begitu banyak seginya. Ini menyangkut masalah kewenangan, legalitas, dan yang lebih ramai adalah aspek politis dan politisasinya.
Supaya tidak dianggap sewenang-wenang, Presiden menugaskan Tim Lima untuk mencari orang-orang yang dianggap pas memimpin KPK. Mereka hanya diberi waktu satu pekan. Itu mirip tugas Bandung Bondowoso yang harus membangun 1.000 candi dalam waktu semalam. Berat namun menantang.
Tim Lima harus mendapatkan tiga nama sebelum tenggat 1 Oktober 2009. Siapa pun tiga nama itu, mereka harus bisa langsung bekerja, rekam jejak bagus dan tak punya cacat di mata publik, serta tak punya hambatan psikologis untuk bekerja sama dengan dua pimpinan KPK tersisa sekarang. Kriteria itu ditambah oleh Haryono dan Jasin: ketiga pendekar baru KPK itu harus independen.
Tak ada titipan
Artinya, Haryono dan Jasin ingin bahwa koleganya nanti bukan perpanjangan tangan presiden, apalagi itu nama "titipan".
"Di pundak kami tidak ada beban. Tidak ada titip-titipan," kata Koordinator Tim Lima Widodo AS saat bertemu dengan pimpinan media massa.
Di tangan Tim Lima lah nasib pemberantasan korupsi ke depan ditentukan. Polemik mengenai Perppu, tudingan intervensi dan pelemahan KPK, tarik menarik kepentingan, akan dengan sendirinya terkikis jika niat baik "menambah kuda pada kereta dan memberi busi pada mobil balap KPK" itu bisa dibuktikan pada kinerja lembaga superbody pemberantasan korupsi itu.
Kita tidak mau perdebatan mengenai Perppu, konflik cicak lawan buaya, justru menjadi moratorium bagi upaya pemberantasan korupsi. Tikus-tikus pencuri dan perampok uang negara akan bergembira, karena kucing yang mereka takuti sibuk ribut dan bertengkar dengan sesamanya.
Lebih baik kita menunggu dan memberi kesempatan kepada darah segar baru di KPK. Sebentar lagi akan diumumkan siapa-siapa pelaksana tugas pimpinan KPK itu. Tim Lima menjaring ratusan, mungkin ribuan nama yang masuk, lalu menyorongkan kepada presiden tiga nama yang terbaik.
Lalu tiga nama itu akan langsung tancap gas. Mobil balap pemberantasan korupsi, dengan full speed karena busi penggeraknya sudah kembali lima, segera unjuk gigi. Mungkin ada penangkapan-penangkapan koruptor baru, pengungkapan kasus baru, dan yang sudah pasti kasus Bank Century sudah menunggu. (***)
Rabu, 30 September 2009
Langganan:
Postingan (Atom)