Senin, 31 Oktober 2011

Khutbah terakhir di Padang Arafah

Oleh Akhmad Kusaeni*

Padang Arafah, Mekkah (ANTARA News) - Tak sabar hati ini menanti saat wukuf di Padang Arafah pada 9 Dzulhijah yang bertepatan dengan hari Sabtu, 5 November 2011. Saya sudah ke Gua Hira, tempat wahyu pertama diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Saya tentunya harus ke Arafah, tempat Malaikat Jibril menyampaikan wahyu terakhir.

Jika surat Al-Alaq ayat 1-5 turun untuk memulai proses kenabian Muhammad, maka surat Al Maidah ayat 3 turun untuk mengakhiri tugas kenabian Rasulullah. Dari Gua Hira Islam pertama kalinya disiarkan. Di Padang Arafah, Islam dituntaskan dan disempurnakan.

Diriwayatkan bahwa surat terakhir diturunkan sesudah waktu Asyar pada hari Jumat di Padang Arafah saat musim haji penghabisan atau haji Wada. Seminggu sebelum 9 Dzulhijah, saya bergegas ke Padang Arafah. Jaraknya kira-kira 22 km sebelah tenggara Masjidil Haram.

Sebagai pengarah Media Center Haji (MCH) saya dibekali Kijang Inova baru --joknya masih dibungkus plastik-- lengkap dengan supir bernama Idrus. Saya ajak Ahmad Wijaya, wartawan Antara yang bertugas di MCH, untuk menemani. Dari kantor Misi Haji Indonesia yang berlokasi di kawasan Mina, perjalanan ke Padang Arafah hanya sekitar 15 menit saja.

Arafah adalah padang seluas 10,4 km persegi. Dulu sangat gersang, tapi kini mulai hijau ditumbuhi pepohonan yang satu jenisnya disebut orang Arab sebagai "Pohon Soekarno" karena bibitnya merupakan hadiah dari Presiden RI pertama tersebut. Sejumlah petugas tampak memasang tenda-tenda yang dipersiapkan bagi jemaah haji yang akan melakukan wukuf, berdoa, dan berzikir di bebatuan di Arafah.

Pemerintah Arab Saudi tidak membangun gedung atau fasilitas lain di Arafah. Tenda-tenda perkemahan pun hanya dipasang setahun sekali saat musim haji. Barangkali ingin mengikuti sunah Nabi Muhammad saat melakukan haji terakhir atau haji Wada.

Riwayat menceritakan bahwa Rasulullah bertolak ke Padang Arafah dari Mina setelah matahari terbit pada hari kesembilan di bulan Dzulhijah. Waktu itu musim haji tahun 10 Hijriah atau sekira 632 Masehi. Sebuah kemah telah didirikan di padang yang berada di kaki bukit Jabal Rahmah. Muhammad berada di dalam kemah tersebut sampai matahari tergelincir pada waktu dzuhur. Lalu naik unta kesayangannya yang dinamakan Al-Qaswa.

Di atas unta, Muhammad menghadap ke arah kiblat. Ia mengangkat kedua tangannya dan berdoa kepada Allah. Lalu bergegas menuju Wadi Uranah.

Wadi Uranah adalah sebuah lembah yang terletak di akhir Tanah Haram. Di situ sudah menunggu 144 ribu manusia yang berkumpul untuk mendengarkan khutbah atau pidato Nabi. Inilah khutbah paling penting dan sangat emosional yang bersejarah bagi umat muslim karena ajaran Islam dituntaskan dan disempurnakan hari itu. Rasulullah menyampaikan khutbah terakhir.nya sebelum wafat pada 12 Rabiul Awal tahun 11 Hijriah (sekira bulan Juni 632 Masehi)



Orator hebat

Muhammad adalah orator hebat di muka bumi. Ia bangkit dari duduknya dan berdiri di kelilingi para pengikutnya yang datang dari berbagai penjuru. Rasulullah menyampaikan khutbah dengan emosional dan menyentuh relung jiwa pendengarnya. Umar bin Khattab, sahabat nabi, diriwayatkan menangis mendengar khutbah tersebut.

Saya pernah membaca isi khutbah nabi tersebut dalam berbagai kitab dan buku. Dengan membaca saja, tanpa berada di tempat dimana khutbah itu disampaikan, saya sudah merasa tergetar dan kelu. Apalagi ketika saya berada di puncak bukit Jabal Rahmah yang di kakinya adalah Padang Arafah. Saya membayangkan diri saya hadir bersama-sama 144 ribu manusia dan mendengarkan khutbah Rasulullah secara langsung di lembah Uranah. Bergidik saya membayangkannya. Merinding tubuh saya.

"Wahai manusia," begitu Muhammad memulai khutbahnya. "Dengarkan apa yang akan aku katakan ini. Aku tidak tahu apakah aku akan dapat bersama kamu semua lagi di sini selepas tahun ini, di tempat ini selamanya," lanjutnya.

"Tahukah kamu semua, hari apa ini?

Dijawab sendiri oleh beliau: "Ini hari Nahar, hari kurban yang suci".

"Tahukah kamu bulan apakah ini? Muhammad bertanya lagi.

"Inilah bulan suci," jawabnya sendiri.

Muhammad masih bertanya lagi: "Tahukah kamu tempat apakah ini?.

"Inilah kota yang suci," katanya sambil menunjuk kota suci Mekkah al Mukarammah.

Dengan suara tinggi dan bergetar, saya bayangkan Muhammad meneruskan khutbahnya. Oleh karena waktu itu tidak ada mikrofon, maka suara Nabi diulang dengan ucapan yang lebih keras oleh Rabi?ah bin Umayyah bin Khalaf.

"Sesungguhnya darah kamu, harta benda kamu dan kehormatan diri kamu telah terpelihara mulai hari ini dan di bulan ini dan di kota ini. Siapa yang memegang amanah, peganglah amanah itu," kata Muhammad. Rabi`ah mengulang dengan ucapan yang lebih keras sehingga terdengar oleh semua jemaah.

Nabi juga menyatakan bahwa segala amalan jahiliyah telah dihapuskan. Tuntutan hutang darah di zaman sebelum Islam telah diampunkan. Nabi mengumumkan bahwa tuntutan utang darah yang dibatalkannya adalah darah Ibnu Rabi`ah bin Haris yang telah dibunuh oleh Huzail.

Di bidang perdata, Muhammad pada hari itu menyatakan riba sebagai haram. Ketika Nabi membatalkan riba yang akan diterima oleh Abbas bin Abdul Muthalib, saya membayangkan para jemaah menyambutnya dengan ucapan syukur dan takbir.

Sambutan dan takbir makin bergemuruh ketika Nabi mengumumkan bahwa semua orang mukmin adalah bersaudara dan oleh karena itu tidak halal bagi seorang muslim mengambil harta orang lain kecuali atas izin pemiliknya. Intinya Nabi berpesan agar jangan mencuri dan merampas hak orang lain.



Umat bersedih

Suasana menjadi sedikit sedih saat Nabi dengan suara berat dan bergetar mengatakan bahwa sesungguhnya tidak ada lagi Nabi selepasnya dan tidak ada lagi umat setelah kaum muslimin. Dengan mata berlinang, saya membayangkan, Muhammad menyeru agar mereka menyembah Allah, menunaikan shalat lima waktu, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan membayar zakat. Terakhir, Nabi juga menyerukan agar umat mengerjakan haji ke baitullah atau rumah Allah.

"Untuk itu," janji Nabi, "kamu akan masuk surga".

Bisa dibayangkan bagaimana galaunya jemaah yang mendengar khutbah seperti itu. Rasanya campur aduk antara gembira dan duka. Koq pidato Nabi kali ini lain dari biasanya.

Tak lama setelah Muhammad menyampaikan khutbah itu turunlah firman Allah yang terakhir.

"Pada hari ini," kata Muhammad mengutip surat Al Maidah ayat yang ketiga, "Aku telah sempurnakan bagi kamu agama kamu, mencukupkan nikmat-Ku kepadamu, dan meridhoi bagi kamu Islam sebagai agamamu".

Para sahabat Nabi menangis. Jemaah meneteskan air mata. Bahkan Umar bin Khathab yang keras hati dan tak pernah menangis tak kuasa menahan tangis. Abu Bakar, sahabat nabi yang lain, juga tak dapat menahan kesedihannya. Ia pun kembali ke rumah, lalu mengunci pintu dan menangis sekuat-kuatnya. Abu Bakar menangis dari pagi hingga malam.



Nabi wafat

Seperti itulah khutbah perpisahan Muhammad. Dan memang benar, beberapa bulan kemudian setelah khutbah di lembah Uranah tersebut, Nabi Muhammad wafat pada 12 Rabiul Awal tahun 11 Hijriah.

Saya menduga, mungkin peristiwa itulah yang membuat wukuf di Padang Arafah menjadi rukun haji yang utama. Supaya umat Islam mengenang kembali khutbah terakhir Nabi dan mengamalkan pesan-pesannya. Agar umat memaklumi bahwa agama mereka telah disempurnakan dan firman Tuhan terakhir telah disampaikan di Padang Arafah.

Oleh karena menjadi rukun haji, barang siapa tidak melaksanakan wukuf berarti hukumnya adalah seperti tidak melakukan haji alias percuma dan sia-sia.

Jika Rasulullah bersabda bahwa "Haji itu Arafah", maka seseorang yang telah berniat haji namun tidak sempat melakukan wukuf, maka terlepaslah hajinya pada tahun tersebut.

Dan pada 9 Dzulhijjah (5 Nopember 2011) nanti, sebanyak lebih tiga juta jemaah haji dari seluruh penjuru dunia berkumpul di Padang Arafah. Selain wukuf, berdoa, dan berdzikir, mereka mengenang khutbah terakhir Nabi di lembah Uranah.

Seperti saya, mereka pasti membayangkan hari-hari terakhir Muhammad setelah khutbah perpisahan tersebut.

Seperti Umar bin Khattab, mereka membayangkan Muhammad akan segera wafat meninggalkan umat untuk selamanya karena telah menuntaskan tugas kenabiannya. Allah telah menyempurnakan Islam sebagai agama, meridhoinya, dan telah mencukupkan nikmat-Nya kepada kaum muslimin.


(*Akhmad Kusaeni adalah Wakil Pemimpin Redaksi Antara)

Jumat, 28 Oktober 2011

Tersungkur di Gua Hira

Oleh : Akhmad Kusaeni*

Sejumlah orang berziarah di Gua Hira, Jabal Nur, Makkah, Sabtu (7/11). Gua Hira merupakan tempat untuk pertama kalinya Nabi Muhammad SAW menerima wahyu. (FOTO ANTARA/Maha Eka Swasta)
Mekkah (ANTARA News) - Gua Hira adalah tempat yang saya masukkan ke dalam katagori "a must visit place". Saya sudah mengunjungi banyak negeri. Dalam 23 tahun karier saya sebagai wartawan, praktis saya sudah khatam mengunjungi lima benua.

Saya sudah datangi negeri-negeri yang jauh sampai ke Afrika. Bahkan kawasan Patagonia yang disebut "ujung dunia" pun sudah saya datangi. Untuk sampai ke Bariloche, Argentina, yang di peta merupakan titik terujung benua Amerika, misalnya, saya harus terbang selama 39 jam dari Jakarta.

Tapi tidak ada perjalanan yang semenantang ke Gua Hira yang terletak di Jabal Nur atau Gunung Cahaya.

Saya sudah kenal Gua Hira sejak masa kanak-kanak di kampung nun di pedalaman Lebak, Banten. Kyai guru mengaji saya dulu selalu menceritakan bagaimana Muhammad menyepi di sebuah gua batu di pinggiran kota Mekkah.

Lalu Malaikat Jibril menyampaikan wahyu pertama Tuhan kepada Muhammad yang sedang bertafakur dan menggigil di dalam gua.

"Bacalah, dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah".

"Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya."

Surat Al-Alaq ayat 1-5 dari Al-Quran itu saya hafal di luar kepala. Kisah datangnya ayat pertama itu tidak pernah saya lupakan.

Mengunjungi Gua Hira adalah obsesi masa kanak-kanak saya yang ingin tahu apa dan bagaimana tempat asal mula kenabian seorang Rasullullah bernama Muhammad itu. Dua kali saya ke Mekkah tahun 2005 dan 2008, saya hanya melihatnya dari kejauhan. Di puncak gunung sekitar 3,5 km dari Masjidil Haram itu lah Gua Hira berada.

Tapi sekarang lah saatnya. Saya punya cukup waktu sambil menunggu puncak ibadah haji pada 10 Dzulhijah atau 6 Nopember 2011. Maka saya niatkan untuk ziarah ke tempat yang saya impikan itu. Maka pada 26 Oktober 2011, sesudah shalat subuh saya bertolak menuju Jabal Nur bersama dengan Sekretaris PP Muhammadiyah KH Abdul Mu'ti, Kepala Informasi dan Humas Kementerian Agama Zubaidi dan staf ahli Menkominfo Henry Subiakto.


Medan sangat berat

Hari masih gelap ketika kami sampai pada titik awal pendakian. Medan sangat berat karena Jabal Nur merupakan gunung batu dengan ketinggian yang menjulang seperti piramid. Gua Hira terletak pada ketinggian 270 meter dengan radius 263 meter. Untuk sampai ke sana harus melewati lebih dari 600 anak tangga yang berkelok namun dengan derajat kemiringan nyaris 90 derajat.

"Kita harus berangkat pagi-pagi sekali, kalau siang sedikit saja, sudah ramai dan padat," kata Henry Subiakto yang tahun lalu pernah berkunjung ke gua yang disebut sebagai mesjid pertama umat Islam karena di gua itulah Nabi Muhammad pertama kali beribadah sesuai tata cara Islam.

Setiap hari sekitar 5000 jemaah mendaki Jabal Nur yang terjal. Pada musim haji, jumlah peziarah ke Gua Hira bisa mencapai belasan ribu orang.

Saya melihat puncak gunung dimana Gua Hira berada. Saya merasa keder dan kecut. Bisakah saya naik ke atas sana? Mampukah saya mendaki selama sekitar satu jam melewati tangga-tangga batu dimana kanan kirinya adalah lembah dan jurang?

Hati saya bergejolak antara meneruskan pendakian atau menyerah. Jiwa saya bergelut antara semangat memenuhi obsesi masa kecil saya untuk melihat Gua Hira dengan mata kepala sendiri atau saya cukup puas dengan menyaksikannya hanya dari kejauhan?


Fursotul umur

Akhirnya saya memutuskan untuk naik dengan resiko apapun yang terjadi. Saya ingat apa pesan sahabat saya, Saiful Hadi yang putera KH Idham Chalid (alm) mengenai apa yang dia selalu sebut sebagai "fursotul umur".

Fursotul umur adalah sesuatu kesempatan dalam hidup yang datang satu kali dan belum tentu bisa datang lagi. Saya sudah datang jauh-jauh, saya sudah berada di Mekkah bahkan sudah di lereng Jabal Nur. Kalau saya tidak paksakan untuk naik, belum tentu kesempatan itu datang kembali. Atau, kalaupun kesempatan itu ada, mungkin saya sudah lebih tua dan lebih lemah.

Saya melihat jemaah orang-orang tua bersemangat mendaki, mereka bahkan dibantu dengan memakai tongkat. Kakek-kakek dan ibu-ibu seumur ibu saya pada berani mendaki. Maka saya mulai langkah saya untuk menerabas undakan demi undakan. Seperempat perjalanan saya sudah loyo dan ngos-ngosan. Kyai Abdul Mu'ti memberikan botol minumannya kepada saya yang kehausan.

"Ayo minum dulu, mari saya temani istirahat sebentar," kata Wakil Amirul Haj itu.

Saya malu sebenarnya. Masak saya yang lebih muda kalah sama kyai yang tampak trengginas menapaki undak-undakan. Tapi memang saya capek banget. Setelah beristirahat sejenak, pendakian saya lanjutkan. Undak-undakannya lebih tinggi dan lebih curam. Di kiri kanan jalan sudah dipasangi besi-besi pengaman agar pendaki tidak terpeleset masuk jurang.

Kira-kira separuh perjalanan, saya sudah tidak kuat. Kali ini Henry Subiakto yang meledeki saya.

"Masak kalah dengan Siti Khadijah. Isteri nabi itu setiap hari naik turun Jabal Nur untuk mengantar makanan pada suaminya," katanya.

Saya hanya diam dan mengatur nafas yang ngos-ngosan. Keringat dingin mulai bebas mengucur di wajah dan tubuh saya.

"Siti Khadijah itu umurnya sudah 55 tahun lho. Kamu kan baru 47 tahun. Masak kalah sama wanita yang lebih tua. Ayo jalan lagi," katanya memprovokasi.


Mencintai Rasulullah

Saya masih duduk selonjorkan kaki di batu besar. Nafas saya tersengal-sengal. Lalu, Zubadi mencoba berargumentasi dengan Henry. Zubaidi mengatakan Siti Khadijah bisa enteng naik turun Gua Hira karena dia cinta sama Nabi Muhammad. Lagipula Khadijah kan orang lokal Mekkah yang biasa hidup di gunung, sementara kami adalah orang kota yang jarang berolah raga pula.

"Kalau anda cinta Rasullulah, ayo kita naik lagi. Kita harus rasakan bagaimana suanana kebatinan ketika Nabi menerima wahyu dan memulai kenabiannya," kata Henry lagi.

Akhirnya saya berusaha melangkah lagi. Satu demi satu tangga saya lewati. Hari mulai terang. Saya agak terhibur karena di sepanjang pendakian saya melihat onta, kucing, kambing gunung dan monyet-monyet yang berlarian dan loncat-loncatan dari batu ke batu. Itu cukup mengobati rasa capek saya. Apalagi para pedagang souvenir tampak mulai membuka lapaknya sehingga saya bisa sedikit terhibur melihat barang dagangan mereka.

Makin mendekati puncak, makin mendekati Gua Hira, saya makin bersemangat. Rasa capek dan lelah tiba-tiba hilang ketika saya sampai di mulut Gua Hira. Jemaah dari berbagai negara, pagi itu kebanyakan dari Pakistan, Afghanistan, Turki, dan China, tampak berjubel di depan gua. Ada yang melakukan shalat dua rakaat di atas batu.

Ada yang membaca keras-keras surat Al Alaq. Ada juga yang mengaji surat Al Rahman:

"Fabbiayi ini illa robikuma tzukadziban (Nikmat Allah apalagi yang kamu dustakan)," begitu mereka bacakan berulang-ulang. Berulang-ulang. Berulang-ulang.

Saya pun ikut komat-kamit membacakan surat yang menggetarkan jiwa tersebut. Memang benar, nikmat apalagi yang harus saya dustakan. Sementara ratusan juta muslim meninggal dunia tanpa bisa menginjakan kakinya di Jabal Nur, saya bisa datang ke Gua Hira yang bersejarah menjadi cikal bakal kenabian Rasulullah.

Subhannallah! Ternyata Gua Hira hanya seperti sebuah ceruk di gunung Jabbal Nur, dalamnya kira-kira 2,5 meter menyempit ke dalam. Lebarnya kurang dari 1,5 meter. Pintunya lebih lebar dari pada ujung di dalamnya. Tingginya kurang dari dua meter.Setiap jemaah yang masuk harus membungkuk .

Pas di depan pintu gua, terdapat tulisan Arab "Ghor Hira" dengan cat warna merah. Ada juga tulisan dua ayat pertama Surat Al-Alaq dengan cat warna hijau. Gua Hira terletak persis di samping kiri tulisan tersebut.

Di atas gua terdapat 3-5 buah batu besar yang bertumpuk saling mengikat, sehingga menjadi semacam atapnya. Ada lantai sederhana dari keramik yang dipasang pada alasnya. Tidak ada yang tampak istimewa di dalam Gua Hira. Pemerintah Saudi Arabia tidak mengistimewakan tempat-tempat semacam ini, karena takut membuat orang jadi memuja dan mengirim sesaji dan orang menjadi syirik.


Tersungkur dan bersyukur

Saya tersungkur di depan Gua Hira. Saya sujud di sebuah batu besar yang ujungnya menjulang ke jurang. Saya tengadahkan dua tangan dan berdoa. Saya beryukur bisa sampai di Gua Hira sementara 1,6 miliar kaum muslimin lain dari seluruh dunia belum tentu mendapatkan keistimewaan ini. Mereka hanya bisa mendengarkan kisah Nabi Muhammad dari para gurunya atau membacanya di kitab-kitab dan riwayat.

Saya pun jadi teringat semua yang diceritakan Ustadz Azhari, guru mengaji saya waktu kecil. Walaupun guru saya itu belum pernah ke Gua Hira, tapi bagaimana cara menceritakan kisah wahyu pertama kepada nabi itu sangat luar biasa. Terngiang-ngiang apa yang diucapkan ustadz Azhari bahwa hari itu, Senin 17 Ramadhan yang bertepatan dengan 6 Agustus 610 M, Muhammad menerima wahyu pertama.

Saat itulah Muhammad resmi dilantik sebagai Nabi dan Rasul-Nya. Saat menerima penobatan sebagai Nabi ini, usia Muhammad sekitar 40 tahun dan Siti Khadijah 55 tahun. Setelah menerima wahyu itu, Muhammad menggigil. Lalu oleh Khadijah dibawa pulang ke rumah. Khadijah kemudian menyelimuti Nabi dengan penuh kasih sayang.

Nabi menceritakan apa yang terjadi di dalam gua ketika malaikat Jibril menyampaikan wahyu yang pertama. Si pendeta membenarkan. Maka sejak saat itu, Muhammad menjadi rasul dan Islam disebarluaskan sampai akhir zaman.(A017)

(*Akhmad Kusaeni adalah Wakil Pemimpin Redaksi Antara)

Kamis, 27 Oktober 2011

Tak mudah memberi makan 201.000 jemaah haji

Mekkah (ANTARA News) - Ibadah haji adalah ibadah fisik. Artinya, salah makan bisa berabe. Apa jadinya ketika wukuf perut kena diare akibat makan makanan basi? Bayangkan kalau anda mencret-mencret di Padang Arafah di tengah tiga juta jemaah haji sementara fasilitas toilet amat terbatas?

Persoalan bagaimana memberi makan 221.000 jemaah Indonesia yang sedang melaksanakan haji di Arafah, Musdalifah dan Mina (sering disingkat sebagai Armina) menjadi perhatian serius Amirul Haj Suryadharma Ali. Menteri Agama itu ingin memastikan tidak ada jemaah haji yang kena diare pada saat ibadah puncak haji, yaitu saat bermalam di Mina dan wukuf di Arafah.

"Jangan sampai jemaah mencret dan terganggu ibadahnya. Untuk itu, selama di Armina mereka harus makan dengan cara prasmanan, bukan dalam box," katanya di Mekkah, Rabu, saat menerima laporan para petugas haji dan persiapan pelayanan puncak ibadah haji.

Meskipun sejumlah pihak, termasuk para anggota DPR, mengusulkan agar selama di Armina jemaah haji diberikan nasi kotak supaya praktis dan tidak antri, pemerintah memilih menyediakan katering makanan dengan sistim prasmanan seperti dalam hajatan atau pesta perkawinan.

Amirul Haj pun panjang lebar menjelaskan alasan dipilihnya konsumsi model hajatan ketimbang pembagian dalam kotak. Coba bayangkan bagaimana ribetnya menyediakan kotak makanan untuk 221.000 jemaah tiga kali sehari. Kapan menyiangi bahan bakunya, kapan memasaknya, masukin ke kotaknya, lalu mendistribusikannya dalam situasi transportasi lumpuh ke tenda-tenda jemaah haji.

"Ribetnya minta ampun. Belum lagi kotak-kotak makanan itu disimpan dimana? Di Armina tidak ada tempat penyimpanan. Telat dimakan sedikit saja sudah basi," katanya.

Akhirnya pemerintah memutuskan untuk prasmanan kendati jemaah harus mengantri panjang dalam suasana panas dan terik untuk mendapatkan makanan tersebut.

"Coba pilih mana: mencret atau antri panjang?" tanya Suryadharma seraya menambahkan bahwa sakit perut lebih mudharat karena nanti jemaah haji tidak bisa beribadah. Bukannya antri prasmanan, tetapi malah antri menunggu giliran masuk toilet yang terbatas jumlahnya.

Sistim prasmanan dianggap lebih baik karena makanannya masih fresh dan jemaah bisa memilih makanan yang mereka sukai. Resiko basinya bisa dikatakan nol persen.

Pengusaha katering tentu saja akan memilih kotak makanan ketimbang model hajatan. Kalau pakai kotak bisa lebih irit bahan baku dan tentunya lebih menguntungkan. Jika ada 1000 jemaah di satu maktab, maka diperlukan 1000 telor atau 1000 tempe. Tapi kalau sistim prasmanan, mereka harus menyediakan sampai 1500 telor dan 1500 tempe.

"Dengan sistim prasmanan, jemaah bisa ambil jatah lebih dari yang seharusnya," kata Suryadharma.

Ia menjelaskan bahwa problem pelaksanaan haji yang cukup krusial adalah masalah katering. Menurut Amirul Haj, katering yang sukses dan baik itu adalah tingkat distribusinya cepat dan tingkat kesehatan dari makanan itu terjamin, termasuk soal kandungan gizinya.

Untuk itu, dalam sistim prasmanan pun menunya diarahkan untuk tidak membuat perut jemaah haji berontak. Biasanya pengusaha katering tidak menyediakan sambal yang pedas dan sayur lodeh yang banyak santannya. Makanan yang terlalu banyak garamnya juga tidak dianjurkan.

"Sambal menyebabkan diare, sayur lodeh bisa bikin perut kembung, makanan asin bisa bikin darah tinggi," kata Menag.

Pertanyakan

Keputusan pemerintah untuk menggunakan sistim prasmanan saat di Armina dipertanyakan Tim Pengawas Pelaksanaan Ibadah Haji DPR. Prasmanan dianggap bertentangan dengan hasil keputusan rapat kerja Menteri Agama dengan Komisi VIII DPR RI.

Busro Suhud dari Komisi VIII DPR merasa rekomendasinya diabaikan. Pada musim haji tahun 2010, katanya, dengan sistim prasmanan banyak jemaah yang tak kebagian jatah makan, antri lama di tengah panas yang terik, dan ada jemaah usia lanjut yang jatuh sakit karena kelamaan mengantri.

Arfan Samrang, dari Fraksi PAN, dalam pertemuan dengan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) di Jeddah 22 Oktober 2011 juga tampak berang. Pemerintah dianggap tidak melaksanakan kesepakatan dengan parlemen yang katanya sudah menyetujui sistim kotak makanan.

"Koq diubah secara sepihak. Kami merasa tidak dianggap dan disepelekan?" katanya seperti dikutip dalam laporan Media Center Haji (MCH).

Meskipun wakil rakyat keberatan dengan sistim prasmanan, toh fakta di lapangan menunjukkan lain. Sebanyak 16 perusahaan katering yang mendapat kontrak dari pemerintah menyatakan tidak bisa memenuhi layanan sistim kotak makanan. Mereka mengaku kesulitan dalam packaging dan penyimpanan di maktab-maktab.

Menurut Ketua PPIH Arab Saudi Syairozy Dimyati pemerintah Arab Saudi hanya memberikan ruang tidak lebih dari 12 meter persegi untuk proses memasak, packaging, dan penyimpanan di setiap maktab. Kondisi ini tidak memungkinkan karena dalam satu maktab, penyedia layanan katering harus menyiapkan makanan untuk sekitar 3000 jemaah.

Apalagi, katanya, proses pemaketan harus dilakukan secara manual, karena otoritas haji Arab Saudi melarang perusahaan katering membawa mesin packaging yang bisa bekerja dalam waktu singkat.

Jika tetap nekad menggunakan kotak, makanan akan basi sebelum dibagikan kepada jemaah. Sebab, dibutuhkan waktu minimal empat jam hanya untuk proses packaging di setiap waktu makan. Belum lagi proses pendistribusiannya kepada ribuan jemaah.

PPIH dihadapkan pada dua pilihan: kotak atau prasmanan?

Dan untuk musim haji tahun ini, PPIH telah memutuskan untuk tetap memilih prasmanan meskipun dikritik habis-habisan oleh anggota DPR. Memang tidak mudah memberi makan 221.000 jemaah haji tiga kali sehari. Daripada kena diare dan mencret-mencret yang berakibat ibadah terganggu, lebih baik bersabar antri prasmanan di tengah terik matahari.(*)

Selasa, 25 Oktober 2011

Ada ceret dan teko di dalam Kabah

oleh : Akhmad Kusaeni *

Mekkah (ANTARA News) - Semua orang muslim pernah melihat Kabah. Yang beruntung bisa menyaksikannya dengan mata kepala sendiri saat melakukan ibadah haji atau umroh.

Saya, Alhamdulillah, untuk ketiga kalinya saya bisa melihat Kabah dengan mata dan kepala sendiri.

Bersama-sama dengan Naib Amirul Haj, yaitu mantan Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi dan Sekretaris PP Muhammadiyah Abdul Mukti, Senin pagi saya tawaf keliling Kabah untuk mengambil umroh sebelum haji nanti pada 10 Dzulhijah yang Insya Allah jatuh pada 6 Nopember 2011.

Setiap kali melihat Kabah hati ini selalu bergetar. Ada perasaan relijius yang bergejolak di dada yang susah dituliskan dalam kata-kata.

Bagi yang belum beruntung dan belum pernah ke Tanah Suci Mekkah paling tidak pernah melihat gambar atau lukisan Kabah di mesjid, sajadah atau di bendera partai.

Kabah yang dikenal setiap Muslim adalah bangunan segi empat di tengah Masjidil Haram. Kabah diselimut kain penutup hitam atau kiswah. Kabah adalah arah menghadap setiap muslim di seluruh penjuru dunia ketika melakukan shalat.

Namun apa yang ada di dalam Kabah tetap sebuah misteri. Jutaan muslim meninggal dunia tanpa tahu ada apa di dalam Kabah, padahal lima kali dalam sehari sepanjang hayatnya mereka shalat menghadap kiblat.

Benda-benda apakah yang ada di dalam Kabah? Bagaimana dinding dan interiornya? Bagaimana susunan arsitekturnya? Adakah kuburan atau benda-benda sejarah disimpan di situ?

Semuanya hanya bisa menduga. Informasi dan ceritanya hanya berdasarkan "katanya, katanya?". Namun tak ada yang yakin seyakin-yakinnya, karena dari 1,6 miliar muslim sedunia hanya segelintir saja yang bisa masuk ke dalam Kabah.

Hanya Raja-Raja Arab Saudi, keluarga kerajaan dan pejabat negara yang bisa masuk ke dalam Kabah saat dicuci dan penutupnya diganti.


Saksikan Kabah dicuci

Pada upacara pencucian Kabah pada 2 Januari 2008, Wakil Presiden Jusuf Kalla termasuk yang diundang untuk menghadiri.

Sebagai wartawan yang ikut rombongan Jusuf Kalla, saya tersanjung bisa menyaksikan prosesi langka itu. Saya memang tidak bisa masuk ke dalam Kabah, tapi saya bisa menyaksikan pencucian Kabah itu dari jarak sangat dekat, yaitu sekitar dua meter saja dari pintu masuk Kabah.

Jadi saya bisa melihat pejabat dan tamu keluar masuk dan sedikit-sedikit mengintip ada apa di dalam Kabah.

Gubernur Mekkah Khalid Al-Faisal memimpin pencucian Kabah dihadiri oleh para ulama terkemuka, pejabat Arab Saudi dan para diplomat yang bertugas di Arab Saudi.

Pemerintah Indonesia diwakili oleh Kuasa Usaha Ad Interim Kedubes RI di Riyadh Sukanto sementara Wapres Jusuf Kalla diundang untuk menyaksikan.

Kabah dicuci dua kali dalam satu tahun, yakni pada tanggal 15 Sha`ban (bulan sebelum bulan puasa, Ramadhan) dan pada pertengahan Muharam , yakni bulan setelah Zulhijah dimana umat Islam menunaikan rukun ke lima Islam untuk naik haji.

Ritual pencucian Kabah dimulai dengan shalat sunnat dua rakaat di dalam Kabah.

Saat berada di dalam Kabah, jemaah boleh shalat menghadap ke mana saja.

Bagian dalamnya lalu dibersihkan dengan kain putih yang dibasahi air mawar, wewangian khas Arab beraroma kayu oud dan parfum beraroma musk, yaitu minyak kelenjar rusa.

Air zamzam dipercikkan ke lantai Kabah kemudian lantai dipel dengan tangan kosong dan daun kurma.

Sebelum memasuki Kabah, Pangeran Khalid melakukan tawaf keliling Kabah tujuh kali dan menyentuh hajar aswad, yaitu batu hitam yang dibawa malaikat dari surga.

Sesudah Pangeran Khalid masuk, baru kemudian tamu-tamu negara menyusul memasuki bagian dalam bangunan berbentuk kubus itu.

Mantan Menteri Agama Tarmizi Taher yang sudah 13 kali mendapat kesempatan memasuki Kabah, pernah mengatakan bahwa dinding dalam Kabah, atap, lantai, serta tiga tiangnya biasa saja seperti dinding batu lainnya.

"Ada ceret dan teko di dalam Kabah. Itu hadiah dari raja, khalifah dan sultan," katanya.

Sisi bagian timur Kabah tingginya l4 meter, sementara sisi barat dan selatan l2,11 meter dan 11,28 meter dari sisi utara.

Lantai bagian dalam dilapisi keramik berwarna, sementara atapnya ditunjang tiga pilar kayu, masing-masing berdiameter 44 cm.

Struktur atap terdiri atas dua lapisan, bagian atas dan bawah, sementara dinding bagian dalam ditutup dengan layar terbuat dari beludru hijau yag diganti tiap tiga tahun sekali.

Pada atap bagian teratas terdapat ventilasi dengan panjang 127 cm dan lebar l04 cm untuk memberikan kesempatan bagi cahaya matahari masuk. Ventilasi ditutup dengan kaca penguat yang dibuka saat acara pencucian.


Dilapisi emas murni

Pintu Kabah yang berada pada 225 cm di atas permukaan tanah, tingginya 310 cm, lebar 40 cm dan panjang 190 cm, terbuat dari kayu yang dilapisi 280 kg emas murni

Pada dinding sebelah Barat yang berhadapan dengan pintu Kabah digantungkan sembilan pigura yang terbuat dari marmer dan bertuliskan nama-nama khalifah yang telah memperbaiki dan memperbarui Kabah yang agung. Kesemuanya itu tertulis setelah Abad 6H.

Sisi Kabah yang lain dilapisi marmer putih setinggi dua meter dan diatasnya ditutupi dengan hordeng warna merah dari kain sutera yang bertuliskan "Syahadatain" dan Asma ul-Husna dalam bentuk angka 8 atau 7 Arab berselang-seling. Kaligrafi tersebut hadiah dari Raja Fahd.

Diantara tiga tiang di dalam Kabah ada tempat untuk meletakkan barang yang terbuat dari perak murni untuk menyimpan barang, seperti antara lain : teko-teko , ceret, pajangan , dan barang-barang bersejarah lainnya yang terbuat dari emas dan perak yang telah berusia puluhan bahkan ratusan tahun lalu.

Barang-barang itu merupakan hadiah dari raja-raja, khalifah dan para sultan.


Harganya Rp50 miliar

Kain penutup Kabah seharga Rp50 miliar ini berukuran panjang 14 meter dan lebar 47 meter. Beratnya tak tanggung-tanggung, mencapai 650 kilogram. Ada lima bagian kiswah, yaitu empat bagian yang menutupi keempat sisi Kabah dan satu sisinya menutup pintu Ka`bah.

Biasanya, kiswah dibuat di Mesir dan India, dan diberikan kepada pemerintah Saudi sebagai hadiah.

Di balik kiswah hitam, terdapat kain berwarna putih yang disebut Bithana Kiswah. Gunanya, untuk meresap uap dari dinding Ka`bah dan menghalangi panas yang diserap dari kain kiswah yang berwarna hitam. Tak hanya itu, kain putih ini juga dapat mencegah dinding Ka`bah retak.

Jika ditilik sejarahnya, semasa Nabi Muhammad SAW, Rasulullah pernah menghadiahkan kiswah Al-washail, sekaligus mengiswahi Ka`bah untuk pertama kalinya.

Cara ini kemudian diteruskan oleh Khulafaurrasyidin, seperti Umar Bin Al-Khatab dan Utsman Bin Affan serta beberapa khalifah Bani Umayyah.

Sekarang, banyak jemaah yang berusaha untuk menggunting sepotong kain penutup Kabah itu untuk berbagai alasan, minimal sebagai souvenir dan kenang-kenangan.

Mereka membawa gunting saat tawaf, ketika berhasil mendekati Kabah, mereka mengguntingnya. Lalu menyelipkan potongan itu dibalik kain ihram. Tukang gunting kiswah umumnya berasal dari Iran, Pakistan atau negara-negara Afrika.

"Yang dari Indonesia juga ada," kata Naib Amirul Haj Abdul Mukti.

(*Akhmad Kusaeni adalah Wakil Pemimpin Redaksi )

Minggu, 23 Oktober 2011

Doa cepat dapat jodoh yang mustajab

oleh : Akhmad Kusaeni *


Jeddah (ANTARA News) - Multazam adalah tempat dimana doa ijabah. Setiap doa yang diucapkan di tempat itu akan dikabulkan. Itu janji Allah.

Maka setiap kesempatan ke Tanah Suci, untuk umroh atau haji seperti sekarang ini, saya niatkan untuk ke Multazam. Pengalaman membuktikan beberapa doa yang saya ucapkan di tempat ini dikabulkan. Termasuk doa cepat dapat jodoh yang, Alhamdulillah, mustajab.

Multazam adalah bagian dinding Kabah antara batu hitam dan pintu Kabah. Multazam dalam bahasa Arab berarti bersandar atau menempel. Pada saat Nabi Muhammad SAW menaklukkan Mekkah, Rasulullah bersama para sahabatnya masuk ke Kabah. Di antara batu hitam (hajar aswad) dan pintu masuk Kabah, Nabi menempelkan badan, wajah, tangan dan jari-jarinya ke dinding Kabah. Di sana Nabi dan para sahabat berdoa.

Itulah asal mula mengapa tempat itu kemudian disebut Multazam atau "place of clinging" dalam Bahasa Inggris. Di sana para jemaah haji boleh berdoa apa saja sesuka hati dan Allah menjanjikan akan mengabulkannya.

Tidak ada doa khusus yang harus dibacakan oleh jemaah haji. Buku panduan manasik haji tidak spesifik merujuk kepada doa apa yang harus dibacakan di Multazam. Padahal di tempat-tempat lain, seperti Safa Marwa, Mina, Arafah, ada doa-doa khusus yang dianjurkan dibaca jemaah.

Artinya, di Multazam jemaah boleh minta naik pangkat, murah rejeki, sampai enteng jodoh. Allah berfirman: "Berdoalah padaku, maka akan kukabulkan".

Pada waktu umroh tahun 2008, saya berkesempatan untuk berada di Multazam dengan leluasa. Meskipun jemaah umroh yang sedang tawaf bejubel, oleh karena saya ikut rombongan Wakil Presiden Jusuf Kalla, maka untuk beberapa menit askar mengamankan lokasi Multazam khusus untuk rombongan kami.

Saya dengan mudah merengkuh Kabah. Saya tempelkan badan di dindingnya. Saya cium kiswah seraya merentangkan kedua tangan dan 10 jari menyentuh kain penutup Kabah. Saya berdoa sebanyak-banyaknya. Semua keinginan saya tumpahkan. Apa saja yang terlintas di kepala, saya ucapkan dalam doa. Oleh karena diyakini sebagai tempat yang mustajab, maka saya panjatkan keinginan dengan sungguh-sungguh. Sekhusuk-khusuknya.


Titip doa

Uniknya, dasar wartawan suka nyeleneh, habis berdoa untuk kepentingan sendiri, saya telepon ponakan saya di Jakarta untuk ikut berdoa. Ia gadis yang baru saja putus sama pacarnya yang sudah dikenalnya bertahun-tahun. Waktu mau berangkat umroh, ponakan saya titip agar didoakan di depan Kabah untuk segera dapat jodoh.

"Saya bosan pacaran Oom, doakan saya enteng jodoh ya. Saya mau cepat nikah saja," kata si ponakan. Tak usahlah saya sebut namanya.

Saya teringat pesan ponakan saya itu dan segera saya meneleponnya. Ketika nyambung, saya sampaikan bahwa saya sedang berada di Multazam, sebuah tempat dimana semua doa ijabah. Saya minta si ponakan untuk berdoa sendiri. Saya aktifkan speakerphone . Saya dengar ia berdoa dengan sepenuh hati dan dengan suara bergetar minta agar mendapat pasangan hidup yang baik.

Alhamdulillah wa syukurillah. Doa si ponakan terkabul. Enam bulan kemudian ia menikah tanpa pacaran yang berarti. Sekarang ia dan suaminya hidup berbahagia dengan satu orang puteri berusia tiga tahun yang cantik dan pintar. Dalam waktu dekat, mereka akan hijrah untuk bermukim di Dubai, karena si suami mendapat tugas baru di perusahan ternama di Uni Emirat Arab. Berkah. Mustajab.

Mustajab berarti terkabul. Banyak tempat yang diyakini orang sebagai tempat yang mustajab dimana jika orang berdoa di tempat tersebut maka doanya pasti dikabulkan. Selain di Multazam, ada lagi di Raudah, yaitu di sekitar makam Nabi Muhammad SAW di kompleks Mesjid Nabawi, Madinah.

Saya katakan kepada ponakan saya bahwa meskipun ada janji Allah bahwa setiap doa akan dikabulkan di Multazam dan Raudah, sesungguhnya doa yang paling dikabulkan adalah doa dari orang yang dianiaya, yang berikhtiar, dan bersih dari dosa-dosa besar.

Jadi, kalau orang yang berdoa itu tidak pernah ikhtiar, apalagi tidak pernah benar-benar tobat dari kebiasaan buruknya, mau ke Multazam atau Raudhah setiap haripun tidak ada gunanya.


Bukit Kasih Sayang

Khusus untuk minta jodoh, sebetulnya ada tempat yang jemaah haji biasa menyampaikan hasrat agar memperoleh pasangan yang baik atau bagi yang sudah bersuami/ beristeri berdoa agar kehidupan mereka kekal sampai maut memisahkan mereka. Tempatnya di Jabal Rahmah yang arti harfiahnya adalah Bukit Kasih Sayang.

Jika Jabal Nur dengan Gua Hira adalah tempat Nabi Muhammad menerima wahyu pertama, maka Jabal Rahmah adalah tempat bertemunya kembali Adam dan Hawa, pasangan manusia pertama, setelah berpisah di dunia selama 200 tahun.

Jabal Rahmah berbentuk tugu di atas sebuah bukit. Saya sering mendengar cerita keajaiban mengenai orang-orang yang mendapat jodoh setelah menuliskan namanya di tugu kasih sayang itu. Mungkin mirip dengan jembatan cinta di Rusia dan Eropa dimana para pasangan dan pengantin menulis nama mereka di sebuah gembok yang digantungkan di tiang besi jembatan.

Sewaktu dua kali umroh pada 2006 dan 2008, saya tidak sempat ke Jabal Rahmah. Tapi pada musim haji sekarang ini, saya bersemangat sekali untuk bisa datang ke Bukit Kasih Sayang itu. Ada dua alasan mengapa saya harus ke Jabal Rahmah.

Pertama, staf saya di kantor minta saya menuliskan di tugu itu namanya dan nama pacarnya dengan lambang hati di tengahnya.

"Jangan lupa ya pak. Tulis X LOVE Y. Biar kita cepet nikah," kata si staf itu. Lagi-lagi nggak perlu saya tulis namanya.

Kedua, saya juga ingin menuliskan: "OE LOVE TANTI". Itu

"nickname" saya dan nama isteri saya persis seperti yang tertulis di kartu undangan perkawinan kami pada 3 Oktober 1993, atau sekitar 18 tahun lalu.

Ustadz pemandu haji sering mengatakan jika perkawinan kita ingin langgeng; ingin sakinah, mawaddah dan rahmah sampai kakek-nenek; ingin hidup "happily ever after" seperti akhir cerita dongeng Hans Christian Andersen; maka tulislah nama kita dan pasangan kita di tugu itu.

"Niscaya perkawinan akan bahagia selama-lamanya dan kita akan menjadi pasangan dunia dan akhirat,? kata sang Ustadz.

Amiiinnn?

(*Akhmad Kusaeni adalah Wakil Pemimpin Redaksi Antara)

Wartawan naik haji

oleh : Akhmad Kusaeni*

Jakarta (ANTARA News) - Seruan Nabi Ibrahim untuk melakukan ibadah haji terjawab tahun ini. Saya akhirnya bisa berangkat ke Tanah Suci Mekkah, Sabtu, setelah dua kali gagal memenuhi seruan itu pada tahun 1997 dan 2002.

Sebagai wartawan yang selama dua tahun berturut-turut mengikuti Safari Ramadhan dan Temu Kader Ketua Umum Golkar Harmoko ke lebih 350 kabupaten di Tanah Air, saya dihadiahi tiket untuk pergi haji tahun 1997. Umur saya waktu itu 33 tahun, masih sangat muda, dan belum kepikir untuk dipanggil dan menjalani hidup selayaknya "Pak Haji".

Waktu itu saya masih semangat-semangatnya menikmati "dunia" dan belum sepenuhnya mempersiapkan soal "akhirat".

Padahal, saya masih punya ibu yang sudah tua dan belum berhaji (Ayah saya almarhum sudah berhaji beberapa tahun sebelumnya). Lalu saya datang ke Harmoko dan meminta izin agar tiket haji yang diberikan kepada saya dialihkan ke Siti Manisah, ibu saya. Harmoko yang waktu itu juga Menteri Penerangan menyatakan ok, tidak keberatan. Maka berangkatlah ibu saya ke Tanah Suci berbekal tiket hadiah untuk saya.

Seruan kedua untuk pergi ke Baitullah datang pada tahun 2002. Wakil Ketua DPR A.M.Fatwa mengundang untuk mengikuti kunjungan kerja DPR ke Amerika Serikat, Kuba dan juga ke Saudi Arabia untuk melakukan ibadah haji. Kali itu saya menyambut seruan berhaji itu dengan gegap gempita. Umur saya sudah makin tua, 38 tahun. Saya sudah lebih relijius dan mulai memikirkan persiapan "akhirat".

Saya senang karena sudah bisa menunaikan rukun Islam yang kelima itu sebelum umur 40 tahun.

Namun apa daya tangan tak sampai. Seruan Nabi Ibrahim gagal terpenuhi. Saya terdampar di Havana, Kuba, karena persoalan visa. Dari San Fransisco, Amerika Serikat, rombongan DPR memang singgah ke Havana, Kuba. Dari situ mereka kembali ke San Fransisco dalam perjalanan menuju Saudi Arabia. Celakanya, visa saya ke Amerika Serikat hanya untuk satu kali masuk (one entry), sementara A.M. Fatwa dan rombongan DPR lainnya dapat visa masuk berkali-kali (multiple entries).


Terdampar di Kuba

Maka terdamparlah saya beberapa hari di negeri Fidel Castro tersebut. Atas bantuan diplomat dari KBRI Havana saya memang bisa masuk kembali ke Amerika Serikat. Namun masa haji sudah tak terkejar. Saya hanya bisa melakukan shalat Iedul Adha di Mesjid Indonesia New York, tempat saya menjadi salah satu pengurusnya pada periode 1998-2001 saat saya menjabat Kepala Biro Antara di Markas Besar PBB.

Sementara para jemaah haji tawaf di Masjidil Haram, saya tawaf di Times Square untuk mengenang masa-masa kejayaan "my good old days in the U.S.A.". Saya berkeliling di pusat hiburan itu sambil bersenandung lagu Frank Sinatra "New York, New York" pada saat para jemaah haji keliling Kabah dan mengucapkan talbiyah "Labaik Allahuma Labaik".

Begitu juga saat jemaah haji wukuf di Padang Arafah, saya malah wukuf di kawasan pecinan, Queens. Saya pernah malang melintang di Queens dan menjadi "King of the Hill" selama sekitar tiga tahun (1998-2001) di situ. Makanya tidak heran, jika orang dapat haji mabrur, saya dapat haji kabur.

Tapi, sekali lagi, saya orang yang beruntung. Setelah kegagalan berhaji tersebut, saya berkesempatan untuk dua kali melakukan ibadah umroh saat Ramadhan pada tahun 2006 dan 2008. Dua-duanya bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pada 2006, Jusuf Kalla mengadakan kunjungan ke Amerika Serikat dan pulangnya mampir ke Mekkah untuk berumroh. Inilah untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Tanah Suci.

Subhanallah. Hati saya bergetar saat dengan mata kepala sendiri melihat Kabah yang selama ini hanya bisa saya lihat di gambar dan lukisan. Saya menangis ketika saya bisa memeluk Kabah dan tangan saya memegang kiswah, kain selimut Kabah. Konon setiap tahun kiswah itu diganti saat Kabah dicuci. Kain hitam bertuliskan huruf Arab dengan benang warna emas itu dipesan pemerintah Arab Saudi seharga sekitar Rp50 miliar.

Kabah ternyata hanya sebuah bangunan persegi dan kosong. Menurut Dr. Ali Shariati, bangunan ini terbuat dari batu-batu hitam keras yang tersusun dengan cara sangat sederhana, sedang sebagai penutup celah-celahnya dipergunakan kapur putih. Di dalam Kabah tidak ada keahlian arsitektural, keindahan, seni, atau prasasti kolosal.

Ketika berada di dekat Kabah, imajinasi-imajinasi visual saya tentang Kabah sebelumnya sangat berbeda dengan apa senyatanya yang saya saksikan. Saya pernah membayangkan Kabah itu seperti mahakarya arsitektur yang indah, dimana di dalamnya terkubur seorang tokoh manusia yang penting. Barangkali seorang pahlawan, seorang raja, jenius atau bahkan mungkin seorang nabi.

Ternyata di dalam Kabah itu tidak ada kuburan. Ternyata Kabah itu kosong belaka di dalamnya. Meminjam istilah Shariati, Kabah hanyalah sebuah tonggak penunjuk jalan. Arah dimana Muslim di seluruh dunia berpegang dalam menentukan kemana harus menghadap saat shalat. Kabah adalah arah kiblat. Itu saja.

Yang istimewa ada di sekitar Kabah adalah batu hitam yang disebut sebagai hajar aswad. Setiap muslim yang melakukan tawaf keliling Kabah selalu bermimpi dan berusaha untuk bisa mencium batu hitam itu. Ratusan ribu orang berebut untuk mendekati hajar aswad. Tidak setiap orang bisa mencium dan meraih batu tersebut.


Mencium hajar aswad

Pada kesempatan umrah kedua bersama Jusuf Kalla tahun 2008, saya beruntung bisa mendekati dan mencium hajar aswad dengan leluasa. Maklum saya termasuk rombongan Wakil Presiden yang menjadi tamu undangan Raja Saudi.

Askar-askar menjaga dan membantu kami satu persatu mendekat dan mencium batu hitam itu. Berkahnya lagi, ada fotografer yang diperbolehkan mengabadikan momen penting bersejarah, relijius dan emosional itu. Dengan bangga saya posting foto saya mencium hajar aswad itu di facebook. Juga di blog saya akusaeni.blogspot.com. Betul-betul narsis!

Di Multazam, antara pintu Kabah dan hajar aswad, dimana Allah menjanjikan semua doa yang dipanjatkan disitu ijabah, saya berdoa agar bisa kembali ke Baitullah pada musim haji beberapa tahun ke depan. Kalau bisa, gratis ya Allah. (Inilah pikiran nakal wartawan: kalau bisa cuma-cuma, kenapa mesti bayar sendiri).

Namun, hati saya haqul yakin kalau Allah akan mengabulkan doa "agak nakal" saya. Bukankah saya berdoa di Multazam, tempat dimana semua doa akan ijabah? Termasuk doa minta naik haji gratis?

Betul saja. Doa saya makbul. Allah memberi jalan agar saya, kini dalam usia 47 tahun, bisa menjawab seruan nabi Ibrahim tersebut tanpa harus mengeluarkan biaya sendiri. Tahun ini, saya mewakili LKBN Antara untuk menjadi pengarah media Amirul Hajj, yaitu Menteri Agama Suryadharma Ali. Untuk itu saya ke Tanah Suci atas biaya dinas. Sebagai Haji Abidin (Atas Biaya Dinas), saya tetap harus bekerja. Saya bertugas membantu dan mengarahkan Media Center Haji (MCH) yang diperkuat sekitar 30 wartawan dari berbagai media.

Tidak banyak orang yang bisa menjadi pengarah media bagi Amirul Hajj. Musim haji tahun 2011 ini hanya tiga orang, yaitu Staf Ahli Menkominfo Dr. Henry Subiyakto, Kepala Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat Kementerian Agama Zubaidi, dan saya; Wakil Pemimpin Redaksi Perum LKBN Antara.

Sebagai wartawan saya wajib membuat berita dan menulis artikel selama perjalanan ibadah ini. Sepulang haji nanti, selain menjadi haji mabrur, saya juga berniat untuk membukukan berita dan artikel tersebut. Saya sudah punya judul bagus untuk buku itu. Kalau budayawan Danarto menulis buku ?Orang Jawa Naik Haji?, maka buku saya akan berjudul ?Wartawan Naik Haji?. Keren nggak?.


*(Akhmad Kusaeni adalah Wakil Pemimpin Redaksi LKBN Antara)

(A017/A011)

"Soft power" dan masa depan industri strategis

"Soft power" dan masa depan industri strategis
oleh : Akhmad Kusaeni


Jakarta (ANTARA News) - Komisi VI DPR menyetujui alokasi dana sebesar Rp3 triliun pada APBN 2012 untuk mengembangkan industri strategis.

Dana berupa Penyertaan Modal Negara (PMN) itu sebanyak Rp1 triliun dialokasikan bagi PT Dirgantara Indonesia, sedangkan sisanya diperuntukkan bagi empat BUMN lainnya seperti PT Pal Indonesia, PT Pindad, PT Merpati Nusantara dab PT Industri Kapal Indonesia. Masing-masing BUMN "strategis" itu kebagian sekitar Rp500 miliar.

Sementara, Perum Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara yang juga berada di bawah koordinasi Deputi Menteri BUMN bidang Industri Strategis terancam tidak mendapat dana PMN.

Konon tidak dialokasikannya dana PMN untuk Perum Antara, karena kantor berita nasional yang didirikan oleh para pendiri bangsa itu dianggap "bukan industri strategis" atau "belum betul-betul strategis".

Inilah salah kaprah dalam membaca masa depan industri strategis. Pengalokasian dana PMN tersebut jelas menunjukkan bahwa kita masih melihat dan mengutamakan industri strategis itu sebagai "hard power", dan bukan sebagai "soft power".

Padahal, masa depan industri strategis terletak bukan lagi pada kekuatan militer dan senjata, tetapi kepada kekuatan penguasaan informasi dan penyebarluasan ide, gagasan, nilai-nilai, dan kebudayaan.

Guru Besar Ilmu Politik Internasional dari Universitas Harvard Joseph S. Nye Jr membedakan antara kekuatan keras ("hard power") dan kekuatan lembut ("soft power"). "Hard power" adalah kekuatan memaksa pihak lain untuk mengikuti keinginan kita dengan kekuatan senjata. Sedangkan "soft power" adalah kekuatan untuk menarik pihak lain untuk mengikuti keinginan kita dengan sukarela tanpa paksaan dan tekanan.

Nye mengatakan kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi perilaku pihak lain sesuai kemauan kita. Ada sejumlah cara untuk mempengaruhi perilaku pihak lain. Kita bisa memaksa mereka dengan ancaman. Kita bisa membeli pengaruh dengan memberi bantuan. Atau kita bisa menarik dan mengkooptasi mereka.

Kadang-kadang kita bisa mempengaruhi perilaku orang lain tanpa memerintahkannya sama sekali. Jika orang percaya bahwa tujuan kita benar, maka kita bisa mempengaruhi pihak lain tanpa ancaman atau bujukan dan pemberian bantuan.

Sebagai contoh, Muslim radikal tertarik dengan Osama bin Laden bukan karena ancaman atau bujukan, tapi mereka percaya apa yang diperjuangkan Obama itu benar.


"Hard power" telah gagal

Satu hal yang tidak dimengerti AS adalah fakta bahwa negeri itu merupakan satu-satu adidaya di dunia pada 2001, namun AS tidak berdaya mencegah serangan 11 September. Artinya: kekuatan militer, kekuatan senjata, yang disebut sebagai "hard power", telah gagal untuk membendung kebencian terhadap bangsa Amerika.

Oleh karena itu, setelah 9/11 banyak pihak menoleh pada kekuatan non-militer dan non-persenjataan untuk bisa meredam permusuhan terhadap AS. Para pengambil kebijakan dan para pakar kemudian mencari cara tidak langsung agar pihak-pihak yang memusuhi AS bisa dikooptasi.

Cara tidak langsung itu sering disebut sebagai "wajah lain dari kekuatan", bukan yang keras, tapi yang lembut.

Sebuah negara bisa memberi pengaruh di dunia untuk mengikutinya karena negara-negara lain memuja nilai-nilai, karakter, dan budayanya yang dianggap ideal dan menarik untuk diteladani. Itulah yang kemudian dikenal sebagai "soft power", yakni bagaimana pihak lain mengikuti apa yang kita inginkan dengan cara mengkooptasi mereka dan bukannya dengan memaksa mereka.

Pada era globalisasi sekarang ini peran "soft power" makin meningkat ketimbang "hard power". Siapapun yang ingin memenangi abad informasi harus memiliki dan menguasai berbagai macam saluran komunikasi untuk membantu mengemas isu dan mengembangkan agenda.

Informasi adalah kekuatan dan saat ini sebagian besar masyarakat sudah mendapat akses terhadap kekuatan itu. Kemajuan teknologi membawa kepada pengurangan yang dramatik dari biaya tranmisi informasi. Komunikasi dan informasi menjadi murah dan terjangkau. Akibatnya terjadi ledakan informasi dan melahirkan apa yang disebut "paradox of plenty".

Manakala masyarakat dibanjiri informasi yang melimpah ruah, mereka sulit untuk fokus. Informasi melimpah ruah namun perhatian malah yang kini menjadi susah dan langka. Mereka yang bisa membedakan mana informasi yang bernilai dari riuh rendahnya informasi sampah, maka dialah yang memperoleh kekuatan.

Pada titik itu, maka peran dari kantor berita Antara yang bisa memilah informasi yang bernilai dari sampah informasi yang membludak menjadi sangat penting.

Selama ini kita menjadi bangsa yang gaduh dan ribut. "Agenda setting" media dan ruang publik didominasi oleh aktor-aktor yang tidak selalu sejalan dengan kepentingan nasional. Media cetak, online, radio dan televisi riuh rendah mengangkat persoalan-persoalan yang sepertinya masalah besar, genting dan krusial, namun tidak menyentuh kepentingan rakyat di berbagai peloksok Tanah Air.

Kita menjadi bangsa yang senang memperolok pemimpinnya sendiri, menghujat lembaga-lembaga negara, mengatakan kejaksaan, kepolisian, pengadilan sebagai bobrok dan tidak dipercaya. Kalau rakyat tidak percaya lagi kepada pemerintah, DPR, pengadilan atau KPK, mau jadi bangsa apa kita. Mungkin saja ada pejabat yang korupsi, hakim yang disuap, atau jaksa yang dibeli. Tapi masih banyak pejabat, hakim dan jaksa yang bersih namun itu tidak diceritakan sehingga masyarakat menggeneralisir.


Antara adalah soft power

Di sinilah letak penting Kantor Berita Antara untuk menceritakan yang tidak diceritakan. Di sinilah strategisnya Kantor Berita Antara untuk menyampaikan apa-apa yang sudah dicapai dan belum dicapai oleh semua pemangku kepentingan negara ini dari mulai eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Sebaliknya juga mendengar dan melaporkan apa yang hidup dalam suasana kebatinan masyarakat, apa kebutuhan mereka, masalah mereka, aspirasi mereka.

Disitulah letak strategisnya Kantor Berita Antara sebagai "soft power" yang bisa menjembatani hubungan antar lembaga negara, pemerintah dan rakyat, menjaga kohesi bangsa, persatuan dan kesatuan. Dengan menyajikan informasi berita teks, foto, video dengan titik pandang kepentingan nasional dan NKRI sebagai harga mati.

Sebagai kantor berita nasional, kebijakan redaksi Kantor Berita Antara adalah "mission-driven", yaitu Antara akan menyiarkan kabar baik, tapi bukan yang baik-baik saja.

Jadi, mengabaikan peranan Kantor Berita Antara sebagai industri strategis adalah sebuah kekeliruan. Kantor Berita Antara adalah kekuatan lembut yang makin penting peranannya di masa kini dan masa depan.

Dahulu kekuatan politik di dunia didasarkan pada hukum besi bahwa siapa yang kuat secara militer dan ekonomi dia yang menang. Kini, pertarungan politik di abad informasi akan didasarkan pada hukum besi: cerita siapa yang menang. Pendek kata, di abad informasi "soft power" lebih efektif daripada "hard power"!

Kekuatan militer dan senjata AS memang bisa malang melintang menyerang Afghanistan dan Irak. Tapi justru "hard power" tersebut membuat kekuatan lembut AS (nilai-nilai, karakter, budaya) yang disebut "soft power" itu anjlok.

AS menjadi negara yang paling dibenci dan paling banyak menjadi sasaran teroris.

Inilah paradok kekuatan Amerika Serikat. Kekuatan militernya sudah tidak dipertanyakan lagi: pasukan AS digelar di 130 negara di seluruh penjuru dunia. Tidak ada kekuatan tentara lain yang berani menantang untuk perang dengan AS. Namun, sejalan dengan kekuatan militer AS yang terus meningkat, kemampuan AS untuk memberikan pengaruh justru pada titik paling nadir di banyak bagian dunia, bahkan di negara-negara sekutunya sendiri.

Untuk mengoreksi kesalahannya tersebut, kini AS berpaling mengembangkan kekuatan lembutnya. Jika AS merombak kebijakannya dari "hard power" ke "soft power", mengapa Indonesia justru lebih mengembangkan "hard power" ketimbang "soft power"-nya.

Terakhir, saya ingin mengutip kata-kata bijak dari Joseph S. Nye Jr berikut ini: "Pemimpin harus membuat keputusan krusial mengenai tipe kekuatan yang mereka gunakan".

Dalam berbagai kesempatan, futurolog ini selalu mengatakan: "Ini eranya soft power bung!"

*) Akhmad Kusaeni adalah Wakil Pemimpin Redaksi LKBN Antara.

(T.A017/010)
Editor: Ruslan Burhani

COPYRIGHT © 2011